23 - Raphael / Thalia

23

Raphael tahu ada sesuatu yang berbeda pada diri Esther. Tidak, wanita itu memang bukan lagi gadis yang ia kenal dari masa lampau. Apabila pancaran tatapannya dahulu menyerupai seekor angsa ataupun rusa yang sarat akan imaji, wanita itu telah berevolusi menjadi seorang pejuang. Raphael mustahil keliru menerka sorot tatapannya kini. Tatapan seseorang yang pernah begitu dekat menyapa kematian serta kehilangan. Sepasang mata penuh pilu yang banyak dimiliki para prajuritnya.

            Tapi, tidak. Keganjilan dalam diri Esther kali ini berbeda. Setelah bertahun-tahun mencintai wanita itu, Raphael memahami setiap sudut maupun kedut wajah juga suaranya. Raphael tahu ketika sesuatu mengganggu pikiran istrinya, setiap kali wanita itu memandangnya sendu sekaligus mendamba. Kesadaran itu menjadikan Raphael resah dalam berbagai cara. Ia tahu sesuatu menggedor benak istrinya, tetapi tidak pernah cukup jauh memahami alasan di baliknya.

            Raphael bukan cenayang. Raphael juga bukan sang maha tahu. Dan setiap kali ia melontarkan pertanyaan mengapa, Esther akan membalas tidak apa-apa. Namun, itu bukan tipe 'tidak apa-apa' yang bukan tanpa masalah. Itu 'tidak apa-apa' yang seolah mengatakan; kau tidak akan pernah tahu, kau tidak akan pernah mengerti. Tembok pertahanan itu selalu menghalangi Raphael untuk memahaminya. Mustahil membantu seseorang yang tidak ingin dibantu.

            Selama beberapa hari belakangan, Raphael tidak jarang terbangun tengah malam oleh pendar jingga lilin atau gemerisik kertas. Kehidupan di medan perang bukan kehidupan bagi sembarang orang. Ia dipaksa siap setiap detiknya, waspada terhadap berbagai macam rangsangan. Kelima indranya dituntut bekerja lebih keras, jelas tiada kata bagi istirahat santai dan damai. Benak dan tubuhnya siaga setiap saat.

Tidurnya mudah terganggu. Terutama ketika satu-satunya sumber kehangatannya meliuk keluar dari pelukannya, menyalakan lilin, dan mulai membaca sebuah buku entah hingga pagi-pagi buta. Mulanya, Raphael berusaha mengabaikannya, berupaya tidur kendati cahaya lilin terlalu terang bagi selera lelapnya. Namun, lambat laun, rasa penasaran tumbuh layaknya wabah dan suatu malam ia memutuskan untuk mengintip kegiatan istrinya. Sebuah dusta bila ia tidak terkejut dengan apa yang dilihatnya.

Zahl. Apa yang meliuk di antara tangan Esther sembari mulut wanita itu melafalkan sebuah mantra dari buku bukan lain adalah Zahl. Sekalipun api biru di tangan wanita itu tidak semerah api milik Petra, Raphael tahu keduanya adalah hal yang sama. Kekuatan yang sama. Dan itu bukan mustahil. Bila Petra memiliki kekuatan tersebut, maka besar kemungkinan Esther juga memilikinya.

Kekuatan yang dimiliki prajurit-prajurit Waisenburg yang menggila. Kekuatan yang membunuh sebagian besar pasukannya. Kekuatan yang mendorong sang Raja Waisenburg ke kebejatan. Kekuatan yang menimbulkan pucat serta cemas pada wajah kedua orangtuanya bahkan sang Raja dan Ratu Reibeart.

            "Komandan," kapten pasukannya, Martin, muncul dari celah pintu kamarnya yang membuka. "Seorang pendeta meminta waktu Anda barang sebentar saja."

            Raphael menemui mata cokelat Martin dari pantulan kaca sementara tangannya cekatan mengancingi jas biru gelap militernya. Ia menyadari bayangan gelap di bawah matanya. Keganjilan tindakan Esther mengganggunya lebih dari yang ia kira. "Di mana dia? Aku akan segera datang."

            Sebelum Martin sempat membalas, satu sosok asing menyembul masuk. Pria tua itu pasti pendeta yang dimaksud, mengenakan jubah putih berpinggiran emas. Lambang Cardinia dijahit dengan benang mewah pada punggungnya. Kacamata bulatnya berbingkai tipis, bertengger di ujung batang hidungnya. Dari balik permukaan kacamatanya, sepasang manik hijau itu membuatnya terkenang akan satu hal, tetapi Raphael tidak ingat pasti apa. Atau, siapa.

            "Maaf karena telah mengganggu pagi Anda, Komandan Schiffer," ujar pendeta itu, namun pandangannya memindai kamar Raphael.

            Raphael membalik badannya, meraih pedang yang ia sandarkan pada sisi ranjang dan mulai mengikat senjata itu di sekitar pinggangnya. Kebiasaan yang sukar ia ubah, satu itu. Ia tidak bisa tidur tanpa mengetahui satu senjata pun dekat tempat tidurnya. "Father. Mari kita berbicara di ruang tunggu."

            "Aku memilih untuk tidak membiarkan percakapan kita merembes keluar dari kamar ini, Komandan." Kerut pada dahi pendeta itu semakin dalam oleh kekhawatiran.

            Pandangan Raphael menemukan milik Martin dalam sepersekian detik penuh pengertian. Martin segera menutup pintu, bedebamnya meninggalkan Raphael dan sang pendeta di dalam kamar.

            Tidak butuh waktu lama bagi sang pendeta untuk kembali berbicara. "Ini mengenai Tuan Putri, Komandan."

            Tubuh Raphael seketika tegak mendengar Esther disebut. Ia satu-satunya tuan putri di kastil itu, saat ini. "Maaf, Father, tapi Anda belum memperkenalkan diri." Raphael tidak mudah percaya kepada orang-orang di sekitarnya.

            Pendeta itu membenarkan posisi kacamatanya. "Maafkan kelancangan saya, Komandan." Sebelah tangannya ia letakkan pada dadanya, "Saya Horace, saya mengenal Tuan Putri atas kebaikan hatinya melakukan pemeriksaan kesehatan pada anak-anak yatim piatu di bawah lindungan saya."

            "Father Horace," ulang Raphael. Tentu saja nama itu tidak asing. Raphael mengingat setiap kata yang keluar dari bibir istrinya. "Esther tidak jarang membicarakan Anda."

            Kedua mata Horace membesar. "Benarkah? Kuharap bukan hal-hal buruk."

            "Oh, tidak. Tidak sama sekali. Sebaliknya, Anda dipandang penuh takjub. Kurasa ia mengagumi caramu membimbing kesemua anak-anak itu." Raphael mengangkat sebelah alisnya, mengingat perkara yang menjadi alasan kedatangan Horace mengunjunginya. "Anda membicarakan tentang Tuan Putri, sebelumnya. Ada apa? Apa Anda tahu ke mana ia pergi? Ia meninggalkan kamar sebelum aku bangun dan—"

            "Demi Dewi Penciptaan," gumam Horace. Tubuhnya limbung. Wajahnya seketika pucat. "Maafkan aku sekali lagi, Komandan, aku harus segera pergi."

            "Ada apa, Father?" Kedua alis Raphael merenggut. Ketika seorang pendeta memuja dewinya di saat yang tidak tepat mustahil berarti hal-hal baik. "Apa kau menyadari tindakan anehnya?"

            "Tindakan anehnya?"

            "Jika kau tahu maksudku—" Raphael menelan ucapannya. Ia mengingat persis kata-kata sang Ratu. Kekuatan itu hanya membawa petaka. Jika kekhawatiran Horace selaras dengan pengetahuannya mengenai Zahl milik Esther—maka, tidak mustahil Esther tengah berada dalam bahaya. Dan semakin banyak waktu yang ia habiskan di sini, jiwa Esther bisa saja kian terancam. "Apakah ini semua mengenai Zahl, Father?"

            Kedua pundak Horace turun nyaris pasrah. "Anda mengetahuinya."

            "Sebagai salah satu korban dari kekuatan itu—ya, aku mengetahuinya," balas Raphael. "Dan Anda mengetahuinya."

"Mustahil aku tidak mengetahuinya. Kekuatan itu sama seperti jati diri Cardinia."

"Kekuatan itu berbahaya," ujar Raphael. "Membawa petaka."

Horace diam sebelum berkata, "Aku tidak bisa lebih setuju."

Itu mengalirkan gigil sepanjang tulang punggungnya. "Katakan kepadaku bahwa istriku baik-baik saja."

            "Aku tidak yakin, Komandan." Horace menggelengkan kepalanya. "Aku hanya menduga, tidak lebih. Tapi, jika Anda mengungkapkan tindakan anehnya..."

            "Father." Entah sejak kapan kesabarannya merupa sumbu paling pendek di dunia. Ia tidak menyadari kepalan tangannya menyakiti telapaknya. Jantungnya yang berdentam menyakitkan, mengingatkannya pada saat-saat sebelum terompet peperangan dikumandangkan. Raphael melangkah. Satu. Dua. "Katakan kepadaku bahwa istriku baik-baik saja."

            Tatapan Horace putus asa saat menemui kedua matanya. "Aku tidak bisa yakin, Komandan. Aku membimbing banyak sekali pengguna Zahl dan sekilas lihat aku tahu Tuan Putri memiliki bakat yang luar biasa. Tuan Putri adalah satu di antara seribu, Komandan. Tetapi, bakat luar biasa selayaknya koin dengan dua sisi. Aku selalu bertanya-tanya mengapa Tuan Putri bersikeras menguasai Zahl dalam waktu singkat. Hingga—aku menemukan satu buku di perpustakaanku hilang." Horace menghela napasnya, "Buku dari rak terlarang."

            "Buku—" Seluruh napas Raphael raib dari paru-parunya. Buku. Esther membaca sebuah buku setiap malam. Gemeresak yang selalu membangunkan Raphael dari lelapnya. Komat-kamit asing yang keluar dari bibir Esther. Dan Raphael mengingat, di suatu kali ia mengintip dari pejam kelopak matanya, judul dari sampul buku itu.

            "Bukan sembarang buku," ujar Horace lamat-lamat. "Aku baru saja hendak membakar buku itu karena praktiknya yang tidak sesuai dengan kode keamanan penggunanya. Tapi, sang Putri akan mendengarkanmu—"

            Judul yang ditulis dengan tinta keemasan, berkilau di bawah pendar lilin. "Kesenian Mengembalikan Apa yang Hilang."

            Horace tidak berkedip barang satu kali pun. Raphael tidak perlu berpikir lebih untuk mengetahui bahwa tepat itu adalah judul buku yang dibaca Esther tiap malam. Raphael tidak perlu berpikir lebih untuk mengetahui bahwa pemikiran terburuknya benar apa adanya.

            Raphael tidak perlu berpikir lebih untuk berlari keluar dari kamarnya.

***

            "Jika kita meneliti lebih lanjut," telunjuk Balthazar Mercier mengambang pada satu daerah pada bentangan peta di atas meja, "keberadaan Tanah Suci bukan lain tepat di sini."

            Alec yang sedari tadi bersedekap, mengibaskan sebelah tangannya. "Bagaimana kau begitu yakin ketika—" Alec menunjuk wilayah di selatan Waisenburg, "keturunan Albatross bermukim di sisi lain dunia? Tanah Suci tempat mereka membunuh Sang Malaikat lebih masuk akal berada di Benua Barat."

            "Mereka berlayar." Tristan beranjak dari kursinya duduk, menjulurkan lehernya ke meja besar di tengah ruang rapat. "Kau perlu ingat para Albatross bukan hanya pendekar yang ganas, tetapi juga pelayar yang andal."

            "Aku melupakan satu fakta itu. Perjalanan yang jauh melewati samudera seluas itu." Alec mengusap dagunya. Lalu, mengangkat sebelah alisnya mendapati Thalia duduk termenung memandangi peta. "Thalia?"

            Thalia menghirup napasnya dalam-dalam sebelum memejamkan matanya, memulangkan seluruh kesadarannya. Segala berlalu begitu cepat. Dunia damai yang ia dambakan, nyatanya, tidak seteguh pilar-pilar Kastil Cardinia yang berdiri semenjak—hanya para dewa-dewi tahu kapan. "Sampai di mana tadi kita?"

            "Kami memerlukanmu, Thalia." Kedua tangan Balthazar mencengkeram pinggiran meja megah itu. Dengan tubuh kekar, besar, dan lebarnya, Thalia tidak akan terkejut bila mendapati meja itu terbelah dua. Balthazar Mercier, semenjak Thalia pertama kali mengenalnya di Perang Agung dua puluh enam tahun lalu, mempunyai perawakan layaknya seekor beruang. Seluruh kekuatan yang menguar liar dari tubuhnya nyaris selalu dilapisi zirah putih keemasan—seakan-akan pria itu selalu siap menghadapi perang. Rambut pirang platinanya sebahu, dikumpulkan dalam satu ikatan sederhana.

            "Sekali lagi. Kami memerlukanmu. Kami membutuhkanmu, Thalia. Kita tidak akan memenangkan pertarungan ini tanpamu. Dan Waisenburg jelas tahu ia harus menghancurkanmu terlebih dahulu."

            Empat pasang mata lainnya mematri pandangannya pada Thalia. Bukan. Pada kekuatan yang mendekam dalam dirinya. Berapa tahun lamanya semenjak Thalia bersumpah untuk tidak menggunakan kekuatan itu lagi? Kekuatan yang lebih banyak merenggut dibandingkan memberikan.

            "Kita akan melawan kehancuran dengan kehancuran," Thalia menghela napasnya. "Aku mengerti."

            "Kita akan memerlukan kekuatanmu untuk membentuk barikade di sekitar Tanah Suci," koreksi Balthazar. "Adalah hal krusial bagi kita menemukan Tanah Suci itu. Hanya di daratan tersebut Sang Malaikat dapat dibangkitkan. Tentu, Daria dan Damien sudah berangkat terlebih dahulu, tetapi kebangkitan Sang Malaikat adalah hal terakhir yang diinginkan dunia—"

            Rentetan ketuk berkumandang dari pintu besar di balik punggung mereka. Dalam sekejap, seluruh kehadiran di ruangan itu berubah waspada. Siaga. Mereka tidak sering mendapatkan interupsi macam ini. Tidak pernah.

            Dan apa yang datang dari balik pintu adalah badai.

            Seorang serdadu berzirah putih-emas masuk, memberikan salutnya kepada Balthazar dan empat kepala lainnya. Napasnya adalah suatu bentuk kekacauan. "Waisenburg, Komandan. Kapal perang mereka berlabuh di dermaga."

            "Apa?" Alec berseru. Bukan karena keterkejutan, tetapi lebih karena amarah. William Waisenburg adalah temannya. Dulu. Pria itu mengkhianati mereka semudah membalikkan tangan. Secara rahasia di balik bayang-bayang. Thalia tahu, dengan seluruh jiwanya, Alec tidak akan hanya diam saja berhadapan dengan William. Pengkhianatan adalah satu hal yang tak mampu Alec maafkan. Tetapi, William terlalu kuat dan pemikiran akan kemungkinan terburuk mengirimkan gigil ke sekujur tubuhnya.

            "Mereka akan menerobos benteng kota," ujar Balthazar lirih, "dan tidak akan membutuhkan waktu lama melakukannya."

            Thalia berubah semakin gusar. Benaknya melesat pada Esther. Demi dewa-dewi. Kesejahteraan dan keamanan anak-anaknya adalah perkara paling penting bagi hidup Thalia. Terutama, setelah nyaris merasakan kehilangan Caiden karena perang, darah, serta kekuatan terkutuk itu. Thalia masih bisa membayangkan, kala itu, tiga puluh tahun lalu, tubuh Caiden teronggok tidak berdaya dalam pelukannya. Pucat. Ia tidak akan pernah mempertaruhkan nyawa anak-anaknya. Jikalau Waisenburg menyerang Cardinia—

            Thalia tidak menyadari gemetar pada tangannya saat ia menggapai lengan Alec. "Esther," bisiknya. Thalia juga tidak tahu raut wajah apa yang ia tampakkan, namun ngeri membayangi wajah Alec.

            Alec, selalu lebih kuat, menenangkan gentar yang membludak dalam diri Thalia. Ia mengelus punggung tangan Thalia. "Aku yakin Raphael bersamanya." Mendongakkan kepalanya, Alec bertanya, "Bukankah begitu, Schiffer?"

            Tristan Schiffer mengangguk. "Aku yakin begitu."

            "Kalau begitu," ungkap Balthazar sementara tangannya meraup beragam informasi di atas meja, membuangnya tepat ke dalam perapian. Tidak ada satu hal pun yang akan Waisenburg peroleh dari Cardinia—apabila informasi adalah tujuan mereka. "Castiel," sahut Balthazar.

            Castiel—putra sulungnya, salah seorang kesatria Cardinia paling ternama. Pria muda di umur akhir dua puluh tahunan, berambut pirang platina, ciri khas darah bangsawan Mercier. Pria itu menegakkan punggungnya, siap menerima perintah bukan dari ayahnya, melainkan dari komandannya.

            "Segera perintahkan pasukanmu menjaga segala sudut kastil serta kota dan Ilyas," kesatria lainnya di ruangan itu seketika menegakkan punggung mendengar namanya disebut, "bantu Horace mengungsikan anak-anak dan sang Ratu."

            Dengan sebuah salut, kedua kesatria itu pergi meninggalkan ruangan. Derap langkahnya terdengar tak ubahnya genderang kehancuran. Memacu jantung Thalia tidak menentu, pikirannya adalah jalinan benang kusut. Seharusnya ia mempertimbangkan pilihan lainnya ketika ia memiliki satu-satunya kesempatan untuk mengubah dunia. Seharusnya ia membinasakan kegelapan. Sekali untuk selamanya. Sekarang, semua berbalik kepadanya—apabila Esther ataupun Alec terluka, itu semua salahnya. Salahnya.

            Jemari Alec perlahan menyentuh siku Thalia, memusnahkan gemetarnya. Pria itu tahu ketakutannya. Berusaha menenangkan kecamuk badai dalam kalbunya. "Thalia," ujarnya lembut sekalipun tegang kedut wajahnya menyiratkan sebaliknya. "Kita juga harus segera bersiap." 

            Bukan pergi. Bukan melarikan diri. Bersiap, memerangi mereka yang akan melukai orang-orang terkasihnya.

Beranjak dari kursinya, Thalia mampu merasakan dua pasang tatapan terpatri padanya. Thalia membalas pandangan Tristan Schiffer, jenderalnya, sahabatnya yang telah mengenalnya semenjak belia. Tristan Schiffer yang terlampau mengenalnya, meyakini kekuatan dalam dirinya walau kedua tungkai Thalia gemetar oleh gentar.

Lalu, pada Balthazar. Mata cokelat yang menyiratkan lebih banyak dari garis kaku bibirnya. Bersumpah untuk melindungi tanah Cardinia, mempertahankan warisan dari Dewi Penciptaan. Balthazar, yang tidak pernah mengacungkan pedangnya kecuali demi memerangi kegelapan. Ia mempertaruhkan seluruh nyawa, jiwa, dan hidupnya untuk satu momen ini.

Alec mengulurkan tangannya. Thalia menemui sepasang manik biru kelabunya, sepasang mata yang mengingatkannya kepada segala harta berharganya. Anak-anaknya. Keluarganya. Tapi, ini bukan saatnya untuk melarikan diri. Mereka harus segera bersiap, seperti yang dikemukakan Alec.

Thalia menerima uluran tangannya seperti yang pertama, terakhir, dan untuk selamanya.[]

Haiii semua!! kembali lagi bersama saya di sini HAHAHAH siapa yang udah kangenn?? /ditimpuk batu bata

Sorry banget yaa minggu ini juga aku tuh sibuk banget makanya nggak bisa jawab semua komentar kalian :') aku tetep sayang kok

Untuk minggu ini syukurnya aku bisa upload 2 chapter gaiss HAHAH jadi silakan lgsg digas yah bacanya <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top