ED 22 | Start Over

Hampir 4000 words (hmpir 2x lipat dri biasanya) 😥
Berbahagialah kalian 🙌
.
.
.

Sooji meluruskan kaki ketika tubuhnya duduk di atas ayunan, ia mendekap sebuah novel yang akhir-akhir ini menjadi hobinya untuk membunuh waktu luang. Matanya memandang lurus ke arah halaman luas yang dipenuhi rumput-rumput lebat, di atasnya beberapa anak sedang bermain sembari tertawa lepas, sama sekali tidak terlihat kerapuhan atau kekurangan dari mereka. Ia selalu menyukai anak-anak, dan ketika mendapatkan kesempatan untuk menjadi salah satu perawat di rumah singgah ini, ia merasa antusias untuk menjalaninya.

Lalu tanpa sadar ia tersenyum ketika matanya menangkap sosok pria yang berdiri tak jauh dari anak-anak, pria itu begitu serius dan berkonsentrasi pada pose yang ia potret, lensa kameranya mengikuti setiap gerakan yang dilakukan oleh anak-anak itu tanpa sedikitpun memberikan rasa risih pada objeknya. Sooji menunduk, ia menatap ujung sepatu putihnya dengan pandangan menerawang, dua jam yang lalu ia tidak pernah menyangka jika bisa bertemu dengan pria itu lagi. Setelah semua yang terjadi.

Butuh hampir dua tahun untuknya bisa melepaskan semuanya, melupakan patah hatinya, kesengsaraan serta rasa bersalahnya. Tahun pertama ia lewati dengan usaha keras untuk terus bangkit, mencari semangat hidup yang bisa mencegahnya agar tidak bertindak di luar nalar, dan semuanya ia lewati dengan susah payah atas bantuan orang-orang terdekatnya. Memasuki tahun kedua, Sooji telah merasa hidupnya sudah lebih baik, tapi kepingan itu jelas masih tersimpan di sudut hatinya.

Saat itu ia menemukan dirinya sudah tidak bisa lagi meneruskan hidup seperti dulu tanpa dibayang-bayangi oleh sosok Sehun, Myungsoo, ataupun bayinya. Jadi dengan keputusan yang telah ia pikirkan secara matang, Sooji memilih untuk pergi--menyembuhkan sisa luka yang masih berpendar di hatinya. Sembilan bulan ia habiskan untuk berkeliling dunia, mendatangi berbagai macam kota dengan budaya dan nilai mereka masing-masing, mencari ketenangan jiwa dan tujuan hidupnya yang baru. Hingga tiga bulan yang lalu ia tanpa sengaja membeli tiket menuju kota ini dan sesaat ia mendaratkan kaki di luar bandara, ia merasa pilihannya tepat dengan berada di sini.

Ia merasa Vatikan akan menyembuhkannya, memberikannya hidup yang baru dan lebih berwarna. Itu alasannya tetap menetap di sini sampai saat ini, terlebih ketika ia menemukan rumah singgah milik Silvia yang tidak sengaja di lewatinya saat mencoba untuk mencari penginapan di sekitar kaki gunung. Awalnya ia tidak yakin, tapi melihat anak-anak berada di sekitar bagunan sederahana itu, Sooji jadi menetapkan pilihannya.

Hingga saat ini ia merasa bebas, merasa semua lukanya telah disembuhkan. Melihat wajah ceria anak-anak itu setiap hari sangat membantunya untuk mengeringkan luka tersebut, sekarang ia bahkan bisa mengingat Sehun dengan senyum melengkung lebar di wajahnya--padahal dua tahun lalu jangankan untuk mengingat, mendengar namanya saja ia sudah menangis histeris. Adalah sebuah pencapaian terbaiknya selama ini.

Ia juga memiliki foto Sehun di dalam kopernya, untuk mengenang pria yang dulu menjadi sosok terpenting dalam hidupnya. Memiliki foto itu hanya membuatnya mengingat betapa dulu ia sangat mencintai pria itu, betapa mereka sungguh bahagia hidup bersama.

"Aku tidak pernah membayangkan kau dan novel romansa adalah padanan yang tepat."

Sooji tersentak mendengar suara berat yang menegurnya, ia mendongak ketika bayangan hitam menutupi tubuhnya dari pancaran sinar mentari. Matanya menangkap wajah ceria sekaligus bimbang dari pria itu sebelum akhirnya menunduk untuk melihat novel dalam tangannya.

"Oh ya, ini merupakan hobi baruku," tukasnya dengan suara lembut.

Myungsoo tersenyum kecil dan menyingkir dari hadapan Sooji, hanya selangkah. Tatapannya masih terkunci pada wanita itu, "keberatan jika aku duduk di sini?" tanyanya kemudian menunjuk ayunan kayu yang kosong di samping wanita itu, Sooji menoleh lalu kembali mendongak menatap Myungsoo, ia tersenyum dan menggeleng kecil.

"Duduklah," jawabnya sekilas mengibaskan tangan ke arah Myungsoo, "sebenarnya kau tidak perlu izin dariku kalau ingin main ayunan," tambahnya dengan nada ceria.

Myungsoo tertawa pelan lalu duduk di ayunan kosong tersebut. Matanya langsung memandang ke depan, tempat di mana Jorge baru datang dan mengajak anak-anak untuk bermain kejar-kejaran bersamanya.

"Jorge sangat peduli dengan anak-anak di sini," komentar Sooji yang juga sedang memperhatikan mereka, ia tersenyum sekilas saat pria berambut hitam lebat yang ikal itu menoleh padanya dan melemparkan ciuman jauh untuknya, "dia pria penyayang."

"Aku bisa melihatnya," gumam Myungsoo ikut tersenyum. Ia tidak tau jika Sooji juga bisa terpikat oleh rayuan maut Jorge, tidak diragukan lagi jika pria itu benar-benar seorang perayu handal.

"Bagaimana denganmu?"

Myungsoo terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba tersebut, ia menoleh kepada Sooji yang sudah menatapnya penuh tanya. Alisnya berkerut samar, "kenapa denganku?" tanyanya mengulang pertanyaan Sooji dengan nada kebingungan.

"Kabarmu selama ini..dan apa yang kau lakukan di sini?" Sooji memperjelas pertanyaannya.

"Yah, seperti yang kau lihat. Tidak ada perubahan berarti, dan aku memutuskan untuk menetap di kota ini," jawab Myungsoo sembari mengangkat bahunya, ia melihat Sooji terkejut dengan jawabannya sebelum wanita itu memalingkan wajah.

"Kenapa memilih tempat ini?" Pertanyaan itu keluar begitu saja sebelum Sooji menyadarinya, saat sadar, wanita itu malah menepuk bibirnya karena sudah menanyakan hal yang bersifat terlalu pribadi.

"Hmm, entahlah, kupikir aku memiliki ikatan dengan kota ini...semacam itulah," Myungsoo menjawab di saat Sooji tidak berpikir jika pria itu mau menjawabnya, "kota ini terlalu indah untuk diabaikan, bukan?"

Sooji menoleh dan mengangguk, ia menatap hamparan langit biru yang begitu cerah, tanpa terganggu oleh polusi udara yang biasa didapatkannya di kota-kota besar. Ia kemudian menghirup nafas dalam-dalam.

"Kupikir kita memiliki selera yang sama," ucapnya menatap Myungsoo, pria itu terlihat kaget namun, tidak mengatakan apa-apa melainkan mengangkat satu alisnya, "maksudku dalam pemilihan kota. Aku juga suka di sini," terang Sooji lagi, wanita itu tersipu dengan alasan yang tidak jelas sehingga membuatnya terpaksa membuang wajah dari tatapan Myungsoo.

"Aku setuju dengan perihal itu," Myungsoo tersenyum saat melihat reaksi Sooji, ia mendesah panjang lalu mendongak menatap langit cerah. Matanya terpejam, untuk sesaat ia membiarkan keheningan menyelimuti dirinya dalam kedamaian.

"Sooji, apa kau mengingatnya?" Myungsoo bertanya dengan mata yang masih terpejam, Sooji melirik dari balik bulu matanya yang lentik, memandangi Myungsoo yang terlihat sedang menikmati semilir angin sore menempa wajahnya dan menerbangkan beberapa helai rambut lurusnya.

"Ingat apa?"

"Kota ini," pria itu bergumam pelan lalu menghentikan kalimatnya, ia membuka mata dan secara tiba-tiba menunduk untuk menangkap basah Sooji yang sedang mengamatinya. Ia tersenyum tipis ketika wanita itu gelagapan namun, tetap tidak mengalihkan pandangannya, "adalah tempat pertemuan pertama kita."

Sooji menegang untuk alasan yang tak pasti, ia tidak berkedip saat melihat senyum melengkung lebar di wajah Myungsoo, sapuan angin tidak membantu untuk merapikan rambut pria itu melainkan membuatnya berantakan, tapi entah mengapa itu terlihat baik-baik saja di mata Sooji. Pandangannya kemudian beralih ke bibir tipis yang terlihat mengkilap, hidung tinggi yang memancarkan ketegasan serta tulang pipi keras pria itu, dan terakhir ia menatap jauh ke dalam manik hitam kelam milik Myungsoo. Untuk sesaat ia menahan nafas.

Pertemuan pertama?

Ya, Sooji sangat mengingatnya. Di mana semuanya bermula, satu malam yang mengubah seluruh hidup yang telah ia rencanakan dengan sangat sempurna. Malam yang telah merenggut jiwa dan raganya.

"Apa aku masih memilikinya?" Pertanyaan Myungsoo langsung menyadarkan Sooji dari ingatan malam natal mengerikan itu, ia menatap Myungsoo dengan heran.

"Apa?"

"Kesempatan itu, masikah?"

Sooji tidak sadar kapan Myungsoo berhasil meraih tangannya, tapi ketika pertanyaan itu dilontarkan tiba-tiba saja ia merasakan jemarinya menghangat, secara refleks ia menunduk menatap jalinan jemari Myungsoo di atas miliknya. Ia kembali mendongak, Myungsoo terlihat menunggu dan tidak mendesak, tapi terlihat sangat berharap.

Ia kembali mengingat malam itu, di mana ia dan Myungsoo untuk pertama kalinya bertemu dan membiarkan dirinya pasrah di bawah kekuasaan pria itu, ia membiarkan Myungsoo mengambil miliknya yang paling berharga. Ingatannya kemudian beralih ketika menemukan dirinya telah hamil, pengakuannya terhadap Sehun, kejadian buruk yang menimpa bayinya, hingga ketika ia meminta berpisah dari Sehun dan menyebabkan pria itu meninggalkannya dengan kepingan hati yang tak utuh lagi. Semua kilasan memori itu kembali terlintas di depannya, seperti sebuah film dokumenter yang di proyeksikan ke dalam retinanya. Semua terasa jelas dan nyata.

Dan apa yang dirasakannya?

Sooji tidak merasakan apapun selain perasaan damai dan tenang, seolah semua kejadian itu telah menjadi kenangan dalam hidupnya yang telah ia simpan di tempat terbaik dalam dirinya, sehingga ketika kenangan itu kembali mencuat, ia tidak akan merasakan sakit itu lagi.

"Sooji?"

Suara Myungsoo kembali menyadarkannya, dan tanpa menunggu ia menganggukkan kepalanya, mengikuti permintaan hatinya untuk memberikan pria itu satu kesempatan.

Atau lebih tepatnya, memberikan dirinya kesempatan kedua untuk membuka hati lagi.

***

"Sudah siap?" Myungsoo muncul di balik pintu, mengagetkan para wanita dalam ruangan itu, untuk sesaat mereka terkejut namun, kemudian pemahaman terpatri dalam wajah mereka saat melihat senyum malu-malu yang diperlihatkan oleh Sooji saat mendekati pintu.

"Kalian akan kencan?" Tanya Hera, salah satu perawat di sana yang seumuran dengan Sooji, alih-alih menjawab Myungsoo hanya memberikan kerlingan menggoda padanya membuat godaan-godaan lain terdengar, sementara Sooji semakin malu karena mendapat godaan dari teman sesama perawatnya.

"Sudah, jangan menggoda Sooji lagi. Kepalanya hampir meledak karena kepanasan," seru Pelope yang tak menyadari dirinya juga tengah menggoda Sooji.

"Baiklah, aku pergi dulu. Sampai jumpa saat makan malam." Sooji menyahut dengan cepat lalu segera menarik Myungsoo keluar dari sana, ia masih bisa mendengar suara tawa ke empat wanita itu ketika sampai ke pintu utama dan Sooji hanya bisa meringis malu.

"Kau terlihat cantik," komentar Myungsoo tiba-tiba membuat Sooji menoleh padanya dan berdecak.

"Oh terima kasih. Usaha yang bagus," tukasnya jengah, Myungsoo tersenyum lalu mengamit tangan Sooji untuk bergandengan menuju mobilnya.

"Senang melihat kejutekanmu lagi, nona," ungkapnya dengan nada ceria, Sooji hanya mengabaikan. Ia membiarkan Myungsoo membuka pintu mobil untuknya dan duduk dengan tenang di dalam sana.

Setelah minggu lalu Myungsoo meminta diberi kesempatan dan ia menerimanya, pria itu terlihat begitu semangat dan langsung merencanakan apa saja yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkan keuntungan dalam kesempatan tersebut. Sooji hanya memutar bola mata dan memperingati Myungsoo agar tidak bersikap terlalu agresif, karena ia tidak menyukainya dan Myungsoo langsung patuh.

Alhasil, ajakan itu datang lima hari setelah pertemuan mereka kembali. Sooji setidaknya menemukan sedikit rasa antusias dalam dirinya saat Myungsoo mengatakan ingin mengajaknya ke tempat yang menyenangkan dan menghambiskan waktu siang untuk makan di restoran terenak. Sebenarnya sejak kemarin ia sudah tidak sabar untuk hari ini, tentu saja ketidaksabarannya bukan karena akan berkencan bersama Myungsoo, melainkan pada tempat dan restoran yang akan ia kunjungi. Benarkan?

"Selama tiga bulan apa kau tidak pernah berjalan keluar?" tanya Myungsoo memecahkan keheningan.

"Tidak, aku terlalu sibuk mengurus anak-anak," jawab Sooji memalingkan wajah keluar jendela dan menatap jalan-jalan Vatikan yang sudah terlihat ramai, "lagipula aku tidak memiliki teman untuk di ajak pergi."

"Apa Jorge tidak pernah mengajakmu?"

Sooji tertawa saat mendengar pertanyaan itu, "dia lebih senang menghabiskan waktu bersama anak-anak saat mampir ke rumah singgah dan akan menggodaku ketika ia hendak pulang."

"Dia benar-benar seorang perayu," gerutu Myungsoo namun, tidak menahan tawanya memikirkan Jorge yang lebih terpesona kepada anak-anak dibandingkan Sooji.

"Jadi, kau akan membawaku ke mana?" Sooji bertanya antusias, menoleh menatap Myungsoo yang fokus mengemudi.

"Kau ingin ke mana?"

"Eh? Bukannya kau bilang ingin mengajakku di tempat yang menarik?" Sooji mengangkat alis dan melemparkan tatapan penuh tuduhan kepada Myungsoo yang saat ini hanya meringis di tempatnya.

"Ya, kupikir kau tidak akan menolak jika aku merayumu dengan hal semacam itu," ujar Myungsoo hati-hati. Sooji melotot dan memukul bahunya sekeras mungkin.

"Dasar brengsek!"

"Ya, itu yang dulu selalu katakan.." Myungsoo menyahut dengan geli, "jangan marah, aku hanya bercanda. Kita akan ke tempat yang akan kau sukai," ia melanjutkan dengan suara penuh percaya diri, Sooji tidak menyangkal bahwa ia menanti ke mana Myungsoo di bawanya.

Satu jam kemudian Sooji terus melirik keluar, ia yakin sekitar setengah jam yang lalu mereka baru saja meninggalkan gerbang utama Vatikan, tapi ia tidak terlalu yakin. Baru detik ini ia menyadari ketika mereka melewati jalan yang terlihat berbeda. Meskipun baru tiga bulan tinggal di Vatikan dan jarang keluar rumah, ia bisa membedakan kota-kota itu dengan kota lain. Vatikan terasa lebih konservatif karena seperti yang diketahui, kota ini adalah sebuah kota suci di mana uskup-uskup besar berada namun, jalanan yang dilewatinya beserta orang-orang di sana tidak terlihat seperti di Vatikan.

"Kita ada di mana Myungsoo?" tanyanya kemudian, ia menoleh untuk menemukan senyuman Myungsoo yang melebar.

"Sejak tadi aku menanti pertanyaan ini, Sooji," alih-alih menjawab, Myungsoo malah menyahut dengan kalimat yang membingungkan.

"Welcome to Rome."

Dan saat itu Sooji tidak bisa menahan diri untuk tidak tercengan menyadari di mana dirinya berada.

Roma!

*

Myungsoo tersenyum saat sedari tadi wanita itu tidak berhenti menatapnya sembari berdecak, mendengus kemudian kembali berdecak. Ia menikmati pemandangan tersebut, diluar antusiasmenya karena berada di salah satu kota seni, arsitektur yang unik, dan sejarah yang menarik, wajah tercengang Sooji sepertinya lebih menarik minatnya.

Ia memang sengaja membawa wanita itu ke kota ini, di luar pengetahuannya bahwa Sooji mungkin tidak akan terkesan jika ia membawa wanita itu ke tempat romantis di kencan pertama mereka, jadi museum atau bangunan-bangunan bersejarah mungkin adalah pilihan yang lebih aman.

"Kupikir kau akan senang kubawa ke sini," gumamnya saat melihat Sooji memperhatikan sekeliling mereka, wanita itu menoleh sekilas padanya lalu berjalan menjauh.

"Dasar tidak romantis!"

Myungsoo masih bisa menangkap gerutuan tersebut dan ia tidak mampu menahan tawanya, mengejar wanita itu kemudian mengamit lengannya dengan lembut, "aku rasa berkencan di dalam museum tidak terlalu buruk. Ini pengalaman pertamamu kan?"

Sooji tidak menampik, tidak pula membenarkan, ia hanya berdehem pelan menyatakan bahwa usaha Myungsoo untuk membela diri sama sekali tidak berhasil. Sooji pernah mendengar mengenai Castel Sant' Angelo, salah satu museum kastil yang kuno dengan bentuk uninya yang silindris, lokasinya berada di tepi kanan sungai Tiber dan terhubung dengan seberang sungai yang melewati Ponte Sant' Angelo, sebuah jembatan yang dilapisi oleh marmer travertin dan memiliki lima lengkungan.

Ia melirik sekelilingnya yang dipenuhi oleh berbagai macam barang yang membuat para wisatawan bisa mempelajari tentang sejarah italia lebih dalam lagi. Sooji cukup tertarik melihat-lihat isi kastil ini, tapi ia merasa saat ini bukan waktu yang tepat. Lagipula dalam konteksnya, Myungsoo seharusnya membawanya ke tempat yang lebih tepat untuk berkencan dan tiba-tiba saja ide di kepalanya untuk memberikan Myungsoo kesempatan sepertinya tidak berjalan sesuai harapannya.

"Ayolah Sooji, setidaknya beri aku sedikit senyumanmu...jika kau tidak menyukai tempat ini, aku masih memiliki destinasi lain yang lebih menarik." Myungsoo membawanya ke tengah-tengah kastil untuk melihat beberapa monumen bersejarah di Itali, tapi ia tidak memperhatikannya karena matanya sudah memandang Myungsoo penuh spekulasi.

"Aku bukannya tidak suka. Tapi, kau mengatakan ini kencan..."

"Oh tentu saja," Myungsoo tersenyum lebar menyelanya, pria itu kemudian berbalik untuk menariknya keluar dari tempat ini, "kita akan pergi ke tempat yang lain."

Sooji awalnya berpikir mungkin kewarasan Myungsoo sudah kembali setelah keluar dari museum tersebut namun, pemikirannya salah karena nyatanya Myungsoo membawanya ke museum lain. Palazzo Doria Pamphilj, sebuah galeri seni yang memamerkan karya-karya fantastis dari seniman di Itali, dan Sooji tidak tahan untuk memutar bola matanya saat Myungsoo melihat deretan lukisan-lukisan di sana dengan tatapan takjub.

Ah ia lupa, Myungsoo adalah pekerja seni. Jadi pria itu jelas telah menemukan tempat yang tepat untuknya.

Dan Sooji menyerah untuk merajuk ketika pria itu membawanya berkeliling di Roma mengunjungi tempat-tempat bersejarah lain yang sungguh tidak romantis. Seperti, Trevi Fountain, sebuah air mancur terbesar di Roma yang memiliki patung Neptunus di tengahnya, Fora Romano, alun-alun yang dipenuhi oleh sejumlah puing-puing bangunan kuno yang berada di jantung kota, dan Phanteon, sebuah kuil yang ada di zaman kekaisaran romawi dan sekarang telah berubah fungsi menjadi sebuah Gereja Khatolik.

Ia tidak menyangka Myungsoo memilih Gereja sebagai destinasi kencan mereka, jika museum masih bisa ia tolerir, tapi Gereja? Pria itu benar-benar sinting.

"Jadi setelah ini ke mana lagi?" Sooji bertanya dengan nada yang sama sekali tidak terdengar antusias, hari telah menjelang sore dan ia merasa kelaparan lagi, meskipun tadi ia sempat makan dua potong cheeseburger yang dibeli Myungsoo di foudcourt drive-in, tapi itu tidak membuat kelaparannya menghilang.

"Kau sepertinya sudah lelah," ucap Myungsoo tanpa rasa bersalah, pria itu menarik tangannya untuk keluar dari pelataran halaman Phanteon. Sooji hanya mendesah panjang, sepertinya lama tak bertemu membuat Myungsoo berubah semakin menyebalkan dari dua tahun yang lalu.

*

Myungsoo melirik Sooji yang duduk di sampingnya dengan bibir terkatup rapat, matahari hampir terbenam saat mereka meninggalkan Piazza Navona, salah satu destinasi yang paling populer di Roma. Ia membawa Sooji untuk makan di restoran yang berjejer di sepanjang alun-alun Piazza, membiarkan wanita itu memilih makanannya untuk menyenangkan hatinya. Myungsoo hanya bisa puas melihat antusiasme Sooji ketika melahap makanan itali yang mereka pesan, ia tidak bisa mengharapkan apa-apa lagi.

"Kau masih marah?"

"Aku tidak marah." Jawab Sooji ketus, sangat bertentangan dengan kalimatnya. Myungsoo mendesah panjang, ia mengulurkan tangan dan menyentuh punggung tangan Sooji.

"Aku memang bukan orang romantis, Sooji."

"Aku tau."

"Aku baru pertama kali mengajak wanita berkencan."

"Tidak diragukan lagi."

Myungsoo kembali mendesah, "aku senang karena kau mau memberiku kesempatan.."

"Ya, bagus untukmu."

"Sooji?" Myungsoo melenguhkan nama itu dengan desahan panjang, membuat Sooji yang tadi mengabaikannya langsung menoleh dengan tatapan tajam, "baiklah kupikir aku merusak kencan pertama kita. Sorry." Ungkapan Myungsoo disertai dengan ringisan rasa bersalah itu membuat Sooji menggigit pipi dalamnya guna menahan senyum.

"Maaf diterima," gumamnya acuh kemudian kembali mengabaikan Myungsoo, pria itu hanya tersenyum lalu menggenggam tangan Sooji yang menerima tangannya.

"Jadi kita ke mana lagi? Ini sudah malam," Sooji bergumam setelah sepuluh menit hening, "kuharap bukan museum atau gereja lagi, Kim Myungsoo?" Dalam suaranya, Sooji terdengar menuduh serta mengancam, membuat Myungsoo mau tak mau hanya tersenyum kikuk.

"Apa kau keberatan jika kita menginap di sini?"

Dan tubuh Sooji melonjak ke arahnya, "kau bercanda?" teriaknya dengan mata melotot, Myungsoo meringis sembari menggelengkan kepala.

"Matahari terbit di Roma, sangat menyenangkan untuk dilihat."

"Tapi aku tidak izin, bagaimana jika Silvia mencariku?"

Untuk kali ini Myungsoo bisa merasa lebih percaya diri, "aku sudah mengatakan padanya, dan dia memberi izin tanpa hambatan."

"Kau sinting!"

"Kuanggap itu pujian, sayang."

Tiba-tiba atmosfir dalam mobil terasa canggung, Myungsoo yang kelepasan memanggil 'sayang' seperti kebiasaannya dulu pada wanita itu langsung mengatupkan bibirnya, sementara Sooji merasa jengah sekaligus geli saat mendengarnya. Jika dulu mungkin ia akan murka, tapi sekarang...ia merasa baik-baik saja. Dan kecanggungan mereka berlanjut sampai mereka tiba di tujuan.

Sooji mengkerutkan keningnya saat keluar dari mobil, Myungsoo tidak membawanya ke hotel atau tempat penginapan, ia malah menemukan sebuah taman yang besar. Dengan penasaran ia membalikan tubuh menatap pria yang sedang berdiri di seberang mobil.

"Kau ingin kita menginap di taman?"

Tawa Myungsoo terdengar tepat setelah pertanyaan itu diajukan, ia melintasi mobil dan mendekati Sooji, "tempat terakhir...kurasa cukup tepat untuk menutup kencan berantakan ini," ucapnya sedikit merasa canggung. Sooji hanya melebarkan mata terkejut lalu membiarkan Myungsoo menarik tangannya, membawanya memasuki taman tersebut lebih dalam lagi.

Saat melewati gerbang depan, ia akhirnya tau di mana Myungsoo membawanya, Villa Borghese, ia pernah menemukan artikel yang mengulas tentang taman yan katanya paling besar di kota Roma ini saat mencari destinasi wisata terbaik di dunia. Meskipun tidak dalam jejeran sepuluh besar, tapi taman ini termasuk lokasi wisata terkenal di Roma.

Sepanjang penglihatannya, Sooji bisa melihat patung-patung, air mancur serta danau yang airnya terlihat gelap, segelap malam. Meskipun malam hari, tapi itu tidak membuat daya tarik taman ini berkurang, malah terlihat semakin indah di bawah sinar bulan beserta kerlap-kerlip lampu yang menerangi beberapa sudut. Banyak pohon-pohon yang tumbuh sejauh matanya memandang yang mana itu membuat taman ini terasa lebih sejuk.

"Ini sudah jam delapan, galeri dan museumnya sudah tutup."

Rasa takjub yang baru saja ia rasakan tadi seakan terhempas saat mendengar ucapan Myungsoo, "pikiranmu tidak jauh-jauh dari museum, ya?"

Myungsoo tersenyum sekilas, "aku menyukainya. Semua tentang seni, aku suka."

"Yah, bisa kulihat."

Myungsoo kemudian membawa Sooji untuk duduk di salah satu bangku yang berada di bawah naungan pohon besar, di hadapan mereka terdapat air mancur yang memiliki beberapa lampu hias di sekelilingnya yang akan menyala ketika airnya meluncur ke atas.

Sooji memperhatikan air mancur tersebut dalam diam, sementara Myungsoo mengamati wajah Sooji.

"Sooji?"

"Ya?"

Myungsoo menggaruk tengkuknya beberapa saat, lalu ia menarik nafas, "sudahkah aku meminta maaf padamu?" tanyanya yang berhasil menarik perhatian Sooji.

"Sudah, lain kali kalau mau mengajakku berkencan, tolong diskusikan dengan Jorge. Kurasa dia orang yang tepat untuk memberi saran," jawab Sooji panjang lebar, Myungsoo tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.

"Bukan, maksudku atas apa yang telah kulakukan dulu."

"Oh?" Sooji terkesiap menatap Myungsoo, pria itu sedang membicarakan masa lalu dan ia tidak punya pilihan untuk menolak membahasnya. Lagipula, cepat atau lambat mereka pasti akan membahas masalah ini.

"Terlepas dari kau telah meminta maaf ataupun tidak, aku sudah memaafkanmu Myungsoo. Jauh sebelum pertemuan kita minggu lalu."

Myungsoo bisa mendesah lega saat mendengar hal itu, tapi tetap saja ia masih merasa gundah, "tapi aku tetap ingin minta maaf. Maaf karena telah mengacau," ungkapnya sembari menarik tangan Sooji dan mendekap di depan dadanya.

Sooji tersenyum kecil, ia mengusap lengan Myungsoo dengan tangannya yang bebas.

"Aku memaafkanmu Myungsoo."

"Kau tidak tau, seberapa menyesalnya aku selama ini," Myungsoo bergumam dengan kepala tertunduk, ia masih menggenggam tangan Sooji, "selama dua tahun aku menghabiskan malamku dengan menemuimu dalam mimpi...bersama anak kita." Suara Myungsoo berubah menjadi serak saat mengucapkan kata terakhir, ia menarik nafas panjang, tidak menunggu komentar Sooji karena ia telah melanjutkannya.

"Aku tidak bisa melupakannya, apa yang telah kulakukan, apa yang telah kuhancurkan, dan apa yang telah kudapatkan setelah semua itu. Aku tidak bisa melupakanmu."

Sooji mendapati dirinya hampir menangis saat mendengar pengakuan Myungsoo, ia terus mengusap lengan pria itu untuk membiarkan Myungsoo tau bahwa ia mengerti semuanya.

"Aku..aku selalu berharap bisa bertemu denganmu lagi."

"Kita bertemu lagi, Myungsoo," bisik Sooji dengan pelan, "kita telah bertemu dan lupakanlah semuanya. Biarkan semua cerita itu tersimpan dalam kotak pandora di hatimu, dan tetap jalani hidupmu untuk saat ini dan untuk masa depan."

Myungsoo mengangkat kepalanya dan menemukan Sooni tersenyum kepadanya, ini pertama kalinya ia mendapatkan senyuman tulus wanita itu dan hatinya kembali bergetar ketika mengetahui bahwa ia masih memiliki harapan itu. Jika ia berusaha lebih kuat lagi, ia pasti akan memiliki kesempatan.

"Sooji, apa kau tau jika aku tidak bisa tidur setelah pertemuan kita minggu lalu?"

Sinar terkejut terlihat di mata wanita itu, lalu kemudian ia memandang dengan geli, "oh ya? Dan kenapa itu bisa terjadi?"

"Aku terlalu bahagia. Bertemu denganmu lagi adalah salah satu impianku selama dua tahun terakhir."

Sooji tidak bisa merasa tidak terharu dengan pengungkapan perasaan Myungsoo yang blak-blakan terhadapnya, jadi sebagai balasan ia membalas genggaman tangan Myungsoo sama eratnya.

"Terima kasih, Myungsoo."

Myungsoo kembali dibuat terkesima oleh senyuman tulus Sooji, ia menatap wanita itu penuh kasih sayang, "aku sangat suka senyumanmu," gumamnya pelan, satu tangannya terulur untuk menyentuh sudut bibir Sooji dan ia tersenyum saat merasakan ketegangan di tubuh wanita itu.

"Aku akan lebih sering tersenyum kalau begitu," ucap Sooji tanpa sadar dan Myungsoo mengangguk puas.

"Mau kuberitahu satu rahasiaku lagi, sayang?" Myungsoo mengedip genit dengan suara dibuat mendayu-dayu membuat Sooji tidak bisa menahan getaran geli di perut bawahnya. Godaan Myungsoo sangat simpel, tapi cukup berpengaruh.

"A--apa?" Dan dengan susah payah ia berhasil mengeluarkan gumaman tersendat itu dari bibirnya, Myungsoo tersenyum, menarik kedua tangannya dan mencium buku-buku jarinya dengan lambat dan penuh perasaan. Sooji memejamkan mata merasakan sentuhan hangat Myungsoo.

Mengapa Myungsoo bisa berubah selembut ini?

"Ti Amo."

CONTINUED.

Besok ending...eh gk mksdunya part slanjutnya udah ending. Sebenarnya aku maunya ending di sini aja sih...ya tapi kalian pasti ngamuk 😅 jdi tmbah stu part lagi 😆

Kalau penasaran dgn tmpat" myungsoo bawa suzy, silahkan cri di gugel. Ada kok 😉

See you di endingnya besok...iya besok-besok 🙌🙌🙌

[22/08/17]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top