ED 20 | Tormented
Sooji menunduk menatap jemarinya yang saling berjalinan, untuk kesekian kali ia merasakan dadanya sesak akibat masalah-masalah yang terjadi belakangan ini. Setelah sebelumnya ia berhasil menghadapi tuntutan dari kedua orangtuanya atas keputusan yang telah ia ambil--meskipun dengan berurai airmata, kali ini ia memberanikan diri mendatangi orangtua Sehun.
Kabar keinginannya untuk berpisah telah diketahui oleh mertuanya, tapi alasan pastinya belum sempat ia beritahukan. Sehun pun tidak berniat untuk angkat bicara pada orangtuanya sendiri, jadi dengan memantapkan hati Sooji mendatangi rumah orangtua Sehun pagi ini.
"Jadi kau bisa jelaskan nak? Apa masalah kalian sebenarnya," Jinhee--ibu Sehun menatap sedih Sooji di hadapannya, ia tidak mengerti akan keputusan yang diambil oleh mereka berdua.
"Ceritanya panjang, Bu," Sooji bergumam pelan sebelum menghela nafas, "aku berharap Ibu dan Ayah mau mendengarkan penjelasanku hingga selesai."
Sepasang suami istri di hadapannya mengangguk mengerti, Sooji kemudian mulai bercerita. Pertama alasannya meminta pisah dari Sehun, dan ia tidak melewatkan raut terkejut orangtua pria itu namun, mereka menghargainya jadi yang mereka lakukan hanya diam dan terus mendengarkan.
Sampai akhirnya ia mengakui jika dirinya hamil anak dari pria lain, Sooji tidak bisa merasa lebih tersiksa lagi ketika melihat sinar kekecewaan terpancar dari kedua orangtua Sehun untuknya. Ia semakin menunduk dan menggumamkan kata maaf kepada mereka.
"Mengapa..." Jinhee tidak dapat berkata-kata, ia hanya mampu menangis melihat Sooji dan membayangkan masalah yang menempa kehidupan rumah tangga putranya, "oh putraku yang malang."
Sooji meringis, semua ini memang layak ia dapatkan karena telah menyakiti Sehun. Ia mengintip dari balik bulu matanya yang basah, melihat Jinhee menangis dalam pelukan suaminya dan kemudian menarik nafas dalam-dalam.
"Maafkan aku, Bu. Aku telah mengecewakan kalian semua, maaf," gumamnya terus menerus. Dalam ruang keluarga itu keheningan tercipta. Hanya terdengar isakan-isakan memilukan dari kedua wanita di sana, sementara Tuan Oh hanya bisa menghela nafas dan mengurut dada.
"Kami menerima keputusanmu nak. Itu hak kalian untuk memutuskannya," gumam Tuan Oh kemudian, Sooji menatapnya meskipun terlihat menerima, tapi ia masih bisa melihat kekecewaan itu di wajah Tuan Oh.
"Maafkan aku. Ini yang terbaik untuk kami," ujar Sooji lirih kemudian mengangguk samar.
*
"Aku sudah menemui orangtua Sehun dan mengatakan semuanya," ucap Sooji menyesap teh hijau hangat miliknya, "aku juga mengatakan masalah Sehun yang kembali kambuh. Mereka setuju untuk membawanya ke psikiater."
Jiwon kemudian menghela nafas lega, ia menatap Sooji penasaran, "apa mereka tidak menyalahkanmu?"
Sooji tersenyum kecil dan menggeleng, "kau tau darimana kebaikan Sehun berasal," ujarnya dengan nada bangga, "yah selain rasa kecewa yang mereka perlihatkan padaku, kurasa mereka menerimanya."
Sekali lagi Jiwon menghela nafasnya, "lalu bagaimana selanjutnya? Persidangan akan segera di proses kan?"
"Tentu, kami hanya perlu menghadiri mediasi sebelum melakukan sidang keputusan," jawab Sooji dengan yakin, "apa kau sudah bertemu dengan Sehun?" tanyanya kemudian, terselip nada khawatir dari pertanyaannya dan Jiwon menyadari hal tersebut.
"Sudah, beberapa hari lalu aku ke kantornya. Dia terlihat baik," Jiwon menghentikan ucapannya lalu meralat, "tidak, maksudku dia berusaha untuk terlihat baik di depanku dan itu tidak berhasil. Aku selalu tau kapan dia sedang berpura-pura."
Sooji menarik nafas panjang, "aku belum bertemu dengannya. Kupikir dia sangat marah padaku."
"Tentu saja dia marah. Siapa yang tidak marah jika kau meminta berpisah begitu saja," Jiwon bersengit sinis, membuat wajah Sooji menjadi murung.
"Ini demi kebaikan kami Jiwon."
Jiwon tersenyum kecil lalu menepuk pundak Sooji, "aku tau, aku tau. Itu hanya lelucon," ia tertawa saat mengucapkan hal itu, sedetik kemudian Jiwon menghentikan tawanya dan melanjutkan, "setelah kupikir-pikir memang keputusan terbaiknya adalah berpisah, kau sudah melakukan yang benar."
"Terima kasih Jiwon. Kau memang sahabat yang pengertian."
***
"Ish! Aku kehilangan pasporku. Kenapa harus ke pengadilan segala? Kemarin aku sudah ke kantor imigrasi untuk melaporkannya. Apa sebenarnya yang kalian kerjakan ha?"
Sohee membentak salah satu staf agensinya melalui ponsel, membuat beberapa orang di sana menatapnya heran. Tapi wanita itu terlalu marah untuk menyadari dirinya sedang menjadi bahan perhatian saat ini.
"Aku tidak mau tau. Cepat selesaikan urusanku di sini dan minta Changwoo untuk menjemputku!"
Setelahnya Sohee menutup teleponnya dengan marah, ia menarik nafas berkali-kali dengan mata melotot. Merasa sedang diperhatikan ia melirik sekitarnya dan tiba-tiba saja ia mengumpat.
"Dasar bodoh! Ceroboh." Gerutuan Sohee menghilang bersamaan dengan tubuhnya yang melesat pergi dari sana, ia berjalan menyusuri gedung itu dan mencari sesuatu petunjuk yang bisa mengantarnya untuk mengurus kehilangan paspornya.
"Huh, kenapa juga paspor sialan itu harus hilang. Ini merepotkan," ujarnya pada diri sendiri, ia terus berjalan melewati beberapa pintu. Ia mengintip di sela-sela jendela yang tidak tertutupi gorden dan dapat melihat ruangan besar dengan beberapa baris kursi serta meja yang terisi, "oh begini rupanya ruang sidang," gumamnya pelan.
Selama ini ia hanya melihat ruang sidang melalui saluran berita di tv, itupun tidak terlalu sering karena ia malas menonton tv.
Saat sedang memperhatikan isi ruangan tersebut, seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya.
"Yoon Sohee-ssi?" Seorang wanita muda tersenyum tipis dan menyapanya.
"Iya aku Yoon Sohee."
"Saya Baek Sumi, maaf membuat anda kerepotan. Sebentar lagi sidang berakhir, anda bisa menunggu di sini," ujar Sumi, Sohee mendengus, tapi tidak menolaknya. Alhasil ia mengambil tempat duduk di depan ruang sidang dan menunggu sesuai instruksi wanita muda itu. Kalau bukan karena ia memiliki jadwal pemotretan di China besok, sudah pasti ia menolak untuk mengurus sendiri masalah ini dan parahnya lagi para staf di agensinya benar-benar lelet.
Ketika di menit ke sepuluh, Sohee menguap. Ia tidak terbiasa menunggu. Namun, penderitaannya langsung berakhir saat ia melihat beberapa orang keluar dari ruang sidang, senyumnya terukir ketika melihat Baek Sumi mendekatinya bersama seseorang--yang ia yakini adalah orang yang akan mengurus masalah paspornya.
Namun, matanya menyipit saat menangkap sosok di belakang Sumi. Pria itu sangat dikenalinya dan saat melihat lebih dekat, ia akhirnya tau.
"Oh Sehun?" gumamnya dengan suara pelan, belum sempat menyapa pria itu, ia kemudian menangkap sosok lain, "Sooji?" Sohee semakin bingung, apa yang mereka lakukan di sini dan mengapa mereka berada dalam ruang sidang?
"Sohee-ssi?"
Semua pertanyaan di kepalanya buyar saat Sumi menegurnya, ia mengerjap kemudian menatap wanita itu, "o--oh ya?"
"Silahkan ikut saya, prosesnya tidak akan lama."
Sohee mengangguk kikuk lalu mengikuti langkah Sumi, di tengah jalan ia menoleh dan melihat Sehun beserta Sooji berjalan menjauhinya bersama beberapa orang lainnya. Dan kemudian pertanyaan itu kembali padanya, apa yang mereka lakukan di sini?
*
Sooji menghela nafas panjag, setelah menghabiskan waktu selama 45 menit dalam ruangan ini, akhirnya putusan di jatuhkan. Ia telah resmi bercerai dengan Sehun hari ini.
Melirik pria yang duduk di sampingnya, ia kembali menghela nafas. Berdiri untuk menghampiri pria itu, kemudian menepuk pundaknya.
"Sehun, semuanya sudah selesai."
Sehun mendongak menatap wajah Sooji dengan nelangsa, ia menggeleng namun, tatapan Sooji tetap tidak berubah. Semuanya telah berakhir.
"Maafkan aku. Ini yang terbaik untuk kita berdua," bisiknya pelan lalu membiarkan Sehun bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar. Ia tersenyum miris saat pria itu sama sekali tidak ingin berbicara padanya lagi.
"Sooji? Bisa ikut bersamaku sebentar, kita perlu membahas beberapa hal." Seorang wanita paruh baya yang memakai jas dokter mendekatinya, "aku juga akan mengajak Tuan Oh."
Sooji mengangguk menyetujui lalu mengikuti mereka keluar dari ruang sidang. Setelah hari ini harusnya bebannya telah menghilang namun, melihat wajah murung Sehun membuat dirinya tidak tenang. Ia tidak senang dengan pikiran bahwa Sehun mungkin akan terpuruk atas keputusan mereka saat ini, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk merubahnya.
Ia melangkah memasuki sebuah ruangan berukuran kecil namun, terasa nyaman dengan sofa ganda yang empuk dan suhu ruangan yang sejuk. Ia bersama Sehun duduk di depan dokter Cho, selaku psikiater yang dimintanya untuk menangani masalah Sehun.
"Aku hanya ingin menyampaikan beberapa masalah mengenai terapi Sehun ke depannya," ujar dokter Cho, Sooji mengangguk memperhatikan saat dokter Cho menjelaskan selama tiga bulan ke depan Sehun akan melalukan terapi rutin untuk memperbaiki kendali emosi serta pola pikirnya.
"Dan dalam hal ini kami menyarankan agar kau memiliki pendamping selama masa terapi," kini dokter Cho beralih menatap Sehun yang hanya diam saja, Sooji ikut menatap pria itu kemudian menghela nafas.
"Aku akan bicara pada ayah dan ibunya, mereka pasti bisa meluangkan waktu."
Dokter Cho tersenyum maklum menatap Sooji, "kalau begitu sudah dipastikan kalau terapi ini akan berlangsung tanpa hambatan," ucapnya kemudian.
"Tentu," gumam Sooji pelan, hingga mereka keluar dari ruangan itu, Sehun belum juga mau mengeluarkan suaranya sehingga Sooji hanya bisa mendesah menanggapi hal itu. Dokter Cho cukup memahami perilaku Sehun.
"Terima kasih dok, aku harap bisa mendengar kabar baik tiga bulan lagi."
Dokter Cho mengangguk untuk menyalaminya, setelahnya ia berbalik hendak berjalan namun, Sehun menahan lengannya.
"Sehun?"
"We need to talk." Suara Sehun terdengar berat dan gemetar, Sooji menatapnya sedih lalu mengangguk.
"Kita bisa bicara sambil makan siang," ucap Sooji mengusulkan namun, Sehun menolak. Pria itu menarik lengannya dan membawanya keluar dari gedung pengadilan dan berjalan ke belakangnya.
"Sehun, kita bisa cari cafe dekat sini."
"Kita tidak memerlukan itu Sooji, aku hanya ingin berbicara berdua denganmu," Sehun menyahut tanpa menghentikan langkahnya, "apa aku benar-benar tidak ada kesempatan lagi?" tanyanya sesaat kemudian. Sooji menghela nafas.
"Kau tau jawabannya Sehun."
"Apa karena kau ingin bersama pria itu?" Sooji bisa menangkap nada marah dalam pertanyaan itu dan ia mengusap lengan Sehun.
"Tentu saja tidak."
"Jadi kenapa? Kenapa kau meninggalkanku?"
Sooji dapat melihat wajah Sehun mengeras dari samping, ia memejamkan mata sejenak untuk menahan diri. Ia harus bisa meyakinkan Sehun jika keputusan inilah yang terbaik.
"Sehun, kau tau aku melakukannya untukmu."
"Tidak. Kau tidak melakukan ini untukku. Kau tidak mencintaiku lagi," Sehun terus berbicara dan membawanya memasuki sebuah gang kecil, ia terus berjalan tanpa henti, "jika kau mencintaiku kau tidak akan minta berpisah. Kau tidak akan bahagia saat kita berpisah."
"Sehun, tunggu--" Sooji menghentikan langkahnya untuk menahan pria itu, Sehun menurut dan berbalik untuk menatapnya, "kau tau aku masih mencintaimu, semua ini bukan karena aku tidak mencintaimu. Tapi karena aku ingin kau bisa mengendalikan dirimu sendiri." Sooji mencoba menjelaskan dengan suara lebih pelan.
"Aku tidak ingin ada korban lagi Sehun. Aku tidak ini perasaanmu terhadapku menyakiti orang lain."
Sehun menarik nafas panjang, ia memejamkan mata guna menahan gejolak yang muncul di permukaan, ia tidak ingin semuanya berakhir di sini. Ia mencintai Sooji, dan selamanya Sooji hanya akan menjadi miliknya. Dengan pemikiran itu, Sehun membuka matanya dan menatap Sooji dengan sorot yang asing.
"Kau hanya boleh jadi milikku." Suaranya pelan namun, penuh tekanan. Sooji menelan ludahnya dan menggeleng samar.
"Tidak lagi Sehun. Tolong mengertilah," pintanya dengan suara tercekat.
"Aku tidak mengerti."
"Sehun, kita sudah berpisah. Terima kenyataan itu."
Sehun mengepalkan kedua tangannya saat mendengar keputusan final dari Sooji, ia menarik nafas tajam lalu menghembuskannya dengan berat. Matanya masih terus menilik ke wajah wanita di hadapannya, wanita yang sangat ia cintai namun, telah membuatnya kecewa.
"Maafkan aku. Kau hanya milikku."
Setelah mengucapkan hal itu, Sehun langsung mengangkat kedua tangannya dan mendorong Sooji ke dinding, mencengkram dengan kuat leher wanita itu. Sementara Sooji tidak punya kesempatan untuk terkejut sedikitpun, bibirnya terbuka memanggil nama Sehun dengan suara putus-putus dan matanya memerah akibat kesulitan bernafas.
"Se--hun--hen--ti--Seh--"
Sooji berusaha menendang, memukul apapun yang bisa ia raih, tapi Sehun bergeming. Pria itu tetap mencekiknya tanpa mengurangi tekanannya sama sekali.
"Jika aku tidak bisa memilikimu, maka siapapun tidak akan bisa, sayang." Sehun berbisik kejam di dekat telinganya dan tiba-tiba Sooji sadar jika Sehun benar-benar telah berubah. Pria itu bukan lagi kekasihnya yang dulu. Seiring dengan nafasnya yang melambar, Sooji memejamkan mata, airmatanya sudah keluar dan ia sudah terlalu lelah untuk menendang.
"Se--hun..."
***
"Terima kasih, saya berharap paspor saya bisa selesai sebelum jam 12 besok," Sohee berdiri dari kursinya kemudian melangkah mundur.
"Saya usahakan sebisa mungkin. Besok kami akan menghubungi manajer anda."
Sohee tersenyum, kemudian ia melangkah keluar dari ruangan yang ditebaknya adalah sebuah ruang meeting karena terdapat beberapa kursi yang mengelilingi meja persegi berukuran lumayan besar di dalam sana. Saat ia melangkah menyusuri koridor, ia kembali mengingat apa yang terjadi di depan ruang sidang tadi.
Melewati ruangan itu lagi dan ia mengintip, sekarang ruangan itu telah kosong jadi sudah tidak ada petunjuk lagi atas pertanyaannya. Sohee kemudian melanjutkan langkahnya, ia berbelok menuju koridor sembari mencari kontak manajernya untuk menjemputnya.
Saat menempelkan ponsel ke telinganya, langkah Sohee tiba-tiba berhenti. Di depan sana, tepat di ambang pintu sebuah ruangan, dua orang yang tadi dilihatnya kembali nampak. Sooji tampak berbicara dengan seorang dokter wanita dan Sehun hanya berdiri diam di belakang wanita itu. Alis Sohee berkerut saat melihat raut wajah Sehun.
Ia tidak dapat mendengar perbincangan itu karena jaraknya cukup jauh namun, ketika Sooji menyalami sang dokter dan berniat pergi-Sehun menahan wanita itu dan berbicara beberapa hal. Ia memang tidak mendengar, tapi sepertinya ia bisa menebak jika pria itu mengajak Sooji ke suatu tempat.
"Halo, halo? Sohee, kau sudah mau ku jemput?"
Suara Changwoo di seberang telepon menyadarkannya, ia melirik ponselnya kemudian menatap Sehun yang memegang lengan Sooji dan membawa wanita itu menjauh dari sana. Tiba-tiba rasa penasaran merambati hatinya, ia sebenarnya tidak ingin ikut campur, tapi perasaannya menyuruhnya untuk mengikuti mereka. Jadi setelah mengatakan pada Changwoo agar segera menjemputnya, ia langsung berlari kecil mengejar langkah-langkah Sehun dan Sooji.
Alisnya kembali bertaut saat melihat Sehun membawa Sooji ke belakang gedung pengadilan, "apa yang ingin mereka lakukan?" gumamnya penasaran. Ia berjalan mengendap-endap agar tidak ketahuan, sesekali bersembunyi di balik pilar dan mengintip sedikit. Ia terus mengikuti keduanya sampai mereka memasuki gang kecil.
Sohee mendesah panjang, ia mengangkat kaki dan mengurut pergelangan kakinya yang terasa pegal. Masih setia mengikuti dua orang di depannya, sampai ketika Sehun berhenti melangkah di tengah-tengah gang dan berdiri menghadap Sooji, Sohee mengernyitkan keningnya heran.
"Oh? Apa yang mau dia laku..." mata Sohee membulat di tengah kalimatnya, ia terkesiap kaget, "oh astaga!"
Sohee menjerit histeris melihat kejadian itu, di mana Sehun mendorong Sooji dan mencekik lehernya. Untuk beberapa saat kakinya tidak dapat bergerak, tapi ketika menyadari bahwa pergerakan Sooji hampir tidak ada ia langsung berlari mendekati mereka.
"Lepaskan tanganmu brengsek!" Sohee berteriak melayangkan tas yang ia pegang ke arah Sehun. mendapat serangan tak terduga Sehun mengambil langkah mundur dan terhuyung karena kepalanya terkena pukulan yang cukup keras.
Sohee terengah-engah memelototi Sehun lalu dengan gerakan cepat ia kembali memukul pria itu dengan tasnya, "dasar brengsek! Kau mau membunuhnya!" Sohee mengamuk memukuli Sehun yang tidak siap dengan serangannya, pria itu terjatuh saat pukulan terakhir Sohee mendarat.
"Dasar bodoh!" Dan untuk yang terakhir wanita itu menendang daerah vital di antara paha Sehun yang membuat pria itu meraung kesakitan. Sohee tersenyum miring dan merasa puas karena perbuatannya. Lalu dengan cepat ia mendekati Sooji yang sudah terjatuh dengan tubuh lemah.
"Ayo kita pergi. Sebelum pria itu pulih dari rasa sakitnya," ucap Sohee memapah Sooji, wanita itu merasa sulit menarik Sooji dan tanpa menunggu ia langsung melepaskan heelsnya untuk kemudian dilempar kepada Sehun.
Pria itu mengerang kesakitan saat ujung heel Sohee mengenai kepalanya, ia meringis mengusap kepalanya lalu membuka mata menatap Sohee berlari sebisa mungkin dengan memapah tubuh lemah Sooji. Ia mengatur nafasnya yang berkejaran untuk sesaat, lalu ia bangkit dari tempatnya masih terus menatap ke arah di mana dua wanita itu menghilang.
*
"Dasar bodoh! Brengsek! Astaga dia tidak punya hati! Pengecut..." Sohee terus mengumpat dalam mobilnya, Changwoo hanya mengatupkan bibir melihat artisnya mengamuk seperti macam bunting di bangku belakang. Pria itu bahkan menahan rasa penasarannya akan wanita yang dibawa oleh Sohee bersamanya.
Sohee medengus keras sebelum menoleh pada Sooji yang duduk di sampingnya dengan tubuh bergetar, wanita itu memeluk tubuhnya sendiri dengan kepala menunduk dalam.
"Sooji tenanglah, kau sudah aman," ucapnya menenangkan namun, tubuh Sooji semakin bergetar hebat membuat Sohee menjadi panik, "oh tidak, tidak, sudah tidak ada pria itu lagi di sini. Kau bersamaku, aku akan mengantarmu pulang dengan aman."
Changwoo melirik melalui kaca spion kemudian menyahut, "sepertinya dia tidak dalam kondisi baik, kita bawa ke rumah sakit saja setidaknya dokter bisa memberinya obat penenang."
Sohee melirik Changwoo lalu memikirkan perkataan manajernya, sedetik kemudian ia langsung meraih ponsel untuk menghubungi Soojung.
"Soojung, kau di mana? Cepat kemari, Sooji--Sooji, oh cepatlah kemari. Keadaannya gawat." Sohee langsung berbicara dengan cepat dalam satu nafas, membuat Soojung memintanya mengulang ucapannya lagi. Ia menarik nafas untuk menenangkan diri.
"Aku membutuhkanmu di sini, Sooji sekarat. Dia hampir saja dibunuh."
Kemudian hening, Sohee menanti dengan jantung bergemuruh. Setelahnya suara berat seorang pria menyapanya dengan tak sabaran. Sohee menahan nafas lalu melirik Sooji, ia menggumamkan nama pria itu dengan sangat pelan kemudian menghela nafas.
Ia memejamkan mata saat mendengar teriakan itu.
"Soo--Sooji...Myungsoo tolong Sooji."
Setelah itu sambungan telepon terputus dan Sohee meminta Changwoo mengantar mereka ke apartemennya. Ia mengirim pesan kepada Soojung jika ia berada di apartemen.
*
Sohee menggigit bibir sembari berjalan mondar-mandir di depan sofa, beberapa kali ia melirik Sooji yang masih tidak ingin mengubah posisinya. Ia sudah mencoba membujuk wanita itu untuk makan, minum ataupun beristirahat, tapi Sooji tetap bergeming. Wanita itu hanya terus menangis.
"Ugh kenapa mereka lama sekali," gerutunya tak sabaran, sedetik kemudian suara bel serta gedoran di pintu mengagetkannya. Ia segera menyebrangi ruangan untuk membuka pintu dan menemukan Myungsoo dengan wajah panik di depan apartemennya.
"Di mana dia?"
"Di dalam..tolong pelan-pelan saja," ucapnya memperingati, Myungsoo mengangguk mengerti lalu melesat masuk ke dalam. Sohee menoleh pada Soojung dan Jongin yang sama paniknya seperti Myungsoo.
"Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Soojung cemas.
"Ceritanya panjang, masuklah dulu."
Sementara di dalam, Myungsoo yang tadinya meluap-luap merasa khawatir akan keadaan Sooji menghentikan langkahnya tepat selangkah di samping sofa, ia menatap tubuh Sooji yang bergetar dan bisa mendengar tangisannya.
Dengan perlahan ia mendekat, berlutut tepat di samping kaki wanita itu dan menyentuh pahanya. Tubuh Sooji tersentak dan hendak beringsut menjauh, tapi Myungsoo menahan lengannya.
"Sooji, ini Myungsoo. Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu," ujarnya dengan pelan dan hati-hati, Sooji membuka matanya perlahan saat mendengar nama Myungsoo lalu menatap wajah cemas pria itu. Ia bergidik melirik sekeliling ruangan lalu kembali menatap Myungsoo.
"Kau aman di sini, tenanglah." Myungsoo kembali meyakinkan, ia mengangguk membuat Sooji langsung menarik nafas lega, wanita itu memejamkan mata lalu dengan tangan bergetar ia menyentuh lengan Myungsoo.
Myungsoo membiarkan hal itu, ia tau Sooji membutuhkan waktu untuk menenangkan dirinya. Jadi ia tidak melakukan pergerakan apapun demi kenyamanan wanita itu.
"Myung--"
"Sstt..." Myungsoo meletakkan jari di tengah-tengah bibirnya lalu menoleh menatap Soojung, Sohee, serta Jongin di belakangnya, ia menggelengkan kepala membuat mereka bertiga mengangguk mengerti.
Untuk beberapa saat Sooji tetap memegang lengan Myungsoo dengan mata terpejam. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya, melakukan kegiatan itu beberapa kali sebelum akhirnya ia bisa menguasai dirinya sendiri dan membuka mata.
"Myungsoo..."
"Feel better?" Myungsoo tersenyum kecil saat mengajukan pertanyaan itu, Sooji mengangguk dengan jujur.
"Jadi siap menjelaskan apa yang telah terjadi?"
Seketika tubuh Sooji menegang, ia mengangkat wajahnya dan menatap Sohee duduk di seberangnya bersama Soojung dan satu pria asing yang tidak dikenalinya, memberikan tatapan keingintahuan kepadanya.
Sooji kembali menatap Myungsoo penuh antisipasi, pria itu tetap menunggunya dan tidak terlihat menuntut, jadi dengan gumaman pelan Sooji memberanikan diri mengucapkan satu nama yang baru saja menyerangnya.
"Oh Sehun."
CONTINUED.
Ah part ini panjang 😧
Sebenarnya dari awal aku udh siapkan crita ini mentok 23 part, tapi ternyata ada kelebihan di sana sini--jadi sepertinya endingnya di atas itu tapi gk bakal sampe 30 kok 😊
See you next part 🙌🙌🙌
[20/08/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top