CHAPTER IX
Jika dulu, di setiap malam yang aku lalui penuh hingar bingar, namun kini berbeda. Sunyi dan kosong. Tidak ada miras, tidak ada musik jedag-jedug yang menghantam gendang telinga.
Semenjak kesasar di dunia asing dan berada di istana yang mereka sebut puri ini, aku belum sekalipun keluar dari kamar. Hanya Demang yang menemuiku, dan Singka pada saat itu.
Terhitung 3 hari sudah berlalu sejak terakhir kali Singka mengunjungiku, dan setelah pertanyaan terakhirku padanya, kami tak pernah bersua lagi. Pun, saat itu ia tak menjawab apapun dan pergi begitu saja.
Demang tiba-tiba tak banyak bicara, dia hanya menjawab saat aku bertanya, lebih banyak bediri di dekatku seolah mengamati dan mengawasi. Aku ingin menanyakan banyak hal pada Demang, tapi aku sendiri bingung harus mulai dari mana.
Ini adalah hari kelima aku di sini, artinya masih ada 995 hari lagi hingga purnama emas muncul. Dulu, saat memutuskan kabur dari rumah, aku tak pernah menghitung hari meskipun hidupku luntang lantung di awal.
Tak terbersit kerinduan akan rumah, tapi kini aku begitu merindukan ibuku dan ketiga kakakku yang menyebalkan. Apakah aku kena karma karena durhaka?
Sekarang aku jadi berpikir, jika aku memanglah mirip ayahku. Meninggalkan keluarga demi seorang perempuan. Bedanya, ayahku meninggalkan keluarga tapi diterima oleh selingkuhannya, sedangkan aku justru ditolak berkali-kali padahal dia bukan suami orang.
Miris.
"Demang ...."
Akhirnya aku memberanikan diri untuk bicara lagi. Daripada mati penasaran di sini, pun nasibku belum jelas apakah akan bertahan hingga waktunya tiba atau hilang di tengah jalan.
Siapa yang tahu?
"Iya, Paduka?"
"Apa kau tau alasan Selir Singka ingin menggulingkan Ratu Wisha?" tanyaku penasaran.
Demang mengangguk pelan, namun matanya melirik ke sana ke mari seolah sedang waspada jika ada yang mengawasi kamar ini.
"Ceritakan," pintaku.
"Sebaiknya Selir Singka yang memberitahukan sendiri kepada Paduka."
"Mengapa begitu? Apa Langki sendiri tidak pernah tahu alasannya? Jika aku yang bertanya, Selir Singka bisa curiga pada identitasku saat ini."
"Em ... memang benar. Paduka Raja Langki memang sangat tahu alasannya, tapi berpura-pura tidak tahu. Setiap kali Selir Singka membahasnya, Paduka selalu menyudahi dan meminta Selir Singka untuk diam."
"Apa alasannya aku? Maksudku ... Langki?" Demang menggeleng.
Lalu apa, dong? Perempuan memang susah ditebak.
Si Langki tak ada niat masuk ke dalam mimpi, kah? Seperti di film-film, dua jiwa yang tertukar bisa berkomunikasi untuk bertukar informasi. Di sini aku menjadi raja, tapi tak tahu apa-apa tentang yang terjadi.
Jika terus menerus seperti ini, artinya harus aku sendiri yang menguak rasa penasaran yang semakin hari membuat gila. Termasuk sikap Singka yang seakan tak ada takutnya pada Langki.
Apa aku harus tanya Demang? Tapi apa dia akan menjawab? Coba saja, ah!
"Demang ... apa aku, maksudku Langki memang sangat dekat dengan Selir Singka?"
Aku menyebut nama Si Langki tanpa embel-embel raja atau paduka di depannya apa tidak masalah, ya?
"Tidak apa, Paduka. Silakan menyebut apapun pada diri Paduka, meskipun sejatinya kini bukan jiwa Paduka Raja Langki yang tengah bicara," ucap Demang sembari tersenyum tipis.
"Berarti aku boleh menyebut 'aku' walau aku bukan rajamu?" Demang mengangguk.
"Hamba menganggap Paduka tetaplah raja hamba, namun tengah sakit karena hilang ingatan. Jadi ... silakan bertanya apapun, dan hamba akan memberitau sebatas wewenang hamba untuk memberitau."
Bijak sekali Demang ini. Tampangnya memang Si Made banget, tapi wataknya berbanding terbalik. Aku penasaran dengan jabatan Si Demang ini.
Patih, kah? Jenderal, kah? Atau asisten raja? Sebutannya apa, sih? Kenapa aku menjadi manusia kepo semenjak nyasar di sini? Sulit dipercaya.
"Em ... kalau begitu, aku akan tanya beberapa hal," ucapku.
"Silakan, Paduka."
"Pertama ... apa aku sedekat itu dengan Singka? Tapi, sebentar ... tak apa jika aku menyebut nama tanpa gelar?"
Bagaimanapun aku masih merasa kelu dan kurang nyaman bicara formal begini, terbiasa urakan jadi asal nyebut.
"Selama di depan hamba, apapun yang ingin Paduka lakukan dan sebutkan, silakan."
Raja dapat melakukan apa saja, meskipun saat ini jiwanya palsu. Baiklah, setidaknya aku sedikit merasa lega dan nyaman dalam bertindak. Tetapi aku harus tetap waspada, meskipun pada Demang.
"Oke!" kataku santai.
Demang terdiam, lalu aku sadar jika mungkin di dunia ini atau zaman ini tidak ada kata 'oke'.
"Baiklah," ralatku. "Sekarang, jawab yang aku tanyakan barusan," perintahku.
Enak juga ya asal main perintah begini. Seandainya di keluarga aku bagaikan raja karena predikat anak bungsu plus anak laki-laki satu-satunya, ketiga kakak perempuanku tak akan semena-mena padaku.
Hah!
"Paduka sangat dekat dengan Selir Singka. Meskipun tidak ada kaitan darah, sejak kecil Selir Singka hanya menganggap Paduka sebagai teman dan kakak baginya, karena hanya Paduka yang melindunginya sejak dulu."
"Oh ... karena itu ia memanggilku dengan sebutan lain, ya?" gumamku, tapi sepertinya Demang dengar.
"Apa semua selir memanggilku dengan sebutan Ulu?" Demang menggeleng.
"Ulu adalah panggilan bagi adik perempuan kepada kakak laki-laki di dalam keluarga kerajaan."
"Oh ... Abang maksudnya?"
"Abang?" Jelas saja Demang bingung.
Banyak kata dan sebutan yang berbeda dengan duniaku. Apa tidak ada kamus di sini supaya aku paham apa yang harus aku katakan di zaman ini?
Nambah-namahin beban pikiran saja. Uh!
"Tidak ... abaikan saja," ucapku.
"Baik, Paduka."
Sepenurut inikah Demang? Sepertinya kalau dia disuruh pargoy mau-mau saja. Tapi sayang, dia tak tahu pargoy.
"Lalu ... apa benar aku berniat bunuh diri di danau itu? Kau bilang aku sempat bertengkar hebat dengan ratu. Benar begitu?"
"Ampun, Paduka ... hamba tidak tau pasti dengan apa yang terjadi malam itu. Yang pasti, saat hari kejadian di mana Paduka tenggelam adalah bertepatan dengan hari peringatan kematian Pangeran Sangki."
"Oh, ya?" Demang mengangguk. "Tapi ... Singka mengatakan jika aku mau bunuh diri karena ratu yang meminta. Apa itu mungkin?"
"Ratu memang selalu ingin membalas dendam pada Paduka, tak salah jika Selir Singka berpikir seperti itu."
Masuk akal.
"Apa ... em ... bagaimana ya bilangnya?" Aku harus hati-hati dalam berucap. "Begini ... em ... apa menurutmu ... itu ... maksudku ... apa dia jahat?"
Demang memandangku seolah bingung, tapi juga seperti tak terima pada pertanyaanku. Tapi gimana? Aku belum bertemu dengan yang namanya Ratu Wisha, pun katanya ratu itu pendendam pada Si Langki. Artinya jahat, kan?
"Banyak yang menilainya kurang pantas menjadi seorang ratu, tetapi ... Paduka Raja Langki tidak berpikir demikian," ucap Demang.
"Kenapa?"
"Ampun, Paduka ... hamba tidak berani memberikan pandangan pribadi dalam menilai ratu negeri ini."
Hah!
Demang begitu kuat pada pendiriannya. Kalau di zamanku, dia cocok jadi teman curhat yang mumpuni menjaga rahasia, dijamin tak akan bocor ke mana-mana. Sayangnya, di zamanku sosok dia adalah Made yang mulutnya ga bisa dijaga. Tapi dia baik, sih.
Kalau Demang nge-rem terus menjawabku dan tidak memberikan bocoran apa-apa, artinya aku harus mencari sendiri di sisa waktu 995 hari ini.
Bagaimana caranya?
Apa aku harus bertemu dengan Ratu Wisha? Bagaimana kalau dia membahas yang terjadi malam itu? Gawat betul ini. Demang saja tidak tahu yang terjadi pada saat itu, yang berarti hanya Si Langki dan ratunya yang tahu.
Sekarang Si Langki adalah aku yang justru tidak tahu apapun. Kalau begini, Ratu Wisha juga pasti dengan mudah menebak jika aku bukanlah raja yang asli.
Alamat bakalan modar sebelum waktunya kembali ini.
Wasallam dah ....
~ o0o ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top