CHAPTER II
Tepat pukul 9 malam, aku dan Made berangkat dari rumahnya menuju tempat melukat. Kata dia, butuh waktu 1,5 jam dengan kendaraan, dan setelahnya berjalan kaki kurang lebih 20 menitan dari tempat parkir menuju kolam pelukatannya.
"Nggak bisa pas lo libur, gitu? Cari siang hari gitu ...." Aku hanya heran saja.
"Momennya cuma bisa sekarang," jawabnya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Lo nggak lihat?" tunjuknya ke arah bulan.
Aku baru sadar jika bulan malam ini ukurannya sangat besar, dan juga warnanya agak kemerahan. Apa sekarang gerhana bulan darah? Aku juga ragu ada nama gerhana seperti itu.
"Kata nenek gue, hari ini kekuatan alam bersatu dan baik buat penyucian jiwa."
"Lo percaya tahayul?"
"Percaya nggak percaya, sih ... tapi kalau untuk kebaikan kenapa nggak?" Aku tertawa.
"Untung gue nggak punya nenek," gurauku.
Mungkin, kalau nenekku masih ada sikapnya akan seperti neneknya Made. Kata ibuku, ilmu kejawen nenek pakem, jadi apapun yang dilakukan bersadarkan primbon. Mau keramas saja harus mencari hari baik.
Tidak masuk akal.
Laju kendaraanku semakin masuk ke pedesaan, jauh dari hiruk-pikuknya perkotaan. Semakin jauh menelusuri jalan yang semakin sempit, pun rumah-rumah warga semakin jarang ditemui.
Hanya pepohonan dan rumput ilalang berlatar gelap yang menghiasi perjalanan kami. Terangnya sorot lampu mobil adalah satu-satunya cahaya dalam perjalanan.
"Lo sering ke sini?" tanyaku.
"Em ... ini ketiga kalinya," jawab Made.
Aku tahu tempat melukat yang terkenal, kenapa dia tak ke sana saja? Kenapa harus ke ujung berung begini? Ini entah di mana, yang jelas sudah masuk area hutan.
'Tuh ... di situ," tunjuknya.
Ada sebuah gapura bambu dengan plakat kayu membentang bertuliskan nama kolam pelukatan itu. Parkiran kerikil cukup luas, bisa menampung sampai 5 mobil berjejer. Tapi malam ini tak ada kendaraan lain selain mobil milik Made.
"Lo yakin?" tanyaku.
"Karena gue nggak yakin sendiri, makanya gue ngajak lo," ledeknya.
Dasar!
Kadang, Made orangnya penakut, tapi sok pemberani. Aku bukannya takut, hanya saja sangsi ada kehidupan di dalam sana. Aku curiga, Made ikut sekte tertentu di dalam hutan.
"Lo takut?" ledeknya.
"Kagak!" sungutku.
Akhirnya kami keluar mobil. Dengan bantuan senter yang kami bawa, pun lantas masuk melewati gapura bambu itu. Jalan setapak menurun dari batuan besar tersusun rapi membentuk tangga.
Suara jangkrik, burung hantu, bahkan gesekan ranting menjadi lagu pengantar perjalanan kami. Made berjalan di depanku, dan dia terus memintaku mengeluarkan jokes yang bisa membuatnya lupa akan gelap.
Sekian lama berjalan, akhirnya kami hampir tiba. Dari pandangan terbatasku, di ujung sana nampak cahaya seperti api. Kata Made itu obor penerang. dan ternyata memang ada sebuah pondok.
"Om Swastiastu," ucap Made menyerukan salam.
Tiba-tiba muncul seorang kakek dengan jenggot putih lebat, dan rambutnya di ikat seperti sanggul di pucuk kepalanya. Pakaiannya serba putih dan jari-jarinya dihiasi cincin dengan manik berbagai warna.
"Om Swastiastu," balas kakek itu. "Mau melukat?" tanya beliau.
Kakek itu adalah seorang Mpu yang tengah menjalani proses meditasi sekaligus penjaga tempat ini. Aku pikir beliau akan berbicara dalam bahasa daerah yang jelas aku tak akan mengerti. Tapi Mpu itu cukup fasih berbahasa nasional.
"Tunggu sebentar lagi, masih ada yang melukat," kata Mpu itu.
Sontak mataku tertuju pada kolam dengan dua buah pancuran yang berada di sisi dekat tebing. Tak ada siapapun disana, tapi aku mendengar seolah air di kolam di sibak-sibak.
"Mereka tak seperti kalian, tapi mereka ada dan berlaku seperti kalian," ucap Mpu seakan menjawab kebingungan kami.
Mungkin sejenis jurik seperti di daerah asalku. Entahlah, aku juga tak peduli. Kami pun dipersilakan duduk di teras pondok, sementara Made melepas pakaiannya dan berganti mengenakan kain.
Mpu tersebut kembali masuk ke dalam pondoknya. Sekian lama hening, tiba-tiba Mpu itu keluar lagi dengan membawa sehelai kain putih.
"Pakai ini," ujarnya dan menyerahkan kain itu padaku.
"Oh ... maaf, saya nggak ikut melukat. Saya cuma nganterin."
Made mencoba membantu menjelaskan, namun Mpu itu justru terkekeh. Mpu itu menarik tanganku dan memberiku kain tersebut.
"Mereka sudah selesai," ucapnya sembari melirik ke kolam.
Made pergi lebih dulu, sementara aku masih bingung dengan kain ini. Mpu itu mengatakan jika melukat bukanlah hal yang rumit, tapi tak juga sederhana. Mantra tak terikat, terpenting niat dan tujuan, niscaya bahasa jiwa pun akan menyertai dalam proses pembersihan.
"Jika kamu tak menemukan tujuanmu di sini, maka kamu akan menemukannya di tempat lain."
Aku tertegun dengan kalimat tersebut. Apakah Mpu tahu alasanku berada di Bali karena Wisha? Apa Wisha memang bukan jodohku? Entahlah. Aku sulit mempercayainya.
"Lekaslah, pintu alam sebentar lagi akan terbuka." Dan setelahnya Mpu kembali masuk ke dalam pondoknya.
Dalam kebingungan, tanganku bergerak cepat berganti pakaian. Beruntung, Made pernah mengajariku cara memakai kain ala pria Bali.
Semilir angin malam membelai dada telanjangku. Sumpah! Ini dingin banget. Made tampak sedang berdoa sebelum ia melukat. Aku berdiri di pinggir kolam, cipratan air saja sudah membuat bulu kudukku semeriwing.
Aku menarik napas panjang, kemudian melepasnya dengan pelan. Satu kaki ku celupkan dengan pelan, sontak tubuhku bergidik dingin. Kini aku telah berdiri di dalam kolam, tepat di depan salah satu pancuran.
Made di sebelahku sudah mulai merendamkan setengah badannya sambil merapal doa-doa. Sedangkan aku bingung, doa apa yang harus aku panjatkan?
Teringat sekilas pesan Mpu tadi, jika mantra tak terikat, niscaya bahasa jiwa mampu menyertai. Ya sudah, sekenanya saja. Ragu-ragu aku melirik Made dan mencoba mengikuti caranya.
Aku tenggelamkan setengah badanku, dan itu membuat jari-jari kakiku membeku di dalam air. Mata mulai ku pejamkan, dan kedua tangan menyakup di dada.
Sebanyak 3 kali membiarkan kepala di guyur di bawah pancuran, lalu kembali merapalkan doa seraya menunduk. Tiba-tiba, suara genta terdengar mengalun dari dalam pondok. Mungkin Mpu memulai meditasinya.
Apa ini?
Sesuatu terasa membelai kakiku. Aku mengabaikannya, berusaha fokus dan merapalkan keinginan yang aku sendiri random saja mengutarakannya. Aku hanya ingin cepat selesai.
Lagi.
Kali ini terasa seperti ekor kucing berputar-putar mengelilingi kakiku. Apa di dalam kolam ada ikannya? Lantas aku melirik Made yang tampak tak terusik apapun. Ah ... mungkin halusinasiku saja.
Suara genta terus mengalun, dan aku tetap melanjutkan prosesi mengikuti Made. Tiba-tiba, sesuatu membelit kakiku.
"Made ... Made ...." bisikku memanggilnya.
Tapi Made seakan tak mendengarku. Aku berusaha menggerakan kaki, tapi tak bisa. Tubuhku yang awalnya terendam setengah badan, perlahan semakin tenggelam seolah ditarik ke dalam kolam.
"Made .... tolong ...."
Aku berusaha menggapai lengan Made, tapi tak terjangkau. Aku berseru memanggilnya dan juga Mpu untuk meminta pertolongan, tapi tak ada yang bergeming.
Hingga, kepalaku mulai tenggelam dan aku berusaha menarik diri ke permukaan, tapi sia-sia. Aku mulai tak sadarkan diri dan semuanya gelap.
Benar-benar gelap.
~o0o~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top