CHAPTER VI

Terpaksa aku menolak makanan dari Singka, salah satu selir Si Langki yang ternyata adalah adiknya. Rasanya aneh, meskipun aku bukanlah raja yang asli, otak dan hatiku belum bisa menerima semua yang terjadi di sini.

Mungkin di zaman antah berantah hal seperti ini adalah lumrah menikahi saudara sendiri. Tapi pada kepercayaanku itu adalah aib dan dosa besar.

Pada akhirnya aku hanya memakan buah pisang dan ubi rebus yang disajikan oleh dayang dapur. Di sini tidak ada bir, hanya ada minuman sejenis tuak. Rasanya manis-manis asam, tapi menyegarkan.

"Demang, apa menurutmu aku jahat?"

Aku ingin mendengar langsung pendapat bawahanku yang katanya loyal dan setia pada raja, katanya. Tapi pasti dalam hatinya ada pendapat tersembunyi yang tabu untuk diungkapkan.

"Mengapa Paduka bertanya seperti itu?"

"Ya ... aku baru sadar kalau menikahi adik sendiri adalah tidak benar."

"Paduka ternyata benar-benar tidak mengingat apapun," ucap Demang sembari menghela napas berat.

"Apa maksudmu?"

Apakah Si Langki memaksa adiknya seperti yang dilakukannya pada Wisha, ratunya? Atau ada sesuatu yang lain? Aku sangat penasaran.

Akhirnya Demang mulai bercerita, menjelaskan dari awal silsilah keluarga kerajaan ini secara umum.

Jadi, raja sebelumnya punya ratu dan seorang selir kesayangan. Ratu adalah ibu dari Sangki, sedangkan Langki adalah putra dari selir kesayangan raja.

Sama seperti Wisha, ratu sebelumnya tak pernah memiliki perasaan pada raja, mereka menikah karena kepentingan politik. Pun, karena raja lebih banyak menghabiskan waktu bersama selir kesayangan membuat ratu bermain api dengan pengawal pribadinya.

Alhasil, ratu mengandung dan melahirkan Singka. Demi menutupi aib, pengawal pribadi ratu dihukum dan dengan terpaksa raja mengakui Singka sebagai putrinya. Jadi, secara garis keturunan, Langki dan Singka tidak ada hubungan darah.

Ketika Langki melakukan pemberontakan dan membunuh Sangki, justru Singka merasa senang. Bertumbuhnya Singka sama sekali tak pernah mendapatkan perlakuan baik dari Sangki yang adalah kakak satu ibunya.

Langki yang memang sudah bersaing sejak kecil dengan Sangki, pun selalu membela Singka. Karenanya, apapun yang dilakukan Langki, maka Singka selalu mendukungnya. Bahkan, ketika Langki memintanya menjadi selir, ia menerimanya tanpa ragu.

Bukan berarti Singka memiliki rasa pada Langki, tapi lebih kepada ia menyerahkan perlindungan atas dirinya pada Langki. Status Singka sudah tersebar, tak ada pangeran yang berminat melamarnya. Alhasil, Langki memutuskan untuk menjadikannya selir.

"Bagaimana dengan dua selir yang lain?"

Aku semakin penasaran. Ibarat sinetron, lagi seru-serunya. Walaupun aku tak suka nonton sinetron, tapi pernah melihat ibunya Made menonton sampai misuh-misuh sendiri. Seru saja lihatnya.

"Mereka adalah sepupu anda, Paduka."

"Sepupu?"

Langki benar-benar sikopet. Tak hanya adiknya, sepupunya juga diembat. Maunya apa ini raja?

"Tujuan Paduka menjadikan mereka selir sama halnya dengan yang Paduka lakukan pada Selir Singka."

"Apa maksudmu?"

Jiwa kepo kakak keduaku sepertinya sedang merasuk dalam diriku. Biasanya aku paling malas mendengar cerita apapun, sekalipun itu kisah nyata. Tapi sekarang aku merasa haus akan kisah tak masuk akal Si Langki ini.

"Selir Rumla adalah anak dari adik ibunda Paduka. Beliau kalangan biasa yang telah ditinggal kedua orang tuanya. Selir Rumla hanya bisa masuk ke dalam istana sebagai pelayan, dan tentu Paduka tidak bisa membiarkannya. Alhasil, Paduka menjadikannya selir demi menaikan martabatnya."

Aku hanya manggut-manggut. Terlepas dari kekejamannya, Langki ternyata punya pemikiran yang berbeda. Sedikit demi sedikit, aku merasa mulai bisa memahaminya.

"Yang satunya bagaimana?"

"Selir Jidwa?" Aku mengangguk saja karena tak tahu namanya.

Jadi, menurut cerita Demang bahwa Jidwa adalah anak dari adik raja sebelumnya. Adik raja adalah seorang janda dari salah satu panglima kerajaan yang terbunuh dalam misi diplomat.

Kehilangan suaminya membuat adik raja menjadi hilang kewarasan dan berakhir bunuh diri. Kala itu Jidwa berusia 3 tahunan.

Selama ini Jidwa diasuh oleh ibunda Langki yang tak lain adalah selir kesayangan raja. Sama seperti kedua selir lainnya, Jidwa dijadikan selir demi melindunginya.

Satu hal yang terbersit di benakku adalah apakah ini alasan mengapa hanya tersisa 3 selir dari sekian banyak selir yang dimiliki raja? Apa yang lainnya tak ada hubungan kekeluargaan?

Demang pernah cerita jika selir-selir itu dibunuh oleh raja karena mengandung. Kok kejam banget ya? Lebih baik aku tanyakan pada Demang.

"Demang ...."

"Iya, Paduka?"

"Em ... aku begitu melindungi ketiga selirku, tapi ... apa aku terlalu kejam kepada selir lainnya yang sudah ku bunuh?"

Yang berbuat Si Langki, tapi aku yang merasa menanggung dosa. Entah kekejaman apalagi yang diperbuatnya, semoga aku bisa bertahan sampai waktunya aku kembali.

Kapan? Aku pun tak yakin karena tak tahu caranya kembali. Apa tidak ada prasasti atau buku pedoman tentang keanehan ini? Jujur, aku frustrasi.

"Hamba telah melayani Paduka sejak usia enam tahun, dan kala itu Paduka baru belajar melangkah menjadi bagian keluarga kerajaan."

Apa Demang sedang mengenang masa kecil rajanya? Jika Demang melayani Langki sejak kecil, artinya dia memang paling mengenal luar dalam rajanya.

"Bagi hamba, Paduka bukanlah orang yang kejam," ucapnya.

"Tapi ... aku banyak membunuh."

Walau bukan aku, tapi kenyataan Langki suka membunuh sudah tersebar kemana-mana. Imejnya kini melekat padaku.

"Paduka tidak pernah berniat membunuh siapapun."

"Menurutmu begitu?" Demang menganggguk yakin.

"Tapi ... status raja kejam telah melekat pada diriku."

"Itu karena mereka tidak tau yang sebenarnya. Paduka sendiri yang membiarkan mereka berpikir begitu tentang diri Paduka."

Teka-teki apalagi ini?

Kalau menurut penangkapanku, kata-kata Demang seolah mengartikan jika Langki sebenarnya tidak kejam. Jadi apa yang sebenarnya berlaku di sini?

"Demang, apa ... apa menurutmu membunuh itu hal yang wajar?"

"Apapun yang dilakukan raja adalah hal wajar, sekalipun itu membunuh."

"Tidak ... tidak," selaku menggeleng. "Aku bertanya pendapatmu, bukan karena privilege seorang raja," imbuhku.

Bukannya menjawab, Demang malah bengong. Ah ... mungkin dia tak tahu apa itu 'privilege'. Lantas aku mengulang dan memberitahunya supaya mengatakan pendapatnya pribadi, bukan karena hak istimewa rajanya.

Demang tak jua menjawab. Entah karena ia takut atau memang tak bisa memberikan pendapat. Cukup lama ia diam, dan jelas membuatku memilih mengabaikan tentang pendapatnya.

Tak penting juga. Tadinya aku ingin tahu apakah masih ada kewarasan dari penghuni negeri antah berantah ini mengenai nyawa manusia. Sepertinya Demang juga terbiasa melihat pembunuhan, makanya dia susah menjawab.

"Paduka, sepertinya di luar hujan," ucap Demang.

"Benarkah?" Aku tak mendengar gerimisnya.

"Apa Paduka ingin ke pendopo?"

"Tidak. Aku sudah cukup kenyang, sepertinya aku ingin tidur. Hawanya cukup dingin."

Bagaimana aku tidak kedinginan, kostumnya saja begini, jelas masuk angin. Apa di sini tidak ada pakaian jadi yang lebih manusiawi?

"Baiklah. Sekarang ... hamba sudah paham," ucap Demang.

"Paham apa?"

Paham jika aku butuh pakaian hangat? Apa Demang bisa membaca pikiran? Menurut legenda, orang zaman prasejarah cukup sakti, apa Demang salah satunya?

"Entah bagaimana mengatakannya, tapi ... hamba tau jika anda bukanlah Paduka Raja Langki."

Duuuaaarrr!!!

Bagaikan ditimpuk granat depan muka, pernyataan Demang sungguh membuatku membeku.

Apa sejelas itu? Bagaimana sekarang? Apa aku akan dipenggal?

Ya Tuhan ... aku masih ingin hidup.

~o0o~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top