ED 07 | Surging Hormones
"Myungsoo! Di sini."
Pria itu menoleh ketika mendengar sahutan untuknya, ia tersenyum pada wanita yang melambai padanya sebelum melangkah untuk mendekati meja wanita itu. Ia menghela nafas kemudian melirik jam yang melelat di pergelangan tangan kirinya.
"Maaf aku telat," gumamnya pelan, "kau sudah lama disini?" Tanyanya kemudian mengambil tempat duduk di hadapan wanita itu.
"Baru lima menit," jawab wanita itu sambil tersenyum kecil.
"Baiklah, jadi apa yang kau inginkan?" Myungsoo bertanya langsung tanpa basa-basi membuat sang wanita berdecak karena sikap buru-burunya, "aku bukan seorang pengangguran Yoon Sohee, jadi membuang-buang waktu tidak termasuk dalam daftar kegiatanku," sambungnya lagi setelah melihat wajah protes Sohee.
Wanita itu menarik nafas panjang, "setidaknya biarkan kita menikmati makan siang ini dulu," tawar Sohee yang kemudian mendapatkan anggukan dari Myungsoo, karena kebetulan pria itu juga sedang lapar jadi dia tidak mungkin menolak.
"Jadi?" Sohee mendelik, mereka baru saja menyelesaikan santapan siang beberapa detik lalu, namun Myungsoo langsung menodongnya.
"Aku memerlukan sedikit bantuanmu," ucap Sohee akhirnya, ia menatap Myungsoo yang sedang mengkerutkan kening kearahnya, "aku tau rasanya tidak pantas meminta bantuanmu, terlebih di saat pertemuan kedua kita setelah bertahun-tahun berpisah." Sohee menghentikan ucapannya, ia masih mengamati mimik wajah Myungsoo yang belum berubah dan memilih untuk meneruskan kalimatnya.
"Tapi aku rasa hanya kau yang bisa membantuku."
"Hmm, jadi bantuan jenis apa yang hanya bisa dilakukan olehku?" Tanya Myungsoo dengan kedua alis terangkat yang entah mengapa secara tiba-tiba membuat kedua pipi Sohee merona, pria itu menatap Sohee dengan curiga.
"Itu, aku-"
"Astaga, Yoon Sohee sejak kapan kau berubah jadi wanita manis? Terakhir kuingat kau melemparku dengan sepatu saat kita putus." Myungsoo berdecak yang mana itu tidak membuat rona di wajah Sohee memudar, melainkan semakin terlihat jelas dan pria itu justru tertawa ketika menyadarinya.
"Kau benar-benar sudah berubah ya?"
"Myungsoo! Jangan meledekku." Sohee menatapnya garang, kedua tangan wanita itu terangkat untuk menutupi rona di pipinya, "aku hanya ingin meminta bantuan, bukan minta diejek!" Sungutnya ketika tawa Myungsoo semakin keras sehingga membuat beberapa pengunjung restoran menoleh sebentar ke arah mereka dengan pandangan jengah.
"Sstt, hentikan tawamu. Semua orang melihat kita bodoh," Sohee memajukan tubuhnya sedikit saat berbisik, Myungsoo berhasil mengendalikan tawa lalu ia mengubah mimik wajahnya menjadi serius.
"Jadi apa ini berhubungan dengan seorang pria?" Myungsoo menebak yang ternyata langsung tepat sasaran, menilik dari reaksi Sohee yang tercengang saat pria itu menebak, sekali lagi Myungsoo tertawa, "aku tidak tau kemana perginya pesonamu sayang, tapi siapa laki-laki sial itu?"
Sohee mendelik, ia menarik nafas panjang. Meminta bantuan pada Myungsoo memang bukan hal yang tepat, ia tau pria itu akan mengolok-oloknua, tapi tidak ada yang bisa ia mintai bantuan selain Myungsoo. Karena sejatinya, ia tidak memiliki teman dekat terlebih yang berjenis kelamin pria.
"Kau mau membantu atau tidak?" Tanyanya sengit, Myungsoo tersenyum lalu mengangguk, seketika sebuah ide melintas diotaknya.
"Aku akan membantu hanya jika kau juga membantuku."
"Oke, deal."
Myungsoo mengangkat alisnya, ia tersenyum miring sebelum kembali bertanya, "tidak ingin mendengar apa yang kubutuhkan dengan bantuanmu?"
Sohee bersedekap menatap pria itu dengan pandangan skeptis, "tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui apa yang sedang kau rencanakan tuan," gumamnya datar.
"Dan apa tepatnya yang sedang kurencanakan nona sok tau?" Myungsoo ikut bersedekap, membalas tatapan tajam Sohee, menolak untuk merasa kalah oleh wanita itu. Sohee tersenyum dramatis, alih-alih menjawab ia malah bergumam dengan prihatin.
"Sial sekali wanita itu. Aku berharap dia diberkati oleh Tuhan."
Myungsoo berdecak, Sohee memang selalu tau tentangnya. Wanita itu bukan hanya menjabat sebagai kekasih pertamanya, tetapi juga teman wanita terlama yang ia miliki selama ini jadi tidak heran jika apa yang tidak diketahui orang-orang tentang dirinya bisa dengan mudah diketahui oleh wanita itu.
"Aku tidak meragukan perasaanmu padaku dulu, kau sangat tergila-gila padaku ya?"
Sohee memutar bola matanya malas, "siapa yang memaksaku untuk menerima perasaannya dulu, kau tidak berubah ya tuan pemaksa."
Myungsoo sekali lagi tertawa, ia mengangguk membenarkan, "ya dan akan selalu seperti ini. Inilah aku sayang."
"Dan aku benar-benar menyesal pernah menjadi kekasihmu tuan sok keren."
"Jadi masih mau aku bantu atau tidak, nona pemarah?"
Sohee menghela nafas panjang sebelum mengangguk, ia menegakkan duduknya lalu menatap serius Myungsoo.
"Aku punya pria yang kusukai-"
"Lewatkan bagian itu, aku tau. Jadi apa yang perlu kulakukan?" Myungsoo menyela membuat Sohee berdecak kesal, tapi wanita itu berusaha menahan kegeramannya karena tau bahwa hanya Myungsoo yang bisa membantunya.
"Berpura-puralah menjadi kekasihku."
"Kau gila ya?" Myungsoo melotot, seolah apa yang baru saja dikatakan oleh wanita itu adalah sesuatu yang sangat mengerikan.
"Tidak, aku membutuhkan peranmu untuk membuatnya sadar."
Myungsoo menggelengkan kepalanya tidak percaya, sekarang sudah tahun berapa tapi masih ada saja orang yang berpikir hal-hal picisan itu akan berhasil memancing kecemburuan lawan jenis. Itu jelas tidak akan berguna.
"Dengar, kau hanya akan melakukan hal sia-sia Sohee."
"Aku tidak butuh nasehatmu. Cuma peranmu menjadi pacarku," tukas Sohee dengan kesal, Myungsoo menarik nafas panjang kemudian mengangguk.
"Baiklah, jadi kapan?"
"Perusahaan milik pria itu memintaku untuk menjadi ambassador produk kosmetik terbaru mereka dan dua minggu lagi adalah launchingnya."
"Oke, jadi aku hanya perlu bersikap seperti seorang kekasih yang tergila-gila padamu?"
"Yap."
"Setelah itu kau yang akan membantuku, oke?"
Sohee mengangguk pasti, Myungsoo tersenyum miring lalu mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh wanita itu.
"Deal."
***
Sooji menjalani hari-harinya sebagai seorang istri dengan antusiasme yang sama sekali tidak menyurut, sudah tiga minggu ia berstatus menjadi seorang istri dan selama itu pula ia tidak pernah menyesali keputusannya untuk menikah dengan Oh Sehun. Ia menikmati kegiatan barunya di pagi hari saat menyiapkan sarapan ataupun baju kantor milik Sehun, pun saat malam ketika menanti sang suami pulang dari kantor dan mereka akan makan malam bersama. Tidak ada yang kurang sedikitpun dari bayangannya tentang keluarga kecil impiannya dan itu membuat Sooji merasa senang.
Meskipun selalu saja ada gangguan yang datang, tapi sampai saat ini ia masih bisa menghadapinya. Terlebih ketika Sehun meminta izin untuk pergi mengurus beberapa hal mengenai perusahaannya yang berada di China seminggu yang lalu, Sooji merasa sedikit resah karena untuk pertama kalinya ia ditinggalkan oleh Sehun setelah mereka menikah. Tapi pria itu tidak membuat keresahannya berlanjut karena ia sudah meminta Jiwon untuk datang ke rumah mereka untuk menemaninya beberapa kali, Sooji tidak merasa kesepian dengan adanya Jiwon karena mereka membicarakan banyak hal berdua. Termasuk malam pertamanya.
Mengingat itu, wajah Sooji langsung merona. Ya, ia dan Sehun telah melakukannya dua minggu yang lalu. Tepat satu minggu setelah mengaku bahwa ia sedang berhalangan, Sehun menodongnya karena telah menghitung mundur dan malam itu tepat seperti yang ia janjikan. Sooji masih takut tentu saja, mengecewakan Sehun adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan, tapi dengan kembali membuat alasan untuk menolak itu akan membuat Sehun semakin kecewa.
Dengan kegugupan yang begitu kentara Sooji mengizinkan Sehun untuk mengambil haknya, malam itu Sehun menertawai kegugupannya karena akan melakukan yang pertama kali dengannya dan mengatakan untuk rileks saja namun, dalam hati Sooji mengucap maaf pada suaminya karena bukan seperti itu yang terjadi dan hal itu tidak lantas membuat Sooji bisa mengurangi tingkat kegugupannya.
"Aku mencintaimu Sooji, jadi percaya padaku." Sehun bergumam untuk menenangkannya, Sooji hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Setelahnya Sehun memang memperlakukannya dengan lembut, sampai-sampai ia terlena dan lupa diri. Apa yang Sehun lakukan benar-benar membuatnya merasa dipuja. Lembut dan sangat hati-hati. Namun, Sooji sempat mendapati kerutan halus dikening Sehun saat itu, tetapi ia tidak memikirkannya karena terlalu terlena oleh perlakuan Sehun padanya.
Dan saat ini ketika ia kembali memikirkan malam itu, Sooji menjadi merasa bersalah. Sehun pasti tau bahwa ia sudah tidak perawan sebelum melakukan hal itu dengannya dan sampai saat ini pria itu sama sekali tidak menanyakan apapun, bahkan ketika ia sudah akan berangkat ke China, pria itu masih bersikap wajar. Sooji tidak tau harus melakukan apa dengan sikap Sehun itu, ia tau jika pria itu ingin mempertanyakan perihal keperawanannya tapi entah mengapa tidak dilakukannya, akan lebih baik jika Sehun menodongnya dengan berbagai pertanyaan karena ia telah menyiapkan semua jawabannya. Tapi, aksi diam Sehun akan hal tersebut membuatnya bingung. Haruskan ia yang menjelaskan lebih dulu atau ikut diam seolah tidak ada masalah apapun?
Atau Sehun tidak mempermasalahkannya?
Sooji terpekur, itu tidak mungkin kan?
Suara bel rumah membuat Sooji terkejut, ia berdiri dari sofa-tempatnya melamun untuk membuka pintu depan.
"Hai, maaf mengganggu."
Sooji mengernyitkan alisnya bingung saat melihat seorang wanita muda dengan perut membuncit berdiri di depan pintu rumahnya, wanita itu tersenyum canggung saat menyapanya.
"Ya, ada yang bisa kubantu?" Tanya Sooji yang tidak menyembunyikan nada curiga di suaranya membuat wanita muda itu meringis malu.
"Maaf, aku Kate tetangga sebelah rumahmu. Aku kemari karena paksaan suamiku," jelas Kate masih dengan senyum canggung, "ehm, maksudku-suamiku sedang bekerja dan Ibunya sedang berkunjung ke rumah keluarga, aku sendirian di rumah jadi dia memintaku kemari agar ada yang menemaniku." Tambah Kate ketika melihat raut bigung Sooji masih terpatri di wajahnya.
"Oh ya," Sooji bergumam pelan, ia mengerti kerisauan suami Kate. Bagaimanapun Kate tengah hamil besar jadi wajar jika dia cemas karena tidak ada yang menemani sang istri, "masuklah, kebetulan aku sedang bersantai."
Kate tersenyum lega lalu melangkah masuk ke dalam rumah milik Sooji, ia mengedarkan pandangan matanya untuk melihat isi rumah tersebut.
"Kau tau, dulu saat lajang, suamimu sangat jarang berinteraksi dengan para tetangga, dia terlalu sibuk sepertinya," cerita Kate, Sooji tersenyum dan mengangguk membenarkan.
"Kau benar, dia memang sangat sibuk. Saat ini saja dia sedang berada di China." Kate terkejut mendengar hal itu membuat Sooji tersenyum masam, "kau pasti tidak bisa membayangkan suamimu pergi disaat usia pernikahanmu belum genap sebulan kan?" Kekehnya dan dengan malu Kate mengangguk.
"Suamimu pekerja keras ya?" Ungkap Kate, "apa kalian tidak berbulan madu?" Tanyanya dengan hati-hati, Sooji tersenyum kecil.
"Tidak, kami sudah merencanakannya tapi pekerjaannya sedang tidak bisa ditinggalkan dan aku mengerti." Jawab Sooji jujur, meskipun minggu lalu ia merajuk karena rencana bulan madu mereka gagal gara-gara pekerjaan, Sooji tetap mengerti jika pekerjaan Sehun memang tidak bisa ditinggalkan karena jika bisa pria itu jelas akan memilih bulan madu untuk mereka dibandingkan berangkat ke China.
"Benarkah? Kau pasti sangat sedih. Tapi tidak apa-apa, jika kau kesepian selama suamimu pergi, kau bisa memanggilku," tawar Kate dengan senyum lebar.
"Terima kasih, akan kuingat tawaranmu," balas Sooji senang, ia kemudian melirik perut Kate dengan penuh minat, "berapa usianya?"
Kate menoleh padanya sebentar lalu menunduk untuk menatap perutnya, "tujuh bulan. Suamiku sangat protektif, ia melarangku melakukan semua hal," jawab Kate setengah mengeluh.
"Bukankah semua suami seperti itu saat istrinya hamil?" Tanya Sooji tanpa sadar dan Kate tertawa.
"Tentu saja. Suamimu juga akan sangat protektif saat kau hamil nanti," Sooji terpekur mendengar pernyataan Kate, hamil? Mengapa itu terdengar menyenangkan ditelinganya. Menggendong seorang bayi mungil yang menyerupai wajah Sehun atau dirinya adalah bayangan yang sangat indah. Hmm, saat Sehun pulang mungkin mereka perlu membicarakan perihal program kehamilan, ia sangat ingin seorang bayi saat ini dan itu karena Kate tentu saja.
"Oh ya, apa kau sudah hamil juga?" Pertanyaan itu mengembalikan Sooji ke kenyataan, ia menatap Kate, "eh tapi kalian menikah baru tiga minggu ya?"
Sooji mengangguk, "memangnya itu berpengaruh?" Tanyanya.
"Ini menurut pemahamanku sih, biasanya kita menyadari diri kita sedang hamil ketika kandungan minimal berusia 3-4 minggu karena saat itu gejala-gejalanya baru mulai keluar," jawab Kate, Sooji akui ia sedikit kecewa karena ini baru tiga minggu pernikahannya dan lagi mereka hanya melakukannya selama tiga kali dalam tiga malam.
"Aku tidak tau ada hukum medisnya atau tidak tapi melihat saudara-saudaraku yang sudah pernah mengandung aku jadi mengambil kesimpulan seperti itu," suara Kate kembali terdengar dan Sooji terlihat mendengarkan, "bahkan ada yang sadar dia hamil ketika usianya sudah tiga bulan, itu aneh kan?"
"Bukankah itu berbahaya? Bagaimana jika kita makan atau minum sesuatu yang bisa membuat bayi kita terluka tanpa kita ketahui?"
"Insting sayang, sebagai ibu kau akan memiliki naluri untuk tidak melukai bayimu bahkan sebelum kau menyadarinya ada," Kate menjelaskan sembari mengusap perutnya, Sooji melihat itu dan tiba-tiba saja tangannya gatal untuk menyentuh perut Kate.
"Boleh aku-"
"Tentu saja, coba rasakan," Kate tersenyum lalu menarik tangan Sooji untuk menyentuh perutnya. Sooji terpana saat mendaratkan telapak tangannya di atas gundukan itu, ia menatap terharu Kate. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi melankolis saat telapak itu bergerak untuk mengelusnya.
"Dia sangat tenang," bisiknya pelan, "aku tidak mengganggu kan?" Tanyanya cemas, Kate menggelengkan kepalanya.
"Tidak Sooji, anakku menyukaimu."
Dan Sooji menangis, entah karena alasan apa tapi tangisan Sooji tidak berhenti bahkan ketika Kate berusaha untuk menenangkannya. Ia hanya terus terisak dengan mengusap perut Kate. Oh, kapan ia bisa mengusap perutnya sendiri?
Memikirkan itu tangisannya makin menjadi. Sooji merasa bodoh karena menangis di depan Kate yang menatapnya cemas, tapi apa yang bisa ia lakukan? Hormonnya sedang tidak stabil, mungkin karena tamu bulanannya yang akan tiba tapi di luar itu semua ia yakin jika pembicaraan perihal kehamilan turut serta dalam perubahan emosinya.
***
Sooji menguap, melirik jam dipergelangan tangannya dan menghela nafas panjang. Tepat jam 12 siang dan sebentar lagi pengganggu itu pasti datang, ia sudah tidak mampu mengeluarkan segala macam ancaman untuk mengusirnya karena semakin keras ia menolak, maka semakin sering pria itu menyambanginya.
"Hai-"
Oh, panjang umur. Sooji menatap sengit Myungsoo yang sudah berdiri di ambang pintu ruangannya. Semenjak kedatangannya pertama kali di rumah sakit, Myungsoo terus mengunjunginya secara rutin di jam yang sama. Ia sudah menolak tapi pria itu sangat keras kepala dan tidak mendengarkannya.
"Hmm, masih seperti kemarin. Kapan kau tersenyum saat menyambut kedatanganku?" Myungsoo bergumam dengan ekspresi terluka, Sooji mendelik tak menghiraukan pertanyaan konyol pria itu.
Ia sudah mengetahui apa yang akan Myungsoo lakukan di sini, pria itu hanya akan duduk diam dan memperhatikannya-yang mana itu membuatnya sangat risih-kemudian satu jam kemudian pria itu akan pergi setelah sebelumnya memesan makan siang untuknya. Sooji tidak mengerti mengapa Myungsoo melakukannya, tapi ia tidak mau peduli. Selama pria itu tidak menyentuhnya, ia akan membiarkan pria itu berlaku sesuka hatinya.
Bersyukur karena setelah menikah jam kerjanya sudah lebih fleksibel. Ia hanya perlu ke rumah sakit selama empat hari dalam satu minggu, sisanya ia menghabiskan waktu di rumah, menjadi istri yang baik. Dan tentu saja Myungsoo tidak akan berani menyambanginya di rumah, jadi selama empat hari dengan gangguan pria itu sepertinya masih mampu ia atasi seorang diri.
"Selesaikan urusanmu dan pergi dari sini. Aku sedang sibuk." Tukas Sooji, ia memang benar-benar sibuk karena akan melakukan operasi pada pasiennya yang memiliki tumor jinak di kepalanya.
"Aku bisa menunggu sayang."
Sooji langsung menatap Myungsoo tajam, ia tidak suka pria itu memanggil 'sayang' padanya karena hanya Sehun yang berhak. Mengerti ketidaksukaannya, Myungsoo hanya tertawa.
"Kau terlihat seksi saat marah seperti itu, sayang." Ujar Myungsoo menekankan kata sayangnya, ia sengaja melakukan itu untuk memancing emosi Sooji namun, wanita itu tidak bodoh. Ia menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya dengan pelan.
"Lakukan sesukamu. Aku tidak peduli," gumamnya pelan lalu kembali mengabaikan Myungsoo. Pria itu hanya tersenyum kecil, melihat wajah lelah Sooji membuatnya berpikir keras. Apa yang wanita itu lakukan sehingga terlihat sangat lelah seperti itu?
"Kau sakit?" Tanyanya tiba-tiba, tapi Sooji tidak menjawab, "kau terlihat lelah. Istirahat dulu," ucapnya lagi namun, lagi-lagi Sooji mengabaikannya. Wanita itu masih sibuk membaca data pasien yang akan di operasinya sebentar lagi.
"Sooji-"
"Jangan berteriak. Aku mendengarmu," sela Sooji dengan jengah. Myungsoo menaikkan alisnya bingung, ia tidak berteriak sama sekali. Suaranya bahkan sangat pelan, jadi mengapa wanita itu menuduhnya berteriak.
"Sooji, kau sakit." Kali ini adalah pernyataan bukan pertanyaan yang ia lontarkan, melihat Sooji menghela nafas kemudian memijat pelipisnya membuat Myungsoo menjadi cemas. Ia bangkit dari tempatnya duduk dan mendekati wanita itu.
"Kau benar-benar sakit," geram Myungsoo, ia menarik apapun yang sedang menjadi perhatian wanita itu dari tangannya kemudian menyingkirkannya, "tidak ada bantahan Bae Sooji, kau benar-benar harus istirahat."
Sooji memejamkan matanya, ia sangat ingin membantah tapi kepalanya tiba-tiba sakit. Memang ia sudah merasa tidak enak badan sejak beberapa hari terakhir, tapi ia memaksa diri untuk ke rumah sakit karena jadwal operasinya dan ia tidak tau darimana Myungsoo tau bahwa tubuhnya sedang tidak baik.
"Pergilah," hanya lirihan pelan yang keluar dari bibirnya, ia tidak ingin Myungsoo masih berada di sini, "pergi saja." Lirihnya lagi, namun Myungsoo terlalu keras kepala untuk mendengarnya.
"Kau bisa berjalan? Ayo baringkan tubuhmu sebentar," Myungsoo menarik lengannya untuk berdiri, Sooji meringis saat tiba-tiba pandangannya berputar. Sekali lagi memejamkan matanya untuk meredakan rasa sakit yang tiba-tiba datang, sebelum tersadar jika Myungsoo sudah berusaha menariknya untuk berjalan.
"Pelan-pelan," ucapnya menyerupai bisikan, sakit kepalanya semakin terasa saat ia mencoba melangkah, namun Myungsoo tidak menyadarinya jadi ketika pria itu kembali memintanya berjalan ia merasa tubuhnya limbung.
"Astaga, Sooji!"
Myungsoo menjadi panik, ia merangkul tubuh Sooji untuk membuat wanita itu kembali berpijak. Ia menatap wajah Sooji yang pucat kemudian mengumpat pelan, "kau sangat keras kepala," dengusnya sebelum menarik tubuh Sooji untuk mendekat padanya dan menggendong wanita itu, dengan susah payah ia membuka pintu ruangan untuk keluar dari sana.
"Myung-soo, kau membawaku ke mana?" Sooji bertanya saat ia merasa tubuhnya melayang, ia terlalu lemas untuk memberontak dari gendongan pria itu, "aku hanya butuh tidur."
Myungsoo menunduk untuk menatapnya tajam, "kau tidak hanya butuh tidur, tapi diperiksa oleh dokter."
"Myung-"
"Sekali saja jangan menolakku. Ini demi kesehatanmu Sooji."
Sooji terdiam, ia membenarkan perkataan Myungsoo tapi tidak dengan perlakuannya. Saat ini beberapa orang pasti sedang menatap aneh kepada mereka, pasalnya Myungsoo bukanlah suaminya tapi pria itu yang menggendongnya sepanjang menuju ke ruangan dokter umum.
"Dokter Bae? Apa yang terjadi?" Seorang dokter muda terkejut saat melihat Myungsoo tiba-tiba memasuki ruangannya dengan Sooji yang berada dalam gendongan pria itu.
"Dia sakit, kau harus memeriksanya," ucap Myungsoo mengabaikan pandangan penuh tanya dokter itu, "cepat lakukan! Kau tidak lihat keadaannya?" Ia membentak membuat dokter muda itu terkesiap, lalu berjalan melintasi ruangan untuk mendekati ranjang khusus pasien.
"Silahkan baringkan di sini," ucapnya, Myungsoo mendekat lalu membaringkan Sooji yang masih memejamkan matanya, "dokter Bae, saya periksa dulu ya," gumam dokter itu kemudian hendak menarik kemeja yang dikenakannya namun sebuah tangan menahan pergerakannya.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Myungsoo sengit, dokter itu mengerjap menatapnya dan Sooji bergantian.
"Saya akan memeriksanya."
"Kenapa harus membuka bajunya?" Myungsoo menatapnya tajam, masih belum melepaskan tangan dokter itu. Sang dokter gelagapan lalu melirik Sooji yang sudah membuka matanya sedikit, wanita itu menggeleng kecil padanya membuat sang dokter mengerti.
"Maaf, memang seperti itu prosedurnya-"
"Kau bisa memeriksanya tanpa membuka baju kan?" Myungsoo menyela dan dokter itu mengangguk pelan, "kalau begitu lakukan, tidak perlu buka baju!" Dokter muda itu menghela nafas lalu memeriksa Sooji, mulai denyut nadi, suhu tubuh hingga beberapa tes kesehatan lainnya.
Myungsoo hanya berdiri mengawasi, ia menatap wajah Sooji yang sangat pucat dan ia menggeram. Ia tidak suka melihat wanita itu sakit.
"A-ku sakit apa?" Tanya Sooji lirih, dokter muda yang memeriksanya mengernyit bingung kemudian ia tersenyum kecil.
"Anda kelelahan dokter Bae, saya akan meresepkan beberapa vitamin dan hanya perlu istirahat yang cukup." Jelasnya sembari kembali ke mejanya membuat Myungsoo dan Sooji tanpa sadar menghela nafas lega secara bersamaan.
"Ini resep vitaminnya, anda bisa menebusnya di apotik. Biarkan dokter Bae istirahat di sini sejenak," dokter itu memberikan Myungsoo resep vitamin untuk Sooji, awalnya Myungsoo ingin membantah tapi melihat keadaan wanita itu akhirnya ia mengangguk dan melangkah keluar untuk menebus vitamin untuk Sooji.
Dokter muda itu menghela nafas kemudian kembali mendekati ranjang di mana Sooji berbalik, "dokter Bae, apa suami anda tau tentang ini?" Tanyanya membuat Sooji menatapnya dengan bingung.
"Apa maksud anda dokter Kim?"
"Saya tidak menemukan gejala penyakit apapun di tubuh anda, tapi ada baiknya jika anda memeriksakan diri ke dokter Jung."
"Dokter Jung?"
"Iya, Jung Soojung."
Dan seketika tubuh Sooji menegang mendengar nama salah satu dokter di rumah sakit ini, entah mendengar saran itu ia harus merasa bahagia atau sedih karena ia sendiri bingung akan perasaannya. Di pikirannya sedang berkecamuk berbagai macam pertanyaan hingga pemahaman itu membuatnya tersedak.
"Dokter Jung, bukankah dia dokter-"
"Ya dan jika saya tidak salah menebak anda sedang mengandung. Selamat dokter Bae."
CONTINUED.
Cie cie yang nunggunya lama 🙈🙈🙈
Maaf ya, semingguan kemarin aku sibuk (lagi pindahan rumah) jadi gk ada waktu buat ngetik. Buka wattpad paling nyempil di komen"an org 😂
Btw kemarin yang mikir negatif ttg curhatanku, tolong jgn diteruskan ya 😁 aku sdg tdk dalam masa terpuruk atau sdg berpikir untuk berhenti atau sedang haus akan vote+komentar, karena sejujurnya itu murni hanya curahan hati saya tanpa bermaksud apa-apa 😆 aku jdi mrasa gk enak krena banyak yg baper 😢😢😢
Bye bye~ sampai jumpa next part 🙌
[12/07/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top