CHAPTER IV

Important note:
Cerita ini tidak ada kaitannya dengan sejarah, kerajaan, maupun legenda manapun. Secara tak sengaja mungkin ada hal yang mirip, tapi tidak ada kaitannya.
Cerita ini pure/murni berasal dari imajinasi author yang terinspirasi dari berbagai kisah dan hal random, karenanya cerita ini bergenre FANTASI, bukan autobiografi.

Harap memahami.
Sekian dan terima nasib.

====================

Demang belum kembali. Aku masih berbaring, entah mengapa tubuhku terasa lemas. Sesekali bersinku kumat, pun ingus meleleh dengan memalukannya.

Terlebih lagi, ada dua orang dayang yang menemani. Mereka mengenakan kemen atau kain yang melilit hingga menutupi dadanya, tapi gunung kembarnya tetap menyembul padat.

Sebagai seorang lelaki normal nan dewasa, tentu saja tak bisa memalingkan mata dari pemandangan yang menggiurkan itu. Tapi, aku tak berniat bertindak senonoh meskipun titelku sekarang sebagai raja.

Kedua dayang itu berdiri di sisi kanan dan kiri ranjang emas ini. Mereka tersenyum, tapi lebih pada ekspresi tersipu. Entah apa maksudnya, mereka melepaskan ikat pinggang dari lekukan pinggul mereka. Entah itu ikat pinggang atau apa, tapi dari pengamatanku itu sejenis selendang, tapi lebih lebar sehingga membentuk lekukan yang pas. Cara pasangnya mirip seperti penari Jaipong, kalau tidak salah.

"Mau apa?" Sontak tanganku menampik.

Hampir saja salah satu dayang menyingkap kain yang aku kenakan. Seingatku, celana dalam pun tak ku pakai, jadi juniorku menggelantung pasrah tanpa perlindungan.

"Hamba harus membersihkan tubuh Paduka dan mengganti kain basah ini, Paduka," ucapnya lembut, namun terdengar sensual di telingaku.

"Apa kamu ingin menyentuhnya?" Dayang itu tersenyum, tersipu hingga pipinya memerah.

"Sudah tugas hamba, Paduka."

"Tidak!" seruku spontan.

Meskipun aku suka maksiat dengan minum-minum, kelabing, dan merokok, tapi untuk urusan juniorku yang masih perjaka tingting, aku hanya membiarkan tanganku saja yang memanjakannya.

Ini adalah aset privasiku. Apa maksudnya sudah menjadi tugasnya menyentuh milikku? Apa seorang raja memang seperti itu? Membiarkan para dayangnya mengurus otongnya.

Pantas saja semalam raja ini bertengkar dengan ratunya. Mana sudah punya banyak selir, masih saja umbar syahwat kepada dayangnya. Kasihan Ratu Wisha.

Sebentar ... apa aku sedang menjulidi diriku sendiri? Kan aku rajanya. Ah ... pusing.

"Kalian siapkan saja pakaianku, lalu keluar," perintahku.

Mereka menunduk lesu seakan kecewa tak dapat mengelus rudal sang raja. Aku tak ingin berpura-pura menjadi Raja Langki, tapi bagaimana caranya menjelaskan situasinya?

Aku tak tahu bagaimana tampang Raja Langki, aku belum menemukan lukisan atau potret apapun. Dan ... aku butuh cermin.

"Berikan aku cermin," pintaku.

Dayang itu menyerahkan sebuah cermin berbingkai emas. Aku membelalak, ternyata wajah Raja Langki dan diriku sama persis. Tadinya aku pikir jiwaku terempas entah ke mana dan masuk ke raga raja ini.

Mungkin aku kebanyakan nonton film fantasi yang bertemakan arwah tertukar. Jika aku dan tubuhku di sini, lalu Raja Langki yang asli ke mana?

Terakhir aku teringat berada di kolam melukat, lalu tertarik dan tenggelam, kemudian terbangun di pinggir danau pada zaman entah kapan, dan tiba-tiba sudah menjadi raja begitu saja.

Apa mungkin Raja Langki bertukar zaman denganku? Ya ampun. Kepalaku rasanya ngebul memikirkannya.

"Paduka ...." Demang datang dengan seorang konah.

Meskipun kepalaku pusing, aku berusaha duduk. Agak risih rebahan hanya dengan mengenakan kain, sementara dada telanjang, pun tak memakai dalaman.

Apa di sini ada dalaman yang bernama kancut? Mungkin aku akan tanya pada Demang.

"Mengapa Padukaa masih mengenakan kain basah? Apa da---"

"Tidak!" selaku. "Kamu bantu aku," pintaku.

Demang mengerjap, namun kemudian bergegas membantuku berganti pakaian. Konah yang tadi sudah muncul terpaksa di suruh keluar lebih dulu.

Saat aku bersama Made, kami sudah terbiasa bersikap konyol, bahkan telanjang saat dia menginap di kosanku. Bukan berarti kami penyuka sesama jenis, tapi karena kepanasan.

Karena Demang mirip dengan Made, jadi aku merasa lebih nyaman saat dia membantuku. Bukan para dayang yang notabene perempuan dengan gunung kembar montok-montok. Itu sangat berbahaya.

Demang membantuku mengenakan sehelai kain panjang seperti selendang, dan dia melilitkannya di antara selangkanganku. Oh ... begini kancut dalam versi mereka ternyata.

Kemudian dia memakaikan kain lembaran, sangat mirip seperti pemakaian kain ala laki-laki Bali, hanya saja lipatan depannya mirip seperti memakai sarung. Kemudian, tubuhku di selempangkan selendang Panjang yang sepertinya kain sutra sehingga menutupi kedua bahuku. Terakhir, sebuah jubah sutra agak tebal dan panjangnya hingga mata kaki.

Kata Demang, ini adalah pakaian raja saat sedang beristirahat, dan warnanya pun putih. Jika memang hanya istirahat, mengapa harus diselempang bahkan dililit kain segala? Ribet banget.

Kemudian Demang memanggil konah, dan mempersilakannya untuk memeriksa kondisiku. Cara diagnosisnya pun mirip tabib-tabib di film-film Cina. Lalu, konah itu membuka kotak kecil yang dibawanya.

Aku pikir dia akan mengeluarkan jarum akupunktur, ternyata mengeluarkan beberapa ramuan yang aku lihat seperti akar-akaran. Mungkin akar gingseng atau sejenisnya.

Setelah berbicara pada Demang, kemudian konah itu pergi. Seandainya di zamanku sekarang, cukup minum tolak angin saja sudah cukup membuat pergi masuk angin ini.

"Paduka, istirahatlah. Hamba sudah meminta dayang untuk merebus ramuannya."

Aku hanya mengangguk. Sekarang, di otakku berkecamuk banyak pertanyaan. Dengan memberi isyarat, aku meminta Demang untuk duduk di dekatku.

Entah hanya perasaanku atau memang Demang begitu takut pada Raja Langki. Seberapa tegas dan galaknya Raja Langki sampai membuat para bawahannya ketakutan? Sesadarnya aku sekarang, aku tak merasa bicara dengan nada tinggi.

"Demang ...."

"Iya, Paduka?"

"Apa aku kejam?" Entah kenapa pertanyaan itu yang terlontar.

Demang menunduk, sangat kentara tubuhnya gemetar. Meskipun dia tak menjawab secara lisan, tapi bahasa tubuhnya sudah memberiku jawaban.

"Jangan takut, Demang. Angkat kepalamu."

Dengan ragu-ragu, Demang mengangkat perlahan kepalanya, namun tak berani menatapku. Kekejaman apa yang sudah Raja Langki lakukan?

"Demang, apa aku punya anak?"

"Ti-tidak, Paduka ...."

"Kenapa?" Aneh sih menurutku.

Raja punya ratu dan juga selir, masa tak punya anak satupun? Apa raja ini mandul? Tak mungkin. Kalau mandul, kenapa dayang-dayangnya berharap di gagah oleh rajanya?

Secara logika, dayang pasti berharap dihamili raja supaya diangkat jadi selir atau apalah yang bisa menjadikannya punya kedudukan. Kok aku bingung, ya?

"Katakan, Demang. Aku tak akan marah padamu," pintaku.

"Tapi, Paduka ...."

"Aku tau konah mengatakan sesuatu padamu. Dia benar, Demang. Aku tak mengingat masa laluku."

Demang tersentak mendengar ucapanku. Aku sempat mendengar konah bicara sangat pelan pada Demang dan mengatakan jika aku memiliki masalah pada ingatan. Setidaknya hal itu bisa aku manfaatkan untuk mengetahui bagaimana Raja Langki yang sebenarnya.

"Kalaupun aku nanti sembuh dan ingat semuanya, aku tak akan menyalahkanmu, Demang. Jadi ... ceritakan saja. Semuanya."

"Paduka janji tidak akan menghukum hamba?"

Sepertinya Raja Langki gemar ingkar janji sampai bawahannya memastikan hal itu.

"Aku janji, Demang."

Akhirnya, meskipun terbata-bata dan sedikit ketakutan, Demang pun mulai bercerita. Ternyata Raja Langki lumayan kejam. Tidak, tapi sangat kejam.

Raja Langki tega membunuh kakaknya yang seharusnya menjadi raja dan menikahi Ratu Wisha dengan paksa. Sementara, ketujuh selirnya meninggal karena dibunuh olehnya karena ketahuan mengandung.

Pantas raja ini tak memiliki keturunan. Selirnya sudah hamil malah dibunuh. Intinya, Raja Langki ini gemar bunuh orang. Pelayan yang tak sengaja numpahin air saja bisa langsung di eksekusi.

Seharusnya sudah benar raja ini mati tenggelam saja di danau itu. Kenapa aku yang harus muncul di sini dan menjadi sosoknya?

Siapa yang menskenariokan kemustahilan semacam ini? Sungguh tak masuk akal.

~o0o~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top