9 - Raphael / William
9
Begitu kapal berlabuh di pelabuhan Reibeart pagi itu, Raphael sudah menguatkan hatinya lebih keras dari baja. Alun-alun kota berubah menjadi tempat duka, tubuh para prajurit Reibeart—ayah, suami, teman, putra, keluarga—berjajar tidak bernyawa. Lencana pahlawan dan kompensasi dari kerajaan tidak akan mampu menutup luka yang datang bersama kehilangan. Ucapan duka Raphael sebagai sang komandan disambut jerit para istri, tangis sekumpulan orangtua, dan sedu sedan anak-anak yang ditinggal ayah mereka. Hal itu menjadikan Raphael semakin membenci dirinya sendiri.
Pemandangan itu mengingatkannya di masa lampau ketika Rapael pulang dari perang pertamanya. Sang Raja dan Ratu Reibeart menyematkan tiga lencana penghargaan, mengangkat kedudukannya dari serdadu biasa menjadi seseorang dengan kekuasaan—tetapi ia tidak bisa merasa bahagia. Sebab, sekilau apapun lencananya, Raphael selalu melihatnya keruh oleh darah. Darah teman satu kompinya, terutama nyawa teman baiknya, Gilbert.
Kenapa kau tidak menyelamatkannya? Raphael mengingat pukulan keras ibu Gilbert pada dadanya sementara ia berteriak, mengingatkan Raphael atas dosanya. Pukulan itu kian kencang seakan-akan di tiap pukulannya, Gilbert perlahan akan hidup.
Raphael tidak tahu bagaimana ia dapat melalui itu semua jikalau bukan karena kehadiran Esther di sisinya. Wanita itu adalah mataharinya dan Raphael adalah pria terbodoh apabila tidak mencintainya. Ia bersumpah untuk menjaga wanita itu dekat hatinya, sehingga setiap saat Raphael kehilangan arah, ia tahu kemana jalan pulangnya. Dan ia, juga sebaliknya, akan menjadi matahari untuk Esther ketika makna kehidupan terselip dari genggaman wanita itu.
Langkahnya berhenti di hadapan ruang takhta. Dua prajurit yang berdiri menjaga pintu seketika memberikan salut, menyilakannya masuk. Seperti yang sudah diperkirakannya, enam wajah tidak asing menunggu Raphael di balik pintu—para pahlawan di Perang Agung sebelumnya mustahil melewatkan kabar kebangkitan nemesisnya.
Sang Ratu duduk di samping sang Raja, di mana dari singgasananya, wajahnya dikeluti kecemasan. Ayahnya, Jenderal Schiffer memberikan satu anggukan baginya untuk berjalan maju lebih dekat ke tengah ruangan. Lega membanjiri relung dadanya mendapati komandan tertinggi Korps Istimewa Reibeart, Gideon Reyes, berdiri tegak dan sehat di sisi istrinya, Kassia. Beberapa waktu lalu, ia terlibat dalam sebuah kecelakaan di Albatross dan begitu siuman, pria itu segera pulang ke Reibeart untuk menyampaikan hal penting kepada ratu. Sementara itu, kendati tiga tahun memperdalam kerut pada wajah ibunya, Anastasia, wanita itu masih secantik di ingatan masa kecilnya.
Raphael berlutut di hadapan Raja dan Ratu. "Yang Mulia," sapanya.
"Rafe, tidak perlu bersikap formal," ujar sang Ratu. Mata keemasannya berkilat ramah. "Kita, bagaimanapun, adalah keluarga."
Sekujur syaraf Raphael mendadak lumpuh mendengarnya. Pernikahannya dengan Esther menjadikan sang Ratu dan Raja orangtua kedua Raphael. Tetapi, kemudian, terbersit raut wajah kecewa Esther dan Raphael tidak mampu mengelak dari rasa bersalah. Terutama, saat ia mendongak, ia menemui manik biru kelabu sang Raja yang menyerupai milik wanita tercintanya.
"Kalau begitu, mari kita abaikan formalitas dan jelaskan," ayahnya, Tristan Schiffer, bersedekap, "apa yang terjadi di sana?"
"Apa yang selalu aku berusaha peringatkan kepada kalian semua." Gideon mengangkat kedua bahunya. "Waisenburg mengkhianati kita."
Raphael mampu mendengar serentak tarikan napas yang tajam, namun ia tidak yakin siapa. Alec, sang Raja, berkata, "Dik, kau perlu tahu bahwa mengurus kerajaan tidak sama seperti mengurus peternakan di mana kau bisa langsung menyembelih kapanpun."
"Kalian seharusnya menarik mundur pasukan ketika aku menyarankannya. Dengan begitu, tidak akan ada taman mayat di alun-alun kota."
Kassia menarik lengan suaminya dan berbisik memperingatkan, "Gideon."
Tetapi, Gideon tidak mempunyai setitik pun niat untuk diam. Raphael tahu, sebagaimana mereka pernah bertarung bersama di Albatross, bahwa Gideon peduli terhadap nyawa-nyawa prajuritnya seperti Raphael. Keduanya, mereka adalah pria dengan tanggung jawab besar. Gideon kembali berucap, "Seorang Waisen memukul belakang kepalaku dan kalau bukan karena Albatross itu¸ leherku sudah dipastikan digorok."
"Albatross itu?" Raphael mengangkat sebelah alisnya. "Rhys?"
"Benar."
Sang Ratu nyaris melonjak dari duduknya mendengar nama itu disebut. "Rhys. Rhys. Rhys. Dan aku bertanya-tanya mengapa nama itu tidak asing. Apa kau bertemu dengan Petra, Rafe?"
"Rhys pria yang baik, Yang Mulia." Entah mengapa, Raphael memiliki dorongan untuk menciptakan gambaran baik mengenai pria itu kepada sang Ratu. Beberapa malam, api unggun, alkohol, dan satu atau dua pertarungan dengan cepat mengeratkan hubungan pertemanan di antara mereka. Walaupun, sesungguhnya, Raphael masih mampu merasakan denyut sakit di tempat pria itu mengayunkan tinjunya. "Dan—wajah Petra berseri seperti wanita manapun yang sedang mengharapkan anak, delapan bulan ke depan."
"Aku rasa aku bisa pingsan." Sang Ratu mencengkeram lengan kursi sebagai penyangga kewarasannya.
Sang Raja meraih tangan sang Ratu dan mengelusnya. "Bukankah itu kabar yang luar biasa, Sayang? Kita akan menjadi kakek dan nenek dari dua cucu sekaligus."
"Dua cucu dan satu anak perempuan kita yang kabur bersama seorang pria entah—meledakkan pelabuhan Waisenburg. Apa dia pikir ia sedang bermain dalam sebuah drama?"
Kedua alis Raphael merenggut, tidak mengikuti arah pembicaraan sang Ratu. Namun, kemudian, ibunya menggerakkan mulut, melafalkan sebuah nama dalam diam. Sebab, nama yang disebut sudah mencatat rekor sejarah atas keonarannya—setidaknya, menurut sang Ratu. Daria.
Sang Ratu menahan napasnya, berupaya memperoleh ketenangannya. Lalu, pandangannya menemui milik Raphael. "Katakan kepadaku, apakah Petra bertarung dengan kandungan di dalam perutnya?"
"Itu—" Raphael mengangguk. "Ya. Tetapi, bukan karena ia menginginkannya. Lebih karena ia terpaksa. Zahl hanya dapat dilawan dengan Zahl dan Petra—"
Hingga detik itu, Raphael tidak menyadari kesiap tertahan dua wanita di dekatnya atau rahang para pria yang mendadak keras. Atau, ekspresi horror sang Ratu. Sebuah gigil merambat dan mencengkeram tungkai Raphael.
"Jangan sebut kata itu lebih lanjut," ayahnya memperingatkan. Nadanya adalah nada yang digunakan ketika memimpin serdadunya.
"Seberapa jauh kau mengetahuinya?" ibunya bersuara ketika tiada satu pun mulut di ruangan itu yang membuka.
"Bahwa—kekuatan itu semula pernah ada di dunia ini. Namun, kemudian, Perang Agung mengubah segalanya termasuk ingatan orang-orang mengenai kekuatan itu. Sekarang, kekuatan yang menjadi anugerah seluruh umat manusia, hanya dimiliki segelintir orang berbakat. Aku—tidak termasuk ke dalam lingkaran kelompok berbakat itu," ujar Raphael, mengenang kalimat demi kalimat Petra sama persis.
"Lagi-lagi, Thalia," Gideon membalikkan badannya, menghadap sang Ratu, "aku sudah mengingatkanmu bahwa selama kegelapan masih ada di muka dunia—Zahl tidak akan pernah musnah. Kekuatan itu ada untuk memerangi kegelapan sejak awal mula manusia berkeliaran di muka bumi hingga detik ini."
"Kekuatan itu hanya membawa petaka." Suara sang Ratu bergetar pada sudut-sudut tertentu, seakan tengah melawan gelombang dahsyat dalam dirinya.
"Kau perlu ingat bahwa kau menyelamatkan banyak nyawa manusia dengan kekuatan itu, Thalia. Kekuatan itu tidak hanya membawa petaka." ujar Alec.
"Aku hanya menginginkan masa depan yang aman bagi anak-anakku," Thalia melambaikan tangannya ke ruang takhta, "bagi dunia."
"Tetapi, kegelapan kini sudah datang dan semakin mendekat, Thalia. Kita, sekali lagi, harus mengangkat senjata dan—"
Kalimat sang Raja terpotong ketika dua sosok manusia mendobrak pintu ruang takhta. Tujuh kepala serentak mengalihkan perhatian ke arah pintu. Mereka berubah siaga, tangan mengambang di gagang pedang. Raphael mengernyitkan dahinya melihat sepasang orang itu—kombinasi kekasih yang cukup aneh: pria yang tampak bagai seorang bajak laut bersama seorang wanita dengan wajah tegas. Raphael mengenali wanita itu. Emilia, pelayan pribadi Daria. Pemikiran di benak Raphael tidak usai berputar.
Emilia menekuk lututnya di hadapan sang Ratu. Bahkan, ketika dadanya kembang kempis tidak beraturan, ia masih mempertahankan tata kramanya. "Maafkan kami, Yang Mulia, tetapi dua prajurit di depan memaksa kami menunggu ketika Tuan Putri jelas-jelas mengingatkanku untuk mengirim surat ini sesegera mungkin."
"Di mana Daria, Emilia?" sang Ratu membelalakkan matanya.
"Sesampainya di Cardinia, Tuan Putri dan Yang Mulia Pangeran Cayenne segera bertolak untuk pelayaran yang panjang dalam sebuah pencarian. Saya dan Noah ditugaskan mengendarai kuda menyampaikan surat ini kepada Anda secepat mungkin. Itu sedikitnya yang saya ketahui, Yang Mulia, selebihnya, dituangkan oleh sang Putri di dalam surat ini."
Emilia merogoh saku gaunnya, mempersembahkan kepada sang Ratu sebuah surat. Tersegel dengan lambang kerajaan Reibeart. Sejurus kemudian, sang Ratu membaca surat tersebut. Matanya memindai baris demi baris lebih cepat dari kilat, kiri lalu kanan, dan seterusnya. Atmosfir di ruangan berubah pepat oleh antisipasi dan tegang.
"Apa yang dikatakannya, Thalia?" Tristan mengambil satu langkah maju.
"Waisenburg," gumam Thalia, masih belum menyelesaikan bacanya. Tak lama bagi sang Ratu meletakkan secarik surat itu di atas pahanya dan berkata, dengan berat hati, ke banyak pasang mata yang menanti ucapannya. "Waisenburg. Mereka sedang membentuk sebuah pasukan—manusia-manusia dengan kekuatan terkutuk itu."
"Apa?" Raut wajah Alec tidak terbaca.
"Dan itu menjelaskan mengapa Komandan Livius memiliki kekuatan itu," Gideon bersedekap karena, untuk kesekian kalinya dalam hari ini, pria itu membuktikan kebenaran ucapan dan spekulasinya.
Kassia, istri Gideon yang pendiam, akhirnya mengangkat suaranya. Sebab, bahkan bagi seseorang dengan hati lembut sepertinya, ia tidak bisa terus diam membayangkan bencana yang akan datang. "Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita tidak bisa diam," ibu Raphael menggeram. "Kita harus menuntaskan mereka seperti bertahun-tahun lalu."
"Kau benar, Tasia," ujar Thalia. "Kita harus memusnahkan mereka kali ini hingga sungguh tidak bersisa. Tetapi, pertama, ada hal penting yang tidak boleh kita lewatkan."
Thalia mengembalikan udara ke relung paru-parunya, kenyataan yang diterimanya lebih berat dari yang ia mampu tanggung. "Kita harus segera pergi ke Cardinia. Benda pusaka itu tidak boleh jatuh ke tangan Waisenburg."
***
"Mereka pasti pikir aku bajingan pengkhianat." William Wahrforce Waisenburg tertawa, kekehnya menggema ke seisi ruang bawah tanah itu.
Pedang di hadapannya berbicara—satu-satunya makhluk yang mengerti penderitannya. Kau bukan pengkhianat. Kau tahu apa yang kau mau dan itu adalah apa yang menjadikanmu seorang pemenang. Kau adalah pemenang. Aku dapat melihatmu berjaya di medan perang seperti yang selama ini kau lakukan.
"Dan apakah Gabrielle ada di sisiku?" Cintanya. Jiwanya. Hidupnya. Semenjak kematian wanita itu, kehidupan William bukan lagi miliknya. William menikahi teman masa kecilnya, Adeline—tetapi hatinya, kehidupannya selalu akan menjadi milik Gabrielle. Dan kekosongan itu, kehampaan tersebut perlahan meranggaskan pikirannya. Namun, nyatanya, berenang dalam kegilaan menjadikannya lebih hidup dibandingkan saat ia menjadi seseorang yang bukan dirinya. Berusaha bahagia ketika dalam dirinya, ia mati perlahan. Terutama, saat kegilaan itu merupakan anak tangga menuju cintanya.
Ia ada di sisimu, seperti yang selalu aku janjikan, daging dan darah dan hidup. Kalian tampak begitu bahagia.
"Lord," seseorang menyahut dari balik punggungnya. William tidak perlu berbalik untuk mengenali suara anjing kesayangannya, Dominicus Ragnar—yang lebih menyukai kode namanya: Duke. Subjek paling setianya—datang membawa kepala seorang pengkhianat ke hadapannya di umur tiga belas tahun. William harus akui bahwa ia tidak pernah lagi menyaksikan bakat secemerlang Duke setelah Gabrielle. Anak itu tumbuh menjadi mesin pembunuhnya yang paling efisien, sebuah instrumen kehancuran berjalan.
"Ya, Duke?" William menyibak sebuah sapu tangan dari jubahnya dan mulai mengilapkan pedang di hadapannya.
"Myles dan yang lainnya telah kembali."
"Ah, apa kabarnya?"
"Dia tidak banyak bicara. Ia baru saja mengkhianati kerajaannya sendiri."
"Ketika kau mengiris pergelangan tanganmu untuk kali pertama, lukanya akan dipastikan dapat membuatmu berdecit sakit. Tetapi, apa yang terjadi saat kau terus menerus mengiris pergelangan tanganmu?"
"Kau akan semakin terbiasa dengan rasa sakit." Sakit bukan rasa yang asing bagi Duke. Demi membentuk dirinya—Duke telah melalui berbagai macam kesakitan yang tidak terbayangkan. Kesakitan, layaknya sebuah pelajaran. Seseorang akan semakin terbiasa dan terbiasa, hingga apa yang tersisa di dalam dirinya adalah jiwa pemenang.
William juga tidak lagi mampu merasakan sakit.
"Myles akan terbiasa mengkhianati kerajaannya. Lagipula—" William menghela napas, menegakkan punggungnya, "sudah saatnya Thalia menyadari keberadaan kita."
"Kita akan mengumumkan diri kepada dunia," ujar Duke.
"Kita sudah mengumumkan diri kepada dunia, Duke. Kita harus melancarkan langkah selanjutnya—menghabisi satu-satunya ancaman kita." Thalia. Ancamannya yang paling mematikan. Seseorang dengan kekuatan begitu dahsyat yang dapat menghentikan William. Di Perang Agung sebelumnya mereka adalah kawan. Lucu, sebagaimana di suatu titik dalam kehidupan manusia, sepasang teman dapat menjadi lawan. Dalam sekejap.
Tetapi, William lelah hidup kehilangan harapan. Dan ketika harapan itu datang, seredup apapun cahayanya, William akan selalu berlari mengejar harapan tersebut.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?"
Dan William tertawa. Kencang. Membahana. Berkumandang hingga ke permukaan, sebab ruang bawah tanah itu tidak kuasa membendung kegirangannya. Kejayaannya. Kemenangan yang menari di ujung jarinya. Tanpa sepengetahuannya, Thalia sedang berlari tepat ke dalam perangkapnya.
"Apa kau sudah siap berpergian, Duke?" tanya William, bibirnya terangkat dalam satu sudut miring.
"My Lord?" Duke mengangkat sebelah alisnya.
"Kita akan berjalan-jalan. Tapi, siapkan dirimu. Sebab, kita akan memandangi gereja-gereja di Cardinia runtuh oleh api amarah kita." []
Maafkan keterlambatan ini ya kawan kawans :') Lagi banyak banget kerjaan
Semoga kalian terpuaskan dengan chapter ini dan jangan lupa berikan dukungannya!
Selamat hari Jumat kalian semuaaa!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top