XI. Kerinduan [2/2]

Matahari sudah tinggi, tetapi untungnya tidak terlalu terik.

Tadi pagi, Akira melaksanakan pekerjaan dan tugas-tugasnya tana sedikit pun gairah. Mungin hampir sebulan lamanya ia seperti ini, tepat beberapa minggu usai sang ibunda melihat gambar yang ia tenggelamkan di wastafel, lalu menyatakan bahwa ia jatuh cinta.

Akira masih mengingatnya. Waktu itu wajahnya panas sekali. Dia sekadar kabur, tak ingin bercerita apa-apa dan hubungannya dengan Aoi menjadi renggang karena kejadian tersebut. Dia lebih memilih menghindar agar tidak ditanya-tanyai lagi.

Padahal jelas sekali semuanya adalah salahnya. Hanya orang bodoh yang merendam gambarnya di wastafel, bukan?

Tanpa sadar ia mengigit-gigit batang ilalang yang disumpalkan di mulutnya lebih keras kala mengingat semua itu. Hampir saja ia menyerak tumpukan daun layu yang menguburnya dengan satu gerakan bangkit. Alih-alih bekerja dua kali, maka sekadar ia mengembuskan napas penuh keluh sembari memandangi gumpalan awan di langit.

Yah, dia harus meminta maaf. Mungkin nanti, kalau hatinya sudah merasa lebih baik. Dia tak tahu entah kapan itu akan terjadi, tetapi kalau sudah diniatkan pastilah nantinya akan terlaksana ....

"Hei, Anak Muda!"

Akira terkaget. Astaga, agaknya dia benar-benar berfokus dalam misi meminta maaf itu sampai menghiraukan sekitarnya.

Suara itu datang dari pria yang menghalangi sinar matahari. Butuh penyesuaian yang cukup lama bagi sepasang netranya untuk benar-benar memastikan bahwa ia adalah Tuan Daniel, orang yang menawarinya bekerja sebagai pengantar koran.

"Ah, Tuan Daniel ...." Akira tergagap. Betapa tidak. Tidak hanya bodoh di depan sang ibunda, sekarang ia tampak bodoh di mata tetangga pula dengan mengubur diri dalam tumpukan daun layu. Kikuk sekali ia berupaya bangkit, tetapi toh Tuan Daniel sama sekali tidak mengomentari—beruntungnya.

Begitu ia berhasil melepaskan diri dari tumpukan daun, barulah ia melanjutkan ujaran, "Saya tidak tahu Anda datang, maafkan saya ...."

Dilihatnya Tuan Daniel yang tertawa kecil. Benar-benar keturunan Rusia yang ramah sekali dia ini, tampak pandai berbasa-basi. Bahkan setitik stereotipe dari orang-orang kebanyakan terhadap orang dari negaranya pun tak tampak melekat di dalam dirinya.

"Tidak apa-apa. Semula aku hanya datang untuk mengantarkan gaji, tetapi tampaknya kau sedang memerlukan bantuan."

"Bantuan? Ah, tetapi saya—"

"Terima dulu gajinya." Demikianlah ia menyodorkan sebuah amplop cokelat yang kemudian diterima Akira. Setelah ini, barulah ia mendengar ceramah gratis darinya. "Kau tampak tidak baik-baik saja dan kau tidak kunjung hadir saat jadwal gajian tiba. Sekarang, kau tidak mendengar kedatanganmu, pula aku mendapatimu berbaring di bawah tumpukan daun seperti orang mati!

"Bagaimana pula kau berani mengatakan bahwa kau tak butuh bantuan? Kemari!"—Dia seret Akira menuju bangku terdekat—"Ceritakan apa yang meresahkanmu hingga seperti ini. Kau tahu, kadang itu membantu dan aku bersedia untuk menjadi pendengarmu. Kau tak perlu risau juga, sebab aku akan merahasiakan ini dari kuping-kuping kumpulan penggosip!"

Sekadar Akira tertawa getir mendengar semuanya.

Mereka duduk di bangku yang disediakan untuk beristirahat usai berkebun di halaman belakang. Dulu, pasangan Kurihara menanam pohon apel di sampingnya dan kini ia sudah bertumbuh tinggi dengan daun rimbun.

Yah, sekarang mereka mulai rontok daunnya, tetapi masih cukuplah melindungi Tuan Daniel dari sinar matahari. Akira bisa melihat wajahnya yang tampak muda dari usianya. Sangat mengejutkan memang, sebab dia bahkan hanya beberapa tahun lebih tua dari Aoi.

Begitu kekanakan dia menyentil lutut Akira, senyumnya mengembang memperlihatkan kerutan-kerutan tipis.

"Ceritakan padaku apa yang menjadi masalah bagimu saat ini, tetapi kalau tak mau menyatakannya, tak apa. Aku akan menebaknya saja." Terus saja ia mencerocos tanpa menunggu Akira. "Apa ini ... soal ingin memberikan kejutan kepada ibumu?"

Akira menggeleng. Lucu sekali, padahal ultahnya pun masih sangat jauh. Maka ia membiarkan Daniel berpikir lagi.

"Kalau ... perihal wanita?"

Rasanya sekarang Akira benar-benar ingin mengubur dirinya hidup-hidup.

Telanjur merah padam wajahnya, ia benamkan dengan telapak tangan selagi menunduk dalam-dalam. Namun, pada akhirnya ia mengangguk mengiyakan. Sikap ini lekas saja disambut dengan tawa oleh Tuan Daniel.

"Tak apa, jangan malu!" katanya sambil menepuk-nepuk bahu Akira yang dirangkulnya. "Sudah sewajarnya anak-anak muda yang berkembang dan hampir menginjak masa dewasa mulai merasakan harumnya bunga-bunga cinta. Yah, kadangkala kita pun harus berhati-hati, sebab bunga-bunga itu bisa saja menyimpan aroma busuk seperti bunga bangkai!

"Namun, omong-omong, Kawan. Aku benar-benar baru tahu mengenai hal ini, padahal—maaf aku harus jujur sekali padamu—kau tampak sama sekali tak tertarik dengan gadis mana pun dan tidak pernah sedikit kudengar desas-desus kau sedang suka dengan si fulan, fulan ini dan itu. Kalau kau tidak keberatan, maukah kau bercerita padaku tentangnya?"

"Ceritanya panjang sekali. Mungkin akan menyita waktu makan siang Anda ...."

Daniel tidak mempermasalahkannya. Mau tak mau ia menceritakan kisah yang ia tuturkan kepada Aoi ketika kali pertama pulang. Pria paruh baya di sampingnya ini pun mendengarkan dengan cermat, sungguh penuh perhatiannya ia pusatkan kepada cerita Akira saja. Berbagai macam ekspresi ia lampiaskan, berikut bersama sejumlah tanggapan singkat.

Dia juga menceritakan ia berusaha membuat sajak-sajak juga mencoba menggambar sosok wanita yang sedang menghantui pikirannya ini.

"Sungguh, saya tidak tahu apakah saya benar-benar merasakan apa yang dikatakan ibu saya." Demikianlah Akira mengakhiri ceritanya di mana sang ibunda mendapatkan gambar yang ia celupkan ke dalam wastafel. "Namun ... ah, entahlah, Tuan Daniel. Saya ... saya ... kalau diizinkan, ingin sekali rasanya saya bertemu dengannya lagi."

Tuan Daniel mengangguk-ngangguk paham. Ditepuknya pula lutut Akira beberapa kali bersama senyum teduh.

"Ah, inilah masalah anak muda, selalu sembunyi-sembunyi soal perasaan dengan orang tua. Ketika mereka dirundungi kesulitan, mereka mengeluh terus, tetapi tak kunjung mendapatkan jalan keluar." Tuan Daniel menggeleng-geleng. "Harap kau mau dengar baik-baik perkataan pria paruh baya ini, Tuan Muda. Dengarlah kata hatimu dan jangan sampai kau tak mendapatkan apa yang ingin kau miliki hanya karena sebuah larangan."

Akira bingung sekali, dan semua pertanyaan terhadap dalam mimiknya. Maka dari itulah Tuan Daniel meneruskan ceramahnya.

"Begini, Kawan Muda. Kadangkala, perempuan tak mengatakan apa yang sejujurnya sedang ia rasa dalam hatinya. Misal ia berkata 'ya', belum tentu benar-benar demikian. Begitu pula sebaliknya. Jadi, dalam kasusmu, mungkin dia sesungguhnya sedang mengharapkan kedatanganmu sesekali."

"Bagaimana jika tidak?"

"Kalau tidak, ya ... apa boleh buat. Itu artinya dia gadis yang jujur sekali."

Segeralah dua sudut bibir Akira merosot seiring keningnya berkerut.

"Namun, tidak ada salahnya mencoba daripada mati penasaran dan menikah dengan orang yang tak kau cinta sama sekali!" seru Tuan Daniel menyemangati. "Datangilah dia, bawa sesuatu, dan nyatakan perasaanmu. Mungkin terdengar mudah, aku tahu. Karena itulah kau butuh waktu untuk menyiapkan semuanya.

"Meski begitu, aku peringatkan jangan terlalu lama! Nanti dia keburu diambil orang, dan akhirnya kau malah mati patah hati! Itu membahayakan sekali."

Ternyata percakapan ini berakhir beberapa menit sebelum makan siang. Saat itulah Tuan Daniel berdiri, kemudian berpamitan. Akira mengantarkannya hingga ke depan.

Kemudian Aoi pulang tak lama setelah kepergian Tuan Daniel. Dilihatnya anak laki-laki yang semringah mendapati kepulangannya. Betapa gembira pula ia di kala Akira mulai mengajaknya bicara.

"Ibu, bantulah aku mempersiapkan segala hal untuk mengunjungi dia yang kurindu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top