CHAPTER I
Made, salah seorang rekan kerjaku yang tak lain adalah warga lokal, tapi kelakuannya lumayan menjengkelkan. Dia baik, tapi suka meledekku.
Tak salah juga, cuma memang nasib percintaanku yang tak pernah mujur. Wajar saja menjadi target utama dalam dunia ejek mengejek.
"Lo nyerah aja, Dom. Si Wisha levelnya beda sama lo." Made begitu puas tertawa.
Level ketebalan dompet memang sangat jauh berbeda, tapi segi tampang aku berani menyandingkan diriku dengan Pangeran Mateen dari Brunei. Sebelas duabelas, cuma rambut dan retina mataku yang agak kecoklatan.
"Lo mending nyari cewek bule aja, Dom. Lo incaran banget, sumpah!"
Ya, gadis asing dari barat memang tak diragukan lagi bibit unggulnya. Tubuh tinggi, ramping, kulit putih, seperti tak ada sisi abnormalnya. Tapi hati dan pikiranku terlalu bodoh karena bertahun-tahun hanya tertuju pada Wisha, gadis incaranku sejak SMA.
Wisha itu cantik luar dalam di mataku. Kulit kuning langsatnya selalu berhasil menarik ambisiku untuk menggenggam tangannya, tapi sayang tak pernah bisa. Senyuman dari bibir tipisnya tak pernah membosankan. Bulu matanya yang lentik begitu cantik menghias mata bulan sabitnya.
Saat dia tersenyum, bahkan tertawa, matanya selalu melengkung sempurna bagaikan bulan sabit. Siapa yang tak terpesona? Aku yakin, kakek-kakek lemah syahwat juga akan kembali perkasa ketika melihat senyumnya.
"Kalau gue jadi lo, Dom, gue udah nyerah ngejar-ngejar Wisha."
"Kenapa?" tanyaku.
"Gue nggak mau ibu gue punya mantu begitu."
Aku mungkin belum genap 2 tahun merantau, pun bekerja di bar ini. Tapi Made sudah hampir 4 tahun bekerja di sini. Dia tahu Wisha meskipun tak kenal dekat. Dia tahu apa yang dilakukan Wisha setiap datang ke bar ini.
"Selain fisiknya yang bohay, lo ngebet sama dia tuh apanya sih, Dom?"
Baru kali ini Made bertanya lebih dalam. Aku sendiri tak tahu pasti, hanya saja aku merasa senasib dengannya. Di lubuk hatiku yang entah dalamnya seberapa, merasa jika aku harus bersamanya, menemaninya, dan menghiburnya.
Ya memang itu yang aku lakukan sejak SMA, bahkan hingga aku nekat mengejarnya ke Bali. Tapi tetap saja, keberadaanku hanyalah sebatas teman penghibur baginya. Tak pernah lebih.
"Dia tuh ... baik sebenarnya, cuma ... kayak batasi diri gitu. Ya ... semenjak kejadian keluarganya, dia kayak nggak mau punya hubungan spesial dengan siapapun."
"Gue pernah dengar itu," sahut Made.
Wisha memang selalu tampak ceria, tapi dalam momen tertentu dia begitu dingin seolah tengah memasang dinding tebal. Kesalahan orang tuanya berimbas padanya, dan Wisha selalu beranggapan bahwa dirinya akan sama seperti orang tuanya.
Pernah, aku mencoba bicara sekonyol-konyolnya di depannya berharap menghibur dan juga mencoba menarik perhatiannya. Tapi yang aku dapatkan justru tamparan manis mendarat membekas merah sempurna di pipi kananku.
"Gue nggak butuh cowok permanen," ucapnya pada saat itu.
Dia tak menangis, tak juga tampak marah. Tatapannya datar seakan tak berperasaan. Saat itu aku berpikir jika menjadi humoris belum cukup membuatnya bahagia.
Tanpa diduga, begitu lulus SMA dia pergi begitu saja, pun tak ikut momen huru-hara ala kelulusan yang doyan corat-coret seragam. Tak ada yang tahu keberadaannya, bahkan sosial medianya pun lenyap seakan tak pernah ada.
Ketika masa kuliah dan kebetulan ikut studi banding ke Bali, saat itulah aku tak sengaja melihatnya di salah satu pantai. Kala itu aku hendak menyapa, tapi ternyata ada seorang pria bersamanya.
Bagaikan intel profesional, aku mencari semua tagar tentang pantai yang aku kunjungi di media sosial. Pada akhirnya aku menemukan fotonya persis seperti saat di pantai itu. Ternyata, ia tinggal di Bali sejak lulus SMA.
Itulah mengapa aku sekarang di sini, masih berusaha meluluhkan hatinya. Aku sudah menembaknya berkali-kali, dan jawabannya tak pernah berubah. Wisha tak memusuhiku, ataupun risih saat bertemu denganku.
Teman.
Itulah alasannya tetap welcome ketika berbincang, bercanda, bahkan ketika aku memcoba serius untuk menembaknya untuk kesekian kalinya. Wisha masih tetap dengan pendiriannya. Ya ... setidaknya dia tak melayangkan gamparan lagi di wajahku.
"Dom, besok lo libur, kan?" Aku mengangguk. "Mau ikut gue?"
"Ke mana?"
"Melukat," kata Made.
Aku tertawa bukan karena merendahkan tradisi itu. Hanya saja Made tahu jika aku adalah penganut paham agnostiktheisme biar kata di KTP tertulis jelas identitas agamaku. Meskipun aku percaya adanya Tuhan, tapi aku meragukan dan tak mengakui konsep eksistensinya.
Aku lupa terakhir kali berdoa, yang jelas Tuhan tak pernah mengabulkannya. Aku tak ingin mencari keberadaan-Nya. Aku tak menampik jika suatu saat akan berubah, tapi tidak untuk saat ini.
"Gue nggak ngajak lo pindah agama, Dom."
"Gue tau ...."
"Lo butuh ketenangan batin, Dom. Melukat bukan cuma pembersihan jasmani, tapi juga jiwa. Kali aja lo dapet pencerahan gimana caranya dapetin Wisha, kan?"
"Batin gue dikasi sebotol amer juga udah tenang, ha ha ha ...." kataku dengan tawa.
Orang bilang apa yang aku lakukan itu maksiat, tapi yang aku rasakan justru apa yang aku butuhkan. Aku mampu menghibur siapapun dengan tingkah konyol, tapi tak ada yang bisa menghiburku sebaik si miras.
Aku bisa melupakan rasa sakit dalam semalam, dan esoknya aku kembali dengan mode normal seakan tak pernah terjadi apapun. Hanya itu yang aku butuhkan.
"Udah ... lo ikut aja, ya?"
"Ogah!"
"Dih ..." Made mencebik. "Ya udah, kalau lo nggak ikutan, tapi temenin gue, ya?" pintanya.
"Tumben-tumbenan lo minta gue temenin, ada apa?" Aku jadi curiga.
"Nggak ada apa-apa, curigaan amat sih lo!"
Sebenarnya besok Jumat rencananya aku ingin pergi ke sebuah kelab malam yang cukup terkenal. Desas-desus mengatakan jika Wisha akan ke sana bersama laki-laki yang menyewanya.
Made tetap gigih supaya aku menemaninya besok malam untuk melukat ke suatu tempat yang kata dia lumayan jauh dari keramaian. Kadang aku mengerti jika Made mencoba melindungiku supaya aku tak melihat kelakuan Wisha. Hanya saja aku buta akan hasrat terpendam ini.
"Lo kan jago nyetir malem-malem, Dom ... ya temenin gue, ya?" Made terus mendesak.
Aku pun akhirnya mengangguk pasrah. Lagipula, untuk apa dia pergi melukat malam-malam? Tapi tak salah juga, besok siang dia ada shift kerja dan baru pulang jam 7-an malam.
Pada akhirnya aku menyerah kali ini untuk tidak menguntit ke mana dan dengan siapa Wisha menghabiskan malam. Untuk kali ini, aku mencoba cara lain untuk menenangkan batin.
Mungkin.
~o0o~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top