18 - Raphael [21+]
18
Raphael tiada pernah henti berterima kasih kepada para dewa-dewi yang memberikannya kesempatan untuk hidup kembali. Sejak berdiri di hadapan ambang kematian, ia mendapati hijau rerumputan lebih cerah dan biru langit kian luas dari yang terakhir diingatnya. Ia juga mendapati bintang di malam hari semakin gemerlap serta matahari terbenam menenangkan kalbunya dalam berbagai isyarat yang rahasia.
Tapi, ini. Ciuman ini.
Segala keindahan itu tidak ada yang mampu mengalahkan sensasi lembap kecup Esther menyentuh bibirnya. Ciuman itu menggetarkan baik raga dan jiwa Raphael, seakan-akan bangunnya dari bisik kematian diperuntukkan momen ini, tepat di detik ini. Tidak ada lagi yang penting. Tidak ada perang yang harus ia menangkan, tidak ada nyawa manusia yang harus ia pertanggungjawabkan. Tidak pula ada tanggung jawab dan kewajiban. Hanya ada Esther. Dan rasa bibir wanita itu pada bibirnya.
Rasanya seperti kematian. Esther mengulum bibirnya seolah sedang membawa gelombang kematian kedua kepadanya. Menyiksa Raphael dengan ulumannya yang pelan nan menggelitik, napasnya hangat menyapa permukaan lembapnya. Mereka adalah sepasang keinginan dan kebutuhan, dibalut penyesalan serta penebusan. Raphael merasa hidup sekaligus perlahan mati, sebuah kontradiksi yang, entah bagaimana, membangkitkan sekujur indranya.
Sebuah erangan lepas dari mulutnya saat Esther melingkarkan tangannya di sekitar leher Raphael. Jemari lentiknya mencengkeram kulit kepala Raphael, menyirnakan jarak yang ada. Antusiasme mendorong Esther berlutut di kursi, mengukung pinggang Raphael di antara pahanya. Tangan Esther yang menuntut menarik kepalanya ke arah berlawanan, sementara wanita itu memosisikan bibirnya—lidahnya ke dalam mulut Raphael.
Lidah itu meledakkan euforia di tiap sudut rongga mulutnya, sebelum Esther mendesah, membusurkan pinggulnya. Raphael mulai menjelajah kulit betisnya, permukaan lembut yang ia bayangkan tiap kali memejamkan mata, mengingat kembali keindahannya. Ia menyingkap tepi gaun Esther, mengusap pahanya, kian naik mengelus ambangnya yang hangat dan basah. Dan selayaknya bocah yang baru mengenal wanita—Raphael mengeras. Keras, berdenyut, dan membutuhkan entakan kencang serta kasar.
Kedua tangan Raphael menemui bokong Esther, meremas gundukan ranum tersebut hingga wanita itu menggeliat, begitu putus asa menggesekkan selangkangannya pada bukti gairahnya. Melepaskan pagutan mulut mereka, Esther mengerang dan mengerang seiring gesekannya kian meracau. Gelombang nikmat itu menggulung di balik kelopak mata Raphael dan ia pun tidak mampu membendung satu lagi erangan.
Gigi Raphael menemukan puncak payudara Esther menonjol dari balik gaunnya. Esther bergerak semakin gelisah oleh gigitannya, kuku-kukunya menancap kian dalam pada bahunya. Ia membutuhkan lebih. Lebih, lagi. Ia senang merasakan Esther menggila di bawah sentuhannya. Sehingga, Raphael menarik gaun itu dari sebelah pundak Esther dengan kemudahan yang sulit dipercaya.
Lapisan itu longgar pada tubuh kurus Esther, menggantung menggoda pada siku, menampakkan satu payudara bulatnya. Raphael mengecup kulit dekat jantungnya sebelum menengadahkan kepala, mendapati wajah Esther memerah, bibirnya bengkak, serta manik biru kelabu itu berkabut. Napasnya terengah-engah menerpa hidung Raphael. Pemandangan paling erotis dalam hidupnya, seakan-akan wanita dalam pelukannya adalah dosa, buah terlarang. Sementara Raphael adalah malaikat jatuh yang mencicipinya.
Raphael memutar lidahnya pada puncak merah muda Esther, merasakan tubuh wanita itu menyentak, menggoyahkan keseimbangan kursi. Esther menyebut namanya di antara erangannya layaknya simfoni sembari tangannya kembali menemui helai pirang lembap Raphael, membawanya lebih dekat pada payudara ranumnya. Raphael mengisap lebih keras dari yang ia maksudkan, namun Esther tampak menyukainya, bergetar dan melengkungkan punggungnya lebih dan lebih.
Esther menjambak rambutnya, tarikan yang lembut, tetapi di saat yang bersamaan bagai menyiram minyak pada api. Raphael mencintai tindakannya yang menuntut, kembali mendongak selagi jemarinya mencubit puncak kerasnya.
"Ada apa, Sayang?" Raphael menuruni lekuk pinggangnya, berhenti di pinggulnya, lalu meremas bokongnya. Milikku.
"Tanya aku." Suara Esther parau akan gairah.
"Apa yang harus aku tanyakan padamu?"
Esther menjilat bibirnya, dalam kepelanan yang disengaja. "Apakah aku menginginkanmu."
Milikku. "Apa kau menginginkanku?"
"Aku menginginkanmu." Esther menyandarkan telapak tangannya tepat di atas jantung Raphael. Demi dewa-dewi, Raphael akan membiarkan wanita itu mencuri jantungnya, detaknya. "Aku menginginkanmu." Esther berbisik dekat daun telinganya, "Aku ingin kau bercinta denganku, meledak di dalam diriku." Dan ia merampungkan perkataannya dengan sebuah gigitan.
Bisikan Esther layaknya sebuah panggilan, membangkitkan kebutuhan primitifnya. Raphael menggeram sebagai sebuah persetujuan sebelum mengulum bibir bawah Esther, menyesap dan mengisapnya. Ambrosia. Makanan para dewa. Raphael mengangkat tubuh Esther bersamanya, masih belum melepaskan pagutan mulut mereka, kaki wanita itu mengunci di balik pinggangnya. Lalu, dengan langkah panjangnya, Raphael segera mengempaskan tubuh wanita itu di atas ranjang.
Ranjang yang menjadi saksi malam pertama mereka, serta malam lain yang mengikutinya. Dan hari itu, detik itu, tidak ada yang lebih ia inginkan daripada mengurung Esther di dalam kamar, menghujamnya berkali-kali hingga wanita itu kehilangan akalnya, kesulitan berjalan, dan bengkak di berbagai tempat. Sudah terlalu lama bagi Raphael. Sudah terlalu lama semenjak terakhir kali ia merasakan tubuh wanita dan, tepat saat itu, pengendalian dirinya nyaris lepas dari genggamannya.
Tapi, di hadapannya adalah Esther. Wanitanya. Cintanya. Esther yang anggun dan cantik dan lembut. Sehingga, alih-alih menghujamnya, Raphael mengecup paha dalam Esther, menjilat permukaan kulit itu. Menciptakan jejak basah nan panjang hingga ambang kewanitaannya. Esther meneriakkan namanya, menjepit kepala Raphael di antara selangkangannya. Buku-buku jari Esther memutih, sementara Raphael mencengkeram pinggul wanita itu, memosisikan inti hangat itu di hadapan bibirnya.
Raphael menjilat, mencium, mengibaskan lidahnya dalam cara-cara yang Esther cintai, dan tampaknya ingatan Raphael tidak keliru. Sebab, Esther mengentakkan punggungnya, lompat dan jatuh dari matras selayaknya wanita liar. Aroma wanita itu memenuhi paru-parunya dan betapa basahnya Esther membuatnya gila—terlampau gila. Ia membutuhkan Esther. Ia membutuhkan Esther sebagaimana wanita itu menginginkannya. Meledak di dalam dirinya.
Raphael mengecup lututnya sebagai janji, membentangkan kedua tungkainya dan Esther bukan lagi gadis polos ataupun perawan—mengangkang di hadapannya. Memahami apa yang mereka berdua inginkan. Inti dirinya basah dan merah dan hangat. Dalam satu sentakan Raphael membebaskan kejantanannya yang berdenyut sekacau detak jantungnya.
Melarikan dua jari pada inti diri Esther, Raphael mendesah mendapati betapa basah, betapa siap wanita itu menerimanya. Dua jarinya membuka liang panas Esther dan—Raphael menghujamnya begitu segera, mengundang erangan Esther. Raphael memejamkan matanya merasakan dinding-dinding wanita itu meremas dirinya, seutuhnya, namun ia tidak memiliki cukup keyakinan untuk mulai bergerak. Sebab, Raphael menginginkannya, begitu kasar dan kencang dan segera.
Tampaknya, Esther merasakan keraguan dalam dirinya karena ia menjulurkan tangannya, menangkup pipi Raphael. "Raphael," ujarnya lembut. Seakan-akan mengabaikan fakta sebesar apa Raphael membutuhkannya. Sekeras apa.
"Aku tidak tahu apa aku dapat mengendalikan diriku sendiri. Aku tidak yakin aku dapat memperlakukanmu dengan lembut, seperti yang selalu kita lakukan. Setelah bertahun-tahun aku—"
"Jangan," potong Esther. Ia menautkan jari kakinya di balik tubuh Raphael. "Bercintalah denganku seakan-akan kau akan hancur bersamaku. Berikan aku segala yang kau miliki—jangan pernah berpikir untuk memperlambat tempomu. Aku ingin merasakanmu, utuh dan liar," Esther berucap, "Aku membutuhkanmu, kasar dan cepat dan segala di antaranya."
Raphael menggeram dan Esther mengerang bersamanya. Ia menghujam Esther seperti yang wanita itu inginkan, seperti yang ia inginkan. Cepat dan kasar dan Esther amat menyukainya, mengayunkan pinggulnya sama cepat dan kasarnya. Tempo—irama adalah kata dari antah berantah. Gerakan mereka kacau serta saling menghancurkan, seolah-olah mereka sedang berada di medan perang, bergelung mendekati kehancuran. Hanya ada kebutuhan. Primitif, liar, dan buas.
Esther melempar kepalanya ke belakang, cakarannya pada punggung Raphael menjadi satu-satunya tambatan kesadarannya. Ketika ia membuka mulutnya, bukan erangan kesakitan atau namanya yang lolos dari antara bibir indah itu.
"Lagi!" Ia mendesah putus asa. Teriakannya nikmat membelai genderang telinga Raphael.
Raphael meraih bokong Esther, seperti yang wanita itu selalu sukai, lalu memompa kejantanannya, yang setelahnya lebih keras dari sebelumnya. Dan Raphael akan meledak, begitu dekat dengan puncaknya seolah-olah ia tengah mendaki gunung kehancurannya sendiri, dan ia berada di bibir jurang menuju kenikmatan. Sekali lagi, ia menginginkan lebih lagi, dan lagi. Tapi, tidak sebelum Esther mencapai klimaksnya. Belum. Belum—
Tubuh Esther menegang sebelum menggelinjang, lalu buyar di bawah hujamannya. Raphael memompa kejantanannya, sekali, dua, sebelum menghujam untuk terakhir kalinya, dalam. Utuh dan sempurna. Ia mengerang, erangannya paling nikmat. Bahu Raphael bergetar di bawah cengkeraman Esther, mencapai klimaksnya di dalam wanita itu, di antara dinding-dinding sempitnya, di seputar lengannya.
Raphael balas memeluk Esther, membiarkan dirinya sedikit lebih lama dalam liang hangat wanita itu. Ia mengecup Esther, merapikan helai rambut perunggunya yang menempel di pipinya. Embusan napasnya tidak teratur, tetapi sekujur raut wajah Esther mengindikasikan betapa puas dirinya. Dan wanita itu tersenyum—untuk sejenak, Raphael tidak mengenali wanita yang di hadapannya. Wanita di hadapannya bukan lagi gadis yang ia kenal—tetapi, sosok lain yang seakan lahir kembali pada tubuh sama.
Wanita yang lebih kuat. Wanita yang tidak akan hancur karenanya. Wanita yang sama sekali berbeda. Wanitanya.
Raphael kembali mendekap Esther dalam pelukannya. Ia tidak akan lagi membiarkan wanita itu lepas dari genggamannya. Tidak akan pernah. []
Halo halo gaissss thank you buat dukungan kalian di chapter sebelumnya!! Maaf kalau ada yang belum terbalas atau terjawab huhuhu, aku lagi magang dan bener-bener situasinya sibuk sekali :(
Selamat hari Jumat ya buat kalian semuaaa <3 Semoga kalian menikmati cerita kali ini <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top