25 - Esther
25
Segala hal berkelebat kilat seolah lembaran dimensi terkupas satu demi satu di hadapannya. Dalam sepersekian detik yang singkat, dunia merupakan ledakan hitam, putih, serta merah. Jantungnya nyaris lupa cara berdetak, beku oleh kuantum dentuman. Paru-parunya kelu seakan seluruh udara raib mendadak.
Apa yang Esther ketahui selanjutnya adalah asap dan serpih debu memenuhi relungnya. Punggungnya menggesek tanah, nyeri di sana-sini. Pipi kirinya pedih disabet pecahan kaca yang melesat layaknya ribuan anak panah. Sepasang lengan kokoh melindungi kepalanya dari benturan, cengkeramannya kuat di antara helaian rambutnya. Memeluknya, menjauhkannya dari mara bahaya.
Tetes darah Raphael menimbulkan tsunami histeria ke sekujur syarafnya. Oh, tidak, tidak, tidak. Tangan Esther meraih pundaknya dan, sekalipun gemetar mempersulit gerakannya, dengan sisa kekuatannya Esther mengguncang tubuh pria itu. Ia tidak akan bisa menolong Raphael jika pria itu tidak beranjak darinya. Tidak ada jawaban. Dadanya kini sesak akan sakit. Ia tidak meminta ini semua. Ia tidak berdoa untuk mengalami satu lagi kehilangan.
"Raphael," suaranya parau seolah ratusan pecahan kaca itu menyayat tenggorokannya. Esther mengguncang tubuh tegapnya, sekali lagi. Harapannya mulai mendebu perlahan dan masa depannya adalah bentangan ketidakpastian. Esther memanggil namanya seperti yang selalu pria itu suka. "Raphael." Jangan. Jangan dia. "Raphael," tangis mengumpul di sudut pelupuk matanya.
Di balik pejamnya, bola mata Raphael berusaha menemukan kesadarannya. Mulutnya membentuk suatu kata—satu nama. "Esther." Ia menangkup kedua pipi Esther sebelum akhirnya membuka mata. Raphael tidak akan pernah tahu, apa segala arti biru samudera itu balas menatap Esther, detik itu. Apa segala maknanya. Tangis menuruni pipi Esther tanpa ia ijinkan, menimbulkan perih saat melalui luka kecil di pipinya.
"Kau terluka," ungkap Esther.
"Kita harus segera pergi," tukas Raphael, menyadari api yang menjalar di sekeliling mereka. "Kita tidak tahu kapan ledakan selanjutnya datang."
"Kita tidak akan ke mana-mana dengan luka di sekujur punggungmu." Esther mencengkeram lengannya. "Bangkitlah, supaya aku dapat menyembuhkanmu."
Raphael mengerang, namun ia menyingkirkan tubuhnya dari Esther. Membalik badan sedemikian rupa sehingga Esther mampu melihat sekujur punggungnya yang dirajam banyak pecahan kaca. Tangan Esther cekatan mencabut serpihan kaca, tidak melupakan barang butiran termungil pun. Sesekali Raphael mendesah sakit, tampak memilih pecahan kaca itu tetap menancap di punggungnya alih-alih diangkat.
Menggenggam medium pada tangan kirinya, Zahlnya segera melakukan keajaiban pada kulit dan daging Raphael. Ia juga teliti untuk mengeluarkan serpihan lebih dalam yang tidak mampu dilakukan jari-jarinya. Api biru itu menyelimuti Raphael, membawa seluruh doa dan harapan Esther. Luka-luka itu menjahit dirinya sendiri dan, dalam sekejap, kembali merupa kulitnya semula.
"Terima kasih." Raphael menggapai punggungnya seolah tidak percaya oleh keajaiban yang baru saja terjadi. Tetapi, Raphael bukan komandan apabila tidak menghiraukan perkara lebih genting di depan mata. Pria itu menggenggam tangan Esther. "Kita harus segera pergi." Kali ini, Esther tidak menolak.
Hanya saja, Esther menyempatkan diri mengintip dari balik bahu mencari-cari buku solusi dari segala masalahnya. Buku itu terkapar jauh dari tempatnya berdiri, percikan api menghanguskan sisi-sisinya. Sebelum Raphael membawanya keluar dari rumah kaca itu, sebuah tanaman tumbang ke atas permukaan kertas dan lidah-lidah api seketika merayap. Alih-alih rasa sesak akan putus asa, sebuah perasaan lain merebak dalam hatinya. Lega.
Mengimbangi langkah panjang Raphael, Esther harus memacu jalan serta detak jantungnya dua kali lipat. Dibandingkan keempat saudaranya yang bertubuh jenjang seperti Ayah, Esther dianugerahi dengan tungkai-tungkai mungil ibunya. Tubuhnya juga tidak seprima dua kakak perempuannya, yang mampu lari mengelilingi halaman berpuluh-puluh putaran tanpa henti.
Tetapi, ia seorang Reyes. Itu fakta. Dan Reyes tidak mudah menyerah. Sekalipun dunia di belakang langkahnya perlahan hancur. Pilar-pilar meruntuh. Dinding-dinding mendebu. Esther menggenggam tangan Raphael lebih erat. Mereka telah melalui yang lebih buruk. Satu lagi ombak kehancuran bukan masalah. Seharusnya.
Mereka sampai di gedung utama kastil saat langkah Raphael berhenti mendadak. Prajurit berseragam merah emas memenuhi ruangan, menjaga dari segala sisi yang memungkinkan. Ingatan Esther mengenal seragam merah emas itu terlampau akrab. Beserta darah Reibeart yang banyak mereka tumpahkan di Albatross. Penderitaan yang dialami para penduduknya tidak dapat dimaafkan. Menyadari tegang tubuh Esther akan ketakutan dan amarah, Raphael segera membawanya lenyap ke sebuah lorong.
Tidak seperti wilayah kastil lainnya yang riuh oleh ledakan dan kebakaran, lorong itu senyap, namun dalam cara-cara mencekam. Lorong yang hanya dilalui oleh para Mercier dan sang Ratu Cardinia. Suara langkah kaki mereka memanjang, menggema sepanjang lorong seakan mengetuk pintu kehancuran. Esther jadi bertanya-tanya apakah mereka berhasil melarikan diri. Sementara peluh mulai membasahi genggaman tangannya, sentuhan mereka tergelincir satu sama lainnya.
Melalui sebuah jendela, Esther menjulurkan lehernya dan mendapati ibukota Cardinia yang damai kini tak ubahnya lautan api. Asap hitam mengepul tinggi disusul jeritan-jeritan rakyat tidak berdosa. Meriam sesekali meletus, memekakkan benak Esther dengan ingatannya di Albatross beberapa bulan lalu. Gemetar menjalari setiap pori-pori kulitnya. Perang—ia tidak akan pernah terbiasa dengan perang.
Pada pertigaan pertama, Raphael baru saja hendak berbelok tatkala Esther menangkap sebilah logam menebas ke arah mereka. Gerakan Raphael selanjutnya dikuasai refleks terlatih. Mata Esther tidak kuasa mengikuti gesit tangan pria itu meraih gagang pedang, menangkis serangan yang menyasar tubuhnya. Seakan itu semua tidak cukup, Raphael membawa Esther ke balik punggungnya. Titik lindung di antara pria itu dan dinding.
Esther mengenal penyerang mereka. Esther mustahil melupakannya. Sosok yang berupaya membunuh Raphael di medan perang Albatross.
"Aku tidak tahu bagaimana kau berhasil selamat dengan tikaman itu, Komandan," ujarnya.
Raphael masih mengacungkan pedangnya penuh siaga. "Kau harus berusaha lebih keras membunuhku, Myles." Esther menyadari pergerakan kakinya, menggeser posisi Esther perlahan ke lorong lain yang lebih aman, tetapi entah membawanya ke mana.
Raphael tidak sedikit pun menoleh ke arahnya, sehingga butuh beberapa detik bagi Esther menyadari bahwa ucapannya ditujukan kepada Esther, "Pergilah ke bagian belakang kastil. Kedua orangtuamu di sana."
"Apa?" Esther membelalak. "Aku tidak akan meninggalkanmu."
Myles menyeringai. "Benar, Komandan. Siapa yang akan melindungimu dari kebodohan, seperti yang bertahun-tahun kau alami?"
Tetapi, Raphael mengabaikan provokasi dari lawannya. Dingin menyapa kulit tangannya ketika Raphael menguraikan genggaman mereka. Pria itu menyelipkan belati kecil ke dalam telapak tangannya. "Pergi, Esther. Aku tidak akan mengulangi perkataanku untuk kedua kalinya."
"Sementara kau—" Raphael menggeram, bukan sosok yang Esther kenal. Bilah tajam pedangnya mencucup kulit leher Myles. "aku akan membuat perhitungan denganmu. Mata untuk mata. Gigi untuk gigi. Nyawa untuk nyawa."
Myles memulai dentingan pedang mereka dengan seringai. Di sisi lain, Esther melangkah menjauh. Bertanya-tanya apakah keputusannya benar apa adanya.
***
Esther tahu di mana tempat yang Raphael maksud. Tempat evakuasi penghuni kastil yang para Mercier siapkan. Raphael tidak pernah henti-hentinya mengingatkan Esther di mana tempat itu berada. Esther pikir Raphael berlebihan, namun nyatanya, pria itu tahu bahwa pertarungan kemungkinan besar terjadi dan ia ingin Esther memiliki kesempatan hidup lebih tinggi. Tanpa kehadiran pria itu.
Dada Esther mendadak sesak. Pria itu tidak akan meninggalkannya semudah itu. Esther meyakininya—nyaris mendustai dirinya sendiri.
Belum sampai setengah jalan ke tujuannya, Esther harus kembali menyandarkan punggung pada tembok. Pekat darah menyengat penciumannya dan apapun yang ada di depannya mustahil baik. Esther menggenggam belatinya, terasa begitu asing bagaimana satu-satunya benda tajam yang ia gunakan selama ini ditujukan untuk menyelamatkan nyawa. Bukan melayangkannya.
Menghirup napasnya dalam-dalam, Esther mempersiapkan dirinya untuk yang terburuk. Tidak ada jalan selain maju—atau ia dapat mundur, kembali kepada Raphael. Namun kemudian, ia memutuskan untuk maju. Kehadirannya, alih-alih membantu Raphael justru akan menganggunya. Sehingga, Esther mengintip perlahan, menjulurkan pendengarannya.
"... katakan kepadaku di mana kelima Kunci berada," suara berat itu berasal dari sebuah ruangan dengan pintu terbuka. Hawa kematian menguar dari bilik tersebut.
Suara lain, lebih muda, namun diwarnai kebijakan yang melebihi usianya. "Kau... tidak akan menemukannya. Kau terlambat—"
Tampaknya, pria itu mengeratkan cengkeramannya sebab kalimat lawan bicaranya dipotong oleh suara tercekik. "Sekali lagi," ujarnya, tapi tanpa emosi. Sekujur bulu kuduk Esther meremang. Suara itu bagai datang dari mimpi terburuk. "Katakan kepadaku di mana kelima Kunci berada."
"Kenapa kau," lawan bicaranya terengah-engah, "melakukan semua ini?"
"Semua orang menanyakan itu belakangan ini."
"Sang Dewi tidak akan memaafkanmu—"
"Sang Dewi," ulang pria itu. "Aku sudah lama melupakan mereka. Dengar," berikut dengan suaranya adalah alunan ketersiksaan dari lawan bicaranya, "aku tidak membutuhkan omong kosong lainnya. Kalau aku membunuh tubuh ini, jiwamu akan lahir di tubuh lainnya, bukan?"
"Kau—"
Belum sempat menuntaskan ucapannya, tubuh kecil itu melayang ke jendela seberang pintu. Pecah kaca memekakkan telinganya. Esther mengenal sosok kecil itu; sang Ratu Kecil Cardinia. Pemimpin Kerajaan Suci yang ditahbiskan Dewi Penciptaan sendiri di usia belia. Esther harus memejamkan matanya kala suara remuk tulang menemui bumi seakan menggema. Tidak akan ada jiwa yang selamat setelah terjun dari ketinggian ini. Tidak akan ada—
Sosok lainnya keluar dari bilik. Pemilik suara layaknya mimpi buruk itu. Esther mengeratkan genggamannya pada belati. Satu-satunya harapannya untuk hidup. Sementara langkah pria itu menginjak serpihan kaca, menjulurkan leher ke jendela di mana ia melempar sang Ratu. Demi dewa-dewi, manusia macam apa yang tega melukai anak-anak?
Barulah kemudian Esther menyadari wajah tampan sedingin marbel itu. Wajah yang dimaksudkan untuk dihindari. Indah, namun beracun. Rambut pirang platina yang Esther kenal, namun lebih pendek dari ingatan terakhirnya. Struktur tulang yang seakan dipahat sendiri oleh Dewa Kesenian. Sang Pangeran Dyre. Apa yang dilakukannya di Cardinia? Namun, alih-alih kolam perak seperti yang diingatnya, sepasang maniknya adalah jurang hitam tanpa dasar. Sekelam onyx.
Pria itu tampaknya menyadari sorot tatapan Esther. Detik pria itu menolehkan kepalanya, Esther lekas-lekas membalikkan tubuhnya. Menempelkan punggungnya semakin rapat ke dinding. Seakan hal tersebut akan memperbesar peluangnya hidup dari cengkeraman pria gila itu.
Esther mendengarnya melangkah. Tapi, tidak seperti dugaanya, pria itu justru menjauh. Gema langkahnya semakin menyurut di luar jangkaua pendengarannya. Pria itu tidak menyadari kehadirannya. Kenyataan itu melegakan kedua pundaknya. Ia menghela napas, mengeluarkan seluruh penatnya.
Dan Esther memutuskan untuk melangkah. Sekali. Dua kali. Mengekori hawa kematian yang mengambang di udara. Di dalam bilik itu adalah pemandangan yang sukar Esther lupakan seumur hidupnya. Di dalam bilik itu adalah pembantaian—kedua tangan pria itu bertanggung jawab atas kematian seluruh jiwa di hadapannya. Darah mereka terciprat ke sana-sini. Batang leher yang tergorok, perut yang ditikam. Anak-anak yatim piatu. Mereka semua anak-anak yatim piatu.
"Es.....ther?" bisik seseorang. Wajahnya berlumuran darah. Tetapi, Esther mustahil menerka manik hijau yang balas menatapnya.
Bibirnya bergetar saat berkata, "Father Horace." Satu kehidupan kendati redup. Setidaknya, Esther dapat menyelamatkan Horace. Esther melangkah masuk sembari sebelah tangannya membekap mulut, menahan gejolak mual di perutnya.
"Apa yang terjadi?" Esther mengambil tempat di sisinya. Menyimpan belati, Esther mengeluarkan mediumnya dan membiarkan api biru itu melingkupi telapak tangannya.
Horace, entah kekuatannya ia peroleh dari mana, mengenggam pergelangan tangannya. "Ja...ngan." Dari mulutnya, darah bercucuran keluar. Ia melirik sosok kecil di sampingnya. "Nicho—" Kematian merenggut cahaya terakhir dari tatapan cerdasnya.
Esther tidak menyadari kukunya menancap lebih tajam dari seharusnya. Kematian bukanlah hal yang baru baginya. Tetapi, ia tidak mampu mengabaikan gemetar jemarinya saat menutup kelopak mata Horace. Ia berhak mati dengan tenang.
Lalu, Esther beranjak menghampiri Nicholas di sisi Horace. Bocah itu kehilangan cukup banyak darah, namun selain luka pada mata kirinya, Nicholas tidak menerima luka-luka lainnya. Esther melarikan dua jarinya pada nadi Nicholas, mendapati pembuluhnya berdenyut sekalipun samar.
Itu permintaan terakhir Horace. Tanpa menyia-nyiakan waktu, Esther merogoh medium dari saku Horace, masih berkilat kebiruan. Menyelamatkan Nicholas akan membutuhkan pengorbanan yang besar. Energi dari mediumnya sendiri tidak akan cukup. Esther memanggil kekuatan itu sekali lagi. Kedua tangannya, kini dinaungi api biru, mengambang tepat di atas luka Nicholas.
Esther memejamkan matanya, membayangkan jaringan syaraf, pembuluh darah, kulit, dan daging yang harus ia perbaiki. Menyembuhkannya satu per satu seperti sedia kala. Sebelum sentuhan terakhirnya, lambat laun memulangkan jiwa bocah itu—cerdas, ceria, dan penuh harapan ke tubuh kecilnya. Segala peristiwa hidup yang belum dilaluinya. Ini apa yang tidak diajarkan Ganondorf. Bahwa sesuatu yang hilang tidak akan kembali. Namun, sesuatu yang berpegang pada harapan—tidak akan pernah padam.
Begitu usai, Esther kembali membuka matanya. Gaunnya dinodai genangan darah. Tangannya masih gemetar saat perlahan membuka, menampakkan dua buah medium yang kini berubah hitam kelam. Begitu pekat sampai-sampai Esther mampu berkaca. Wajahnya yang berpeluh. Rambutnya yang tidak lagi rapi. Melihat pantulan sesosok tinggi pria pirang pada permukaannya. Pria dengan tatapan sehitam malam.
Tunggu, pria?
Mimpi buruk itu berbisik tepat di telinganya. "Tuan Putri. Mengapa Anda bersembunyi?"[]
MALAM GAES
Pertama tama mohon ampun yah gaes baru bisa update hari ini :((( Dunia nyata menyita jiwa dan pikiranku cia elah
Sebagai gantinya aku akan update double!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top