24 - Esther
24
Tidak cukup. Esther tahu, setelah membaca buku pinjaman Horace dua kali bolak-balik hingga tuntas, pengetahuan yang ia peroleh dari buku itu tidak cukup. Dalam kurun waktu lima hari, Esther kini mampu mengendalikan Zahl sesuai kehendaknya, bukan lagi semburan kekuatan yang acak. Ia juga fasih mengobati luka anak-anak yatim piatu, bahkan menemukan bahwa Zahlnya mampu meredakan demam, pusing, dan bermacam penyakit lainnya, apabila ia berusaha, serta menyembuhkan sayap patah seekor burung.
Tetapi, semua itu tidak cukup. Buku pinjaman Horace tidak memberikan apa yang Esther inginkan. Semua terlalu dasar. Terlampau melenceng dari tujuan utamanya. Sehingga, suatu kala Esther mengembalikan buku ke perpustakaan, ia menemukan buku lain pada rak tersembunyi di balik sebuah tirai. Atau lebih tepatnya, buku itu menemukannya. Jiwa yang hangus oleh tangis dan kemalangan, membutuhkan sesuatu yang tidak kuasa dunia berikan.
Buku bersampul kulit sederhana dengan judul keemasan. Kesenian Mengembalikan Apa yang Hilang ditulis oleh Ganondorf Mercier, putra bungsu kesatria Mercier pertama yang terkenal memiliki reputasi buruk. Licik jika bukan cerdik. Jenius jika bukan pintar. Esther menemukan namanya pada beberapa buku sejarah lainnya sebagai salah seorang pengguna Zahl yang berbalik ke kegelapan.
Tidak ada keraguan dalam dirinya ketika tangannya meraih buku tersebut, Ganondorf atau bukan. Esther bahkan akan menyembah iblis demi mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak hidupnya. Zahl telah merenggut satu-satunya impian Esther dan ia akan merebut kembali mimpinya. Demi dirinya, Raphael, dan masa depan yang mereka cita-citakan bersama. Raphael tidak akan kecewa, Esther meyakini dirinya sendiri.
Zahl Penyembuhan adalah kekuatan yang tanpa pamrih, diciptakan untuk menyelamatkan orang lain. Namun, buku Ganondorf menunjukkan sisi lain dari Zahl Penyembuhan, potensi terpendam dari kekuatan yang selalu diremehkan orang-orang pada zamannya. Bagaimana kekuatan itu mampu ditujukan pada penggunanya sendiri.
Mempraktikkan Zahl Penyembuhan pada diri sendiri adalah perkara yang agak pelik. Sebab bagaimana ia mampu mempraktikkan kekuatan itu jika ia tidak terluka? Di bawah keremangan cahaya lilin, Esther tidak yakin berapa kali ia telah menyakiti dirinya sendiri sampai-sampai ia tidak lagi merasakan sakit. Ia hanya mampu merasakan aliran kekuatan di dalam dirinya membesar, meluas, amukan yang meminta dibebaskan. Esther tahu ia mampu melakukannya—mengembalikan apa yang hilang.
Hari itu ia tidak tidur. Esther beranjak dari ranjang beberapa waktu sebelum Raphael bangun. Pria itu selalu bangun lebih pagi darinya dan Esther ingin menghindari ditanya apa, kenapa, serta mengapa. Tepat hari itu Esther akan menghancurkan rahasia yang diembannya. Raphael tidak perlu tahu suatu apapun. Pria itu hanya perlu mengetahui bahwa—semua yang Esther lakukan adalah demi Raphael. Esther akan sempurna, tanpa cacat, dan siap dicintai Raphael kembali.
Sekalipun ia tahu, ia sedang mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Sebelum menutup rapat pintu, Esther mengintip untuk terakhir kali ke dalam kamar, menitipkan doa paling manis kepada cintanya. Janji yang akan ia genapkan, jalan berliku yang akan ia tempuh. Esther mulai berjalan membawa seluruh pengorbanan dan mimpi di kedua pundaknya. Sebelah tangannya menggenggam buku. Ia tidak mungkin melakukan semua itu tanpa panduan Ganondorf.
Seusai membaca halaman terakhir dari buku Ganondorf, Esther mempelajari bahwa dari semua tanah di Cardinia, ada satu tempat dengan potensi kekuatan Zahl paling kuat. Tempat yang, konon, dipercayai sebagai tanah yang dipijak Dewa Pengetahuan ketika kali pertama turun ke muka bumi memberkati umat manusia pertama dengan Zahlnya. Tanah yang di atasnya kini dibangun rumah kaca dengan berbagai ragam bunga. Menurut catatan pada bukunya, tidak banyak orang mengetahui informasi ini.
Esther mengirup napasnya, tidak menyadari seluruh udara raib dari relung paru-parunya sepanjang perjalanannya ke rumah kaca di taman belakang. Mengintip ke balik bahunya, Esther mendapati para pelayan mulai berlalu-lalang di koridor, memulai kesibukan di pagi hari. Matahari semakin tinggi menyinari rerumputan hijau taman, hanya masalah waktu sebelum Raphael bangun. Kesemua indra pria itu sensitif. Sekelebat cahaya matahari dan pria itu akan bangun, segar serta bugar.
Tungkainya memasuki rumah kaca, satu, dua, beberapa langkah hingga ia berdiri tepat di tengah bilik. Di bawah telapaknya adalah ukiran bahasa kuno, bercahaya di setiap pijakannya. Ia mampu merasakannya, kekuatan dalam dirinya meletup liar. Selayaknya panggilan alam dan Esther hanyalah hambanya yang patuh. Jiwa yang rapuh. Ia akan merebutnya kembali miliknya yang hilang. Pasti.
Lalu, kegelapan itu menguasainya.
***
"Komandan Schiffer!" Suara Horace menggelegar sepanjang koridor. "Komandan Schiffer!"
Namun, Raphael tidak kuasa berhenti. Langkahnya seakan beradu dengan detak jantungnya, menyusuri lorong yang memanjang dan kian panjang. Keringat dingin membasahi punggungnya dan—demi dewa-dewi, gemetar menjalari setiap inci tubuhnya. Terakhir kali ia gemetar adalah saat perang pertamanya. Detik ini, ketakutan itu kembali memorakporandakan pikiran rasionalnya.
Hanya ada Esther. Selama ini, di dalam hatinya hanya ada wanita itu. Raphael tidak lagi mengingat kapan pertama kali ia mulai mencintai wanita itu—tetapi, Esther sudah menetap di hatinya selama yang ia ketahui. Jika wanita itu terluka sedikit saja, jika—
"Komandan Schiffer!" Kali ini suara Horace berhasil menunda jalannya.
Raphael berbalik, mendapati Horace menumpukan tangan di atas kedua lututnya. Pria itu tampak kesulitan bernapas dan Raphael tidak sampai hati meninggalkannya. Menghapus tentang di antara mereka, Raphael berusaha menopang tubuh rentanya. Horace segera menjulurkan tangan, menolak bantuannya.
"Aku mungkin tahu di mana Tuan Putri berada," ujar Horace dari sela-sela napasnya. Ia perlahan meluruskan tubuhnya, "Rumah kaca taman belakang. Kita harus segera—"
"Father Horace!" Sebuah suara asing muncul dari kejauhan.
Pandangan Raphael menemui Ilyas, salah seorang kesatria kepercayaan Balthazar Mercier. Untuk sepersekian detik yang singkat, mereka saling bertukar tatapan hormat sebelum berkata, "Father Horace, Waisenburg di ibukota. Jenderal Mercier memerintahkan saya untuk mengawal Anda mengumpulkan anak-anak dan segera mengungsi."
Sial. Di saat-saat seperti ini. Waisenburg selalu tahu kapan untuk menyerang.
"Apa?" Mata Horace membeliak. Tangan keriputnya membenarkan kacamatanya yang tergelincir turun. Ia memutar badannya menghadap Raphael, "Kau harus meneruskan perjalananmu tanpaku. Tuan Putri akan mendengarkanmu. Aku yakin." Horace menutup kalimatnya dengan sebuah anggukan.
Sejurus kemudian ia berlari dan berlari. Ia menyadari para penghuni kastil berjalan berlawanan arah, menuju tempat Horace mengungsi. Tampaknya seluruh jiwa di kastil telah mengetahuinya. Waisenburg telah datang dan siap menyerang. Pertarungan, jika bukan perang, akan terjadi. Tubuh-tubuh akan tumbang mati. Namun, sebelum itu, Raphael harus menemukan Esther. Wanita itu tidak boleh dibiarkan sendiri di tengah-tengah perang. Hanya para dewa-dewi tahu apa yang mereka lakukan kepada wanita di medan pertarungan.
Raphael bergidik. Di atas itu semua, Raphael tidak siap kehilangan Esther lagi, kali ini untuk selamanya. Tiga tahun. Nyaris tiga tahun lamanya Raphael harus menanggung seluruh rasa bersalah itu, segala harapan hancur tepat di depan matanya. Setiap kali ia memejamkan mata—hanya ada wajah Esther yang terluka. Dosa yang ia tanggung selama bertahun-tahun, menyiksanya lebih dari yang ia tahu. Jiwanya berteriak dan mencakar membayangkan dunianya tanpa Esther. Ia tidak akan melalui itu semua kembali. Tidak. Akan.
Raphael mendobrak masuk dan adalah sebuah keajaiban permukaan kaca pintu tidak hancur di bawah telapak tangannya. Lalu, kegelapan seakan mengamuk bebas, menerjang tubuhnya seperti badai salju legam. Berbagai teriakan buas mengentak genderang telinganya. Penglihatannya disambut partikel-partikel hitam menyerupai debu berterbangan yang berporos membentuk kegelapan absolut di tengah taman. Melingkupi seseorang—bukan sembarang orang.
Mengangkat tangannya sejajar mata, Raphael menghalau serpihan hitam itu dari pandangannya. "Esther!"
Jika Esther mendengarnya, wanita itu tidak bergerak sejengkal pun dari tempatnya berdiri. Buku itu—buku yang Raphael kenali—secara magis mengambang di hadapan Esther. Lembarannya berkibar bolak-balik seolah ada kuasa kasat mata yang sedang melafalkan segala mantra di dalamnya.
Raphael mengambil satu langkah maju. Kegelapan itu mendorongnya mundur. Pijakannya pada tanah tidak lagi mantap. "Esther!" Raphael kembali meraung. Namun, teriakannya hanya disapa bertubi-tubi badai.
Dengan menitikberatkan bobotnya pada tubuh bagian bawahnya, Raphael kembali melangkah maju. Esther berjarak tidak lebih dari lima langkah darinya—tetapi, sebuah jurang menganga seakan memisahkan mereka. Mengingatkan Raphael kepada beberapa hari belakangan, di mana wanita itu berada begitu dekat dengan jantungnya, di antara pelukannya. Namun, Raphael tidak cukup memahaminya, seakan-akan cintanya tidak lagi cukup bagi mereka berdua. Kini, segala jawaban atas pertanyaannya terpampang jelas.
Ingatan akan sepasang kaus kaki bayi itu berkelebat di benaknya. Tidak. Raphael tidak akan membiarkan Esther mengorbankan dirinya sendiri. Sekali lagi. Ia hanya perlu melangkah sekali lagi demi menyelamatkan nyawanya.
Raphael meraih lengan Esther dan, dengan satu sentakan kuat, ia menarik Esther dari pusaran kegelapan itu. Dalam sekejap, kegelapan musnah tanpa meninggalkan satu jejak pun. Buku yang secara magis mengambang, jatuh menyedihkan. Ukiran kuno di bawah telapak kakinya berkedip samar, kehilangan daya. Sementara Esther—
Esther teramat sadar, meliuk keluar dari dekapannya. Sepasang manik kelabunya nyalang memandangi Raphael seakan-akan menuduh dirinya atas dosa terbesar yang dilakukan umat manusia. Kedua tangan Esther mengepal erat di samping tubuhnya. Pundak mungilnya bergetar akan tegang—bukan. Amarah. Wanita itu murka.
Esther mengacungkan telunjuknya. "Kau!"
"Aku?" Raphael tidak pernah sepanjang hidupnya membayangkan pertengkaran dengan Esther. Tetapi, saat itu, ia tidak mampu membendung intonasi tinggi suaranya. Demi dewa-dewi, Esther gila apabila wanita itu berpikir Raphael akan diam saja.
"Kau tidak seharusnya di sini!"
"Kau," Raphael menekankan kata demi katanya, "tidak seharusnya berada di sini. Apakah kau bahkan tahu apa yang terjadi di luar sana?"
"Kau tidak tahu apa arti semua ini bagiku," desis Esther.
Apa arti semua ini baginya? Apakah Esther bahkan mengetahui apa arti diri wanita itu baginya? "Langkahi mayatku terlebih dahulu." Raphael mengikis tentang di antara mereka. Ia ingin mengguncang kedua pundak kecil itu, mengembalikan akal rasionalnya. "Jika kau berniat menyelesaikan apa yang kau mulai, kau harus membawaku bersamamu."
Esther menyipitkan matanya. "Apa Horace memberitahumu—"
"Esther," Raphael berusaha menenangkan dirinya juga wanita di hadapannya. Amarah bukan emosi tepat untuk menyelesaikan masalah.
"Apa kau tahu?" Esther merapatkan jarak. "Kekuatan itu merebut sesuatu milikku, Raphael." Kepalan tangannya mengetuk dada Raphael seolah tengah mengais sesuatu tidak kasat mata. Harapan di antara mereka. "Aku akan merebutnya kembali. Aku akan memastikan mendapatkan kembali apa yang menjadi hak—"
"Esther," ulang Raphael.
Tetapi, Esther tidak menghiraukannya. "—kau tidak akan kecewa." Esther menengadahkan kepalanya, mata kelabu itu adalah sepasang manik yang tidak Raphael kenal. Penuh nelangsa dan sakit dan pedih. Dan ini semua adalah hukumannya. Sebab Rapahel meninggalkannya di saat yang tidak tepat dan kini, segala kesalahan itu akan merenggut satu-satunya poros dunianya.
"Kau selalu mendambakan anak-anak," Esther mencengkeram bahu Raphael, menancapkan kukunya. "Kau menginginkan mereka. Bocah-bocah berambut pirang. Pemimpi. Pembaca. Berlarian di halaman kediaman."
Esther membendung isak tangisnya, tetapi tidak mampu menyembunyikan parau suaranya. "Katakan kepadaku kau menginginkannya," Esther memukul dadanya, sekali. "Katakan kepadaku kau menginginkannya."
"Esther..." Raphael menginginkannya. Dusta apabila ia mengatakan sebaliknya. Tetapi, pemikiran dunianya tanpa Esther—hidupnya tanpa wanita yang dicintainya sepenuh jiwa, meranggaskan tubuhnya.
Esther menangkup pipinya. Tangannya dingin, gemetar oleh kekuatan yang diemban kata demi katanya. "Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku akan melakukan semuanya, mengorbankan nyawaku demi dirimu. Demi kebahagiaanmu—"
"Aku lebih baik mati," bisik Raphael, "dibandingkan hidup di dunia tanpa dirimu." Raphael meraih kedua tangan Esther. Membayangkan waktu-waktu yang wanita itu harus lalui seorang diri ketika seharusnya Raphael berada di sisinya. Jika ada satu orang yang pantas mati di antara mereka, itu adalah Raphael. Bukan Esther. Bukan cintanya.
"Kau tahu itu tidak benar." Esther menggelengkan kepalanya. Tangis menuruni pipinya. "Kau tidak akan bahagia bersamaku, Raphael. Aku telah memperingatkanmu. Bagaimana kau sanggup mencintaiku—" Ia menunjuk dirinya sendiri.
"Aku akan menemukan berbagai cara untuk mencintaimu." Raphael menggenggam kedua tangannya. Melingkupi kulit dinginnya dengan hangat keyakinannya. "Mimpiku boleh saja hancur, seluruh keinginanku menyerpih menjadi debu. Tetapi, selama kau berada di sisiku, aku hanya akan membangun mimpi-mimpi itu kembali. Bersamamu. Sebab—" Raphael memejamkan matanya, "—segala mimpiku tidak akan berarti tanpamu."
"Jadi, Esther," ibu jari Raphael menghapus air matanya. Tangisnya terlampau berharga untuk segala ini. "Apabila kau masih berpikir untuk mengorbankan dirimu sendiri, kau harus membawaku bersamamu."
Itu kenyataannya. Persetan dengan mimpinya. Ia tidak akan menyiksa Esther lebih dari seharusnya. Esther tidak perlu menanggung semua ini demi mimpinya. Esther tidak perlu mengorbankan dirinya sendiri demi kebahagiaannya. Esther perlu tahu bahwa wanita itu adalah kebahagiaannya. Ke manapun mereka pergi, situasi macam apapun yang mereka hadapi, selama Esther berada di sisinya, dekat dengan jiwanya, Raphael tidak akan pernah kehilangan kebahagiaannya.
Sebab, Raphael tidak akan pernah menemukan helai perunggu lebih indah dari milik Esther. Ia juga tidak akan menemukan manik biru kelabu secemerlang milik Esther. Atau, tangan indah dengan jemari lentik, menawarkan usapan konstan yang membuainya tidur. Esther adalah wanitanya yang sempurna, cacat atau tidak. Esther adalah wanitanya, gadisnya, kuasa yang memacu detak jantungnya.
Raphael mengelus sisi wajah Esther. Menyampaikan seluruh kata yang tidak mampu bibirnya ucapkan. Segala perasaan yang tidak mampu indranya isyaratkan. Esther perlu tahu tidak ada yang lebih penting baginya daripada kehadiran wanita itu.
Detik ketika Esther membuka mulutnya, sebuah dentuman meledakkan rumah kaca. []
:') Eng ing eng ini chapter kedua minggu ini gais
Nggak nyangka perjalanan dari Katarina sampe Esther udah berbulan bulan, makasih yaa buat kalian semua yg udah setia dukung aku
Makasih juga untuk dukungan kalian semuaa! Bener bener bikin aku semangat banget nulisnya <3
Sekali lagi makasihhh <3!! kecup basah untuk kalian semua
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top