ED 19 | Disclosed Matter
"Kau serius tidak ingin memikirkannya lagi?" Jiwon mengetuk jemarinya di bibir cangkir yang berisi coklat panas buatan Sooji, menatap salah satu sahabatnya itu dengan pandangan penuh harap.
"Kau tau keputusanku Jiwon."
"Tapi itu tidak terasa masuk akal untukku," ia mendesah panjang, "oke, mungkin bisa diterima jika kau sakit hati...tapi apa tidak ada kesempatan kedua untuknya? Kalian saling mencintai Sooji, aku orang pertama yang akan bersedih kalau kalian benar-benar berpisah."
Sooji menarik nafas panjang sebelum menggeleng dan menjelaskan pada Jiwon, "dalam dunia ini ada beberapa orang yang pantas mendapatkan kesempatan kedua dan ada pula yang tidak..."
"Jadi, apa Sehun masuk dalam kategori yang tidak layak?" Jiwon menyela ucapannya membuat Sooji menatap wanita itu dengan senyum tipis.
"Dia sangat layak Jiwon. Setelah apa yang dia berikan padaku, kesempatan kedua itu selalu menjadi miliknya," Sooji bergumam pelan, ia menggigit bibir ketika ingin melanjutkan kalimatnya lagi, "tapi Sehun telah menyia-nyiakan kesempatan keduanya."
Jiwon terdiam mendengar ucapan Sooji, alisnya berkerut samar, "Sehun sudah mendapatkan kesempatan kedua jauh sebelum masalah ini terjadi dan kau pasti bisa menebak karena apa," lanjut Sooji dengan suara tercekat yang membuat Jiwon tiba-tiba tersedak air liurnya sendiri.
"Jangan katakan..."
"Tentang Eungyeol, itu yang pertama kali, tapi aku tidak merasa perlu menyalahkan Sehun karena aku tau dia tidak bermaksud melakukan hal itu," Sooji mulai bercerita, mengenang masa-masa tiga tahun lalu di mana untuk pertama kalinya mereka menyaksikan perbuatan tidak terpuji Sehun, "dan semuanya tidak berhenti di situ."
Nafas Jiwon tercekat, ia mencengkram cangkirnya dengan erat dan menatap Sooji penuh antisipasi, ia mungkin tidak akan senang dengan apa yang akan wanita itu ceritakan padanya, tapi untuk saat ini ia perlu tau. Apa yang telah terjadi dan apa yang tidak diketahuinya selama ini.
"Kejadiannya dua tahun lalu, saat itu perayaan hari jadi kami yang pertama. Awalnya berjalan sangat lancar," Sooji tersenyum mengingat perlakuan Sehun saat itu, "dia membawaku menonton film, berjalan di taman dengan tangan bergandengan dan berakhir dengan sebuah makan malam romantis, terasa sempurna. Tapi semuanya berubah jadi bencana ketika kami keluar dari restoran itu," wajah Sooji yang tadinya mengembang karena kebahagiaan akan kenangannya bersama Sehun, perlahan meredup. Ia mengerjapkan mata sebelum menatap Jiwon.
"Seorang pria tidak sengaja menyenggol tubuhku dan aku mengaduh, saat itu aku benar-benar merasa sakit di punggungku karena tubuh pria itu sangat besar. Tapi pria itu meminta maaf kemudian berlalu, aku menerima maafnya dan melirik ke arah Sehun. Dia terlihat kesal, tapi aku meyakinkan bahwa aku baik-baik saja."
Sooji menghentikan ceritanya sejenak untuk menyesap coklat panasnya, menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan panjang, "setelah itu aku tidak memiliki kecurigaan saat Sehun menjalankan mobilnya dengan lambat, kupikir dia hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama bersamaku malam itu. Tapi, semua pemikiranku langsung menguap saat tiba-tiba Sehun melajukan mobilnya dengan cepat dan menabrak seorang pejalan kaki."
Jiwon terkesiap mendengarnya, ia mengerjapkan mata dengan jantung bergemuruh hebat. Tidak mungkin...tidak mungkin Sehun..
"Ya, Sehun dengan sengaja menabrak pria yang menyenggolku di depan restoran tadi," Sooji meneteskan airmatanya tanpa isakan, ia memegang dadanya yang terasa sesak, "dia melakukannya di depan mataku Jiwon...dan ketika ku tanya mengapa dia melakukannya," ia menarik nafas panjang, airmatanya sudah deras mengalir ke wajahnya membuatnya sulit untuk berbicara.
"Karena pria itu sudah melukaimu?"
Sooji tersenyum miris atas tebakan Jiwon kemudian ia mengangguk, "kau benar, dan coba tebak apa yang dia lakukan setelah itu.."
Jiwon bergidik ngeri, tidak mampu membayangkan Sehun melakukan apa yang baru saja terlintas di benaknya, tapi melihat Sooji menatap nanar ke arahnya ia seakan yakin jika Sehun memang melakukannya.
"Dia keluar dari mobil, meminta maaf pada pria yang sudah tergeletak pingsan di atas jalanan kemudian pergi meninggalkannya."
Kini Sooji terisak, mengingat kenangan buruk itu membuatnya merasa semakin bersalah. Sebenarnya ia bisa saja menyuruh Sehun membawa pria itu ke rumah sakit atau bahkan menahan Sehun untuk tidak menabraknya, tapi saat itu Sooji terlalu terkejut hingga ia tidak bisa bergerak sedikitpun.
"Astaga, aku tidak menyangka...bagaimana bisa Sehun, Sehun..dia-" Jiwon menutup mulutnya, ia memang tidak pernah mendengar cerita ini. Mungkin karena Sooji maupun Sehun tidak berniat bercerita kepadanya, tapi mengapa saat mengetahui Sehun mencoba untuk melukai orang lain membuatnya merasa tersakiti. Ia mengerti bagaimana sakitnya Sooji sekarang karena ia juga merasakannya. Sahabatnya yang penuh perhatian dan cinta seperti Sehun benar-bebar berubah menjadi monster.
"Sehari setelahnya aku mencoba untuk menghindarinya, tapi dia sadar dan terus mendatangiku. Meminta maaf padaku, bukan karena dia melakukan kesalahan, tapi karena dia melakukannya di depanku." Sooji membuang nafasnya seraya menggelengkan kepala, "saat itu aku terlalu mencintainya jadi kupikir asal dia sudah meminta maaf aku akan baik-baik saja, makadari itu aku memberinya kesempatan kedua dan sekarang dia telah membuang itu jauh-jauh.".
"Tapi Sooji-"
"Tidak Jiwon, aku juga berpikir ini yang terbaik untuk Sehun. Aku tidak ingin menyakitinya lebih dalam lagi, mungkin aku bisa saja memaafkannya seperti dia memaafkanku. Tapi tetap saja perbuatannya tidak bisa kulupakan dan itu selalu menyakiti hatiku saat mengingatnya," Sooji menyela dengan suara lirih, satu tangannya masih berada di atas dada dan meremasnya pelan guna mengurangi sesak yang ia rasakan.
"Akan lebih baik jika kita membawanya ke psikiater lagi. Aku tidak tau itu adalah penyakit atau bukan, aku juga tidak tau jika dia bisa disembuhkan atau tidak, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba."
"Jika kau ingin Sehun bisa terbebas dari gangguan mentalnya, kenapa kau meninggalkannya Sooji? Kau tau di dunia ini yang dia butuhkan hanya kau."
Sooji tersenyun kecil, "justru karena dia mencintaiku maka aku harus meninggalkannya. Itu bukan berarti aku sudah tidak mencintainya, Jiwon. Hanya saja, untuk menyelesaikan semua ini kupikir dia harus belajar untuk mengendalikan perasaannya. Dengan tidak adanya diriku itu akan membantunya," jelasnya, semua ini telah ia pikirkan matang-matang sebelum meminta berpisah dari Sehun sebulan yang lalu. Meskipun tau bahwa keputusannya ini terdengar sangat egois dan mementingkan diri sendiri, tapi sejujurnya ia melakukan ini semua demi Sehun. Ia tidak bisa menerima pria itu kembali secara utuh setelah apa yang telah terjadi, mungkin dulu Sehun mau menerimanya meskipun kesalahannya benar-benar fatal, tapi ia bukan manusia yang sesuci itu untuk bisa melupakan apa yang telah terjadi. Ia memiliki otak dan hati untuk tau apa yang harus dilakukannya, lagipula Sooji juga merasa Sehun terlalu baik untuknya.
Dalam benaknya, ia tidak pernah memikirkan bahwa Sehun tidak pantas untuknya, malah sebaliknya, dirinyalah yang tidak pantas untuk pria itu. Ia terlalu egois untuk bisa bersanding di samping Sehun dan ia tidak ingin melakukannya.
"Apa kau yakin semua akan baik-baik saja?" tanya Jiwon ragu, ia menatap Sooji dengan pandangan ngeri, "aku takut Sehun mungkin bisa melukaimu karena keputusanmu ini."
"Jiwon, Sehun akan melakukannya tepat ketika aku mengajaknya berpisah jika dia memang ingin melukaiku, tapi sampai sekarang dia tidak melakukan apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja, jangan khawatir," ucap Sooji menenangkan, meskipun juga sedikit ragu, tapi ia percaya pada Sehun. Pria itu tidak akan melukainya.
Jiwon mendesah pasrah, kembali menyesap coklatnya kemudian memejamkan mata lalu bergumam pelan penuh harap, "kuharap semuanya memang baik."
***
Myungsoo menggerutu pada ponselnya, ia mengusap wajah sebelum beranjak dari kursi. Membuka pintu ruangan dan segera melesat pergi namun, belum sampai kakinya menginjak lobi, sebuah tarikan menahan lengannya. Ia menoleh untuk menemukan wajah tertekuk Taehyung.
"Mau ke mana, Hyung?"
"Aku ada urusan sebentar, jadwal pemotretan sudah tidak ada kan?" Myungsoo memberi alasan dengan enggan, sementara Taehyun mendesah tidak senang.
"Jika urusan itu bersama Yoon Sohee, sebaiknya jangan pergi," tukas Taehyung dengan wajah kesal, "kemarin salah satu reporter dari majalah Celebrity menelponku dan meminta konfirmasi ulang."
Myungsoo mengernyit heran, "konfirmasi apa lagi? Sohee dan agensinya sudah menyelesaikan semuanya bukan?"
"Kalian tertangkap kamera lagi." Taehyung menggeram pelan, ia kemudian memijat keningnya yang terasa pening, "kau tidak ingin terlibat gosip, tapi selalu bersama Yoon Sohee di tempat umum."
Myungsoo memutar bola matanya mendengar omelan Taehyung, ia menarik nafas panjang kemudian menyingkirkan tangan pria itu dari lengannya, "itu adalah tugasmu untuk mengklarifikasinya, jadi jangan mengusikku dengan hal-hal tidak penting seperti ini."
"Tapi kau-"
"Sudahlah, aku buru-buru."
Taehyung berdecak kesal melihat Myungsoo yang melenggang pergi meninggalkannya begitu saja, ia menggelengkan kepala sebelum mengusap pelipisnya, "semakin lama kerja dengannya semakin membuat umurku lebih tua sebelum waktunya..." keluhnya dengan suara tersiksa.
*
Myungsoo melangkah memasuki cafe dan langsung menemukan orang yang dicarinya sudah duduk di salah satu meja, ia mendengus ketika mendekati meja tersebut.
"Sedang lomba pamer kemesraan di depan umum huh?" tegurnya dengan sarkastik membuat dua sejoli yang sedang menempelkan kepala mereka sembari berbisik-bisik dengan tersenyum itu langsung mendongak menatapnya. Myungsoo kembali mendengus kemudian menjatuhkan tubuhnya tepat di hadapan mereka.
"Hyung, kau datang." Sang pria terlihat meringis sebelum menegurnya, sementara si wanita hanya menggerutu tak bersuara. Sangat terlihat dari wajah tertekuknya kalau dia sedang kesal karena kegiatan bermesraannya terganggu.
"Jadi apa yang ingin kalian katakan padaku?" tanya Myungsoo langsung, mengabaikan kekesalan wanita di depannya, "aku kemari hanya karena kalian mengatakan ini penting, jadi jangan coba-coba..."
Myungsoo menghentikan kalimatnya saat melihat pria itu menyengir tanpa dosa, seketika pemahaman menamparnya. Dia sedang dikerjai.
"Kim Jongin..kau sudah bosan hidup?"
Pria itu--Jongin hanya terkekeh senang, ia menjentikan jari untuk memanggil pelayan lalu tanpa dosa menyebutkan pesanannya, "kalian tidak ingin pesan?" tanyanya pada dua orang yang hanya diam di sekitarnya, karena tidak mendapatkan respon akhirnya ia memilih untuk memesankan kedua orang tersebut.
Wanita di sampingnya hanya mendengus, sementara Myungsoo terlihat sangat geram.
"Santai sedikit lah bro. Kapan lagi kita bisa berkumpul bertiga? Seingatku waktu kecil kita sering bermain bersama," gurau Jongin yang sama sekali tidak memberi dampak pada kedua orang tersebut.
"Sebenarnya apa tujuanmu?"
"Cuma ingin berkumpul dan menghiburmu bro," Jongin menggerling saat melirik wanita di sampingnya, "kata Soojung kau sedang patah hati."
"Dasar mulut ember," desis Myungsoo menatap wanita di hadapannya, "aku tidak patah hati." Kemudian ia menyangkal membuat Jongin tertawa karena sama sekali tidak percaya pada sangkalan tersebut.
"Lalu kau bisa menjelaskan mengapa sekarang kau membuat janji temu dengan psikiater?"
"Jung Soojung sialan! Kau benar-benar tidak bisa menahan mulutmu ya?" Myungsoo murka, bukan kepada pria yang melontarkan pertanyaan padanya barusan, tapi pada wanita yang sedari tadi hanya diam saja.
"Wo wo, easy man. Jangan memaki Soojung-ku seperti itu," Jongin meraih pundak Soojung dan merangkulnya, sementara wanita itu mendesis dan melepaskan tangan Jongin dari sana.
"Aku tidak memberitahunya dengan sengaja," ucap Soojung membela diri, tapi Myungsoo tidak mau menerima pembelaan itu, "dia yang memaksaku bicara. Jangan salahkan aku, dia yang salah." Soojung kemudian menunjuk Jongin dengan jari-jari lentiknya, sementara pria itu hanya tersenyum bodoh.
Myungsoo memejamkan mata lalu menghela nafas panjang, "kalian benar-benar pasangan serasi," gerutunya menahan kesal. "Ya, aku memang pergi ke psikiater. Lalu apa maumu?"
Jongin tersenyum, kali ini wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya, "apa kau benar-benar susah tidur?"
Myungsoo mendesah panjang dan mengangguk, tidak ada gunanya lagi menyangkal karena ia yakin Jongin sudah tau semuanya, sebanyak pengetahuan Soojung tentang keadaannya.
"Kata psikiaterku, aku hanya kelelahan."
"Bullshit," tiba-tiba Soojung mengumpat kesal, "kita tau apa alasannya Myungsoo," lanjutnya lagi menatap kakak tirinya dengan pandangan iba.
"Jangan menatapku seperti itu. Aku tidak merasa perlu dikasihani." Tegur Myungsoo tersinggung, Soojung langsung menunduk menatap kuku-kuku jarinya yang polos tanpa kuteks.
"Ckckck," Jongin berdecak membuat Myungsoo menoleh padanya, "sudah pernah kukatakan bukan? Kau akan mendapatkan karmamu, Hyung."
Myungsoo berdecih, tersenyum miring tapi tidak menampik ucapan Jongin. Pria itu memang telah memperingatinya dulu, memintanya untuk sadar, tapi ia terlalu berusaha keras untuk menyangkal semuanya sehingga saat ini karma itu datang dan menghancurkannya. Ia mengusap wajahnya lalu menghela nafas, entah mengapa sejak sebulan terakhir kegiatan favoritnya hanyalah menghela nafas, kalau tidak melamun, dan itu membuatnya jengah. Ia benar-benar tidak suka dengan perubahan ini.
"Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanya Jongin kemudian, menatap wajah lesu Myungsoo.
"Entahlah, menanggungnya, mungkin?"
Soojung berdecak, kemudian ia berseru dengan marah, "dasar bodoh! Jika kau memang mencintainya, perjuangkan cintamu! Kau benar-benar telah dibuat bodoh oleh cinta!"
Jongin mengangguk setuju, "kau benar sayang," ujarnya memberikan ciuman jauh pada Soojung yang diabaikan oleh wanita itu.
"Masalahnya tidak semudah itu Soojung," gumam Myungsoo pelan.
"Bukankah kau yang dulu mengejarnya mati-matian? Kau bahkan sengaja menghamilinya agar dia mau bersamamu, tapi kenapa sekarang--"
"Benar," Soojung menghentikan kalimatnya ketika Myungsoo menyela, pria itu tersenyum miris, "aku sudah cukup menggunakan peranku sebagai perusak rumah tangga orang. Selebihnya, aku tidak ingin melakukannya lagi." Myungsoo menundukan wajahnya yang terlihat lelah, melihat itu Soojung merasa tercubit. Mengapa saudaranya yang sebelum ini terlihat sangat bersemangat menjalani hidup langsung berubah seperti ini?
"Myungsoo--"
"Tidak Soojung. Aku sudah cukup melakukannya."
Jongin menatap Myungsoo dengan pandangan prihatin, ia menarik tangan Soojung saat wanita itu hendak berbicara lagi. Soojung menatapnya heran dan ia hanya menggeleng, mereka mendesah beberapa kali sebelum kembali menatap Myungsoo.
"Kau tau, kami selalu berada di pihakmu dalam kondisi apapun, brother."
Myungsoo tersenyum dalam diam mendengar penuturan Jongin.
"Jadi jika kau memutuskan untuk merebutnya lagi, kami tetap akan mendukung kok." Kali ini Soojung yang bersuara sehingga wanita itu mendapatkan tatapan teguran dari Jongin, tapi mereka berhenti berdebat ketika mendengar derai tawa Myungsoo.
Keduanya menatap Myungsoo dengan pandangan takjub bercampur heran, wajah pria itu sudah tidak terlihat murung. Dia tertawa begitu lepas sehingga membuat para pengunjung sedikit menatap aneh kepadanya.
"Kau kerasukan?" tanya Jongin tanpa sadar, mendengar itu Myungsoo semakin tertawa. Ia menyeka airmata yang terjatuh di pelupuk matanya, menatap kedua adik tirinya penuh kasih sayang.
"Kalian tau, aku menyayangi kalian. Kali ini aku tidak berbohong," ujarnya dengan yakin, Soojung seketika tersenyum lebar.
"Aku juga menyayangimu Myungsoo. Kau kakak yang hebat dan pembuat onar, tentu saja.."
Jongin mengulum senyum, ia menepuk lengan Myungsoo. Tanpa mengatakannya pun, Myungsoo pasti tau betapa ia menyayangi kakaknya itu. Sejak dulu, Myungsoo memang selalu menjadi panutan mereka, bukan hanya dirinya dan Soojung, tapi juga adik-adik mereka yang lain. Meskipun masa remajanya suka membuat masalah, tapi mereka tau rupa asli dari seorang Kim Myungsoo. Hanya seorang bocah yang haus akan kasih sayang orangtua namun, tetap tegar dan mandiri menjalani hidupnya dalam kesepian. Itulah yang membuat Myungsoo menjadi spesial di mata Jongin dan adik-adiknya yang lain.
"Tapi kulihat, akhir-akhir ini kau lebih sering bersama si model Sohee?"
Myungsoo menghentikan tawanya lalu menatap Jongin, "dia yang selalu muncul tiba-tiba di depanku. Kadang aku sempat berpikir, mungkin dia ingin kembali menjadi pacarku lagi." Kemudian ia tertawa lagi.
Soojung hanya berdecak. Setelahnya kedua pria itu sudah bergurau tentang banyak hal, di temani secangkir kopi dan beberapa potong kue manis. Ia hanya diam memperhatikan, melihat bagaimana Myungsoo bisa tertawa, dan ia sudah jarang melihat tawa itu akhir-akhir ini karena selubung tawa Myungsoo telah ditutupi oleh patah hatinya.
Beberapa menit kemudian sebuah panggilan masuk ke ponsel Soojung, wanita itu meraih ponselnya kemudian mengernyit melihat siapa yang memanggil.
"Sohee?" gumamnya pelan, Myungsoo dan Jongin seketika menghentikan pembicaraan mereka mengenai usaha baru milik Jongin yang sudah mulai berkembang, kemudian menatap Soojung.
"Kenapa?" tanya Myungsoo bingung.
"Tidak, Sohee menelponku. Sepertinya ada yang penting," jawab Soojung sekenanya, karena ia tau Sohee lebih senang datang mengunjunginya dan berlama-lama jika hanya ingin menyapa dan akan menelpon jika ada sesuatu yang sangat penting. Sedetik kemudian ia menerima panggilan tersebut.
"Eum, Sohee?"
Soojung mengernyit saat mendengar suara Sohee di seberang telepon.
"Tenang, atur nafasmu dulu dan jelaskan perlahan." Suara Soojung terdengar cemas saat mengucapkan itu, membuat Jongin dan Myungsoo semakin bingung.
"Ada apa?" Myungsoo kembali bertanya saat darah dari wajah Soojung tiba-tiba menyurut, wanita itu tidak bergerak saat mendengarkan suara-suara dari seberang telepon dan Myungsoo terlalu tidak sabar untuk menunggu, sehingga ia langsung merampas ponsel Soojung dan mendekatkan benda itu ke telinganya.
Jongin langsung meraih tubuh Soojung yang hampir saja terjatuh, memeluk wanita itu dengan tatapan mengarah ke Myungsoo.
"Sohee, Ini aku Myungsoo. Katakan apa yang terjadi?"
Myungsoo menunggu dalam ketidakpastian saat mendengar helaan nafas di seberang, kemudian sebuah isak tangis terdengar yang membuat jantungnya semakin berpacu. Tapi itu bukan suara Sohee.
"Sohee, kau bersama siapa?" Suaranya sudah terdengar mendesak, terlebih ketika isakan itu semakin terdengar jelas, "Sohee! Bicara padaku sialan."
"Soo-Sooji....Myung-soo, tolong Sooji."
CONTINUED.
Hayo hayo ditebak apakah yang terjadi 😈
Kemarin pada mengeluh karena momen myungzy gk ada..sorry to say, smpai skrg aku jg mrasa belum bisa memunculkan momen mereka di sini. Entahlah, mngkin karena kondisinya belum stabil jdi jatuhnya akan canggung/aneh kalo tiba-tiba momen mereka muncul.
Dan momen mereka pasti ada, tapi aku gk janji kapan dan sebanyak apa 🙏 untuk sekarang smoga kalian puas dengan pnyelesaikan konfliknya.
See you next part 🙋 (bentar lagi ending cuy 🎉)
[19/08/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top