17 - Esther

17

            Esther bangun pagi itu dengan ketenangan melegakan relung dadanya. Ia memandangi langit-langit krem kamarnya, jauh dari jangkauannya dan tidak lagi berusaha menghancurkannya. Alih-alih isak tangisnya, sayup-sayup ciap anak burung mengalir masuk dari celah jendela yang Teresa buka. Sinar matahari menyinari permukaan lantai tepat di samping ranjangnya, memerangi kegelapan yang merajai kamarnya.

            Esther menyadari, kediaman itu bukan ketakutannya. Ia menciptakan ketakutan itu sendiri dan berbagai pemikiran kelam mengobarkannya kian mengerikan. Ketakutan itu menjadikan dinding-dinding kamarnya sempit, langit kamarnya berusaha membunuhnya, dan lantainya penuh oleh lengket darah.

Masih segar di ingatannya sebagaimana Sir Potter menatapnya nanar saat Esther menggaungkan keputusannya tidur di kamar tempat tragedi itu terjadi. Bagaimanapun, Esther akan menumpas ketakutannya, satu per satu—dan itu berarti kembali ke kediaman Raphael. Ia sudah menyiapkan untuk yang terburuk, melangkahkan kaki ke dalam kediaman yang sering kali mengganggu lelapnya. Ia sudah menyiapkan untuk yang terburuk kala merasakan kesedihan yang masih melekat di kediaman itu.

Ia pikir ia akan bangun menangis. Diserang panik. Dadanya sesak mengingat tragedi itu. Sebab, selama sebulan yang mencekam itu, kewarasannya nyaris hilang. Dinding-dinding kamar membunuhnya, tetapi ia terlalu takut untuk sekadar membuka pintu. Langit kamar seakan menindihnya, namun ia tidak berdaya, belenggu tidak kasat mata menahan tubuhnya. Selama lima detik penuh, ia mengagumi dirinya sendiri, sosok wanita yang berevolusi dari diri kecilnya.

Beranjak dari ranjangnya, Esther tahu pagi itu adalah saat yang tepat untuk berenang—ketakutan pertama yang berhasil ia taklukan. Tahun lalu adalah titik balik dari kehidupannya, detik di mana ia berusaha lahir kembali menjadi sosok yang tidak akan bergantung pada suatu apapun yang tidak nyata. Meskipun (jika Esther boleh jujur) Daria bukan guru terbaik, setidaknya, kakaknya itu tidak pernah lelah menyemangatinya. Dukungan moral itu mengubah ketakutannya menjadi seribu helai warna-warni menyerupai pelangi dan ia mendapati dirinya sendiri jatuh cinta dengan ketakutannya.

Setelah menyesap teh hangatnya, Esther segera menuju danau di hutan tidak jauh dari kediaman. Ia mengingat jalan yang biasa ia lalui saat mengumpulkan dedaunan obat dan sampai di kolam biru kehijauan. Danau itu diterpa matahari pagi hangat, mengundang Esther melucuti gaun luarnya, mengambang di atas permukaannya. Ia sedang membiarkan tubuhnya mengapung, hangat air menyapu kulit dan pemikirannya ketika ia mendengar raungan itu. Raungan sarat akan keputusasaan, seakan-akan kiamat melangkahkan kakinya di muka bumi.

"ESTHER!"

Sejurus kemudian, permukaan tenang danau lebur oleh ketergesaan pemilik suara. Telapak tangan besar itu melingkupi pinggangnya dan Esther menemui empunya manik sebiru samudera itu, memandanginya dengan segala kengerian. Sebelah tangan pria itu gemetar menangkup pipinya dan Esther tidak yakin apakah bulir di pipinya merupakan tangis atau cipratan air danau.

"Esther," bisiknya. Raphael lambat laun memperoleh ketenangannya, menyadari tubuh Esther masih hangat berseteru dengan tubuhnya.

Esther menyelimuti tangannya, mengusir gemetarnya. "Raphael," ujar Esther. Ia tahu Raphael selalu menyukainya ketika Esther memanggil namanya. "Raphael," ulang Esther sekali lagi, menenangkan pria besar di hadapannya—yang tampak kecil dengan ketakutan di tiap jengkal tubuhnya. "Raphael."

Raphael memeluknya, racauan napasnya mengembus sisi leher Esther. "Oh, Esther. Aku pikir kau—" jeda, seakan-akan ia mengurungkan perkataannya, takut ucapannya menjadi kenyataan. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Berenang." Memegang kedua pundak kokoh Raphael, Esther menjauhkan dirinya dari pelukan pria itu. Perlahan, ia melepaskan pegangannya pada Raphael, tidak lagi bergantung sepenuhnya pada pria itu, seperti yang ia janjikan tahun lalu. "Lihat? Aku berenang."

"Kau berenang," ulang Raphael. "Kau bisa berenang." Ia tampak tidak percaya.

"Ya." Esther mengangkat kedua pundaknya. "Aku menghabiskan musim panas tahun lalu belajar renang," jelasnya. "Apa yang kau lakukan di sini, Rafe? Aku tahu kau sibuk, Jenderal Schiffer—"

"Begitu tahu kau pulang ke kediaman, aku segera menyusul."

Raphael—menyempatkan waktu demi dirinya. Bahkan Esther tidak seberani itu bermimpi. Tapi, pria itu darah dan daging dan napas di hadapannya, tidak berpikir dua kali berusaha menyelamatkannya. Pria itu, untuk sekali saja dalam hidupnya, menyampingkan kewajiban. Esther tidak mampu mengelak dari debaran jantungnya.

"Lord! Lady!" Sir Potter berseru dari kejauhan, membawa apa yang tampak seperti infanteri para pelayan. Wajahnya pucat dan bola matanya nyaris keluar dari rongga kepalanya. Lututnya bergetar hebat saat menghampiri tapi danau. Ia memandangi Esther tidak percaya. "Lady, Anda—" Lalu, ia memperoleh kendali dirinya secepat kilat, seperti yang diharapkan dari kepala pelayan keluarga bangsawan. "Bak mandi Anda sudah siap, milady, milord."

***

Raphael mempersilakannya untuk mandi terlebih dahulu sementara pria itu menunggu di kamar. Tidak butuh waktu lama bagi Esther untuk membersihkan tubuhnya. Ia bukan orang yang menghabiskan semalaman mengendarai kuda ke Selatan—Esther akan memberikan kehormatan itu kepada Raphael. Pria itu jelas membutuhkan air hangat lebih dari yang ia butuhkan dengan kelelahan membentang di sekujur wajahnya.

Tubuh Raphael menegang tidak ubahnya garpu tala ketika mendengar Esther membuka pintu kamar mandi. Pria itu membalikkan badan lebih cepat dari kedipannya, tidak menyembunyikan pandangannya yang menjelajahi lapisan gaun tipisnya yang basah oleh tetesan dari rambutnya.

"Aku akan meminta Sir Potter untuk mengganti air." Esther memecahkan keheningan yang membuat segenap tubuhnya gelisah.

"Jangan." Langkah Raphael menelan jarak di antara mereka. Tubuh tingginya membayangi Esther dengan luapan pesonanya. "Gigil ini akan membunuhku. Aku akan mandi dengan air yang tersisa."

Setelahnya, ia menutup pintu kamar mandi. Meninggalkan Esther sendiri di kamar, rambut basahnya menetesi karpet dan gaunnya, sedikit kecewa. Ketika ia menyadari bibirnya kering, ia jadi bertanya-tanya apa yang sesungguhnya ia harapkan. Ia kemudian duduk di sisi ranjang dan mulai mengeringkan rambutnya.

Ia sudah separuh jalan mengeringkan rambutnya saat pintu kamar mandi membuka tiba-tiba. Raphael melangkah keluar, bertelanjang dada sementara celananya menggantung malas pada pinggangnya. Reka ulang kejadian di Kastil Seymour berkelebat di benaknya, namun kali ini, alih-alih digeluti rasa takut terhadap pesona Raphael—Esther membiarkan dirinya mengagumi kontur tubuhnya yang menakjubkan.

Esther mendapati beberapa luka baru di pundak, dada, dan pinggangnya. Luka sabetan yang panjang, sembuh dan meninggalkan bekas di kulit perunggunya. Darah perlahan mengumpul di ubun-ubunnya kala ingatan dari tiga tahun lalu timbul di benaknya. Sebagaimana dahulu, tiada malam yang Esther habiskan tanpa mengecup tubuh kerasnya, setiap luka yang menyempurnakan sosok perkasanya.

Esther mematri tatapannya pada tubuh pria di depannya. Otot-otot yang berkedut setiap kali pria itu bergerak, meraih handuk, menarik kursi, dan duduk di seberang ranjang, menghadapnya. Esther bangkit, meluruskan tungkainya saat berujar, "Biarkan aku mengeringkan rambutmu."

"Seperti yang kau inginkan." Tangan Raphael menawarkan handuk putih.

Esther mungkin gila, mungkin saja tidak, berdiri di hadapan pria itu tidak lebih jauh dari bentangan tangannya. Namun, detik itu, tidak ada yang lebih ia inginkan dibandingkan berada dekat dengannya. Berada di dekat pria yang mengingat semua kesukaannya, tidak pernah berpikir dua kali untuk menolongnya, bersedia mempersembahkan jantung kepadanya. Ada, pikir Esther, alternatif lebih baik daripada menjauhkan diri dari pria yang masih memiliki hatinya. Ada—dan Esther tahu apa.

Sehingga, menggenggam handuk itu, Esther dengan telaten mengeringkan helaian pirang Raphael. Ia mendongak mengamati Esther, setiap gerakan dan semua kedut wajahnya.

Esther menyeringai. Tatapan pria itu selalu berhasil menjadikannya gelisah. "Apa yang kau lihat?"

"Kau."

"Aku?" Esther menemui tatapannya.

"Kau," ujarnya. "Kau wanita tercantik yang pernah kulihat sepanjang hidupku."

Wanita tercantik. Itu mungkin adiknya, Kania Octavius of Reyes dengan kecantikan legendaris yang tersohor di sepenjuru dunia. Mungkin juga wanita-wanita yang—Esther menghirup napasnya dalam, dadanya mendadak sesak—menemani Raphael di medan perang. Sepanjang sepengetahuan Esther, tidak sedikit wanita yang sukarela jatuh ke dalam rangkulan Raphael. Dan Esther tidak bodoh. Ia cukup mengetahui apa yang dibutuhkan para prajurit di medan perang selain makanan dan darah. Wanita.

Esther jadi bertanya-tanya, wanita macam apa yang menemani Raphael di medan perang. Apakah rambut mereka cokelat? Pirang? Hitam? Bagaimana dengan mata mereka? Apa yang membuat Raphael menginginkan mereka? Siapa yang Raphael pikirkan saat bercinta dengan mereka?

Ketika kesadaran kembali ke benaknya, Esther masih mendapati Raphael memandangi wajahnya. Esther kembali bertanya, menghela napasnya, "Apa yang kau pikirkan?"

Sebelah sudut bibir Raphael terangkat. "Berbagai cara mencium bibirmu."

Lalu, kembali berkelebat bayangan di benaknya, sebagaimana Raphael mengecup wanita-wanita itu di tempat selain bibir—baiklah. Sudah cukup. Ia tidak akan membiarkan pikiran itu menggerogoti dirinya. Ia akan bertanya. Langsung.

"Jujurlah padaku," Esther memberi jeda pada gerak tangannya, balas memandangi Raphael. Biru matanya yang bagai pusaran samudera. "Aku tidak akan menyalahkanmu. Tetapi, apa aku boleh tahu berapa banyak wanita yang menemani tidurmu?"

Kedua alis Raphael membusur, jelas tidak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulut Esther. "Menemani tidurku?"

"Kau tahu." Esther mengibaskan tangannya. Bagaimana ia menjelaskan senggama selayaknya tuan putri yang berpendidikan— "Secara biologis, pria memiliki keinginan yang harus... kau tahu."

"Oh."

"Ya."

"Kenapa hal itu penting bagimu, Esther?" Raphael berbisik. Apa yang pria itu harapkan?

Esther mengelak, "Demi pengetahuan. Tentu tidak akan ada salahnya. Lagipula aku tahu bahwa secara periodik, para pria harus melakukan... pelepasan."

"Jika aku bercinta dengan wanita lainnya, Esther, apa kau akan marah?"

"Tidak," ujar Esther lebih cepat dari seharusnya. Tapi, ia tahu, itu bukan kesungguhan dari ucapannya. "Maksudku—" Sedikit marah. Tidak. Murka. Luar biasa murka. Sebab, kau milikku. Namun, Esther kembali mengingatkan dirinya sendiri: ia tidak bisa menyalahkan Raphael. Itu di luar kendali dirinya. Di luar kendali Raphael juga.

"Wajahmu jelas mengatakan sebaliknya."

"Tidak. Itu pilihanmu." Esther baru saja berbalik saat Raphael menangkap pergelangan tangannya.

"Apakah kau ingin mengetahui kebenarannya?" Genggaman Raphael berhati-hati, seperti apa yang hendak ia ungkapkan.

Untuk apa Esther mengetahui kebenaran itu apabila kenyataan itu kemudian akan menyakiti hatinya? Raphael pria yang sehat, bugar, dan—Esther sudah mengetahui jawaban dari pertanyaannya sebelum pria itu mengungkapkannya. Namun, dorongan itu kembali muncul. Dorongan untuk menaklukan ketakutannya, kesakitannya. Itu bukan salahnya, Esther memperingatkan dirinya sendiri. Semua itu di luar kendali Raphael.

Jadi, Esther bertanya, "Dan apa kebenarannya, Rafe?"

Dada Raphael mengembang kala pria itu menghirup napas dalam-dalam, lalu mengempis perlahan. "Bukan wanita," ujarnya.

"Bukan wanita?"

"Pelepasan yang kau maksud itu—aku menggunakan tanganku, setiap saat, setiap detiknya dan yang lebih menyakitkannya adalah fakta bahwa—" Raphael memejamkan matanya, kerut di dahinya kian dalam, "—aku selalu membayangkanmu. Aku membayangkan bercinta denganmu siang itu di halaman, saat aku menyudutkanmu ke dinding, saat di bak mandi, di perpustakaan, di meja makan, di—bahkan malam pertama kita, demi dewa-dewi. Aku membayangkan segalanya, aku memimpikanmu setiap malam, basah dan berkeringat menginginkanmu. Tetapi, aku tahu—"

Raphael membuka matanya. Biru cerah itu berkabut oleh gairah dan rasa sakit di saat yang bersamaan. Ia menemui maniknya, mencuri seluruh udara dari paru-paru Esther. "Aku tahu, seberapa besar pun aku menginginkanmu, kau tidak akan pernah memaafkanku setelah hari itu dengan Margaret dan terutama, setelah aku mengetahui bahwa aku meninggalkanmu di saat-saat—" Raphael menggelengkan kepalanya. "Itu menyiksaku karena kau satu-satunya wanita dalam hidupku dan aku tidak pernah menginginkan wanita lainnya."

Raphael menjatuhkan meriam. Granat. Seribu peledak dalam dirinya. Dan Esther tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri ketika ia meraih kedua pipi Raphael, wajah tampan itu di antara tangannya. Kuantum perasaan dan beragam hal lainnya. Tapi, terutama sesal. Jika saat itu Esther tidak melihatnya ditikam—jika saat itu Esther membiarkannya mati terkapar di tengah medan perang—bukan mustahil pria itu mati membawa penyesalan.

Penyesalan yang, sesungguhnya, bukan salahnya.

Esther menumpukan dahinya pada milik Raphael, meresapi esensi pria itu seutuhnya. Tanpa ia ketahui, selama ini Esther telah menyiksa pria itu. Lebih dari yang ia kira. "Aku memaafkanmu. Semua itu bukan salahmu. Bukan."

"Esther—"

Tapi, sebelum Raphael mampu membentuk balasannya, ciuman Esther menelan ucapannya. []

Taraaa~ Ternyata oh ternyata HAHAHAH maapkeun aku ini, Esther sehat sentosa kok WKWKKW

Kalau kalian ingaat, di cerita Petra, Esther bikin resolusi untuk belajar berenangg, jadi di sini lah bukti kalo dia bener-bener belajar WKWKWK

Jangan lupakan dukungan kaliaaan :* Kecup manis buat kalian semua

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top