VIII. Perpisahan
Sempat Kirika bertanya, "Apakah kau berasal dari keluarga bangsawan?"
Tutur bahasanya dianggap sopan, meski demikian ia memang agak tak sabaran. Betapa tidak. Siapa pula yang mau sembarang masuk ke puri orang dan hanya ingin menumpang berteduh selain dirinya?
Namun, ketahuilah ini.
Akira bukan berasal dari keluarga bangsawan, tetapi ibunya yang ketika gadis memegang nama keluarga Tsukino, merupakan keluarga bangsawan. Wanita itu memilih untuk menikahi seorang pria biasa. Ya, ialah petani yang hidupnya dianggap melarat di mata kalangan atas.
Toh, ibunya tidak mengeluh atas segala gunjingan yang ditumpahkan kepadanya. Dia bukan tipe yang senang mendengar perkataan orang beruntungnya. Tetap saja ia berbahagia ketika hidup dengan Tuan Kurihara. Cukup makan bersama selalu, kemudian menjalin berbagai cerita untuk diingat di masa tua, dia sudah amat sangat bersyukur.
Dikaruniai tiga anak laki-laki dan satu anak perempuan, kedua pasangan Kurihara sama sekali tidak terbebani oleh biaya hidup. Semuanya diberi makan cukup, mendapat pendidikan dari ibunya yang pintar, juga dibekali cara berperilaku dan bersikap. Maka bukanlah hal yang mengherankan jika Akira memiliki sopan santun, tak seperti anak-anak petani kebanyakan.
Keberuntungan sekali lagi jatuh kepada keluarga Kurihara. Sebab anak-anaknya memiliki bakat yang berbeda-beda.
Sang ayah menurunkan kepandaiannya dalam bercocok tanam dan menggembala kepada si sulung Edward. Satu-satunya putri tercinta berbekal kemahiran dalam berhitung dari ajaran sang ibu, yang kemudian menjadi akuntan di kota. Lantas si bungsu Adam merupakan bocah kecil yang paling cepat membaca dibandingkan semuanya.
Bagaimana dengan Akira?
Sang ibu pernah berkata bahwa dirinya bagaikan sebatang pohon yang masihlah berusaha untuk tumbuh, memiliki banyak cabang yang indah-indah, tetapi dedaunannya kecil-kecil.
Akira mengerti akan pernyataan ini. Dia secara tak langsung mengatakan bahwa ia serba bisa. Dia bisa berburu dan berpetualang sendiri tanpa mengenal lelah. Dia tak pernah mengeluh jika disuruh menggembala atau bercocok tanam. Sama seperti Nina, ia juga senang berhitung. Sementara dirinya sendiri juga menjadi guru pengganti bagi Adam di saat sang ibu sedang sibuk, dan itulah yang membuatnya tertarik dalam literasi, terutama dalam hal bersyair.
Baru-baru ini ia mulai melukis. Keluarganya bangga sekali dengan percobaan ketiganya melukiskan keluarga utuh melalui bayangan. Yah, bukti kebanggaan itu sungguhan tampak di kala sang ayah membuatkan bingkai dan memajangnya di ruang tengah.
Masalahnya, kadangkala Akira cepat bosan terhadap yang satu dan seringkali berpindah-pindah, jadi sang ibu selalu sulit meyakinkan bakat mana yang ia ungguli. Namun, sang ibu berkata lagi kepadanya, "Tak apa, anakku. Dedaunan kecil bukan berarti akan tetap seperti itu. Mereka memiliki fase tersendiri untuk tumbuh, jadi Ibu akan bersabar menanti sampai sebesar apakah dia. Jadi rawatlah mereka dengan baik satu per satu."
Itu artinya, sang ibu mengizinkan dirinya untuk melakukan hal apa pun yang ia sukai.
Kirika bertanya bagaimana jika mereka bertengkar, tetapi justru Akira nyaris tak bisa mengingatnya! Seolah-olah itu jarang sekali terjadi atau tidak sama sekali. Dia sendiri bisa memastikan bahwa mereka selalu keluar dari masalah dengan jalan yang terbaik.
Betapa damai keramaian dalam satu rumah itu. Rumah keluarga Kurihara yang terbilang kecil dibandingkan puri Kirika, tetapi dengan begitu mereka mendapatkan kehangatan dari kebersamaan yang mereka punya.
Kirika bisa membayangkan itu, kian iri pula hatinya. Namun, alih-alih menyatakan perasaannya, ia bertutur dengan menyungging senyuman, "Kau sangat beruntung, Manusia. Sepatutnya kau menghabiskan lebih banyak waktumu dengan mereka selagi kau mampu. Sebab siapa pun tahu; siapa pun paham bahwa tiada yang paling berharga selain mereka.
"Karena itu ...." Kirika menjeda dengan menengadah kepada langit barang sebentar. "Pulanglah, Manusia. Sebab aku tahu dan paham, kau tidak seharusnya berada di sini lebih lama lagi. Ini bukan tempatmu dan sepatutnya kau harus melupakan semua yang terjadi di sini."
Padahal baru saja mereka saling bergembira mendengarkan alkisah keluarga manusia yang serba sederhana dan penuh kedamaian. Namun, ketika mendengarkan itu, mimik kegembiraan di wajah Akira perlahan meluruh bersama batin yang mencelos.
"Ah, jangan memberikanku mimik seperti itu," kata Kirika. "Jangan khawatir, aku tidak akan menaruh sihir padamu. Akan kuberikan waktu yang bekerja hingga kau benar-benar terlupa."
"Bagaimana jika saya tak ingin?" balas Akira. "Lagi pula bagaimana bisa saya melupakan kebaikan Anda? Anda bahkan masih menerima saya meskipun ... yah, meskipun saya tidak berlaku sopan dengan memasuki puri Anda sembarangan."
"Kau pasti bisa. Pun, takdir tidak selalu berjalan sesuai keinginanmu, bukan?"
"Tetapi ...."
"Biar kuantar kau sampai ke pintu gerbang."
Akira terperangah akan tukasannya. Ditambah lagi ia sudah berdiri lebih dulu sebelum Akira mampu mengeluarkan sepatah kata dan melangkah begitu saja tanpa menunggu.
"Ayo, Manusia. Fajar sebentar lagi tiba. Kau mau membunuhku dengan membiarkanku terbakar panas matahari?"
Akira tak lagi terhibur dengan perkataan seperti itu. Mau tak mau ia mengekor dengan langkah berat bersama seikat bunga mawar dalam genggaman. Sepanjang jalan hanya hening yang menemani mereka sementara Akira terus memandangi langit yang sedang bertransisi.
Sungguh, itu kalimat perpisahan terburuk yang pernah Akira terima. Berkali-kali ia menoleh kepada puri, berharap Kirika akan bertahan di sana dan berteriak kalau ia hanya bercanda seperti dua malam lalu.
Namun, sayang ia lebih memilih untuk menghilang utuh dari pandangan sebagaimana ia melenyap tepat sudah berpuas diri mengisap darah serigala.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top