7 - Raphael

7

Meraih jas biru gelap formalnya, Raphael mengenakan selembar pakaian kaku itu dengan presisi manuver militer. Kebiasaan yang ia tempa selama bertahun-tahun di bawah bendera perang Reibeart. Kedisiplinan dan keteraturan memainkan peran penting dalam dunia yang ia terjuni. Kewajiban dan perintah adalah udara yang ia hirup. Kerajaan dan penduduknya bukan lain ialah jantung yang harus ia lindungi, apapun bayarannya.

Tetapi, pagi itu, jantungnya berdenyut sakit mendapati pipi cekung Esther dari kejauhan. Wanita itu memang lebih kurus dari terakhir kali Raphael mengingatnya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa berhari-hari mengobati infeksi luka para prajurit juga menguras rona wajahnya. Raphael ingin mengguncang kedua pundak kecilnya, mengatakan bahwa di atas kesehatan orang lain, kesehatannya juga sama pentingnya. Lalu, ia mengurungkan niatannya tersebut ketika menyaksikan manik biru kelabu itu berkilat bahagia.

Apabila Raphael belum mampu memberikannya kebahagiaan, setidaknya ia tidak ingin merebut kebahagiaan itu dari Esther. Siang nanti ia akan meminta Teresa mengingatkan majikannya untuk beristirahat. Atau, Petra. Esther selalu mengutamakan keluarganya, selalu. Raphael jadi bertanya-tanya siapa dirinya bagi Esther kini.

Esther jelas peduli kepadanya, rutin datang merawatnya saat ia tidak sadarkan diri. Tetapi, Raphael ragu kepeduliannya itu didorong oleh suatu perasaan yang lebih besar. Lebih karena moral baik, mungkin. Lebih karena sumpahnya untuk menolong orang-orang tidak berdaya, mungkin. Tapi, bukan perasaan yang Raphael harapkan tersisa dalam hatinya. Raphael menyadari, kesadaran itulah yang membuatnya merasakan nyeri di lubuk jantungnya.

"Komandan, kehadiran Anda diharapkan di tenda pertemuan," sahut seorang prajurit dari balik punggungnya.

Raphael berbalik. Wakil kapten pasukannya, Lewis Martin memberikan salut sempurna di hadapannya. Setelah kapten pasukannya, Myles, diasumsikan meninggal dan menghilang dalam perang beberapa hari lalu, Martin mengambil alih semua tanggung jawabnya. Namun, kemudian, Raphael tahu lebih baik bahwa Myles tidak semena-mena meninggal. Myles adalah sebab mengapa ia tidak sadarkan diri selama berhari-hari. Kaptennya itu meninggalkannya untuk mati di medan perang dengan hadiah tikamannya yang sempurna.

Komandan, Anda tidak boleh dibiarkan hidup. Perintah dari Lord. Habisi semua Reibeart. Salam terakhir Myles.

Dan Raphael tahu bahwa Reibeart dalam bahaya karena Myles dapat bersembunyi tepat di bawah hidungnya, bertahun-tahun, tanpa terdeteksi. Atau, lebih tepatnya, mereka tidak bersembunyi. Waisen tidak pernah bersembunyi. Mereka mengawasi dengan mata tajam mereka, menimbang-nimbang, apakah Reibeart betul sekutu mereka—atau sebaliknya. Mereka menanti detak demi detik melakukan keputusan tersebut. Kerajaan kecil seperti Reibeart mustahil membuat kerajaan adidaya itu takut. Di sisi lain, tidak mustahil Waisen berhasil mengendus sebuah ancaman dan mereka berniat untuk menghabisi Reibeart sebelum ancaman itu membengkak dan mewabah. Dimulai dari prajurit Reibeart di Albatross. Kehilangan besar itu akan memberikan pukulan yang berarti bagi kekuatan Reibeart.

Tapi, apa yang membuat Waisenburg takut—Raphael belum mengetahuinya.

Raphael menghampiri tenda pertemuan dengan kebugaran yang mengejutkan. Setelah tidak siuman untuk waktu yang cukup lama, alih-alih kehilangan tenaganya, ia tidak pernah merasa lebih sehat sebelumnya. Sesuatu mengenai lukanya juga tidak masuk di akal Raphael. Sebagaimana luka tikaman itu hilang—sungguh-sungguh sirna. Seolah-olah tusukan Myles hanya khayalan belaka. Satu-satu pengingatnya bahwa kejadian itu nyata apa adanya adalah teriakan Esther memanggil namanya. Histeris dan penuh ketakutan. Raphael tidak mungkin salah.

Dua prajurit berseragam merah-hitam berdiri menjaga akses masuk tenda. Sekalipun wajah kedua prajurit Dyre sekeras batu-batu yang membangun benteng, Raphael mampu menangkap kedut samar pada alis mereka. Sebuah indikasi bahwa mereka mengenali Raphael. Bagaimana tidak, bilah pedangnya adalah apa yang menghabisi nyawa temannya. Prajurit yang juga mengemban bendera perang yang sama. Mereka mengenali Raphael sebagai lawan di medan perang—tetapi, kini, mereka memiliki musuh yang sama.

Detik tangannya menyibak tirai tenda, sebuah belati melesat mencucup tenggorokannya. Refleks Raphael satu kedip lebih cepat menghindar dari serangan tersebut, namun penyerangnya seakan mampu menebak langkah-langkahnya, mengantisipasi gerakannya. Pria itu mendorong punggung Raphael menabrak tiang, momentumnya menggetarkan dinding tenda. Genggaman penyerangnya mantap pada bilah tajam belati yang ia tekan pada lehernya dengan kehati-hatian mematikan.

Kedua alis Raphael merenggut nyaris menyatu menemui manik perak pria di hadapannya. Dingin dan hampa. Sementara kedua sudut bibirnya mengupayakan apa yang tampak seperti senyum: indah tetapi nihil akan jejak kehangatan. "Jawab aku," desisnya. "Siapa musuhmu, Schiffer?"

"Sepupu," ujar seorang pria, memperingatkan, dari sisi tenda lainnya. Wajahnya tidak asing bagi ingatan Raphael. Sejurus kemudian, mendapati Petra berdiri di samping pria itu, Raphael mengenali pria bermata ungu itu. Rhys. Pemimpin pemberontakan Albatross, pria yang mengacaukan formasi pasukan Waisenburg dengan keahlian berpedang uniknya.

Bilah itu semakin erat pada lehernya. Pria di hadapannya berdecak, "Biarkan aku melakukan ini dengan caraku." Tidak sedetik pun mata perak itu beranjak dari wajahnya. "Siapa musuhmu?"

"Musuhmu adalah musuhku," jawab Raphael sementara tangannya meraih genggaman pria itu. Membawa belati tersebut menjauh dari batang tenggorokannya, ia menyadari bahwa pria itu mengundurkan diri bukan karena kekuatan Raphael, namun lebih karena pria itu menyadari kelayakan dirinya. Kelayakan untuk hidup. Kedua kalinya.

"Waisenburg," Raphael menggaungkan jawabannya sekali lagi. Setiap nyawa di pasukannya adalah tanggung jawabnya. Ia tidak bisa memaafkan fakta bahwa banyak dari prajuritnya mati di tangan pihak yang ia percayai.

Pria di hadapannya mengembalikan belati ke sarungnya. "Kau beruntung aku tidak menggorok lehermu hari ini."

"Kau tidak perlu mengancamnya," Rhys menghela napasnya berat.

"Mengancamnya?" Ia mengangkat sebelah alisnya, memindai Raphael dari ujung kepala ke sudut jemari kakinya. "Itu bukan sekadar ancaman, Rhys. Aku akan membunuhnya terlebih dahulu sebelum ia sempat meludahiku."

"Atau, aku membunuhmu lebih dulu," sahut Raphael membidangkan kedua bahunya.

"Menarik," ujarnya melangkah mendekati Raphael. Sekujur tubuhnya diselimuti apa yang terjadi bila seseorang membaurkan intensi membunuh dan kepercayaan diri. "Aku membutuhkan olahraga."

Suara Petra, satu-satunya wanita di tenda itu, satu-satunya kewarasan yang mereka miliki, menyambar, "Bisakah kalian menghentikannya sebelum aku membuat salah satu dari kalian menyesal seumur hidup?"

Pria di hadapannya menepuk pipi Raphael seiring sebuah senyum mengembang di bibirnya. "Perintah Tuan Putri. Mungkin lain kali, Schiffer?"

Raphael menepis sentuhan itu dan beringsut menjauh. Petra menggeram, "Tidak ada lain kali, Pangeran."

"Rhys, dengan ini aku dapat menyatakan bahwa kau menikahi singa, bukan seorang wanita," ujarnya, perlahan membaur ke sisi tenda.

Pangeran. Salah seorang dari sekian banyak anak yang dimiliki Kaisar Cicero. Raphael tidak yakin sang Pangeran berada di garis suksesi takhta ke berapa. Namun, satu yang pasti adalah bahwa sang Pangeran mustahil beada di jajaran tinggi garis suksesi. Kaisar tidak mungkin mengirim pewaris takhtanya memimpin pasukan di medan perang. Pekerjaan kotor seperti itu hanya mungkin dilakukan oleh anak-anaknya yang tidak memegang peranan penting.

Kekaisaran Dyre khas dengan budaya harem, di mana seorang kaisar dapat meminang lebih dari seorang istri. Kaisar Cicero sendiri memiliki lebih dari dua puluh anak. Setiap dari masing-masing individu itu berusaha untuk menjilat kaki ayah mereka, menjadi yang terbaik di antara yang terfavorit demi sebuah takhta hitam merah kekaisaran. Tetapi, memandangi sang Pangeran, caranya bersandar pada salah satu tiang tenda, memandangi pertemuan mereka dengan membosankan, nyaris hampa—pria itu menginginkan sesuatu lebih dari sekadar takhta.

Bukan, pria itu menginginkan segalanya.

"Rafe, perkenalkan Rhys," Petra melambai ke arah pria di sampingnya. "Ia pemimpin para Albatross dan sekaligus suamiku."

Tidak perlu berpikir dua kali bagi Raphael untuk mengemukakan bahwa ia menyukai pria satu ini. Rhys, dibanding sang Pangeran, memiliki kehangatan yang mampu membuat Raphael merasa nyaman. Raphael meraih uluran tangan Rhys dan menggenggamnya sebagai sebuah salam. "Senang bertemu denganmu."

"Di masa depan, Komandan, kita akan bertemu lebih sering dari yang kau kira."

"Maaf?" Kedua alis Raphael membusur. Raphael tahu, setelah pernikahannya dengan Petra, pria itu tidak hanya mengikatkan diri kepada wanita yang dicintainya, melainkan seluruh anggota keluarganya. Seluruh—termasuk dirinya, jika Esther menganggapnya sebagai keluarga di mana untuk hal yang satu itu, Raphael nyaris tidak ingin berharap. Tetapi, kendati Raphael tidak paham apa, dari nada bicaranya ia tahu Rhys memaksudkan hal selain hubungan kekeluargaan.

"Sepupu, ingat kesepakatan kita." Sang Pangeran melipat kedua tangannya di depan dada. Sekalipun ia memosisikan diri jauh dari pusat pembicaraan, manik peraknya tidak pernah beranjak dari tiga orang lain dalam tenda.

"Dengan segala kehormatanku, Sepupu, aku mengingatnya." Rhys tidak repot-repot menoleh ke arah sang Pangeran. "Berlayar ke Dyre."

"Bagus," ucap sang Pangeran, "karena jelas-jelas aku tidak memilikinya."

Itu menjelaskannya, sebagaimana sang Pangeran membawa dirinya seakan-akan kehormatan adalah prioritas nomor ke sekiannya. Sang Pangeran akan melakukan apapun, dengan segala arsenal yang dimilikinya, demi mencapai tujuannya. Rhys baru saja hendak membuka mulut membalas sang Pangeran ketika Raphael mendapati Petra menyikut sisi tubuhnya. Tidak perlu mengungkap teka-teki dunia untuk tahu bahwa Rhys dan sepupunya bukan sepupu yang paling akur. Siapapun, pikir Raphael, mustahil mudah menghadapi sang Pangeran.

"Tentu saja, tetapi pertama, ibu dan ayahku harus segera diperingati. Mereka selalu tahu apa yang harus dilakukannya." Petra mengembalikan tatapan biru kelabunya itu, serupa dengan milik Esther, namun tidak sama. Di mana permukaan manik Petra penuh kalkulasi, biru kelabu Esther selalu memberi tanpa memperhitungkan. Menempatkan orang lain di atas dirinya. "Untuk itu, Rafe, kau adalah orang yang tepat untuk mengabari kedua orangtuaku secepat mungkin."

"Kita harus membuat Reibeart memihak kita sebelum Waisenburg mengambil langkah selanjutnya," itu Rhys.

"Aku tahu. Ibu tidak akan diam saja melihat orang-orangnya dibantai kerajaan—" Petra menarik napasnya, "—brengsek itu."

Dahi Rhys mengerut. Ia melarikan sebuah gestur kasih sayang, tangannya mengelus pundak Petra. "Apa kau baik-baik saja?"

Kedua tangan Petra melingkari tubuhnya sendiri. Wajahnya menghijau seakan-akan ia dapat muntah kapan saja. "Aku memiliki sebuah kejutan, sesungguhnya, Rhys."

"Aku tidak yakin kejutan itu menyenangkan." Sang Pangeran kembali membuka suaranya. Lalu, ia berkata, "Bekerja sama dengan Reibeart? Tidak buruk juga. Kecuali mereka memutuskan untuk... diam."

"Ibu dan Ayah tidak mungkin diam. Perang Agung dua puluh enam tahun lalu adalah bukti bahwa mereka akan memihak kita." Petra berhasil membendung mualnya, menikam sang Pangeran dengan tatapannya yang lebih tajam dari pisau.

Sang Pangeran menyeringai. "Hah."

"Petra benar. Reibeart adalah pilihan terbaik. Kita memerlukan kekuatan yang mampu mengancam Waisenburg. Sang Ratu Reibeart adalah kunci dari Perang Agung dua puluh enam tahun lalu. Kalau sekali lagi dunia akan memerangi kegelapan—maka sang Ratu adalah kemungkinan terbaik kita. Mengingat Fitzalbert akan berpangku tangan seperti biasanya dan Cardinia hanya akan bersembunyi di balik dinding mengandalkan Cayenne melakukan pekerjaan kotor mereka, sementara Republik Whiteford, Fhraeron, dan Brauv sudah jatuh ke tangan Waisenburg—kita harus memenangkan Reibeart, bagaimanapun caranya." Tatapan Rhys sarat determinasi kala rentetan kata itu keluar dari mulutnya.

Tapi. Tapi—Raphael tidak cukup paham untuk mengikuti ke mana arah pembicaraan mereka mengalir. Seolah-olah Raphael tengah berada di atas kapal, terombang-ambing gelombang, namun tidak memutar setir ke arah tujuannya. Sang Ratu tidak mungkin diam saja, memang. Sejumlah besar prajuritnya dibantai oleh sekutu utama mereka sendiri. Sang Ratu akan mengambil langkah-langkah, tetapi tampaknya, ketiga orang lainnya di dalam ruangan sedang membicarakan sesuatu yang di luar alur pemikiran Raphael.

Setidaknya, apabila ia akan pergi berperang—ia perlu tahu apa yang sedang ia perjuangkan. Lalu, ia mengingatnya, suara Petra beberapa saat sebelum kematiannya. Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Ancaman di dalam Reibeart yang Waisenburg takuti, kini, jelas adalah sang Ratu, Thalia Ersa of Seymour. Tetapi, sesungguhnya, apa yang sedang terjadi?

"Apa yang belum kau katakan padaku, Petra?"

Kedua bola mata Petra membesar, seakan-akan Raphael melewatkan gajah yang tengah menggoyangkan ekornya tepat di tenda ini. Tak butuh lama bagi wanita itu untuk menyadari bahwa benak Raphael padat oleh ketidaktahuan. Ketika ia membuka mulutnya, kata-kata yang keluar bagai bencana dan petaka digabungkan.

"Bahwa—kita sedang memerangi perang yang lebih besar, Rafe," ujar Petra. "Waisenburg bukan lagi kerajaan yang kita kenal dan mereka memiliki seluruh kekuatan untuk menghancurkan dunia." []

Sore nanti aku bakal upload chapter selanjutnya!! Jadi jangan ancem aku ya biar saya ga lupa uploadnya WKWKKWKWK

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top