And Then I Met You

Semesta yang tersusun di dalam kata-kata di layar komputerku semburat menjadi banyak khayalan dan beban. Aku tengah duduk bergeming di depan layar komputerku, sembari memikirkan tentang kenapa aku bisa hidup di tengah dunia yang gelap seperti ini? Dunia gelap yang keras, membuat sepuluh tahun aku menekuni kata-kata sebagai hidupku, tetap tidak membuatku senang. Terjebak paradigma dan todongan pedang-pedang tuntutan yang mengharuskanmu mengikuti barisan ekor-ekor para beruk itu.

Tidak, tidak. Aku masih menyayangi barisan kata yang muncul dalam pikiranku, kemudian kutuangkan kata-kataku di dalam lembaran kertas virtual di depanku ini. Bagiku rasanya seperti sebuah kenikmatan ketika kau berhasil mengeluarkannya. Mengeluarkan hasil dialektika yang terjadi di dalam otak. Kata-kataku tidak berisi kata-kata kebanyakan bocah yang tersedu-sedan akan cinta busuk. Apa yang kutuliskan ini bisa saja membuat nyawaku terancam, oleh sekumpulan manusia bertopeng yang mengintaiku. Apa yang kutuliskan ini bisa saja membuat orang-orang terdekatku diacak-acak oleh sekumpulan siluman keparat sialan yang membenciku.

Aku menekuri kembali isi tulisanku. Minggu lalu, aku berangkat ke sebuah diskusi yang membahas masalah yang kini sedang kutulis di dalam tulisanku. Adanya sebuah ketidakadilan pada sistem di negara ini, telah memaksa rekan-rekan seperjuanganku untuk berbondong-bondong berdemonstrasi di depan kantor walikota. Mereka menuntut adanya tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, atas beberapa konflik agraria dan konflik air yang terjadi di daerah-daerah tetangga. Namun, hasilnya tetap nihil. Hak konstruksi hotel tetap diloloskan, meskipun analisis dampak lingkungan berkata lain. Selalu hal itu. Mereka tetek-mbengek tidak peduli kalau pembangunan itu akan menyeruput air tanah warga sedikit demi sedikit.

Para siluman bertopeng telah menunjukkan langkahnya. Diam-diam, rekan-rekan seperjuanganku berhasil mendapatkan informasi, kalau siluman bertopeng telah menggunakan jasa mata-mata partikelir untuk mengawasi pergerakan para pencetus pergerakan. Dengan ekspresi takut yang dilebih-lebihkan, rekanku membual tentang kemungkinan penculikan, penganiayaan, pencemaran nama baik, teror, bahkan menghilangkan nyawa orang yang kini harganya tidak lebih dari harga kacang goreng.

Aku menghela napas ketika membayangkan semua itu. Seberat itukah pekerjaanku kini? Aku tidak tahu apakah ini dapat disebut pekerjaan, mengingat aku juga masih menyelam ke dalam kawah ilmu candradimuka. Masih belajar. Menjadi bocah yang bermetamorfosis menjadi sebuah entitas manusia yang diharapkan oleh masyarakat. Masyarakat, apa itu? Sebuah perkumpulan yang terkadang membuatmu nyaman, terkadang membuatmu memuakkan.

Tuk! Sebuah gelas berisikan kopi susu dengan uap mengepul mendarat di meja tempat aku bekerja.

"Jadi ... kau membuat tulisan ini? Sebagai bentuk aksi protes terhadap pengembang bangunan yang asal bangun gedung dekat sumber air itu, Rizal?" Suara perempuan memecah konsentrasiku. Aku menoleh dan menyaksikan seorang perempuan dengan rambut hitam sebahu menungguku melontarkan jawaban.

"Kurang lebih begitu, Ratna ...," ujarku sedikit berat seraya mengembus napas panjang.

"Kaubahayakan dirimu sendiri, Rizal. Kau sampai hati membuatku terus-terusan cemas, kalau-kalau ada berita yang tidak mengenakan tentang dirimu." Perempuan yang bernama Ratna ini memasang muka cemberut.

"Aku tidak apa-apa. Kaumau mendukungku?" tanyaku, sembari kembali melekatkan pandanganku ke arah layar komputer. Sepaket tangan halus cerah merengkuhku dari belakang. Aku hanya bisa tersenyum ketika mengetahui perempuan satu ini memelukku.

"Berat, ya?" bisiknya. Aku mengerti kalau kata berat yang ditanyakannya, bukan menanyakan tentang berat badannya. Tidak, dia ringan. Berat yang dirinya tanyakan adalah beratnya beban yang harus kupanggul sehari-hari. Di satu sisi, aku harus membela hak-hak kaum tertindas, di sisi lain aku harus menjaga orang-orang terdekatku agar para siluman itu tidak mencelakainya. Beban yang harus ditanggung oleh pemuda yang baru menginjak usia 21 tahun ini. Kalau kau seorang tokoh terkenal, orang terpandang, penggerak revolusionis, itu sih mudah untuk dikerjakan.

"Tidak, ketika aku kemudian bertemu denganmu," jawabku.

"Apa yang kauharapkan dari tulisan ini?" tanya Ratna.

Aku tahu, dia tidak butuh aku untuk menjawabnya dengan lantang. Dia tahu apa yang kuharapkan dari tulisanku yang menolak adanya pembangunan tanpa dasar analisis dampak lingkungan yang benar. Tulisanku mengecam adanya akuisisi dari lalat-lalat berjas, penyedot mineral di dasar bumi manusia yang perlahan tertindas ini.

Masalahnya, apakah hal ini cukup? Aku adalah salah satu kontributor di dalam majalah mahasiswa. Tulisanku yang aku kerjakan kini adalah salah satu bakal artikel di dalam majalah tersebut.

Aku kembali menulis.

****

Aku bertemu pertama kali dengan Ratna, ketika hidupku berada di dalam masa-masa kelam. Aku tidak tahu ke mana harus melangkahkan kaki selanjutnya. Hidupku seperti berkutat pada arus deras yang mengalir lancar di sungai Zambezi. Aku terus-menerus mendoktrin sendiri pikiranku, bahwa di dunia ini hanyalah sebuah ladang konflik tidak berujung antara tiap entitas manusia.

Aku memercayai bahwa di setiap entitas makhluk hidup bernama manusia ini, tersimpan sebuah potensi luhur untuk menguasai manusia lain. Sama seperti masa lalu, sejarah manusia bisa dibilang adalah sejarah yang berdarah. Sampai sekarang, manusia rela membunuh dan menyingkirkan manusia lain atas dasar superioritas. Superioritas tersebut dibalut dengan dalih-dalih ekonomi, sosial, politik, agama, dan perbedaan cara pandang.

Hidupku sendiri tidak begitu baik pada titik itu. Aku terkenal hanya memiliki segelintir orang yang bisa kuajak berbicara, selebihnya aku seperti orang yang berlalu di antara kerumunan pejalan kaki, cepat untuk dilupakan. Salah satu pekerjaanku mengharuskan diriku untuk dapat berinteraksi dengan orang lain, tetapi kenyataannya aku sendiri adalah orang dengan interpersonal buruk. Aku menganggap orang yang asing di pikiranku adalah sebuah ancaman. Ketika mereka tidak mengancam, aku belum bisa menurunkan kewaspadaanku begitu saja.

Masa laluku yang terkadang mencuat ke daratan ingatan, memaksaku untuk terus mengingatkan kembali kepada serangkaian hendaya yang telah melemahkan diriku. Masa kecilku di-bully, masa-masa diriku sekolah pun juga sering mendapatkan pandangan-pandangan terkesan merendahkan harkat dan martabat. Aku orang yang tertutup. Parahnya lagi, aku sering berbicara sendiri dengan sesuatu yang tidak ada—memang tidak ada—di dalam pandangan orang lain. Melamunkan sesuatu, lalu berteriak-teriak tidak jelas, seolah-olah masyarakat telah melabelku dengan sebutan orang gila lokal.

Hingga pada suatu waktu, ketika aku duduk sendiri di sebuah bangku kayu tua di pinggir jalan, aku bertemu dengan perempuan itu—Ratna—dan ia bertanya, "Kenapa kau sendirian di tempat ini."

Lantas dirinya mengambil dudukan kosong di sampingku. Aku langsung berkutat pada serangkaian pertanyaan di dalam benakku. Apakah orang ini ingin berbicara denganku, atau hanya sekadar berbicara sembari duduk di sini, kemudian berlalu begitu saja?

"Ah, tidak. Aku habis mewawancarai seseorang," jawabku padanya.

"Benarkah? Kau seorang wartawan?" tanya Ratna waktu itu dengan sangat antusias. Entah mengapa wanita ini pada waktu aku berkenalan dengannya, begitu tertarik untuk berbicara denganku. Entah setelah dirinya menduga bahwa diriku adalah seorang yang memiliki profesi sebagai wartawan. Apa menariknya?

"Wartawan kampus lebih tepatnya," ujarku menambahi.

Setelah percakapan jeda beberapa saat karena tidak ada percakapan lain, aku pun membuka celah untuk berbicara. Namun, dengan gobloknya, aku malah meracau sesuatu yang tidak jelas.

"Dunia terasa dingin dan kejam dengan segala hal akhir-akhir ini, ya?"

"Benarkah? Aku rasa juga begitu," sahut Ratna pada waktu itu.

"Kau menyimpulkan seperti itu, berarti kau telah melihat bagaimana dunia akhir-akhir ini?" tanyaku sembari berpalign pada Ratna waktu itu.

"Setidaknya negara ini penuh dengan krisis-krisis kecil yang lama-lama bisa menjadi bom waktu." Sembari tersenyum, Ratna pun mengangkat bahu, seolah-olah dia juga ikut merasakan bagaimana sesuatu yang salah berjalan di negeri ini. Bagaimana sebuah kompleksitas permasalahan yang kini sedikit demi sedikit menggerus negeri ini. Beragam konflik kepentingan, permainan politik, birokrasi yang ruwet, orang-orang saling caci maki di sosial media hanya gara-gara beda pemahaman. Ini bukan sesuatu yang indah.

"Terdengar mengerikan, eh?" Aku terkekeh.

"Hmm ... apa yang seru dari pekerjaanmu, omong-omong?" Ratna mengganti topik pembicaraan, mengetahui kalau lama-lama, ia juga bisa keki dengan bahasan barusan.

"Memperjuangkan sebuah kebenaran objektif, yang sekarang hampir mustahil ditemukan. Aku hanya mendedikasikan diriku di lembaga ini untuk dapat mengeluarkan segala apa yang ada dalam pikiranku," jawabku, yang terdengar sebuah hal yang normatif bagi semua wartawan. Toh, memang begitu kenyataannya. Kenyataannya, wartawan juga butuh makan. Media tidak bisa berpaling dari derasnya sokongan dana iklan. Tidak ada yang objektif di media komersial. Sepertinya Bill Kovac akan menangis ketika melihat dinamika yang ada, bahwa angan-angan Tujuh Elemen Jurnalistiknya hanyalah sebuah retorika belaka.

"Waah ... terdengar seperti pahlawan super," serunya, seakan-akan diriku memang terlihat hebat sesuai persepsinya.

"Jangan melebihkan. Aku hanya orang yang gemar menulis, itu saja," ujarku merendah. Aku berpaling, ketika Ratna membisikkan sesuatu.

"Berat, ya?"

"Tidak juga," jawabku singkat.

"Mau mampir ke rumahku?"

Begitulah aku bertemu dengan Ratna. Datang dengan keadaan sama-sama asing dari masing-masing persona kami. Sejak saat itu, aku sering berkunjung ke rumahnya untuk sekadar menumpang istirahat dan bekerja. Entah mengapa, aku merasakan sebuah kenyamanan ketika bekerja di sana.

Lalu begitu saja kami dekat. Begitu saja Ratna mulai dekat denganku. Ia tidak bisa terpisahkan dengan diriku. Aku lebih sering pergi mampir ke rumahnya, bahkan untuk mengerjakan tulisanku, atau sekadar numpang untuk mengerjakan tugas kuliah.

Iya.

Kemudian, aku bertemu denganmu, lalu dekat sekali, sampai kau tidak memedulikan segala risiko dan marabahaya mengenai pekerjaanku ini.

Kita sama-sama hanya inginkan untuk saling mendekatkan dan menyandarkan diri selama mungkin.

****

"Aku akan tetap melanjutkan ini, Ratna. Aku akan keras kepala kalau terkait dengan kehidupanku sebagai seorang penulis,' ujarku.

"Kau memang keras kepala, Rizal," sahut Ratna sembari memasang muka cemberut. Aku hanya tertawa.

Ratna berjalan di belakang kursiku. Aku tahu apa yang selanjutnya dia inginkan. Ini seperti anak kecil yang minta ayahnya untuk jalan-jalan bersama di akhir pekan.

"Berat, ya?" Ratna merengkuhku dari belakang, untuk kesekian kalinya. Mungkin aku bertanya-tanya, bagaimana ada perempuan yang masih bersanding dengan seorang penulis, aktivis kemanusiaan yang memperjuangkan hak-hak rakyat? Bagaimana ada perempuan yang masih mau bersanding dengan seorang pria dengan interpersonal buruk seperti diriku sekarang? Seakan dia tidak peduli dan hanya ingin bersanding denganku.

"Tidak, setelah aku bertemu denganmu," jawabku lirih.

Semesta telah menunjukkan, bahwa manusia masih meluncur ke arah kehancuran. Aku tidak tahu apa yang akan menantiku, seusai aku menerbitkan tulisanku di majalah edisi tahun ini. Niatku tidak berubah untuk tetap memberikan pencerahan kepada banyak orang, bahwa aku akan bersanding kepada dua hal. Orang-orang tidak berdaya yang membutuhkan bantuan dan Ratna.

"Kau tetap akan bertahan denganku, meski aku punya pekerjaan yang katamu dulu seru ini?" tanyaku.

Tidak butuh waktu lama untuk Ratna untuk mengatakannya sembari tersenyum padaku.

"Ya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top