8 - Raphael / Esther

8

Zahl.

            Kata itu terdengar begitu asing sekaligus familiar. Raphael kesulitan mempercayai bahwa di luar kehidupan yang ia ketahui, ada kekuatan yang tidak seharusnya ada di muka bumi dan beberapa orang beruntung memilikinya—Petra, Rhys, dan bahkan sang Pangeran—entah bakat atau kutukan, Raphael tidak yakin pasti apa. Dengan kekuatan magis itu dan kegilaan yang tepat, seseorang dapat tenggelam tepat ke kebejatan.

            Kebejatan, kemalangan, seperti yang dialami sang Raja Waisenburg sendiri, William Wahrforce Waisenburg. Dan itu adalah hal kedua yang lebih sukar dipercaya, bahwa sosok pemimpin paling berpengaruh, memiliki agenda yang kemungkinan besar akan menghancurkan dunia. Sang Raja adalah salah satu pahlawan di Perang Agung terdahulu, berperang bersama-sama di sisi ayahnya. Ayah tidak pernah kehabisan cerita menggambarkan ketangkasan dan keberanian sang Raja di masa kecil Raphael. Sehingga, lambat laun, ia tumbuh dengan mengidolakan sang Raja.

            Ia selalu tahu mimpi-mimpi belianya itu rapuh, tetapi, apa yang tidak ia ketahui adalah bahwa serpihan kehancurannya lebih tajam dari yang ia kira.

            Sesuai kesepakatannya dengan Petra dan Rhys, Raphael harus segera meninggalkan Albatross untuk memperingati sang Ratu Reibeart. Ia tidak mampu mendustai girang di hatinya, betapa kelelahan sudah menguasai jiwanya dan apa yang ia inginkan hanyalah pulang. Ia ingin pulang, memandangi bukit hijau dekat kediamannya, menikmati udara yang semenjak kecil menyapu relung paru-parunya, dan—

            Mulut Raphael berubah asam membayangkan hari-hari yang akan ia habiskan bersama Esther. Logikanya mengatakan kecil kemungkinan ia akan memperoleh kesempatan itu lagi. Namun, sekecil apapun probabilitasnya, hati Raphael akan selalu mengusahakan Esther. Selama bertahun-tahun mencintainya, ia akan mendapatkan kembali hati wanita itu, bagaimanapun caranya. Tetapi, tentu saja, untuk mendapatkan hati Esther, hal pertama yang harus dilakukan Raphael adalah menarik perhatian wanita itu terhadapnya. Sebab, kini, wanita itu sama sekali tidak meliriknya, setitik pun.

            Bahkan, setelah mereka berlayar ke lautan bebas berhari-hari lamanya, Esther selalu mengabaikan kehadirannya. Raphael tidak perlu berpikir dua kali untuk menyadari bahwa Esther menghindarinya. Alih-alih tidur di kamar yang sama, wanita itu memutuskan mengambil kamar dekat awak kapal yang kesakitan di geladak bawah. Dan Raphael menjelma penjelajah di gurun pasir Qyhar, kerongkongannya disiksa dahaga kendati seluruh samudera dipenuhi air karena ia haus akan perhatian wanita itu.

Raphael juga menyadari Esther menggeser waktu makannya, sarapan menjadi makan siang dan, terkadang, melupakan makan malam. Dalam hal ini, Teresa, pelayan pribadi Esther, juga turut khawatir. Sehingga, siang itu di dek kapal, Teresa menghampiri Raphael.

"Sang Lady melewatkan sarapannya, Lord Schiffer."

Sebelah alis Raphael terangkat, memastikan ucapan Teresa. "Apa?"

Teresa berdeham. "Ia melewatkan sarapannya hingga teh di kamarnya berubah dingin, my lord."

"Setelah semalam ia melewatkan makan malamnya?" Nada suaranya berubah satu tingkat lebih tinggi. Esther jelas tidak memerhatikan kesehatannya dan, entah mengapa, hal itu memercik amarah dalam dirinya.

"Ia seharian merawat seorang prajurit yang terserang demam. Lady Schiffer berkata bahwa hal terburuk yang dapat menimpa sebuah pelayaran adalah penyakit menular. Maka dari itu ia tidak kunjung meninggalkan geladak bawah."

Jemari Raphael memijat penat di antara kedua alisnya, upaya kecil untuk mengusir kekacauan pikirannya. "Panaskan kembali teh di teko dan bawa nampan makanannya ke kamarku. Aku akan membuatnya makan, penyakit menular atau tidak."

"Baik, my lord," Teresa menekuk lututnya, sebuah gestur hormat tidak tercela. Kemudian, pelayan pintar itu kembali membuka mulutnya karena mustahil ia tidak menyadari ketegangan di antara hubungan Raphael dengan istrinya. Esther tidak akan secara sukarela makan di kamarnya. Terutama di kamarnya. "Tetapi, my lord, apa yang harus saya katakan kepada sang Lady?"

Raphael bukan pria bodoh. Ia tahu satu hal yang dapat memaksa Esther mengunjungi kamarnya. "Katakan kepadanya, Teresa," ujar Raphael dan seketika menyesal tidak melancarkan siasat ini untuk memperoleh perhatian istrinya sesegera mungkin, "bahwa Lord Schiffer terluka parah dan membutuhkan pengobatan. Dengan. Segera."

***

Akhirnya, pikir Esther, ia dapat duduk tenang di dek kapal sembari membiarkan sinar matahari bekerja pada permukaan kulit pucatnya. Ia menyukai rona yang ditimbulkannya, bagaimana merah darahnya memberikan semburat kesehatan. Berjemur di bawah cahaya mentari untuk beberapa waktu menjadi jalan keluarnya dari penat ataupun masalah yang dihadapinya.

Kebiasaan itu, ia ingat, muncul setelah kejadian berdarah dua tahun lalu. Ia mengurung diri di dalam kamar, berbulan-bulan karena baginya dinding kamar adalah pelindungnya. Di luar pintu kamarnya adalah dunia yang kejam dan Esther tidak siap untuk terluka lagi. Namun, sedikit ia ketahui bahwa kewarasan meninggalkan jiwanya, setitik demi setitik, seiring hari ini berserah kepada esok, sementara bulan berganti bulan. Ia mengharapkan seseorang mengetuk pintunya, tetapi saat itu adalah musim semi dan seluruh keluarga serta iparnya berada di ibukota. Tidak terbersit sedikit pun bagaimana kala itu ia mampu bertahan dari sengsaranya seorang diri. Yang pasti, setelahnya, ia meninggalkan kediamannya dan kembali bersama keluarganya.

Ayah murka. Ayah ingin menjatuhkan pelajaran teramat berat kepada Raphael karena ia mengetahui segelintir masalah yang menimpa Esther. Rumor sudah menyebar seperti racun di Kastil Gemma. Tetapi, ibunya memahami sesuatu yang nihil dari perkiraan orang lain. Ibunya mampu menerka rahasia yang ia simpan selama berbulan-bulan. Sebuah anugerah yang seharusnya menjadi kejutan, kini merupa kutukannya. Satu-satunya jalan Esther untuk mendapatkan kembali hati Raphael, hancur berubah jadi debu. Ibu menyadarinya. Ibu membentangkan lengannya lebar-lebar, menawarkan suaka yang paling ia butuhkan.

Kita semua mengetahuinya, Esther. Kita selalu mengetahuinya. Tetapi, Ibu tahu kau adalah wanita paling pemberani yang pernah kukenal. Kau hanya terluka, bukan berarti kau tidak sempurna. Suara ibunya bergaung. Di dalam pelukan Ibu, Esther bukan barang cacat seperti yang selalu dipercayainya.

"My lady, Lord Schiffer memohon kehadiran Anda di kamarnya." Teresa muncul tiba-tiba di sisi tubuhnya.

Esther melonjak oleh keterkejutan, tetapi bukan karena kehadiran Teresa yang mendadak. Lebih karena permintaan Raphael untuk menemuinya. Sebuah tantangan berat bagi Esther untuk mengabaikan sorot pandang pria itu yang melekat padanya. Sebab, adalah kemustahilan Esther tidak menyadari setiap embusan napas, gerak mulut, dan suara berat pria itu. Bahkan ketika Esther berada di geladak bawah merawat para prajurit kesakitan, genderang telinganya mampu menangkap kehadiran Raphael di dek. Hatinya sukar melepas cinta pertamanya, kendati seluruh logikanya berkehendak memperlebar jarak yang semula tiada di antara mereka.

Menyadari diamnya, Teresa berbisik, wajahnya adalah lukisan kekhawatiran. "Lord Schiffer terluka parah, my lady¸ dan membutuhkan pengobatan dengan segera."

Darah merembes dari wajahnya. Jemarinya berubah kebas. Ingatan mengenai luka berdarah di perut Raphael bangkit dari ketakutannya. Kedua matanya sudah menyaksikan sebagaimana luka itu sirna dan Raphael bangun lebih bugar dari prajurit manapun—sebuah keajaiban. Namun, setelah menjalani bertahun-tahun dalam keterpurukan, Esther tahu keajaiban tidak datang bersama kekekalan. Keajaiban dapat pergi dalam kedipan matanya. Luka itu bisa saja muncul kembali.

Tanpa menimbang pergulatan pemikirannya, Esther meraih perkakas medisnya dan, dalam sekejap, melesat menaiki tangga kapal. Derap langkahnya berseteru dengan mudah mengundang perhatian dari orang-orang di sekitarnya. Esther tidak pernah menyukai perhatian yang berlebihan—tidak seperti kakaknya, Daria. Ia selalu menyukai bayang-bayang tempatnya melebur. Tetapi, detik itu, ia tidak lagi memedulikan puluhan pasang tatapan orang di sekitarnya. Nyawa Raphael terancam. Pria itu bisa saja meninggal—

Esther mendobrak pintu kamarnya, kekuatan yang dikerahkannya terlampau kuat hingga mengejutkan Raphael yang berdiri di seberangnya. Tas perkakasnya jatuh bedebam menabrak lantai kayu. Esther—tidak pernah terbersit setitik pun kekerasan dalam pikirannya—kini membayangkan kekerasan yang dapat dilakukannya dengan melibatkan tas perkakas dan sebuah lemparan jitu ke wajah pria itu. Pria yang, selain bekas luka di pipi dan dahinya, tampak terlalu sehat.

Dada Esther kembang kempis tidak beraturan, mengisi kembali udara dalam paru-parunya, namun terutama, pengendalian dirinya. "Teresa bilang kau sekarat."

Raphael mengernyitkan dahinya. "Benarkah?" Esther, mengenali pria di hadapannya, bertahun-tahun lamanya, menyadari kedut senang di wajahnya. Sebelah tangan Raphael mengusap dagunya, "Aku tidak pernah tahu aku dapat memperoleh perhatianmu semudah itu."

"Jangan," suara Esther bergetar oleh gemetar yang datang entah dari mana. Tangannya mengepal lebih erat dari seharusnya. "Jangan pernah bercanda mengenai keselamatanmu." Kedua mata biru Raphael membesar mendengar ucapannya dan Esther menyadari samar gerakan Raphael untuk melintasi kamar, memeluknya dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Esther lekas menambahkan, mengetahui bahwa mereka perlu mempertahankan jarak yang ada, "Atau mengenai keselamatan siapapun. Jangan pernah."

Dan dengan itu, Raphael mengurungkan niatnya. Segenap keinginannya merembes pergi seiring tangannya mencengkeram punggung kursi. "Maafkan aku," katanya. "Sumpah demi dewa-dewi, aku tidak akan mengulanginya lagi. Hanya saja—" Ia menghela napasnya berat, "Teresa mengabariku bahwa kau melewatkan sarapanmu."

Baru kemudian Esther menyadari sebuah meja kecil dan dua kursi yang ditata Raphael di tengah kamar. Sarapannya berjajar rapi di permukaan meja beserta teko teh yang mengepulkan kehangatan. Aroma teh membuai penciumannya sementara perutnya segera bergejolak oleh rangsangan tersebut. Lapar itu, akhirnya, menguasai Esther dan ia jadi bertanya-tanya kapan terakhir kali ia mengisi perutnya. Air liur Esther membanjiri mulutnya.

"Duduklah," Raphael membentangkan serbet di depan dadanya, siap melayani Esther.

Tetapi, Esther tidak siap menghapus satu inci jarak di antara mereka. Sekalipun perutnya bergetar lapar dan di atas meja terpampang godaan yang sukar ia bantah. Sekalipun hatinya berteriak senang karena tindakannya membuktikan bahwa pria itu memerhatikannya sama seperti Esther memerhatikannya. Mereka akan saling melukai, Esther mengingatkan dirinya sendiri, sekali lagi. Lagi. Dan lagi.

Dan Esther adalah seorang pengecut, merunduk meraih tas perkakasnya. Membulatkan tekadnya untuk memutar tumit kakinya menjauh dari cintanya. "Aku tidak lapar."

"Apa kau akan meninggalkan tehmu hingga dingin lagi?" Esther berhenti melangkah mendengar suara Raphael dan ia berbalik. Berbalik—kesalahan terbesarnya.

Mata Esther menemui manik Raphael, jujur dan marah di saat yang bersamaan. Pria itu berbisik, selirih napas serta doa, "Kau tidak merawat dirimu sendiri, Esther."

"Aku memiliki sejumlah orang untuk kurawat."

"Apabila kau jatuh sakit, tidak akan ada waktu bagimu untuk memedulikan mereka."

Mulut Esther membuka, hendak berkata, tetapi ucapan di ujung lidahnya tidak kunjung keluar. Raphael benar dalam segala aspek dan Esther membenci kenyataan bahwa pria itu mengemukakan fakta tersebut. Membuat Esther semakin mencintainya, kian sulit untuk melepaskannya.

            "Aku tahu apa yang terjadi di antara kita. Aku tahu bahwa kau membutuhkan waktu menyendiri, tetapi," ujar Raphael, wajahnya tampan sekalipun luka membentang di pipinya, "demi kesehatanmu, untuk sekali ini saja, duduklah. Nikmati teh hangatmu dan roti yang lezat ini karena—aku tahu kau memerlukan seluruh tenaga yang ada."

            Tapi, tidak akan pernah ada yang namanya sekali, batin Esther. "Raphael—"

            "Duduklah," Raphael mempersilakan sekali lagi, namun kali ini, ia menuang teh hangat ke cangkir dan—Esther menahan napasnya—susu. "Kau selalu mencintai tehmu dengan susu."

            Kau selalu mencintai tehmu dengan susu. Kalimat sederhana itu menggetarkan tekadnya lebih dari yang Esther kira. Betapa sebuah kalimat mengandung makna lebih dari yang dimaksudkan. Seakan-akan selama ini Raphael sepenuhnya mencintai dirinya dan tidak pernah berkurang, sedikit pun, seperti yang selalu ia percayai. Tidak seharusnya Raphael mengingat apa kesukaannya. Tidak seharusnya Raphael berdiri, begitu tampan, penuh rasa kasih sayang, di hadapannya.

            Tidak seharusnya. Namun, entah bagaimana, langkahnya menemukan jalan menghampiri meja di tengah kamar itu. Tangannya menggenggam punggung kursi sebagai penyangga kekuatannya. Esther mendongak, mendapati wajah pria itu lebih dekat daripada yang ia bayangkan tiga tahun terakhir. Wajah yang tidak lagi sama seperti di bayangannya, mimpi-mimpi romantisnya, tetapi jauh-jauh-jauh lebih tampan dengan segala luka itu.

            Pria itu tidak perlu menjadi sempurna untuk menjadi pangerannya.

            "Untuk sekali saja," Esther memperingatkan—kepada siapa, ia tidak yakin.

            "Sekali." Raphael tersenyum, menarik kursi mempersilakannya duduk.

            Esther tahu tidak akan pernah ada yang namanya sekali. Namun, teh di genggamannya hari itu adalah teh paling nikmat yang pernah ia minum sepanjang hidupnya. []

Yahuuu! Maafkan saya ya semalem ini baru bisa upload :') Semoga kalian menyukai chapter kali ini!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top