11 - Esther

Sepanjang hidupnya mengenal Raphael, pria itu tidak pernah menampakkan sosok mengintimidasinya—setidaknya di hadapan Esther. Namun, kini rahangnya lebih keras dari baja, mengindikasikan keyakinannya yang tidak mudah tergoyahkan. Sudut mulutnya kaku, menjelma pahatan para dewa, dingin dan kelewat sempurna dalam waktu yang bersamaan. Dan berbagai perasaan bercampur aduk di dalam lubuk hati Esther, namun hanya satu yang berhasil ia terka: keterkejutan.

Esther terkejut menyaksikan pria yang ia kenal berubah menjadi sosok teramat asing. Mulut indah pria itu selalu berhasil melelehkan tungkai Esther, menjadikan dirinya bak putri dunia dongeng di bawah kilau senyumannya. Ia juga selalu memperlakukan Esther dengan perhatian seakan-akan dirinya adalah vas bunga paling mahal, hartanya yang berharga. Sentuhan yang terkendali, aura hangat yang kerap menjadi suakanya.

Tetapi, dari raut serta kedut wajah Raphael, Esther lebih terkejut akan kesadaran betapa berharga dirinya bagi pria di hadapannya. Dan, keputusan Esther menyakiti hatinya.

"Kenapa?" suara Raphael lembut, meskipun kasar pada sudut-sudut tertentu, mengindikasikan pergulatan dahsyat dalam dirinya. Ia memutuskan untuk mendekat dan, sebaliknya, Esther memberikan tentang di antara mereka. Tatapan Raphael membakar permukaan yang dilaluinya, tengah meneliti Esther dengan intensitas yang menghanguskan jiwa. Seakan-akan ia sedang menelanjangi setiap rahasia Esther, tanpa berniat menyisakan satu helai benang pun.

"Kenapa?" tanyanya sekali lagi, tidak kunjung menerima jawaban dari mulut Esther. Bagaimana mungkin Esther menjelaskan bahwa ia tidak ingin memberikan harapan palsu kepada Raphael—bahwa masa depan yang mereka cita-citakan sudah hancur?

Pandangan Esther menangkap dada pria itu naik tajam, mengukung baik udara maupun perasaan dalam relungnya. Biru mata Raphael bak pusaran kekecewaan saat bertanya, "Apa kau—" Raphael mengembuskan napasnya, "—mempunyai kekasih lain selama aku pergi?"

Esther sontak mendongak, mengerjapkan matanya berkali-kali seakan pertanyaan itu tidak hanya mengotori telinganya, tetapi juga kelopak matanya. "Apa?" nadanya satu tingkat lebih tinggi. Apa Raphael menilainya se—Esther mengerang jengkel. "Tidak!"

Seketika, raut wajah Raphael melembut. Apakah itu yang ia takutkan selama ini? Raphael adalah pria pertama dan terakhir dalam hatinya. Bahkan, ketika Esther memutuskan untuk berpisah dari pria itu, Esther tahu bahwa hatinya akan selalu mengenang kehadirannya. Sentuhannya, suaranya, kecupannya, segalanya. Mereka harus berpisah karena Esther tidak ingin melihat pria itu kecewa menyadari kenyataan bahwa putri yang ia harapkan tidak sesempurna yang ia andaikan. Bahwa masa depan yang mereka cita-citakan, sekali lagi, sudah hancur.

Tetapi, bagaimana meyakinkan pria di hadapannya, pria yang hidup penuh kehormatan—menghormati janji dan sumpah yang ia buat di atas altar?

"Lalu, kenapa?" Raphael menyelipkan helai rambut Esther ke balik telinganya.

            "Kau tidak akan bahagia bersamaku." Esther mengepalkan kedua tangannya. Itu adalah sebuah kejujuran, setitik bagian dari keseluruhan ceritanya.

            Raphael diam, menimbang kalimat yang akan ia lontarkan selanjutnya dengan kehati-hatian. Rahangnya berkedut sebelum ia membuka mulutnya, "Jika ini mengenai Margaret, aku minta maaf."

            Margaret. Apa kau pikir Rafe akan selamanya menjadi milikmu? Esther tidak mampu memungkiri, kendati tidak signifikan, wanita itu adalah ombak pertama kehancurannya. Koridor dan lorong di Kediaman Schiffer sudah penuh oleh kenangan masa kecilnya bersama Raphael, jauh sebelum Esther mulai menyadari debaran cintanya terhadap Raphael. Untuk waktu-waktu yang Esther tidak miliki tersebut, ia cemburu. Namun, keputusan Esther tidak hanya didorong oleh masalah sepele itu.

            "Kurasa tidak," jawab Esther nyaris bergumam.

            "Kau rasa?" Kedua alis Raphael membusur.

            Setelah Esther berpikir dua atau tiga kali—"Tidak. Ini bukan mengenai Margaret. Ini tentang kita, Rafe."

            "Apa kau tidak lagi mencintaiku?" pertanyaan Raphael menyambar hati Esther. Sesak.

            Sebaliknya. Aku mencintaimu, tetapi cinta bukanlah sihir yang mampu mengabulkan semua permohonanmu. Aku mencintaimu dan oleh karena itu, aku mengharapkan kebahagiaanmu. Bersamaku, Raphael, kau tidak akan menemukan kebahagiaanmu. Kau berhak, sangat teramat berhak, mendapatkan kebahagiaan yang tidak mampu aku berikan.

Esther diam. Ia tidak pernah andal mengungkapkan apa yang hatinya teriakan. Sekalipun suara hatinya mendobrak dan menjerit, ia kesulitan mengutarakannya. Bibirnya hanya kelu dan lumpuh oleh berbagai pemikiran yang berkelebat di otaknya.

Paham bahwa Raphael tidak akan memperoleh jawaban dari mulut rapatnya, ia memecah hening di antara mereka. "Setidaknya—" jemari Raphael menyisir rambutnya, sebuah gestur sarat akan frustasi. "apa kau masih menginginkanku?"

"Tidak." Jawaban itu melesat sebagai bentuk pertahanan dirinya. Pertahanan dari apa, Esther juga bertanya-tanya.

Ucapan itu menghentikan gerak-gerik Raphael seakan dalam sepersekian detik yang singkat itu, waktunya membeku. Tangannya mengambang sekilas sebelum turun terkulai di sisi tubuhnya. Matanya tidak berkedip, birunya menuduh Esther dengan beragam kecurigaan. Bibirnya membelah terbuka dengan perlahan, "Kau berdusta."

"Sebagian besar dari jawabanku adalah kebenaran."

"Bagaimana dengan sebagian kecilnya?" Raphael mengangkat sebelah alisnya. Tanpa ia sadari, pria itu menghapus jarak di antara mereka.

"Kemungkinannya tidak cukup besar," ujar Esther kelabakan. Ia lekas-lekas memutar tubuhnya, memunggungi torso telanjang Raphael yang memacu jantungnya seperti detak-detik sebelum meriam diletuskan. Antisipasi. Demi dewa-dewi, mustahil Esther mengakui bahwa ia menginginkan pria itu lebih dari yang ia tahu. Tetapi, ia mengerti bahwa tidak ada kata usai jika salah satu pihak tidak menyerah. Dan, Esther, tengah mengibarkan bendera putihnya.

"Sekali lagi, Raphael, jika kau menginginkan kamar ini, aku akan pindah ke kamar lainnya."

Detik ketika tangan Esther membungkus gagang pintu, telapak Raphael menyelimutinya. Lebar, hangat, kasar dengan jari-jari panjang. Melumpuhkan gerakannya. "Aku ingin memperjuangkn kemungkinan kecil itu."

"Mustahil." Esther memejamkan matanya, menghalau aroma manis yang merajai penciumannya. Aroma itu membangkitkan api yang telah lama padam.

"Kenapa?" bisikan Raphael membelai daun telinganya, mengirimkan arus keinginan ke seluruh penjuru tubuhnya. Jemari panjang itu, mulai meninggalkan punggung tangannya, mulai bergerak dengan kepelanan yang disengaja. Pergelangan tangannya, lengan, sisi leher, garis rahangnya—berhenti di dagunya. "Apa kau takut?"

"Apa yang seharusnya membuatku takut?"

"Kau takut mengakui fakta bahwa," Raphael menghirup udara di sisi lehernya, "kau masih menginginkanku."

"Tidak," bisik Esther, tidak sekencang sebelumnya. Sebab, ia tahu, sebagian kecil pertahanannya tergerus menjadi serpihan entah. Oh, ia menginginkan Raphael dengan intensitas mematikan. Ia menginginkan Raphael beratus-ratus hari setelah pria itu meninggalkannya ke Albatross. Dan ia mampu merasakan hawa panas tubuh pria itu di sepanjang punggungnya. Pria itu juga menginginkannya. Pria itu menginginkan dirinya.

"Putar badanmu dan katakan padaku, kalau kau tidak menginginkanku," ujar Raphael.

Esther berbalik, masih memejamkan mata untuk menghalau pesonanya. Apabila ia membuka mata—sekadar mengintip saja, Esther tahu ia akan melihat sosok yang hatinya cinta sebagian besar hidupnya. Tetapi, Esther lelah merasa terluka dan Raphael tidak perlu mengerti cacat pada dirinya. Sehingga, kedua tangannya menyentuh bidang dada pria itu, menciptakan jarak di antara mereka.

"Aku tidak menginginkanmu."

"Kau bukan pembual yang baik, Esther."

"Kau hanya menyudutkanku untuk menyatakan sebaliknya."

Raphael mengangkat dagunya, tangan yang hati-hati. Pria itu berniat mendapatkan hatinya kembali. Namun, sedikit pria itu ketahui, bahwa hatinya sudah menyerpih ke antah berantah. "Biarkan aku membuktikannya padamu."

"Menyerahlah, Raphael," mohon Esther. "Menyerahlah."

"Jangan—" Raphael memejamkan matanya, tangan pria itu meraih wajahnya. Ia mempertemukan dahinya dengan milik Esther.  "Jangan memintaku untuk menyerah ketika—satu-satunya yang akan aku lakukan adalah berjuang mendapatkanmu."

"Tidak ada gunanya berjuang." Esther menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang dapat kau lakukan untuk memperbaiki hubungan ini." Memperbaiki diriku.

"Aku akan tunjukkan padamu mengapa aku masih memperjuangkanmu. Mengapa aku percaya pada kemungkinan kecil itu."

"Tunjukkan—"

Kalimatnya lenyap saat bibir Raphael menyapu bibirnya. Seluruh napasnya raib oleh kontak mendadak tersebut. Sebuah ciuman lembut, bibir pria itu menyesap permukaan lembabnya bagai oase di gurun pasir. Menuntaskan dahaganya yang tidak akan pernah terpuaskan dengan seluruh air di semudera. Uluman yang lembut dan perlahan, tapi Esther tahu api yang menggelora di baliknya. Pria itu sedang menanti dirinya—sebab sekujur tubuh Esther beku oleh sentuhan tiba-tiba itu.

Dan, layaknya putri yang baru bangun dari lelap panjangnya, sekujur syaraf Esther bangkit di bawah erangannya. Raphael menggeram sebagai balasan, menangkup kedua pipi Esther untuk memusnahkan jarak yang semula ada. Pria itu menjarah segala sudut bibirnya, dan ke mana pun pria itu mengecupnya, permukaan lembab Esther berubah bengkak dan merah dan merekah.

Lidah Raphael menggelitik bibirnya sebelum menyusup dan menekankan kepemilikannya. Pria itu menyapu rongga mulutnya dengan intensitas yang memabukkan benaknya, membuyarkan aliran darah di pembuluhnya, dan melemahkan tungkai rampingnya. Sehingga, tangan pintar pria itu menelusuri punggungnya, berhenti di satu titik untuk menyangga tegak berdirinya.

Esther melingkarkan lengannya di seputar leher Raphael, tidak menyisakan partikel udara di antara tubuh mereka. Tubuhnya seakan mencair oleh hawa panas yang pria itu kuarkan. Di tempat-tempat di mana dada bidang itu menemui payudaranya, pinggul pria itu mendesaknya, dan paha berotot pria itu menggesek pahanya untuk membuka.

Esther mengerang, melengkungkan punggungnya sementara jari-jarinya menyusuri helai pirang Raphael. Pria itu mengenalinya terlampau baik, meninggalkan bibirnya dan mulai mengukur jenjang leher Esther dengan lidahnya. Kontradiksi itu mengacaukan pemikiran rasional Esther, sebagaimana basah dan hangat itu menyatu, meninggalkan jejak di sepanjang lehernya, lalu berbisik, napasnya menerpa daun telinga Esther.

"Aku menginginkanmu, Esther—dua tahun, aku selalu menginginkanmu," geligi putih Raphael menggesek telinganya, menimbulkan antisipasi yang menggelung layaknya bencana. "Tidakkah kau juga menginginkanku?"

Esther mencengekram kedua bahu Raphael, keras dan kokoh seperti keyakinannya. Namun, yang keluar dari mulutnya bukan jawaban. "Raphael." Suara Esther parau oleh gairah. Hasrat. Keinginan. Kebutuhan.

Dan Raphael mengindahkan cengkeraman Esther pada bahunya, sekalipun pria itu membutuhkannya lebih dari udara, lebih dari apa yang Esther kuasa berikan. Esther bukan lagi perawan, demi dewa-dewi. Ia mampu merasakan panas dan panjang pria itu mendesak pahanya, menekan ambang kehangatannya dari berlapis-lapis pakaian di antara mereka.

Jari Raphael merapikan helai rambut berantakan yang membingkai wajahnya. Penuh kehati-hatian dan pengertian. Bahkan, ketika keputusan Esther menyakitinya—pria itu masih memperlakukannya bagai barang berharga yang tidak pernah retak. Hanya masalah waktu sebelum pria itu mengetahui rahasianya. Maka dari itu, Esther paham bahwa Raphael berhak mendapatkan lebih. Lebih dari yang bisa Esther tawarkan. Kenyataan itu menyayat hatinya. Sebagaimana Esther menginginkannya, namun di waktu yang bersamaan, ia melarang dirinya sendiri untuk bermimpi.

            Sebab, dunia adalah tempat yang jahat bagi mereka yang mempercayai mimpi. Esther tidak ingin membiarkan dirinya terluka lagi oleh buaian indah itu.

            "Itu, Esther, adalah mengapa aku memperjuangkanmu." Raphael menempelkan dahinya pada dahi Esther, berupaya menemukan gadis kecil yang pria itu kenal seumur hidupnya. Tetapi, gadis itu sudah lama meninggal. Gadis itu mati di dalam tubuhnya sendiri. "Kau masih menginginkanku. Hubungan kita tidak hancur seperti yang kau bayangkan."

Raphael meraih sebelah tangannya, mendaratkan kecupan pada tiap-tiap buku jarinya. Memutuskan untuk membuka matanya, Esther menemui biru manik Raphael, begitu mengingatkannya pada masa muda mereka. Kala luka belum membentang di sisi wajah Raphael. Ketika ia belum menyadari bahwa tubuhnya cacat. Masa-masa paling bahagia. Saat di mana masa depan adalah teka-teki penuh warna. Saat di mana mereka mencinta, tanpa rasa takut.

"Kau tidak akan bahagia bersamaku, Raphael," bisik Esther.

"Berikan aku kesempatan untuk memperbaikinya—biarkan aku mencoba," jawab Raphael, selalu sepasti cahaya matahari, segenap bulan purnama. Semua yang terlampau baik jika pria itu menghabiskan seumur hidupnya bersama Esther. "Biarkan aku memutuskan kebahagiaanku."

            Kau hanya akan terluka, batin Esther. Begitu kau mengetahui kebenarannya, Raphael—kau tidak akan lagi menginginkanku. Tapi, Esther diam seribu bahasa. Ia segera meninggalkan Raphael. []

Halo pembacaku semuaaa, bagaimana minggu ini bekerja atau kuliah atau beraktivitas?? :') Semoga kalian semangat terus yaa, lelah sekali sepertinya minggu ini

Semoga kalian suka juga sama chapter ini! Biasanya kalian nungguin yang skinship seperti ini kannnnn HHHHHHH dasar kalian adududuh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top