CHAPTER III

Telingaku berdengung.

Punggungku terasa kebas dan lumayan sakit. Siapa yang memukul-mukul punggungku?

"Paduka ...."

Suara siapa itu?

Sesuatu mendesak dari dalam dada, dan tiba-tiba membuatku terbatuk-batuk. Lagi, aku mendengar suara-suara, bukan satu orang, tapi beberapa orang.

Aku mencoba membuka mata, ternyata tubuhku di timang dua orang dalam posisi tertelungkup dan kepala menunduk.

"Paduka sudah sadar!" seru seseorang.

Tubuhku di balik, lalu di baringkan begitu saja. Cahaya matahari menyilaukan mata, dan siluet beberapa orang mengelilingiku.

Tunggu!

"Paduka, anda tidak apa-apa?"

Aku mengerjap dalam kebingungan. Seingatku masih malam, kenapa sudah siang? Lalu ... apa Made kesurupan jurik? Kenapa dia memanggilku Paduka?

"Made ... kita di mana?"

Bukannya menjawab, Made justru kebingungan, menoleh ke sana ke mari. Lalu dia berkata kepada dua orang yang berada di sisi kanan dan kiriku untuk mendudukanku.

"Paduka, ini berapa?" tanya Made dengan menunjukkan dua jarinya.

"Dua," jawabku terbatuk-batuk.

Semakin aku menyelami kesadaran, aku pun mulai merasa ganjil. Mengapa Made memakai baju prajurit seperti masa Majapahit? Pun, tak ada tato di lengannya.

Ini di mana?

Kepalaku celingukan, mataku memindai ke sekitar. Ini tak seperti di kolam melukat tadi, melainkan di pinggir danau. Di belakangku berbaris dayang dan prajurit mirip zaman kerjaaan, meski aku tak yakin kerjaan apa.

"Ayo! Angkat Panduka. Kita harus segera kembali ke Puri."

Tiba-tiba tubuhku diangkat dan di dudukkan di atas kursi tandu lengkap dengan hiasannya. Apa pendengaranku bermasalah karena kemasukan air? Made menyebutkan Paduka, tapi akulah yang diangkat. Apa aku adalah raja?

Bagaimana bisa?

Isi kepalaku kacau. Hal-hal di luar nalar tiba-tiba menyerang, dan sontak membuatku semakin pusing. Lantas aku menutup mata, berharap ini semua hanya khayalan.

Hingga akhirnya rombongan memasuki gapura besar yang tersusun dari bebatuan, mirip candi-candi prasejarah. Ketika tanduku melintas, semua orang bersimpuh dengan kepala menunduk.

Apa benar aku seorang raja? Pertanyaan yang tak ku temukan jawabannya.

Semakin masuk, suasana terasa semakin aneh. Mereka membawaku memasuki sebuah benteng, begitulah pemahamanku. Angkul-angkul besar berukir yang begitu indah seolah benar jika aku tengah berada di sebuah kerajaan.

Tibalah di sebuah bangunan besar nan luas layaknya istana. Sekilas seperti rumah joglo, tapi teras dan setengah dindingnya dibangun dari batu cadas dan lengkap dengan ornamen ukiran menghiasi setiap sudutnya. Lantainya pun dari marmer.

Sekilas tadi aku mendengar kata "puri", ya ... kurang lebih mirip seperti kediaman Raja Bali di Ubud yang masih eksis hingga sekarang, hanya saja ini tampak lebih klasik.

Kini aku di baringkan di atas ranjang kayu berukir dan berlapis emas. Sekilas tampak seperti di film-film Thailand, tapi tidak ada pagoda. Ini di mana?

"Kain Paduka basah, hamba akan perintahkan dayang untuk menggantinya."

"Made!" Aku menahan lengan Made yang hendak pergi.

"Paduka, ada apa?" Dia tampak cemas.

"Lo ... lo tau kita di mana?" tanyaku.

"Lo?" Dia tampak kebingungan. "Apa itu, Paduka?" imbuhnya bertanya.

"Lo ... manggil gue apa?" Aku hanya ingin memastikan.

"Gue? Paduka ... apa yang terjadi? Kata-kata apa yang Paduka ucapkan?"

Benar-benar!

Aku menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. Sesekali menutup dan membuka mata, memastikan jika aku tidak bermimpi dan Made tidak kesurupan jurik dengan memanggilku Paduka.

"Kamu tau kita ada di mana, Made?"

"Oh ... kita sudah berada di Puri, Paduka . Dan ... hamba Demang, mengapa Paduka memanggilku dengan nama Made?"

Dia bukan Made? Tapi kenapa wajahnya plek ketiplek seperti Made? Lalu, ini di istana atau puri mana? Dan aku siapa?

"Sebentar ...."

Aku adalah orang tersabar, tapi kali ini menjadi orang terbodoh. Otakku belum menangkap kolerasi dalam situasi ini. Mengapa aku dipanggil Paduka, dan mengapa Made menjadi Demang?

Jika aku adalah raja, maka raja siapa? Apakah Raja Domani seperti nama asliku? Lalu, apakah aku punya 3 kakak perempuan yang selalu menyuruhku ini itu seperti pembokat?

"Made ... em maksudku Demang, apa aku boleh bertanya?"

Baru kali ini aku bicara dalam bahasa baku. Lidahku agak kelu, serasa sedang ikut ujian tata bahasa yang baik dan benar.

"Tentu saja, Paduka."

"Aku ... aku siapa?"

"Paduka ... apa anda baik-baik saja?" Dia terkesiap, namun lebih menunjukan ekspresi cemas.

"Aku bertanya, Demang."

"Ampun, Paduka ...." Tiba-tiba Demang berlutut dan menunduk ketakutan.

Made yang aku kenal sudah pasti meledekku habis-habisan. Tapi Demang justru ketakutan tanpa sebab, padahal aku hanya bertanya.

Fix! Dia memang bukan Made.

"Paduka adalah raja keempat dari keturunan Dinasti Waiyah bernama Raja Langki. Ampun, Paduka ... apa Paduka tidak mengingatnya?"

Oh ... namaku Langki. Aku tak pernah mendengar nama Dinasti Waiyah, apa karena aku selalu bolos pelajaran sejarah?

"Paduka ...."

"Ah ... sepertinya kepalaku banyak kemasukan air," kilahku.

"Hamba akan panggilkan konah."

"Tunggu!"

Demang kembali berlutut dan menunduk. Aku tak tahu konah itu siapa dan apa, dan aku tak tahu siapa-siapa selain Demang yang sangat mirip dengan Made.

"Demang, bangun!" titahku pelan.

Demang ragu-ragu, tapi aku memintanya supaya berdiri saja. Aku merasa segan jika dia bersimpuh dan menunduk seperti itu. Mungkin itu adalah aturannya di dinasti ini, tapi aku bukanlah bagian dari khayalan ini.

Setelah Demang berdiri dengan sikap sangat sopan, namun berwibawa. Sepertinya dia bukan sekadar pelayan raja. Apakah dia seorang tangan kanan raja? Bisa jadi.

"Aku sedikit merasa linglung, bukan hanya tak ingat. Bisa kamu ceritakan lagi siapa aku dan di mana kita sekarang?"

"A-apa Paduka yakin?" Aku mengangguk.

Demang mulai bercerita, bahwa aku benarlah seorang raja bernama Langki. Kerajaan yang aku pimpim sekarang bernama Wahgia. Katanya, aku memiliki seorang ratu dan 10 selir, hanya saja kini tinggal 3 selir.

Dalam hati ingin bersorak. Mengejar satu Wisha saja aku begitu kesulitan, sementara di sini aku memiliki banyak pasangan. Memang ya, menjadi raja tinggal tunjuk yang di mau.

"Semalam ... sebelum kejadian, Paduka bertengkar hebat dengan Ratu Wisha."

"Siapa?" pekikku spontan. "Kamu menyebut siapa?" Mungkin pendengaranku agak terganggu.

"Ampun, Paduka ...." Sekali lagi, Demang berlutut ketakutan.

Demang menyebut nama ratuku adalah Wisha? Apa tidak salah? Bagaimana tampangnya? Apakah seperti Wisha incaranku? Aku penasaran.

Namun, rasa penasaranku terusik oleh gemetar tubuh Demang yang berlutut. Apa dia setakut itu pada raja?

"Kenapa kamu gemetar?" tanyaku.

"Ha-hamba telah berdosa ...."

"Berdosa apa?" Aku tak melihatnya melakukan hal yang senonoh.

"Hamba ... hamba telah menyebut nama ratu di hadapan Paduka. Ampuni hamba ...."

Apa yang salah? Apa aturannya memang tak boleh menyebutkan nama ratu di hadapan raja? Jika menyebutnya di belakang raja sama saja artinya gibah, justru itulah yang berdosa.

"Sudah ... berdirilah. Dan ... ha--haaacuuuu!"

Bersin sialan!

Demang panik dan langsung melesat memanggil dayang. Sementara dia pergi untuk menjemput konah yang ternyata adalah sebutan bagi petugas medis. Mungkin sejenis tabib.

Aku jadi teringat, saat terserang flu justru kena omel ibu dan dikerjai kakak-kakakku. Bukannya memberiku obat, justru dengan santai menyantap es krim di depanku. Jelas, aku juga kepingin.

Ah ... mengapa masa itu berbeda dengan masa ketika aku di sini? Sebenarnya aku di mana?

~o0o~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top