IV. Masa Lalu [2/2]
Sebagai vampir baru, bisa dikatakan Kirika cukup kuat melawan rontaannya. Konon pula ia menancapkan utuh seluruh kukunya ke leher jenjang itu, lagi ia tekan kuat-kuat sampai kulitnya benar-benar terkoyak bersama tercabiknya daging, kian paniklah Kenji.
Itulah sebuah kecerobohan yang mengakibatkannya terjerumus kepada kematian. Dia lupa menitah Kirika untuk patuh ketika ia menjelma sebagai mempelai vampirnya. Buaian akan pesona kecantikan si wanita sungguh memabukkan agaknya.
Berpasrah diri dia akhirnya, utuh Kirika tarik kuat-kuat kepala Kenji hingga terpisah dari tubuhnya. Tak peduli akan darah yang memancar pada awalnya, ia mencampakkan kepala itu ke perapian. Dia sekadar memandangi mimik Kenji yang menganga dengan mata terbelalak sempurna seolah sedang berusaha keluar dari rongganya, mulai dilahap api.
Mulailah Kirika menyeringai. Kekeh berangsur terganti tawa puas, lantas kepuasan itu menyiratkan kekejaman yang begitu menyayat hati bagi siapa pun yang mendengarnya.
Indra penciuman mendeteksi bau anyir yang begitu menggoda sukses mengalihkan perhatiannya, lekas Kirika menjilati bercak-bercak merah di tangan. Namun, merasa itu belum cukup, begitu tergesa ia mencabut paksa kancing jas dan baju mayat tak berkepala di hadapannya. Kirika merobek dada jasad tersebut, mengoyak daging hingga otot-ototnya, lalu meraih jantung untuk ia serap habis darahnya.
Tingkah lakunya benar-benar bagai monster pemakan darah tak berakal. Ya, pada awalnya ia memang berpikir akan berakhir seperti itu hingga seseorang datang untuk benar-benar membunuhnya.
"Kirika ...."
Namun, sebuah suara yang begitu familier menyentak sisi iblis itu bagai satu pukulan yang begitu menyakitkan dada. Dia membeku, tetapi kontan menyanggupi diri untuk menoleh ke sumber suara.
Pintu telah berhasil didobrak oleh dua pengawalnya. Tidaknya mendatangkan kedua sosok tersebut, justru kini tampak kedua orang tuanya. Mereka terpana akan pemandangan mengerikan yang ia ciptakan.
Semula Kirika sekadar terpaku dengan kepala terteleng. Ketahuilah, sisi manusiawi masihlah tertinggal di dalam dirinya ... sebab meski sekilas, tetap terlihat jelas sebersit efek berkaca-kaca di maniknya yang telah berubah merah sepekat darah.
"Ibu ...?"
Lirih sekali suaranya, benar-benar sukses menciptakan luka di dalam sosok wanita berambut pirang yang telanjur menangis tanpa diminta.
Mulailah ia beranjak dari ranjang, dengan hati-hati mencoba mendekat. Namun, ia mendapati sang ayah yang mendadak defensif, kian luntur air mukanya dengan kegetiran.
"Ayah ... Ibu ...." Sontak ia berkedip-kedip merasakan semburat kemerahan menghalangi pandangannya. Bersama napas yang tersengal akibat segala perasaan yang menguasai dirinya, ia tidak lagi menahan diri untuk menangis.
Itu tangisan yang begitu memilukan untuk vampir yang baru saja terlahir. Namun, bagi manusia ... peristiwa tersebut teramat sangat mengerikan.
Kirika tak lagi meneteskan cairan bening yang terasa asin, tetapi justru kini tetes-tetes darah yang menodai pipi mulus dan pucat juga kornea mata yang semula putih cemerlang. Lantas anyirnya menjadi pemicu perubahan kepribadian Kirika dalam sekejap mata.
Indra penciumannya terus menajam. Seiring kekehan melantun, ia kembangkan seringai semata-mata memperlihatkan taring-taring tajamnya dengan bangga. Kirika memamerkan kukunya dengan tangan terulur, tampak sungguhan bersiap untuk menerkam sekarang juga.
Satu, dua, tiga langkah berangsur memburu bagai serigala kelaparan. Namun, kembali ia tersadar tepat sang ayah mulai mengacung tinggi sebuah rosario padanya.
Geraknya melambat ketika ia mengendus bau asing yang bercampur baur dengan aroma pasang-pasang manusia di hadapannya. Ya, bukan karena merupakan sebuah lambang suci, ia mempelajari secara otodidak kala itu juga bahwa aroma peraklah yang mengganggunya.
Kini napas Kirika malah seperti seekor anjing yang terkaing-kaing, melemas sampai terjatuh. Secepatnya ia memilih untuk mundur sembari menekan-nekan kepala dan kembali menangis, kontan pemandangan itu membuat sang ibunda iba.
Ingin sekali rasanya ia menerima uluran tangan dari sosok itu, tetapi indra-indranya yang menajam malah menggodanya lagi. Maka, alih-alih mendekati sang ibunda ia bangkit dan menjauh menerjang jendela kamar.
Tak ada persiapan apa pun, pula ia tak berpikir panjang mengenai hal ini, tetapi Kirika sama sekali tidak menyesalinya.
Dia melarikan diri tanpa seorang pun mampu mencegahnya.
"Jangan memandangku begitu, Manusia."
Akira terkesiap. Agaknya ia begitu terbuai akan kisah masa lalu wanita yang tengah duduk di sofanya dengan salah satu kakinya yang terlipat bersembunyi di balik rok gaun, sementara dirinya sendiri duduk di lantai marmer berlapis karpet. Sampai ia sendiri tak sadar mimiknya mengikuti kata hati yang telanjur luluh.
Netra biru Akira kembali berfokus pada senyum samarnya. Kirika masih sama menawannya sejak kali pertama mereka berjumpa di kamar, tetapi betapa ia memahami ada rasa ketidaksenangan dalam senyum yang ia sunggingkan kali ini.
Dia tak suka dikasihani.
"Aku baru saja ingin melanjutkan perihal lain."
"Seperti apa?"
Kirika mulai menerangkan ia mulai menyadari banyak perubahan pada wujudnya; kulit berseri tergantikan warna yang sangat pucat, mata bersinar malah berganti merah sepekat darah, juga jangan lupakan tubuhnya pula yang tampak lebih dewasa dan memiliki daya tarik sensual.
Tak sengaja Akira menujukan pandangan kepada belahan dada si wanita vampir ketika mendengarnya, kontan ia merasakan wajah sekaligus pipinya memanas. Secepatnya ia berpaling, hingga tanpa ia sadari Kirika lagi-lagi menahan gelak karenanya.
"Kau bisa menikmatiku kalau kau mau, Manusia," godanya kemudian. "Itu pun kalau kau sanggup."
"T-TIDAK, TERIMA KASIH!"
Kirika benar-benar tergelak sekarang. Sungguh, manusia di hadapannya ini menggemaskan sekali!
Namun, sebenarnya memang Kirika tidak ambil pusing jika sebenarnya Akira benar-benar memerkosanya. Sebab ... secara harfiah ia terlalu dingin untuk dinikmati, pastilah manusia biasa bisa mati membeku di tempat jika menyetubuhinya begitu lama.
Dia juga tak ambil pusing jika saja Akira mencuri barang-barang di sini. Tidak seluruh benda yang tertinggal ini merupakan miliknya. Tentu Akira bertanya-tanya mengapa bisa hal itu terjadi, maka Kirika mulai kembali melanjutkan kisah masa lalunya.
Saat ia melarikan diri dari rumah, ia menempati rumah kosong dan seringkali berpindah-pindah. Tidak seperti saat ini, dulunya ia lebih memilih untuk tetap terjaga sampai pagi untuk menguji kebenaran bahwa makhluk sepertinya bisa terbakar jika terpapar sinar matahari.
Kala itu musim panas dan ia beranjak menuju loteng yang memiliki sepetak jendela di atapnya. Indra penciumannya lebih dulu meronta-ronta mendeteksi aroma embun pagi, terlebih dahulu kulitnya pula ikut meremang ketika ia menjalan mendekati tirai-tirai cahaya yang tembus pandang. Terus saja mata merahnya menyipit melihat terang.
Sungguh, sosoknya yang satu ini sangatlah membenci siang hari.
Lekas ia ulurkan tangan kepada tirai-tirai itu. Panas begitu cepat menjalari punggung tangan, bahkan permukaan kulitnya perlahan menguap. Dia meringis, tetapi terus ia pertahankan tangannya hingga benar-benar melepuh. Hendak ia terus membiarkan lepuh terus melebar, tetapi ia justru mengerang kesakitan dan segera menarik tangannya.
Setidaknya ia cukup puas bahwa itu terbukti benar.
Demikianlah Kirika memandangi lukanya yang menutup. Prosesnya persis serupa dengan sebagaimana luka yang berikan kepada Kenji beberapa malam lalu.
Kirika melanjutkan eksperimen-eksperimen kecil ini seperti bagaimana jadinya jika ia menyentuh perak dan menghindarkan diri dari manusia guna menahan dahaga. Dia mendapatkan alternatif lain, yaitu darah hewan yang dapat ia buru di tengah hutan. Meski sebentar, setidaknya semua itu cukuplah membuat itu terus bertahan.
Dia mulai menghindari gereja. Bukan karena rosario dan tanda salib, atau mungkin banyak nyanyian—yang bahkan hingga kini masih ia hafal beberapa di antaranya—telinganya teramat sangat sensitif terhadap bunyi lonceng dan doa. Dia tentu juga tidak ingin mengambil risiko menjelma abu kalau-kalau secara sengaja atau tak sengaja terciprat air suci.
Ya, sebab ia tidak boleh mati.
Setidaknya ... untuk sekarang ini.
Segala percobaan menantang maut itu ia jadikan bekal. Yah, mungkin ironis betul jika berkata ia telah mengumpulkan niat untuk memburu makhluk-makhluk sepertinya, tetapi sebagai bentuk pembalasan dendamnya, ia bersungguh-sungguh.
Butuh bertahun-tahun lamanya melatih diri dan membiasakan terhadap segala hal yang ia miliki sekarang, terutama kepekaan indra-indranya yang menajam di malam hari. Dia mempertahankan staminanya, mengukur seberapa besar kekuatannya jika ia meminum darah seekor babi gemuk. Hingga ia rasa mantap semua itu, mulailah ia memberanikan diri untuk memburu makhluk-makhluk pengisap darah kelas teri.
Mudah memang baginya membuat mereka membuka mulut perihal siapa tuannya—untuk dijadikan sasaran baru tentu saja, juga siapa dalang utama dari munculnya kaum ini. Namun, tak sedikit di antara mereka tetap bertahan. Tiada pilihan selain menyiksa mereka dengan cambuk rantai yang mengandung perak dan dia akan benar-benar berhenti jika mereka mau bicara.
Sampai di sinilah Akira menyela dengan sebuah tanya, "Lalu ... bagaimana jika mereka tetap berkeras pada pendirian mereka untuk tetap tutup mulut?"
Sempat pula pantik perapian terdengar seolah menjeda percakapan barang sebentar, tetapi pandangannya sulit sekali dialihkan dari Kirika yang mulai memangku dagu seiring mengukir senyum samar di wajahnya.
"Aku memakan mereka."
Akira bergidik mendengarnya. Percaya atau tidak, dia benar-benar mengatakannya seolah itu merupakan pekerjaan paling mudah untuk dilakukan.
Namun, Kirika sama sekali tak bercanda.
"Kekuatanku datang dari Kenji, ingat? Saat itu ialah makhluk yang terkuat dari kaum kami, dan aku bisa berasumsi kekuatannya setara lima puluh dari makhluk-makhluk kelas teri itu," terangnya sembari ia bersandar. "Itu bekal tambahan bagiku untuk memburu istri-istrinya pula."
Dari sejumput informasi yang ia terima, Kenji memanglah merupakan sosok yang amat senang berpesta dan bermain dengan wanita sudah menjadi kegemarannya. Kebanyakan di antaranya ia sihir menjadi budak yang hidup untuk dijadikan makanan hingga akhir hayatnya, jarang sekali ia jadikan sembarang gadis sebagai istri.
Kirika sungguhan mati-matian menahan tawa ketika ia sampai di purinya—puri ini. Dia lekas mengerti satu hal ... Kenji hanya ingin wanita cantik untuk dijadikan istri-istrinya. Yah, tak heran pula mengapa vampir pria itu mengincarnya.
Sempat ia mengagumi semua keindahan yang mereka miliki, tetapi keakraban mereka di kala saling berkenalan berjalan singkat usai mereka memahami bahwa wanita di hadapan mereka ini merupakan wanita yang menjadi bahan pembicaraan di kaum mereka beberapa tahun belakangan.
Dia tampak bersemangat dan bangga sekali kala menceritakan pertarungan dengan vampir-vampir wanita tersebut. Peristiwa yang paling ia ingat ialah ya berhasil mematahkan sayap salah seorang di antara mereka yang memiliki kemampuan menjelma monster, juga memaksakan diri untuk membuka lebar kedua rahang istri pertama—yang barangkali pula merupakan istri tercinta Kenji—hingga benar-benar terkoyak dan terpisah. Kemudian ia mengisap habis darah tiga dari mereka pula.
Semuanya jasad mereka ia bakar, ada pula yang ia lemparkan botol kaca yang berisi air suci. Barulah saat itu kali pertama bagi Kirika menyaksikan efeknya yang sesuai dengan dugaan; mereka menjelma abu di sela-sela jerit penuh kesakitannya.
Akira terpana mendengar semuanya. Sempat ia tanya pula apakah Kirika juga berniat mengarungi dunia untuk melanjutkan buruannya, tetapi si wanita menggeleng dan bertutur begini,
"Wanita-wanita kesayangan Kenji merupakan pencapaian terakhirku. Lagi pula membasmi mereka yang hidup di negara ini sudah cukup. Biarlah aku menjadi mitos yang dipercayai kalian, hidup sendirian hingga kiamat meluluhlantakkan bumi."
Dilempar pandangannya keluar jendela dan baru saat itulah Akira menyadari hujan telah berhenti.
"Tugasku melindungi keluargaku dari pemangsa telah selesai pula."—ledakan haru mengembang di dada Akira ketika mendengar ini—"Mereka semua hidup dengan damai dan meninggal sebagai manusia. Pula aku menyaksikan semuanya dijemput ajal, termasuk ibuku sendiri."
Sempat tampak sirat kesedihan membayangi sepasang rubinnya, tetapi tentu ia tidak ingin Akira melihatnya. Demikian Kirika bangkit dari duduknya, lekas melangkah menuju jendela terdekat.
Satu kibasan tangan mengempas jendela ternganga hingga udara masuk membelai helai-helai rambutnya. Tanpa suara, ia panjat ambangnya.
"Kupikir dongengnya sudah cukup. Malam sudah larut dan ini saatnya untukmu beristirahat." Kirika berdiri dan berbalik kepada Akira yang menghampirinya. Ya, begitu sabar ia menjeda sembari menunggu si manusia muda berhenti dengan hati-hati tak jauh di hadapannya. Senyum samar ia ulas, kemudian barulah ia meneruskan, "Aku butuh sedikit cemilan, jadi lakukanlah apa pun yang kau inginkan di sini dan pulanglah esok pagi, mengerti?"
Hendaknya Akira mengiyakan, tetapi serangan jantung bertamu di dalam dirinya tak lama.
Bukan secara harfiah, hanya saja begitulah rasanya ketika mendapati Kirika yang mendadak menjatuhkan dari ambang jendela.
Astaga! Apa pula yang dipikirkannya?! Dia memang berniat bunuh diri setelah memberitahukanku semua itukah?! Demikian Akira menggerutu dalam kepanikan di hati, tubuhnya tergesa-gesa menghampiri jendela.
Panik mulai memuncak saat memandangi jubah utuh membungkus Kirika yang ditarik gravitasi begitu cepat. Ketegangan pula ikut menguasai Akira kala persis ia dapati sosok itu memutar tubuh seperti seekor kucing yang siap menapak sempurna di daratan.
Saat itu tiba, Kirika mendongak bersama seringai jahil.
Barulah Akira tersadar kembali ... bahwa Kirika bukanlah manusia biasa. Meski merasa lega, tetap saja ia kesal akan hal tersebut.
Vampir wanita itu mempermainkannya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top