15 - Esther
15
Berapa dansa yang sudah Esther lakukan selama hidupnya? Esther tidak pernah peduli untuk menghitungnya—berapa kali ia berputar mengikuti musik, berapa banyak kewajiban yang harus ia penuhi, ratusan, mungkin. Esther tidak tahu pasti. Apa yang pasti adalah kenyataan bahwa semua pesta dansa itu tidak dapat dibandingkan dengan satu dansa ini. Sebagaimana ia dan Raphael mengalun seakan denting piano menyelimuti tubuh mereka, di bawah sinar remang lilin.
Apabila Esther mempunyai segala kekuatan untuk menghentikan waktu—ia akan membekukan detik tepat saat itu, di sana. Di mana genggaman Raphael membungkus tangannya dan langkah pria itu melengkapi miliknya. Tidak ada rahasia apalagi kemalangan, hanya mereka, sepasang yang saing terbuai satu sama lainnya. Tidak ada mulut yang akan berbicara, tidak ada masa depan, hanya ada masa kini—dan itulah satu-satunya yang paling penting.
"Kau cantik dalam gaun merah itu."
Esther mendongak, mendapati wajah Raphael yang menelitinya dengan ketertarikan berlebihan. Dan terbersit di benaknya, sebagaimana berminggu-minggu lalu dalam pelayarannya, Teresa bekerja sama dengan Raphael mengelabuinya. "Apa kau meminta Teresa untuk menyiapkan gaun ini untukku?"
"Hmm." Luka pada wajahnya tersungging oleh senyumannya.
"Rafe."
"Tidakkah kau menyukainya?"
"Gaun ini luar biasa, tetapi—mereka pikir aku—kau tahu apa yang mereka pikirkan, bukan?"
"Waktumu terlalu penting untuk meladeni pemikiran mereka, Esther," ujar Raphael setelah ia melakukan putaran pertamanya. "Terutama, pendapat wanita-wanita itu." Raphael mengedikkan kepala ke balik punggungnya dan Esther tahu siapa yang Raphael maksud.
"Andai sesederhana itu mengabaikan mereka," gumam Esther.
Jeda sebelum pria itu kembali membuka mulutnya, "Aku tahu apa yang telah mereka lakukan padamu."
Esther mendongak, matanya membelalak menemui biru tenang milik Raphael. Ia tidak pernah menceritakan kesulitannya kepada siapapun. Ia tidak ingin orang-orang mengkhawatirkannya—tetapi, kemudian, ia menyadari hal tersebut menjadi alasan dari kesepiannya. Sehingga, Esther bertanya, "Apa yang kau tahu?"
"Aku menyadari obsesi Margaret terhadapku—dan kejadian di acara minum teh yang kalian lakukan bersama setelahnya."
Bibir Esther membelah terbuka, tidak percaya. Sesungguhnya, seberapa jauh yang Raphael ketahui? "Itu hampir tiga tahun lalu." Keringat dingin mendadak membasahi punggung Esther membayangkan Sir Potter mengabarinya satu tragedi spesifik itu. "A—apa lagi yang Sir Potter kabarkan?"
Raphael memandanginya, tampak sedikit heran. "Well, kau perlu ingat bahwa setelah bertahun-tahun, aku belum sempat kembali ke kediamanku." Lalu, ia menyunggingkan senyum miring, menggodanya. "Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"
Tepat sasaran. Esther mengalihkan pandangannya dari jeratan pesona usil Raphael. "Bukan waktu yang tepat, Rafe. Bukan waktu yang tepat." Bukan atau tidak akan mengungkapkannya sama sekali, Esther tidak tahu pasti yang mana. Hanya dengan mengungkapkan satu rahasianya itu, ia akan menjauhkan Raphael darinya. Keputusannya yang sudah lama bulat. Namun, hatinya berat seakan sebuah kereta kuda membebaninya. Setidaknya, biarkan ia menikmati satu dansa ini, satu malam saja, baru kemudian ia memikirkan tidak atau belum.
Dan terberkatilah dewa-dewi, Raphael mengangguk. "Aku mengerti," ujar Raphael pada detik di mana irama lagu berubah mengikuti jentikan baton konduktor. Kepala Raphael menoleh ke kanan dan kiri, memandangi pedansa lainnya bertukar pasangan—sebuah ciri khas dalam dansa Reibeart—sementara tangannya erat menggenggam pinggang Esther, mencegahnya berpindah ke pria lainnya.
Beberapa pasang mata mulai memperhatikan mereka penuh tanda tanya, tetapi tidak satupun bibir bertanya. Esther berbisik, "Kau seharusnya membiarkanku pergi."
"Dan apa?" Raphael berkata, "Memandangimu berdansa dengan pria lain di lagu kesukaanmu?"
Esther menghirup napasnya tajam. Hatinya terenyuh oleh kenyataan itu: lagi-lagi, Raphael mengenalnya terlampau baik. Raphael mengingat apa yang ia suka dan benci. Seakan Esther adalah matahari dan ia adalah peneliti yang mengenal setiap putaran, celah, seluk dirinya. "Kau mengingatnya."
Raphael merundukan kepalanya, terlampau dekat bagi sepasang kekasih dalam acara pesta dansa formal. Namun, pria itu tidak peduli—apalagi Esther. "Aku mengingat semua tentangmu." Ia memejamkan mata, bulu mata panjangnya menyentuh topeng keemasannya. "Aku ingat warna kesukaanmu. Aku ingat apa novel kesukaanmu, aku juga ingat mengapa kau membenci novel horror. Aku ingat kau tidak suka ikan karena perutmu secara alamiah menolaknya. Aku ingat segala tentangmu, bahkan kali pertama kita berdansa."
Menengadahkan kepalanya, dahinya menemui dahi Raphael dalam satu titik hangat. Ia turut memejamkan matanya, menipu dirinya sendiri bahwa kemalangan itu tidak pernah menimpanya. Hanya ada mereka, Esther dan Raphael, bersatu dalam sebuah dansa yang membangkitkan nostalgia. "Pertama kali kita berdansa?"
"Kau berapa—saat itu? Sebelas, sepuluh tahun, mungkin?"
Esther tidak mampu menyembunyikan seringainya. Kapan terakhir kali ia tertawa lepas? "Oh, kelas dansa Miss Hayes."
"Hmm-mm. Aku ingat kau begitu muda, tetapi teramat cantik dalam gaun merah mudamu. Selayaknya peri dan—demi dewa, langkah dansamu sempurna."
"Aku mengikuti instruksi Miss Hayes sebaik mungkin. Pam," Esther mengubah langkahnya, "pam," ia memutar tubuhnya sedikit, sebelum kembali ke pelukan Raphael, "dan pam."
Raphael tertawa, napasnya mengembus ujung hidung Esther. "Miss Hayes dan pampampamnya."
"Itu kelemahan terbesar Daria. Ia membenci pampampam Miss Hayes," ujar Esther. "Tetapi, bagiku, itu membantu otakku menghapal langkah dansa Reibeart yang bervariasi."
"Kau selalu pintar menghapal sesuatu. Kau bahkan mengingat setiap penggalan kata dari novel favoritmu."
"Pursuit," jawab Esther. Novel favoritnya, mengisahkan tentang sepasang kekasih saling mencintai dari dua pihak yang bermusuhan. Klasik, klise, tapi bagi diri kecilnya, romantisme untaian kisah itu adalah segalanya.
Raphael mengangguk, "Ya. Pursuit."
"Ketika kau membaca ulang sebuah buku berkali-kali hingga lemnya mengering, halaman demi halaman lepas dari sampulnya—mustahil kau tidak mengingatnya."
"Tidak semua orang mengingatnya. Kurasa kelebihan itu membantumu menjadi seorang penyembuh."
"Aku berada di bawah bimbingan yang tepat," Esther mengelak pujian Raphael. Ia tidak pernah merasa nyaman dipuji.
"Bibimu, Kassia, memang luar biasa, tetapi kau tidak akan sampai di titik di mana kau berada tanpa bakatmu. Kau tidak pernah mementingkan dirimu sendiri, dan kurasa itu adalah kualitas terbaikmu sebagai seorang penyembuh."
"Ketika aku menempuh pendidikan sebagai seorang penyembuh, itu adalah sumpah yang kuikrarkan. Menempatkan keselamatan orang lain di atas milikku sendiri." Menempatkan kebahagiaanmu, di atas milikku sendiri.
"Tidak," Raphael menggeleng kepalanya. "Itu bukan sekadar sumpah. Apa yang kumaksud adalah... kau memiliki kelebihan-kelebihanmu sendiri. Kau tidak perlu merasa dirimu kurang setitik pun karena kau memiliki segudang kelebihan yang tidak kau tahu."
Alunan musik berhenti tepat saat Esther menghentikan langkah dansanya. Esther perlahan membuka mata, meneliti wajah tampan Raphael. Sebagaimana luka membentang dari dekat bibirnya, lalu menghilang ke balik topeng emasnya. Pria yang sama seperti bertahun-tahun lalu menggetarkan hatinya, sekaligus berbeda. Tetapi, pria itu tetap sama; ia mampu melihat melalui cacat dan luka dan perih, menemukan pelangi di balik badai hati seseorang. Ia mampu menyempurnakan Esther sekalipun gadis yang ia cintai tidak lagi ada di dalam dirinya.
Bagaimana—Esther tega mengecewakan pria itu? Namun, di saat yang bersamaan, Esther ingin berada di sisi pria yang mengetahui semua kesukaannya, pria yang menggenggam tangannya hangat ketika ia berada dalam palung keterpurukannya. Esther ingin memilikinya. Esther ingin kembali mencintainya seperti sedia kala dengan segala taruhan yang ada.
Esther kecil akan mencintai pria itu secara buta, tetapi kini ia tahu jalan seperti apa yang harus ia tempuh. Esther tahu, demi menempuh jalan berkerikil itu, pita dan renda dan dongeng tidak akan menolongnya. Demi menempuh jalan berkerikil itu, ia harus menumpas ketakutannya. Hingga tidak bersisa.
"Apa kau akan pergi beristirahat?" Raphael mematahkan hening di antara mereka.
"Ya."
Raphael mundur beberapa langkah, tangan Esther masih hangat dalam genggamannya. Ia merunduk, mendaratkan kecupan pada punggung tangannya yang bersarung tangan. Namun, Esther mampu merasakan panas kelembapan bibirnya membakar kulit di balik lapisan kain. Mata biru itu berkilat kala berkata, "Selamat malam—Tuan Putri."
Apabila Raphael berencana meledakkan jantungnya menjadi seribu serpih entah, maka pria itu kelewat berhasil. Esther seakan kembali bangun sebagai seorang remaja, kulit memerah dan bulu meremang di sekujur tubuhnya. Genderang telinganya tidak dapat menangkap ricuh tamu pesta di sekitarnya, hanya suara jantungnya menabuh lubuk hatinya. Sehingga, Esther segera menekuk lututnya sebelum melesat pergi ke bilik istirahat.
Ia membutuhkan air dingin untuk memadamkan api yang menjalar di sepanjang kulitnya. Ia bukan lagi seorang gadis, demi dewa-dewi, apalagi seorang perawan! Kisah manis dan romantis tidak lagi memacu jantungnya. Ia tidak—ah, tetapi ia tidak dapat memusnahkan senyum di wajahnya. Senyum yang teramat lebar, membayangkan kecupan Raphael pada punggung tangannya.
Esther baru saja membuka pintu ruang istirahat ketika mata kelabu dari seberang ruangan menikamnya. Senyumnya seketika raib. Margaret. Esther segera membalikkan punggungnya. Raphael benar apa adanya: waktumu terlalu penting untuk meladeni pemikiran mereka, Esther.
"Ke mana kau berencana pergi, Lady Schiffer?" suara Margaret menantangnya. "Apa kau akan menangis sambil memunggungiku lagi?"
Esther menghirup napasnya dalam-dalam sembari perlahan berputar... menghadap wanita yang menumpahkan kehancuran. Wanita itu tidak akan pernah tahu bagaimana ia mengawali kehancuran Esther. Bagaimana Esther mulai dilanda ketakutan, pemikiran pesimis bahwa Raphael kurang mencintainya. Ketakutan yang merambat dan menghancurkan satu demi satu harapannya. Hingga ketakutan tersebut menjadi akhir dari gadis malang itu.
Hampir tiga tahun lalu—Esther melarikan diri sembari menangis dengan cairan panas teh tumpah pada roknya. Tetapi, kali ini, ia tidak akan membiarkan Margaret memenangkan suatu apapun lagi darinya. Harga dirinya. Semuanya. Ini adalah jalan pertamanya menumpas ketakutannya.
"Aku tidak akan menangis malam ini," ujar Esther. Lalu, mendapati pelupuk mata Margaret bengkak dan sembab. "Malam ini adalah milik orang lain. Untuk menangis."
Margaret menghapus jarak di antara mereka dan untuk sepersekian detik, Esther berpikir wanita itu akan menjambak rambutnya. Namun, wanita itu mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Wajahnya gelap saat bertanya, "Itu hanya sebuah dansa dan kau sudah secongkak ini?"
"Dua dansa." Esther mengoreksi, "Dua lagu."
"Aku," desis Margaret dari sela geliginya, "akan merebut," ia mengacungkan telunjuknya tepat di bawah hidung Esther, "apa yang semula milikku."
Semula milikku. Dan Esther mengerti kenapa Margaret berdansa di atas kehancurannya. Kenapa ia menikmati menyiksa Esther. Wanita itu tidak pernah memandangi Raphael sebagai seorang saudara. "Kau mencintainya," ucap Esther, entah mengapa sedikit terkejut.
"Hah." Margaret menurunkan acungan jarinya. "Lebih dari yang kau tahu."
"Kau mencintainya," ulang Esther. Tangannya bergetar. Jemarinya gemetar. Sebab, ia tidak pernah melakukan ini seumur hidupnya. Ia adalah putri Ratu paling pendiam. Paling manis. "Kau mencintai Rafe."
"TAPI KAU DATANG!" Margaret menjerit. "Kau datang selayaknya putri dan Rafe memandangimu bagai pelangi terindah." Manik kelabu Margaret menemui Esther, meleleh oleh api emosi yang membakar di balik permukaannya. "Aku dan Rafe berlari, berenang, bergurau, berkuda, dan belajar bersama! Sebelum kau datang—" Margaret menghirup napasnya, menyelaraskan suaranya yang bergetar akan amarah, "aku sudah mencintainya terlebih dahulu."
"Kau mencintainya terlebih dahulu, namun dia bukan milikmu untuk dicintai." Satu langkah menumpas ketakutannya. Apa kau pikir Rafe akan selamanya menjadi milikmu? Tiga tahun lalu, pertanyaan itu adalah sumber ketakutannya. Pertanyaan itu menimbulkan segala kemungkinan terburuk yang ada. Ia hanya mengenal akhir indah dan mimpi semanis gulali. Ia hanya mengenal pita dan renda.
Namun, kini ia mengerti, dalam selamanya tidak hanya ada pelangi dan warna-warni, apalagi pita serta renda. "Ia tidak pernah menjadi milikmu," Esther kembali berkata.
Apa kau pikir Rafe akan selamanya menjadi milikmu? Esther memandangi Margaret, bukan lagi gadis yang takut oleh perangai buruk wanita itu. Ia mengangkat dagunya dalam sudut penuh kemenangan. Ia tidak tahu dari mana segala keberanian ini ia peroleh. Merah gaunnya seakan berkobar, melingkupi tubuhnya dalam api. Dan—malam ini bukan malamnya untuk menangis.
"Dia milikku." []
YAHOOO kawan-kawanssss, ini chapter terakhir yang kuupdate minggu ini yaaah ;) semoga kalian menikmati hidangannya <3
HAPPY WEEKEND
p.s. dimohon gais dukungannyaaa!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top