6 - Raphael

6

Kegelapan itu menyeret kesadarannya. Di antara kemaraman, ia mampu merasakan tubuhnya mengarungi kehampaan. Ia pikir, akhirnya, setelah bertahun-tahun mimpinya dihantui ledakan, teriakan, dan darah, ia memperoleh kedamaian. Ia ingin membasuh dirinya dalam tirai legam yang menghanguskan segala mimpi buruk dan sesak di hatinya. Tidak ada kesedihan dan ketidakputusasaan. Setidaknya, di sini, ia tidak harus merasa kecewa terhadap dirinya sendiri.

Kemudian, seberkas kehangatan menyelimuti tangannya. Kehangatan yang membangkitkan indranya, terasa sempurna pada sela-sela jemarinya. Kehangatan itu menghidupkan kembali sesak di hatinya, namun disempurnakan dengan segala kebahagiaan yang mengikutinya. Sekalipun tangannya telah lupa rasa sentuhan itu pada telapaknya, segenap jiwa Raphael mengingatnya. Kelembutan yang membekas di hatinya, menjejaki jiwanya. Mendorongnya untuk hidup dan—menebus kesalahannya. Tetapi, hanyut dibawa kegelapan membuatnya menerka kesalahan macam apa yang ia perbuat.

Tubuhnya tidak lagi mengambang. Kini, sebuah jalur tercipta tiba-tiba di hadapannya. Di sepanjang kedua sisinya, deretan api biru menerangi jalannya. Seiring langkahnya memijak jalur tersebut, perlahan bagian tubuhnya kembali satu per satu. Ia tidak lagi sebuah entah dalam kegelapan antah berantah. Serpihan ingatannya ditenun menjadi satu: wajah-wajah yang tidak asing, berbagai tempat yang ia pernah lalui, serta sebuah alunan suara.

"Raphael. Raphael," suara itu tersenyum, memberikan jeda sebelum melanjutkan, "Raphael."

Raphael—itu namanya. Tapi, siapa pemilik suara itu? Raphael menggapai menuju sumber suara. Atom demi atom kehidupan terbentuk dalam tangkupan tangannya. Kegelapan meninggalkannya digantikan pepohonan warna-warni yang mengecup langit biru di sekelilingnya. Ia sedang berbaring di atas hamparan rumput hijau, sementara kepalanya bersandar pada sepasang paha seorang wanita. Jemari lentiknya menyapu helai berantakan di dahinya, sebuah gestur kasih sayang.

Pada sebelah tangan Raphael yang terjulur, wajah wanita itu mewujud. Di hadapannya adalah wanita paling cantik dalam hidupnya. Wajah mungilnya dibingkai oleh helaian musim gugur. Keindahan yang tidak akan pernah mampu ia deskripsikan dalam kata-kata. Cokelat, pirang, dan kemerahan di saat yang bersamaan. Bersinar lembut seakan senja menyelimutinya. Kedua manik wanita itu adalah musim dingin, biru kelabu, bulat dan memiliki tatapan suci yang mampu menyembuhkan luka-luka tidak kasat mata. Sementara bibirnya tak ubahnya musim semi, merah muda merekah diciptakan untuk ciuman yang membengkakkan permukaan lembap itu dengan tepat.

Wanita itu cantik, tetapi yang menggetarkan jiwanya adalah kuantum perasaan amat mendalam ketika mendengar wanita itu menyenandungkan namanya.

"Raphael." Wanita itu memejamkan matanya, menikmati sentuhan Raphael pada pipinya.

Detik itu Raphael menyadari bahwa, sesungguhnya, ia tengah menyelami ingatannya. Ia berujar, "Hmm. Aku suka memerhatikan bagaimana namaku melekat pada bibirmu."

"Kenapa?" Alis cokelat wanita itu membusur.

"Seluruh bebanku terangkat hanya dengan mendengar suaramu."

"Kau pasti lelah," wanita itu mengelus dahinya, "nyaris sebulan di ibukota."

"Kewajiban memanggil dan aku hanyalah hambanya yang taat." Raphael melipat kedua tangannya di depan dada, memandangi langit biru dan awan putih. Belum dua bulan ia menikahi wanita di hadapannya, tetapi alih-alih menghabiskan sebagian besar waktu di ranjang bersama istrinya, ia harus menyelesaikan pekerjaannya di ibukota. Namun, istrinya bukanlah seorang pengeluh. Istrinya terlampau sabar sampai-sampai kesabaran itu menimbulkan rasa bersalah dalam hati Raphael. Sebab, bagaimanapun, Raphael tahu, istrinya berhak mendapatkan cinta dan perhatian yang lebih besar hingga seluruh air di samudera mengering.

"Kapan kau berangkat ke Albatross, Rafe?"

"Besok pagi." Mendapati kesedihan meriak di raut wajah istrinya, Raphael bangkit dan duduk. Menangkup pipi istrinya dengan perlahan. "Maafkan aku. Aku terpaksa pergi. Kumohon jangan bersedih."

"Aku tidak sedih karena kau harus berangkat. Kepergian itu tidak membuatku takut—tapi pemikiran bahwa jauh di sana, kau seorang diri... hal buruk bisa saja menimpamu. Aku tidak menginginkannya."

Kedua tangan Raphael melingkupi tangan istrinya. "Aku tidak seorang diri, kau tahu. Kau selalu ada untukku, tepat di sini," Raphael membawa tangan itu mendekati dadanya. "Selama jantungku berdetak, aku tahu kau akan berada di sisiku. Selamanya."

Istrinya mengupayakan sebuah senyum, tetapi sudut-sudut cemberutnya tidak mudah mengalah. "Apa yang dapat aku lakukan untukmu?"

"Kau dapat menulis untukku. Seperti yang sebelum-sebelumnya selalu kau lakukan. Ketika aku merindukanmu, aku akan menemukanmu dalam surat-surat itu."

"Apa yang dapat aku lakukan selain menulis untukmu?" Raphael tidak pernah menyangka, bahwa tatapan polos istrinya dapat berubah menjadi gumpalan determinasi. Keyakinan dalam diri istrinya mustahil ia terka: wanita itu ingin turut berperang bersamanya sekalipun tidak secara langsung terjun ke medan perang. Dan itu apa yang membuatnya cinta. Sebagaimana pembawaan lembut istrinya itu menyembunyikan keberanian yang melebihi seekor singa. Ia peduli terhadap siapapun di sekitarnya, berperang dalam cara-caranya sendiri. Ia tidak perlu meraung untuk membuktikan dirinya.

Wanita itu adalah Esther Michaelis Schiffer. Istrinya. Wanita yang dicintainya segenap hati. Tidak ada yang Raphael inginkan selain kebahagiaannya. Sehingga, Raphael mengecup bibir Esther sebagai sebuah doa.

"Kau harus bahagia untukku, dengan begitu aku akan bahagia," ujar Raphael dari celah ciuman mereka.

Kelopak mata Esther membuka perlahan, menemui pandangannya di suatu titik tidak bernama. "Bagaimana mungkin aku tidak bahagia? Kau akhir bahagiaku," bisiknya.

"Dan aku, Esther, adalah pria paling beruntung, memilikimu ketika seluruh pria waras di Reibeart menginginkanmu," Raphael melarikan ibu jarinya sepanjang permukaan bibir Esther.

Dari mulut Esther, keluar sebuah tawa lembut. "Kau berlebihan. Paling beruntung?"

"Tentu saja," Raphael membawa perhatian Esther ke hamparan rumput luas taman kediaman pribadi mereka yang terletak tidak jauh dari kediaman utama para Schiffer. Mulanya Raphael menolak murah hati kedua orangtuanya sebab ia tidak ingin membiarkan Esther seorang diri ketika dirinya pergi ke medan perang. Tetapi, kemudian, kedua orangtuanya mengutarakan bahwa mereka memerlukan rumah yang cukup luas bagi anak-anak mereka berlarian. Dan kini, Raphael mampu membayangkannya. Sangat jelas.

"Apa kau dapat membayangkannya? Anak-anak kita berlarian mengelilingi taman ini. Tampan dan cantik dan manis seperti dirimu. Para pemimpi kecil nan mungil, miniatur dirimu, dengan keberanian luar biasa. Apakah itu tidak menjadikan aku pria paling beruntung?"

Esther menyeringai sementara matanya berkilat usil. Telunjuknya menggesek garis rahang Raphael. "Hmm. Lord Schiffer, untuk yang satu itu, tampaknya, kau harus mengusahakannya."

Sebelah alis Raphael terangkat. Gesekan itu menggelung menjadi sesuatu yang lebih dahsyat dalam dirinya. "Lady Schiffer, apa kau sedang menggodaku?"

Telunjuk Esther tidak berhenti menelusuri lekuk lembut dekat dadanya. "Aku hanya menekankan, bahwa untuk yang satu itu, Lord Schiffer, kau harus mengusahakannya."

Tangan Raphael meraih ujung gaun Esther dan mulai menyingkapnya, membawa punggung wanita itu turun menemui rerumputan. "Kau, Lady Schiffer, adalah wanita yang nakal."

Esther melingkarkan lengannya di seputar leher Raphael, "My Lord, bisikkan aku sesuatu yang nakal."

Raphael menangkup bokongnya, menggesek kebutuhannya di antara paha Esther. Ia berbisik, dekat telinga istrinya. "Aku akan bercinta denganmu, tepat di sini, di taman ini, di mana para dewa-dewi dapat menyaksikan wajah nakalmu ketika aku membuatmu menjerit dan menjerit dan—" Raphael tersenyum miring, "Apa itu sudah cukup nakal?"

"Belum," ujar Esther, "kau belum membuatku menjerit."

Siang itu adalah secicip kebahagiaan terakhirnya. Tidak ubahnya pertanda sebuah petaka, bencana datang tidak lama setelahnya. Bencana itu datang dalam wujud teman masa kecilnya, Margaret Crawford. Selama lima generasi keluarga mereka bertetanggaan sehingga menjelaskan keakraban mereka semenjak belia. Raphael ingat sebagaimana mereka sering berlari bersama di halaman luas Kediaman Schiffer, namun, tidak ada yang lebih diinginkan Raphael dibandingkan melarikan diri dari Margaret pagi itu.

Raphael sedang merapikan meja kerjanya sebelum berangkat ke ibukota ketika kepala pelayannya, Sir Potter, mengetuk pintu. Ia tidak perlu mendongakkan kepalanya untuk tahu bahwa sosok Margaret memenuhi bingkai pintu. Tidak pernah ada tamu mengunjungi kediamannya sepagi itu jika bukan teman masa kecilnya. Dengan penampilannya, Margaret bisa saja memikat hati pria manapun—jika wanita itu tidak sedemikian terobsesinya dengan Raphael.

"Rafe!" Margaret berderap menghampirinya. "Kau tidak mengabariku bahwa kau pulang."

Raphael menghela napasnya, "Karena kau tidak perlu repot-repot berkunjung ketika keesokan paginya aku akan segera pergi." Ia menyelipkan beberapa dokumen penting ke dalam laci sebelum memunggungi Margaret.

Margaret menahan pergelangan tangannya, mencegah kakinya melangkah lebih jauh. "Tunggu, Rafe! Kenapa kau dingin sekali?"

Dengan berat hati, Raphael memutar badannya. "Margaret."

"Aku hanya ingin mengingatkanmu, bahwa," jemari Margaret meraih kerah seragam militernya, "kau belum mengancing kerahmu."

Cengkeraman Raphael sigap menahan sebelah tangan wanita itu. "Margaret," sekali lagi Raphael memperingatkan.

Margaret tertawa. "Oh, Rafe. Apa kau ingat siapa yang merapikan kancing seragam militer pertamamu, bertahun-tahun yang lalu?"

"Saat itu aku belum mempunyai seorang istri."

"Tuan Putri pasti mengerti." Kedua pundak Margaret terangkat tidak acuh. "Tuan Putri adalah wanita yang penyabar. Aku hanya melakukan sebuah gestur pertemanan, Rafe, tidak lebih." Tangan Margaret yang lain kembali meraih kancing seragamnya.

"Kau berusaha membuat istriku cemburu." Ucapan Raphael menghentikan tindak-tanduk Margaret. "Apa kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan di belakangku?"

Esther tidak pernah menceritakan, tetapi Raphael tahu acara minum teh yang diadakan Margaret. Ia juga tahu dari Sir Potter bahwa setelahnya, Esther pulang sambil menangis. Setelahnya, tidak ada lagi undangan minum teh yang datang ke kediaman mereka. Esther menghabiskan sebagian besar waktunya tidak berteman dengan bangsawan di wilayah itu, melainkan pergi dari satu pintu ke pintu lain di desa, menawarkan pengecekan kesehatan secara gratis. Esther kesepian, tetapi alih-alih memberitahu orang lain mengenai kesedihannya, ia selalu mencari jalan keluar dari keterpurukannya.

Wajah Margaret menggelap dan bibir merahnya berucap, "Dia pantas mendapatkannya."

"Apa maksudmu?" Raphael terkejut kekuatan yang diemban suaranya tidak menghancurkan pilar kediamannya.

"Dia merebut sesuatu milikku." Margaret mengangkat dagunya. Raphael tidak lagi menemukan teman masa kecilnya, melainkan seorang wanita dengan seluruh keinginan yang menghancurkan. "Dan aku akan merebut miliknya."

"Aku bukan milikmu."

Margaret meninggikan nada suaranya. "Kau pernah berkata bahwa kau akan menikahiku!"

"Demi dewa-dewi! Saat itu kita lima tahun."

"Tidak mungkin." Margaret mengelak, "Aku tahu kau tidak mencintainya."

"Aku tidak mencintainya?" Namun, ketidaksabaran dalam dirinya semakin memuncak. Kalimatnya tidak lagi terdengar seperti sebuah tanya, melainkan sebuah pernyataan yang menyakitkan. Tepat saat itu, dunia dan waktu bekerja sama menghancurkan hubungan mereka. Menjatuhkan hukuman karena Raphael tidak mengusahakan cinta dan perhatian terbaik kepada Esther.

Di ambang pintu, Esther berdiri. Punggungnya tegak walaupun kedua pundaknya bergetar membendung perasaan yang membanjiri relung dadanya. Perasaan itu bukan amarah, bukan juga kesedihan. Istrinya itu kecewa dan terluka. Raphael tahu, dari air mukanya, bahwa Esther menangkapnya dalam posisi yang serba salah. Esther salah mengartikan kalimatnya. Raphael mengikuti pandangannya jatuh pada tangan Margaret yang berada dalam genggamannya. Esther juga salah mengartikan tindakannya.

Satu sudut mulut Margaret tersungging. "Sudah kubilang."

Langkah Raphael menelan bumi dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Ia mengejar jejak kaki Esther, tetapi tidak cukup cepat menahan bantingan pintu kamarnya. Telinganya mampu menangkap samar isak tangis Esther yang tak kunjung berhenti. Wanita itu mengurung diri di dalam kamar hingga tidak ada waktu tersisa bagi Raphael untuk menebus kesalahannya. Lagi-lagi, sebagai pria yang terikat oleh kewajiban, ia harus meninggalkan istrinya.

Dan itu adalah kesalahannya. Dosanya.

Raphael membuka kelopak matanya. Di hadapannya bukan lagi pintu kayu yang menjauhkan dirinya dari Esther, melainkan langit-langit barak medis. Ia menghirup udara dalam-dalam, terkejut mendapati asin aroma laut. Tetapi, apa yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa ia hidup. Ia begitu yakin bahwa kegelapan sudah menelannya, seluruh suara di sekelilingnya meredam hingga sirna. Spontan, sebelah tangannya meraih tempat di mana tikaman itu meninggalkan tubuhnya menganga. Nihil. Bahkan bekas luka setitik pun tidak ada.

Ia tidak menyadari kehadiran seorang lainnya sampai orang itu berbicara setenang permukaan beku danau. "Kau sudah siuman."

Raphael berusaha bangkit dari baringnya, menempelkan menyejajarkan punggung pada dinding. Ia memerhatikan iparnya, duduk di kursi tidak jauh darinya dan mengistirahatkan kakinya di tepi ranjang. "Petra. Bagaimana dengan perang?"

"Albatross memenangkannya." Ada setitik nada kebanggaan dalam suaranya.

"Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?"

"Lima hari dan selama itu kau membuat adikku tetap terjaga, nyaris tidak tidur," jawabnya. "Kau beruntung Esther memberitahuku untuk menjagamu. Kalau tidak, sudah dipastikan aku akan menghajarmu."

Ya. Raphael butuh dihajar sejadi-jadinya hingga rasa bersalahnya menguap. Tinju dari Caiden tahun lalu tidak cukup menebus kesalahannya. Atau, mungkin, ia memerlukan tinju dari segenap keluarga besar Esther. Ayahnya, pamannya, sepupunya, dan saudara-saudaranya.

"Dengan senang hati," ujar Raphael, mengundang ekspresi terkejut Petra. "Di mana Esther?"

Petra mengedikkan kepalanya ke arah jendela di samping ranjangnya. Mengayunkan tungkainya ke sisi ranjang, Raphael membiasakan telapak kakinya memijak lantai sebelum berdiri. Seluruh tubuhnya diserbu pegal dan letih karena terlalu lama berbaring di kasur. Segala lelah itu musnah ketika menemukan paras cantik Esther sedang merawat prajurit lainnya. Betapa, detik itu, Raphael menginginkan Esther dalam dekapannya, merawat dirinya dengan ketelatenan yang sama. Tetapi, Raphael tahu semuanya sudah terlambat. Tidak ada lagi pelukan atau sekadar sentuhan. Esther telah menekankan sebagaimana hubungan mereka hancur untuk selamanya.

Tidak ada yang perlu kita bicarakan, Lord Schiffer, ujar Esther kala Raphael mengupayakan hubungan mereka. Membenarkan apa yang salah, memperbaiki apa yang rusak. Namun, sedikit Raphael ketahui bahwa Esther telah menjelma jadi pribadi yang berbeda. Wanita itu tidak lagi memberikannya harapan untuk mengusahakan hubungan mereka. Demi melindungi dirinya, ia menegakkan dinding amarah.

Raphael tahu hubungan mereka tidak hanya rusak dan ribuan tinju dari keluarga Esther tidak akan menghilangkan rasa bersalah dari dadanya. Tetapi, dari sekian pelajaran yang ia dapatkan dari pengalaman perang serta tempurnya—hanya satu yang terpenting. Jangan mudah menyerah. Dan Raphael kesulitan menyerah hingga tetes darah terakhir sekalipun dirinya diselimuti ketakutan yang begitu dahsyat. Peluru dan meriam tidak membuatnya takut. Tebasan dan luka tidak menimbulkan gentar dalam dirinya.

Satu-satunya yang ia takutkan adalah kehilangan wanita yang dicintainya. Dan, sekali lagi, Raphael sulit menyerah. []

Halooo haloo dari Sabang sampai Meraukeeeeeeee, yang kangen sama aku angkat keteknya yuk :p

WKWKWK Selamat hari jumat kalian semua! Semoga terpuaskan dengan satu chapter ini

Jangan lupaa kalau dukungan kalian akan sangat sangat berarti buat bocah ini ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top