28 - Esther
28
Kepulangan mereka dibantu kerajaan tetangga Cardinia, Cayenne. Sudah menjadi rahasia umum kerajaan yang kaya akan mineral itu merupakan sekutu paling setia Cardinia. Dan seakan-akan Cayenne sudah dilatih berabad-abad lamanya mengantisipasi serangan kegelapan, kerajaan itu cekatan mengevakuasi penduduk Cardinia yang tersisa. Begitu api sudah menyebar terlalu liar di Cardinia, Cayenne segera menutup perbatasan mereka.
Tidak banyak anggota keluarga Mercier yang selamat. Hanya segelintir anak-anak dan wanita yang tidak dikaruniai Zahl. Mereka yang dapat bertarung mempertahankan tanah suci ke titik darah penghabisan mereka. Bukan tragedi, sebut salah seorang wanita Mercier kala Esther mengobati lukanya, adalah sebuah kehormatan membela kebenaran. Esther, di sisi lain, tidak kuasa merasakan hal yang sama.
Kereta kuda mereka menuju Reibeart dipacu pagi-pagi buta keesokan harinya dan sampai tujuh hari kemudian. Kabar kematian sang Raja serta prajurit setia lainnya menjelma awan bencana di antara penduduk Reibeart yang bahkan belum sepenuhnya pulih dari kehilangan sebelumnya. Setiap jiwa di Reibeart berduka untuk mereka yang telah pergi dan tidak akan kembali.
Ibu tidak bisa membendung tangisnya di upacara peringatan kematian Ayah. Ia tidak bertahan lebih dari lima menit berdiri memandangi potret Ayah dan memutuskan kembali ke kamar terlebih dahulu. Caiden, satu-satunya dari mereka berlima yang menghabiskan hidupnya paling banyak dengan Ayah, tidak menangis, namun kedua matanya merah. Bahu lebarnya bergetar kala ditepuk menenangkan oleh istrinya, Katarina.
Kania yang sepanjang Esther ketahui hanya pernah menangis sebanyak jari pada sebelah tangannya, mengeluarkan air mata meskipun tidak terisak seperti Ibu. Sementara Esther—memandangi kedua telapak tangannya digeluti marah dan sedih di saat bersamaan. Tangan yang tidak sanggup menyelamatkan Ayah. Kenyataan itu seperti seratus pisau tidak kasat mata, menyayat dadanya kala mengingat senyuman terakhir Ayah.
Menyadari kemurungannya, Raphael membawa Esther dan Nicholas ke suasana pedesaan kediamannya. Sebuah pergantian suasana yang tepat bagi mereka berdua setelah memutuskan untuk mengadopsi Nicholas. Bocah itu kehilangan semua yang dikenalnya sebagai keluarga. Tidak ada orangtua, paman, ataupun saudara. Nicholas juga membutuhkan hawa baru memenuhi relung tubuhnya. Terlalu banyak penderitaan pada dada mungilnya.
Keputusan Raphael benar apa adanya. Entah sihir apa yang diemban udara pedesaaan, Esther dan Nicholas perlahan mampu menemukan kembali kemampuan mereka tertawa. Mereka akan menghabiskan siang membaca buku. Sore melatih Nicholas berkuda, terkadang berpedang, dan malam hari menemani bocah laki-laki itu terlelap. Sebab, bayang-bayang kematian serta kolam darah masih menghantui mereka. Tidur meringkuk di sisi Nicholas membungkam segala kenangan buruk itu.
Hangat.
Namun kemudian, suatu pagi gusar membangunkan Esther. Seperti halnya luka, mereka tidak akan sembuh sempurna. Ada hari-hari di mana Esther bangun oleh mimpi buruk itu. Kematian Ayah dan anaknya. Seakan-akan betapa keras Esther menarik dirinya dari pusaran itu, ia akan kembali terseret ke dalam jurang dengan kedua tangan terikat. Lagi dan lagi. Jurang yang dalam dan kelam, sebagaimana tatapan Duke menjumpai miliknya.
Meraih jubah, langkah Esther menyusuri lorong-lorong kediaman menuju bagian belakang bangunan. Dari sana, ia mengambil jalan setapak ke kaki bukit, memetik bunga sepanjang jalan. Matahari pagi malu-malu menyembul laksana lahir dari gores demi gores lukisan. Angin berembus lebih pengertian, menyapu tidak hanya rambutnya, tetapi resah juga gundah di hatinya. Ia memeluk dirinya sendiri sembari memejamkan mata menikmati keindahan pagi hari.
Esther menghampiri nisan tidak jauh dari jalan setapak. Berlutut, ia mendapati betapa bersih makam anaknya. Ia begitu yakin Sir Potter dan pelayan lain tidak pernah lupa membersihkannya. Kesedihan dua tahun lalu tidak hanya mempengaruhi dirinya, ia menyadari. Segenap isi kediaman berduka atas kehilangannya, kepergian malaikat kecilnya yang bahkan belum sempat mencicip kehidupan dunia. Hingga saat ini, merelakan masih mejnadi tantangan tersulit Esther, namun—Esther meletakkan bunga dekat nisan anaknya—ia sekaligus bersyukur karena anaknya tidak perlu melalui semua kemalangan ini. Rasa sesak di dada ini.
Malaikatnya terbang bebas di atas sana. Menjaganya, mungkin. Tetapi, terbang bebas, menyunggingkan senyum yang Esther sukar temukan.
Di hari-hari tertentu seperti hari ini, Esther tidak jarang berandai anaknya tidak pergi selekas itu. Esther membayangkan seorang perempuan karena Raphael selalu menyukai anak perempuan. Berambut pirang sewarna ayahnya dengan sorot mata secemerlang samudera. Pipi yang bulat dan menyukai sinar matahari serta udara segar alih-alih jendela sempit kamarnya. Dan Esther tidak akan pernah lupa membawanya bermain di taman bunga tidak jauh dari kediaman. Mengajarinya cara memaafkan diri sendiri dan, di atas segalanya, mencintai ketidaksempurnaannya. Sebab, Esther tahu, itu yang dibutuhkan anaknya menghadapi dunia.
Gemeresak langkah kaki muncul dari balik punggungnya. Pemilik tungkai itu diam, memberikan jarak bagi Esther menyadari kehadirannya. "Sir Potter bilang aku dapat menemukanmu di sini."
Jemari Esther mengikuti ukiran pada batu nisan. Esther tidak perlu berbalik untuk tahu siapa yang berdiri di belakangnya. "Apakah seseorang bisa terbiasa dengan kehilangan, Raphael?"
Tidak ada jawaban, sebab pertanyaannya adalah hal yang mustahil. Kedua belah pihak mengetahuinya. Esther bangkit dari posisinya, lalu perlahan memutar tubuhnya. Di hadapannya Raphael berdiri dengan kemeja putih, beberapa kancing teratasnya ia biarkan terbuka. Semilir angin mengacak helaian pirangnya, namun tidak mampu mendustai berbagai emosi yang berkelebat pada raut wajahnya. Sesal.
Raphael menghirup napas, mengembalikan udara ke paru-parunya. "Maafkan aku karena kau harus melalui itu semua seorang diri. Aku tidak di sana di saat kau membutuhkanku dan—"
Esther menggeleng. Merapatkan tentang, telapak tangan Esther menemui wajah Raphael. Kasar dan sempurna. "Itu bukan salahmu. Sama sekali bukan."
Raphael membuka kelopak matanya perlahan. Biru samudera yang, berapa ribu kali pun Esther melihatnya, ia tidak akan pernah lelah untuk terus cinta. "Esther," ujarnya. Hanya namanya. Namun, Esther memahami seribu makna yang diembannya.
Esther membawa tangannya turun, menyentuh permukaan di mana jantung Raphael berdetak di baliknya. Kehangatan yang pasti dengan seluruh cinta yang Raphael miliki teruntuk dirinya.
"Enam bulan. Saat itu ia enam bulan," mulai Esther. Ingatan itu berkelebat di balik matanya. Kenangan terburuk yang tiada ingin Esther sibak kembali. Namun, Raphael berhak tahu. Kebahagiaan itu bukan hanya milik Esther, tetapi milik Raphael juga. Beserta kemalangan yang mengikutinya.
"Aku dan Sir Potter sudah mempersiapkan segalanya. Kami merenovasi kamar bayi, membeli berlapis-lapis pakaian dan perlengkapannya dari pedagang ibukota. Sir Potter juga tidak pernah lupa memanggil dokter kandungan tepat waktu untuk pemeriksaan. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang ganjil. Mereka bilang, bayi kita akan tumbuh sehat dan besar. Aku akan menjadi ibu yang paling berbahagia dalam kurun waktu tiga bulan. Kau akan pulang mendapati dirimu menjadi seorang ayah. Aku berniat menjadikannya kejutan."
Tarikan napas Raphael mendadak tajam. Menyadari semua impian yang hancur, menyerpih menjadi entah sebelum sempat terwujud.
Kendati pedih menyayat hati, menaburkan garam pada luka menganganya, Esther melanjutkan, "Lalu, aku jatuh demam dan mendadak darah mengucur deras. Aku tidak histeris, tapi aku menangis. Sir Potter segera mendatangkan bidan dari desa. Dan hanya dalam kurun waktu beberapa jam, ia memvonis masa depan serta satu-satunya harapanku membahagiakanmu. Aku kesulitan mempercayainya, tetapi aku mampu merasakannya—sesuatu dalam diriku hilang. Tidak hanya bagian jiwaku, namun juga—" Esther melambaikan tangan ke sekitar perutnya. "Aku berubah nyaris gila setelahnya. Menyadari bahwa aku telah menghancurkan mimpi kita karena ketidaksempurnaan ini. Aku dilanda rasa takut, terus menerus takut akan kemungkinan bahwa kau tidak lagi mencintaiku mengetahui—aku tidak sempurna. Aku tidak dapat memberikan apa yang kau inginkan. Sedangkan bagiku, kau adalah segalanya. Kau adalah detak jantungku, cinta yang terwujud di setiap embusan napasku."
Esther memejamkan matanya. "Bagaimana, Raphael, sekali lagi, kau dapat mencintai diriku?"
Telapak tangan Raphael melingkupi tangannya. Mengeratkan sentuhan Esther pada ketukan jantungnya. "Sekali lagi, Esther. Sekali lagi. Aku tidak peduli mimpi—segala impianku hancur, mendebu, dan menyerpih. Semua itu tidak akan artinya tanpa dirimu. Kau dapat mencungkil jantungku, mataku, merebut segalanya dariku, dan aku akan tetap mencintaimu. Aku tidak mencintai wanita lain seperti aku mencintaimu. Tidak—" Raphael memaku tatapannya pada milik Esther, keyakinan yang lebih magis dari sihir, lebih menghancurkan dari kiamat sekalipun, "—tidak ada wanita selain dirimu dalam hidupku. Tidak ada. Dan aku akan mengingatkan kepadamu sekali lagi. Berkali-kali. Berulang kali. Aku tidak akan pernah lelah mengingatkannya kepadamu. Lagi dan lagi."
Hangat lari menyusuri pipi Esther dari kedua pelupuk matanya. Menyinggung bibirnya sejenak, membiarkan Esther merasakan asin yang tidak asing itu, namun muncul bukan atas dasar kesedihan. Atas nama—sesuatu lebih. Selama ini, semuanya adalah hasil dari ketakutannya. Ia membiarkan dirinya percaya bahwa ia telah lahir kembali menjadi sosok yang lebih kuat, tanpa sedikit pun ia ketahui ia sedang menenggelamkan dirinya ke dalam kolam pilu. Tidak mengizinkan siapapun menolongnya, mengulurkan tangan menyelamatkannya. Ia membiarkan dirinya sendiri tenggelam dan tercekik oleh tekanan yang ada.
Raphael merogoh saku celananya. Cincin pernikahan yang tidak dikenakan Esther, memercayai pemikiran menyedihkan selama Raphael tidak berada di sisinya dan—sebuah surat. Esther mengenali amplop merah muda itu. Lapisannya terkesan usang, namun dari lipatan dan sudut-sudutnya, Esther tahu seseorang menyimpan surat itu dengan segenap jiwanya. Di bagian depan amplop adalah tulisan yang tangannya goreskan di bawah remang-remang lilin serta sejuta rindu di dadanya. Untuk Kapten Raphael A. Schiffer.
"Surat ini mengawali cintaku padamu." Raphael menyelipkan surat itu ke antara jemarinya, menyisipkan cincin pernikahannya kembali mengelilingi jari manisnya. "Saat itu perang pertamaku dan adalah dusta apabila aku berkata aku siap." Raphael tersenyum kecut, "Aku tidak pernah siap. Sekalipun Ayah melatihku secara pribadi. Sekalipun Ibu selalu mendoakan yang terbaik bagiku. Aku tidak pernah siap, tetapi aku tahu itu kewajibanku. Dan aku tidak pernah berhenti berpikir hingga detik ini aku bernapas, apabila aku sepenuhnya siap—apakah aku dapat mencegah kematian Gilbert? Kematian teman-teman satu kompiku? Aku tidak pernah berhenti menyalahi dan membenci diriku sendiri. Seandainya aku lebih kuat, lebih siap, dan lebih banyak andai-andai lainnya. Malam menjadi lebih gelap. Musim dingin lebih mencekam. Aku tidak tahu apakah aku dapat selamat dari itu semua. Perang, darah, namun di atas semuanya; ketidakberdayaanku. Kemudian," Raphael tersenyum, "suratmu datang. Percayalah, Raphael, sekalipun malammu gelap dan maram, selama kau berjuang untuk dirimu sendiri, pagi akan datang menerangi malammu."
Kalimat yang Esther goreskan bertahun-tahun lalu. Beberapa patah kata yang bahkan tidak lagi ia ingat. Bagi Esther, kumpulan kata itu hanyalah kenangan. Bagi Raphael, kata-katanya adalah harapan.
Raphael menangkup pipinya. Matahari menggantung semakin tinggi, menyoroti manik birunya dan, detik itu, tidak ada yang lebih indah dari tatapan matanya. Luka di pipinya yang seakan bersinar di bawah cahaya mentari. Bibir penuh dan menjanjikan kecupan-kecupan sempurna. Lubuk jiwa Esther dibasuh perasaan paling sakral. Seakan-akan mereka tengah mengikrarkan, sekali lagi, sumpah bagi satu sama lainnya.
"Kau menuntunku keluar dari keputusasaanku, keterpurukanku," ucap Raphael. Ia tersenyum. "Sekarang, biarkan aku menyelamatkanmu."
Tiada kata yang mampu mendeskripsikan momen itu, tepat detik itu. Semesta seolah berbisik. Horizon memberikan isyarat. Dan Esther melingkarkan lengannya di seputar leher Raphael, memeluk pria itu dengan segala yang dimilikinya. Seperti pria itu mencintainya. Raphael balas memeluknya dan kala itu, mereka hanya memiliki satu sama lainnya. Tidak ada embusan angin. Tidak ada duka. Tidak juga perang yang menanti. Hanya mereka. Saling mencintai teramat dalam.
Segalanya.
Suara Raphael memecah keheningan. "Nicholas, apa yang kau lakukan di sini?"
Melepas pelukannya, Esther memutar tubuhnya mendapati Nicholas berdiri tidak jauh dari Sir Potter yang mengawal keselamatannya. Kantuk masih tersisa pada kerut kedut wajah bocah itu saat sebelah tangannya mengusap mata. Lalu, mata kelabu itu menjumpai milik Esther. "Rumah itu terlalu besar untuk seorang diri... Aku kesepian."
Esther memandangi kediaman di kejauhan. Bangunan yang tampak kerdil dibandingkan estat utama Schiffer ataupun Kastil Gemma. Namun, tidak memperoleh curahan perhatian yang sama. Di Kastil Gemma, canda tawa keempat saudaranya akan memenuhi lorong-lorongnya. Berpantulan dari satu dinding ke dinding lainnya, menghangatkan hati siapapun yang berlalu-lalang.
Itu adalah keluarga yang Esther kenal selama ini—sekumpulan banyak orang. Tetapi, kini Esther tahu, bahwa keluarga bukan perkara berapa banyak orang yang tinggal dalam satu bangunan. Melainkan kehangatan dan kebahagiaan yang mereka temukan bersama. Jika Esther tidak kuasa memenuhi halaman kediamannya dengan anak-anak—maka, setidaknya, biarkan ia memenuhinya dengan cinta.
Esther membuka lengannya. Tersenyum. "Kemarilah."
Nicholas menghambur ke dalam pelukannya. []
Di sini lah akhir kisah Esther dan Raphael :') Mungkin bukan akhir yang diinginkan Esther, namun keluarga barunya adalah apa yang dibutuhkan Esther untuk go on and move forward. Bagi kalian di sana semua, pembacaku yang setia dan budiman, percayalah meskipun melangkah ke depan tampak berat, tapi aku percaya kalian bisa kok melakukannya <3
Sisa Epilog Esther dan Prolog Kania! Kira-kira kapan kalian mau aku upload? Jangan lupa tinggalkan komentar di bawah yaa <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top