4 - Esther

4

Y226, enam tahun yang lalu—

Sorot pandang Esther jatuh pada garis cakrawala yang akan menelan matahari sore itu. Langit sudah lama berubah jingga dengan sedikit semburat keunguan serta biru gelap. Esther menumpukan dagu pada punggung tangannya, menikmati semilir angin menari di sepanjang rambut cokelat kemerahannya. Riuh keempat saudaranya di halaman Kastil Seymour membelai genderang telinganya. Sebagaimana kakak laki-lakinya, Caiden, tertawa lepas dan diikuti celoteh tanpa henti Daria, bantahan logis Petra, serta sesekali lidah tajam Kania. Sore itu sama seperti hari-hari tenang di liburan musim panas pada umumnya, namun Esther tidak kuasa mencegah pikirannya berlarian kemana-mana.

Bukan lagi rahasia di antara pelayan dan penghuni kastil bahwa, di sebagian besar waktu, benak Esther selalu pepat oleh imajinasi. Esther mengagungkan ketenangan, tempat tepat bagi otaknya bekerja. Merangkai angan-angannya, menghidupkan pangeran dan putri dalam ceritanya. Imaji kerap menjadi teman baiknya. Satu-satunya dunia di mana Esther mampu menjadi sosok yang berbeda. Ia menyukai kenyataan yang dibuat-buatnya kendati kemudian, realita akan menghaburkannya.

Tetapi, sore itu benaknya padat bukan oleh kisah romantis ciptaannya. Esther mendongakkan kepalanya, memandangi pusaran awan. Bulan mulai menampakkan dirinya meskipun matahari belum menyerahkan takhtanya. Esther jadi bertanya-tanya, apakah di balik cakrawala itu, Raphael tengah memandangi langit yang sama. Rasanya nyaris puitis, bagaimana mereka berada di bawah langit yang sama, namun sekaligus terpisah oleh samudera. Esther menghela napasnya, melegakan rindu di relung dadanya.

Percikan di antara mereka secara lambat mewujud jadi sesuatu yang lebih pasti. Selama tiga tahun, Raphael rutin mengajaknya berjalan sepanjang taman kastil kala ia berkunjung ke ibukota. Sembari langkah mereka berkeliling tanpa henti, Raphael mendengarkan setiap cerita, kisah, dan argumennya dalam cara-cara yang tak pernah pria lain lakukan sebelumnya. Ketika pria lain akan menguap, kedua mata biru Raphael bergelimang cahaya menghipnotisnya untuk terus berbicara. Dan itu, menurut Esther, adalah salah satu dari segudang kelebihan Raphael. Orang asing manapun dapat seketika merasa nyaman di dekatnya.

Bagaimana Esther tidak jatuh semakin cinta kepadanya? Oh, ya—perasaan itu pasti cinta. Perasaan manis sekaligus membahayakan, mendebarkan jantungnya tiap kali berada di dekatnya. Esther tidak bisa mencegah ledakan di atom otaknya setiap berjalan beriringan dengannya. Memerhatikan sebagaimana pria itu sengaja memperlambat langkahnya yang panjang untuk menyamai ketukan tungkainya. Memandangi bulu mata keemasannya membayangi kedua tulang pipinya sementara bola matanya menunjukkan antisipasi. Menyadari pundaknya yang kian lebar dan tampak keras, hasil latihan ketat militernya. Raphael terlalu indah untuk menjadi kenyataan.

Dan Esther sudah merindukan segala keindahan itu.

Hampir lima bulan yang lalu, pasukan Raphael berlayar ke Waisenburg sebagai bentuk bantuan Reibeart membantu kerajaan adidaya itu menenangkan gejolak pemberontakan di salah satu provinsinya. Esther tidak sempat mengucapkan sampai jumpa karena kabar itu diketahuinya tepat saat kapal meninggalkan dermaga. Seberkas rasa kecewa berkelebat di hatinya detik itu, namun, ia menyadari bahwa Raphael tidak ingin Esther mencemaskannya. Bahkan saat pria itu bertolak hendak mempertaruhkan nyawanya, ia tetap memprioritaskan dirinya.

Bodoh. Esther kemudian menuangkan kekesalannya dalam surat. Menumpahkan bahwasanya diam Raphael justru akan membunuh Esther. Raphael perlu tahu bahwa Esther berhak mengetahui kepergiannya dan bahwa dirinya mungkin saja memiliki hati yang lembut, tetapi bukan berarti ia tidak tegar. Esther pasti cemas, tetapi ucapan sampai jumpa adalah jimat pelindung bagi prajurit untuk mengetahui bahwa seseorang menunggu kepulangan mereka. Esther mengeluarkan seluruh isi hatinya, bahkan sisi yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapapun sebelumnya. Esther tahu Raphael akan menerima segenap dirinya.

Tidak lama setelahnya, sebuah surat balasan hinggap ke telapak tangan Esther. Dari suratnya yang pria itu tulis secara tergesa-gesa, Esther mampu menebak nada tawa, senyum manis, serta permohonan maafnya. Raphael berjanji untuk mengabarinya di lain waktu. Raphael juga berjanji untuk pulang. Tangan Esther lalu meraih pena bulu dan mulai menggoreskan tintanya pada putih. Jika Esther tidak berada di sampingnya secara fisik, setidaknya, Raphael perlu tahu bahwa surat-surat itu selalu menemaninya.

Hal itu menjelaskan setumpuk surat yang ia simpan diam-diam di lacinya sebagai kenangan. Ketika malam sudah tiba dan rindu tidak lagi terelakkan, Esther akan beranjak dari ranjang menuju meja tulisnya. Pendar lilin akan memandu jemarinya ke balik laci dan meraih salah satu surat kesayangannya itu. Melarikan pandangannya pada lekuk goresan tulisan Raphael yang rapi nan panjang, membayangkan pria itu sedang duduk di hadapannya, berbincang dan bercanda. Lalu, menghirup kertas tersebut, mencari-cari berkas kehadiran Raphael.

Demi dewa-dewi, ia mabuk cinta. Namun, tidak ada perasaan yang lebih membahagiakan di dadanya.

Suara tapak kaki kuda merampas jalur pemikirannya. Memicingkan matanya, Esther mendapati seorang pengendara memacu kudanya melewati inspeksi di gerbang utama kastil. Pengendara itu mengenakan tas kulit yang tampak penuh oleh—Esther menghela napasnya tajam—surat. Seakan disambar petir, Esther melonjak dari kursinya, nyaris jatuh ke karpet kamar. Ia membuka pintu satu detik terlalu cepat dan menghambur ke lorong Kastil Seymour. Keterkejutan menghias air muka para pelayan yang berlalu-lalang melihat derap larinya. Sebab, Esther tidak pernah—sama sekali tidak—berlari di koridor. Esther selalu duduk diam, berjalan anggun, punggung lurus, dan memiliki tata krama tak tercela.

Tapi, tidak—tidak setelah berminggu-minggu menunggu surat dari Raphael. Pijak kakinya menemui halaman kastil. Kania yang pertama kali menyadari kehadirannya, namun Daria melambaikan tangan segenap tenaga, menyerukan namanya. Dua kepala lainnya segera menoleh, memandangi ketergesaan Esther menghampiri pembawa surat.

Napas Esther megap-megap, dadanya naik turun tidak beraturan, dan pipinya merah. "Surat untukku?" Nada Esther sarat kegirangan.

"Ah, selamat sore, Tuan Putri." Pembawa surat itu turun dari kuda, merogoh tas kulitnya, menyampirkan sepucak surat kepada Esther. Ia langsung mengenali segel yang merekat surat tersebut. "Teruntuk Tuan Putri Esther," ujarnya, lalu sebelum kembali menunggangi kudanya, ia menyampaikan salam hormat. "Semoga Dewa Kesenian selalu memberkati Anda."

Melekatkan surat itu di dadanya, Esther menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, Sir."

Belum sempat pandangan Esther mengantar si pembawa surat ke gerbang, Daria mengaitkan lengan ke siku dalamnya. "Apakah itu Rafe?"

Esther tidak kuasa mengelabui rona di wajahnya. "Ya."

Dengan langkah pincang, Daria mulai membawa Esther menuju saudara-saudaranya. Jemari Esther, sesungguhnya, tidak lagi sabar membuka surat Raphael. Benaknya tidak bisa diam membayangkan apa yang Raphael tulis untuknya. Namun, Esther memutuskan tidak ada salahnya menghabiskan waktu bersama keluarga. Ia akan membaca surat itu, kelak, di antara dinding-dinding kamarnya. Maka dari itu, Esther menyelipkan surat tersebut ke balik kantung gaunnya.

"Aku jadi bertanya-tanya mengapa Rafe tidak pernah menulis surat untukku," mulai Daria.

Kakaknya, Daria, bukan tipikal wanita yang dapat dengan mudah mengerti pikiran wanita lain. Sehingga, Esther tidak terkejut mendengar ucapannya. "Yah, kau selalu menerima surat dari Kat."

Daria menyeringai. "Kau benar. Mungkin itu menjadikan kita impas. Aku memiliki sesuatu yang tidak kau miliki dan sebaliknya."

Lalu, terbersit di pikiran Esther bahwa ia menginginkan keberanian yang dimiliki kakaknya.

"Kau harus berhati-hati dengan langkahmu ketika menuruni tangga, Esther." Caiden melipat tangannya di depan dada. Sebagai kakak laki-laki paling tua, Caiden selalu memiliki rasa tanggung jawab tinggi terhadap keempat adik perempuannya.

"Dan seseorang harus berhati-hati ketika memanjat pohon," sahut Kania sembari tangannya andal menggores grafit pada buku sketsa.

Esther tidak perlu berpikir dua kali untuk mengetahui siapa yang adik bungsunya maksud. Sebulan lalu, Daria dengan rasa penasarannya yang teramat tinggi, memutuskan untuk menyelinap ke Festival Malam di ibukota. Rencananya langsung gagal saat ia tergelincir dari batang pohon dan menyebabkan teman baiknya, Katarina de Clare, menjerit sejadi-jadinya. Kakinya patah, namun tampaknya bagi Daria, patah atau tidak—sama saja,

Melepaskan kaitan lengannya pada siku Esther, Daria mendekati Kania yang duduk di samping Petra. Tangan Daria mengacak rambut legam Kania. "Duh, adikku yang cantik, terima kasih atas perhatianmu."

"Kurasa," ujar Petra, "Kania memaksudkan hal yang sama sekali berbeda."

"Apa?" Daria memandangi Kania tidak percaya. "Mana mungkin. Aku kakak kesayanganmu, bukan?"

Mata keemasan Kania menemui pandangan Daria. Ia mengetuk pensil pada dagunya seakan tengah mempertimbangkan masalah hidup mati. "Aku terkadang menyayangimu, tapi juga sering kali tidak."

Daria terkesiap. "Kania—"

"Apa itu surat dari Rafe?" tanya Caiden sementara Daria, Kania, dan Petra mendebatkan siapa saudara kesayangan adik bungsu mereka.

"Ah, ya." Esther menyelipkan sehelai rambut ke balik telinganya.

"Rafe pria yang baik, kau tahu."

Terlampau baik untuk menjadi kenyataan, Esther ingin menyahut. Tetapi, ia terbiasa bergumul dengan pendapat-pendapatnya.

"Dia sudah seperti bagian dari keluarga ini," ujar Caiden.

"Aku tahu." Esther memandangi ketiga saudaranya yang lain. Tidak sulit baginya membayangkan Raphael berdiri di antara mereka berlima. Waktu yang kedua keluarga habiskan menciptakan hubungan yang tak akan lekang.

"Dan kau perlu tahu bahwa, pria," Caiden menghela napasnya, "sebaik, sedekat apapun dengan keluarga ini, tak akan pernah luput dari kesalahan."

"Kesalahan adalah hal yang tidak luput dari kehidupan manusia, Kak."

"Kau benar. Rafe juga manusia dan dia dapat melakukan berbagai kesalahan. Tapi," Caiden memandangi Esther penuh rasa sayang seakan-akan dirinya gelas yang mudah pecah, "ketika ia melakukan kesalahan terhadapmu, aku tidak akan diam saja."

"Maksudmu—"

Caiden mengangguk. Tangan hangatnya meremas pundak Esther dalam gestur akrab. "Jika Rafe menyakitimu, pastikan untuk memberitahuku."

"Kenapa?"

"Tentu saja karena kau adikku, namun yang terutama adalah karena dibandingkan ketiga adikku yang lainnya—kau memandangi dunia dengan cara yang sedikit berbeda. Kau belum mengenal kejutan-kejutan yang mereka siapkan di jalanmu. Aku sama sekali tidak meragukan keberanianmu, hanya saja—jika pria manapun berani-beraninya menyakitimu, maka siapa lagi kalau bukan aku yang harus memberinya pelajaran?"

"Aku!" sahut Daria. "Aku! Aku pintar memberi pelajaran pada orang brengsek—"

Saat itu, Esther tidak pernah menyangka dalam cara apa Raphael mampu menyakitinya. Tidak pernah terbersit, setitik pun dalam benaknya.

***

Membuka lipatan suratnya, Esther membaca tulisan yang ia kenal segenap hatinya.

"Teruntuk Esther,

Aku tidak terkejut bila Daria masih bisa tersenyum setelah mematahkan sebelah kakinya. Ia tidak ubahnya seekor kucing dengan sembilan nyawa. Ia bisa saja memenangkan perlombaan lari dengan satu kaki dan semangatnya yang meluap-luap. Kuharap, ia bisa berhati-hati ketika memanjat pohon lainnya, sebab jelas, ia bukan tupai yang pandai melompat pepohonan.

Maafkan atas keterlambatanku membalas suratmu. Aku yakin kau sudah mendengar kemenangan kami di Kapitel Delapan Waisenburg, menumpas para pemberontak. Kabar itu menyebar cepat di daratan Waisenburg dan kupikir situasinya tidak akan jauh berbeda di Reibeart. Sang Raja memberiku penghargaan karena berhasil memimpin pasukan ketika komandan kami tumbang. Lencana pertama sepanjang karir di dunia militerku. Ayah dan Ibu mengutarakan bagaimana bangganya mereka kepadaku. Tapi, entah mengapa aku tidak bisa berbahagia, Esther.

Dengan seluruh kejayaan itu, ada pengorbanan yang harus dilakukan. Gilbert, teman baik satu kompiku, meninggal dalam pertarungan di Kapitel Delapan. Ia mati tepat di depan mataku, di antara ledakan dan asap dan darah. Untuk sepersekian detik, aku pikir aku mati bersamanya. Beberapa hari setelahnya, aku mengurung diriku sendiri dari segala sosialisasi. Aku masih dapat merasakan hangat darah Gilbert merayap menarik kedua tungkaiku, mengantarkan rasa bersalah dan tidak berdaya. Perang tidak pernah indah. Kehilangan tidak pernah mudah.

Aku tahu tidak seharusnya aku menceritakan ini semua kepadamu. Tetapi, di keterpurukan itu aku berhasil menemukan surat-suratmu di antara barangku. Kau hidup di antara tulisan indah itu dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, aku mampu merasa hidup. Aku hidup seakan-akan aku tidak berada di tengah medan perang melainkan di sisimu, menemanimu mengelilingi taman Kastil Gemma. Kau menunggu kepulanganku. Aku tidak bisa mempersembahkanmu kekecewaan. Kau memberiku harapan.

Teruslah menulis untukku. Demiku. Suratmu adalah satu-satunya harapan bagiku di antara kekacauan ini.

Dengan hormat, Kapten Raphael A. Schiffer."

Esther mendekatkan selembar kertas itu ke dada kirinya supaya Raphael tahu bahwa pria itu selalu ada di hatinya. Tentu saja. Aku akan selalu bersamamu. []

Etss! Balik lagi ke masa lalu~ eng ing eng susurupris HAHAHAH <3 Jangan lupa komentar dan votenya kawan kawan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top