Sektor Gabungan - Hari Kelima
[Kailani: amelaerliana]
Saat menyeret tongkat besi, Kadensa menoleh ke belakang. Ah, rasanya menyesal juga tidak menyeret Tuan Ikan dan Vii ke ruang berikutnya karena ternyata ruang berikutnya adalah kubah dengan banyak tanah untuk mengubur mayat dan air untuk tempat Tuan Ikan kembali.
Lagi-lagi di atas sana, cahaya muncul sendiri.
Sejauh mata memandang, hanya ada beberapa pohon, tidak selebat dan selimpah ruah Eden, dengan pohon Bidara paling mencolok di tengah-tengah kubah.
Dan, Kadensa melihat satu pintu selain pintu tempatnya berjalan tadi.
Apakah sudah saatnya pesta mencapai klimaksnya?
Ah, sebelum itu.
Izinkan dia berbaring di atas tanah berair, punggungnya masih terasa panas saja.
###
[Mada: Patricia Anggi]
Tanpa Mada sadari, Kadensa sudsh melangkah ke luar. Pemandangan aneh yang dilihatnya tadi ternyata adalah tempat yang dikelilingi pohon cemara, sedangkan di tengah ada danau dengan air yang bening. Rasa haus mengaliri tenggorokannya.
Aman kah jika diminum?
Mada tak tahu, ia mendekati danau itu dan melihat di tengah-tengah danau terdapat sebuah pohon. Ia tak tahu nama pohon itu. Duh, apa sih yang diketahui oleh Mada? Tak ada. Ia merasa suntikan itu salah memilih. Ia tak akan banyak berguna untuk yang lain.
Dilihatnya Kadensa sudah berbaring di atas tanah berair. Tentu saja dia lelah. Mada juga lelah. Ah ... ia juga ingin berbaring juga. Selagi kami istirahat, tidak akan ada singa lagi yang muncul di pohon seberang sana, kan?
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai berjalan dengan langkah terseok. Dia berusaha tidak menoleh ke belakang, khawatir air matanya akan jatuh jika melihat tubuh Thomas yang sudah membeku. Sekarang, bukan saatnya menangis.
Pintu yang baru terbuka membawa mereka ke sebuah hutan. Kai mengenali beberapa tanaman yang bisa dikonsumsi tumbuh subur di sela-sela pohon cemara yang tinggi menjulang. Terdapat sebuah danau jernih tepat di tengah, berkali lipat luasnya dari kolam di eden.
Kai membawa tubuh Cherry ke bagian hutan yang cukup lapang. Tanahnya lebih gembur dan mudah digali. Selain itu, banyak bunga-bunga liar yang tumbuh di sana. Kai harap bunga-bunga itu dapat menghibur Cherry agar tidak kesepian.
Dengan sangat hati-hati, Kai merebahkan tubuh Cherry. Sekarang, saatnya menggali.
###
[Nala: Boiwhodreams_]
Eden 2, mungkin begitu aku akan menyebut ruangan ini. Tidak sampai aku mengedarkan pandanganku dan menemukan hal lain saat sampai di depan pohon bidara di pulau kecil yang ada di tengah danau.
Ada dua pintu, salah satunya adalah pintu tempat kami masuk, lalu ada sebuah lukisan, dan paling atas dari benda-benda itu, ada tulisan yang berbunyi: AXIS MUNDI.
Baiklah, kurasa ini adalah Axis Mundi.
Aku menoleh, lalu menemukan seorang lelaki sedang menggali tanah, di sebelahnya tergeletak sebuah tubuh yang terbujur kaku.
"Menurutmu, kita sangat tidak sopan karena tidak mengubur teman kita sendiri? Atau kita perlu curiga pada lelaki itu?" tanyaku sambil menekankan kata "teman" di sana.
###
[Mada: Patricia Anggi]
Mada bangkit terduduk mendengar suara Nala. Benar. Ada seorang lelaki yang sedang membawa tubuh seorang wanita.
"Jangan-jangan, lelaki itu membunuhnya?"
Entah apa yang membuat Nala yakin jika lelaki itu sedang mengubur temannya.
"Sepertinya kita harus waspada."
###
[Rin: rafpieces]
Taman lain. Rin mengedarkan pandangannya. Danau besar dengan pulau di tengahnya dengan sebuah pohon tumbuh. Beberapa pohon cemara mengelilingi danau itu. Tidak jauh dari mereka ada orang lain.
Selama ini kita tidak sendiri?
Namun, Rin tidak menghiraukan mereka dulu. Prioritas utama mereka adalah pemakaman Cherry. Dengan cepat, gadis itu mengeluarkan pisau lantas membantu Kai menggali tanah.
"Kita harus cepat. Ada lebih banyak orang di sini. Siapa tahu mereka berbahaya atau tidak," bisiknya.
###
[Mada: Patricia Anggi]
Sudah beberapa menit berlalu. Pandangan Mada masih waspada terhadap orang-orang asing di seberang sana. Rupanya tak hanya lelaki asing yang membawa mayat saja. Ada orang lain lagi.
Ada berapa orang mereka?
Mada masih bertanya-tanya siapakah mereka. Teman atau lawan? Lalu, kenapa Mada tidak mencari tahu saja?
Ia penasaran. Apakah memang dirinya punya rasa penasaran tinggi? Ah ... andai saja dia ingat. Atau jangan-jangan, salah seorang di antara mereka bernama Adam?
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai menoleh ke arah yang ditunjuk Rin sambil memicingkan mata. Rin benar, ada dua orang selain mereka, ah tidak, tiga orang. Samar-samar dia melihat ada satu gadis yang tengah berbaring. Tampaknya, ketiga orang itu juga terluka seperti mereka.
"Sepertinya, bukan hanya kita yang baru saja lolos dari maut," gumam Kai sambil menepuk-nepuk tanah. Dia baru saja memindahkan rumpun bunga bakung gunung ke sekeliling makam. Bunga-bunga mungil berwarna putih itu benar-benar cocok dengan Cherry.
###
[Weiss: Graizonuru]
Tempat baru, mirip taman Eden pertama. Namun lebih sunyi. Sekarang bukan waktunya untuk melihat-lihat. Ia ingin fokus ke Cherry dulu.
Dia ikut membantu menggali tanah yang di pilih Kai dengan pisau lainnya.
Di tengah penggaliannya, dia baru sadar mereka tak hanya bertiga. Ada orang lain lagi. Satu...eh tiga orang tengah mengamati mereka. Mereka siapa? Yang punya permainan ini? Tapi orang-orang itu tampak sama kucelnya dengan mereka.
"Survivor lain?" Gumamnya masih lanjut menggali.
###
[Mada: Patricia Anggi]
Mada masih bertanya-tanya.
Kalau orang jahat, apa mungkin mereka tetap dengan tenang mengubur seseorang meskipun ada orang asing yang mereka lihat. Apakah survivor lain seperti dirinya?
###
[Kadensa: frixasga]
Lho? Ramai sekali.
Jadi memang benar ada pihak lain selain mereka berlima - yah, bertiga sekarang. Tiga dan tiga. Enam orang. Tiga pasang. Seperti sesuatu yang telah direncanakan.
"Ah, tidak masalah kok. Kita bisa saja dianggap tidak etis atau mungkin mereka akan mengira kita tidak bawa orang lain lagi." ucap Kadensa menanggapi pertanyaan Nala.
"Permisi!" ucapnya lebih lantang pada mereka yang baru saja mereka lihat. Oasis? Entahlah. "Saya Kadensa, kami dari Eden sebelah!"
###
[Rin: rafpieces]
Mendapat teguran dari orang lain yang baru dilihatnya, Rin bangkit berdiri. Diletakannya pisau di depan wajah seraya mengambil sikap siaga, melindungi Kai dan Weiss.
Eden sebelah katanya?
Gadis itu memicing. Tidak langsung percaya. "Apa buktinya?"
###
[Kadensa: frixasga]
Oh tentu saja orang sebelah akan skeptis, mereka pasti baru melewati ronde pembunuhan sama seperti mereka.
Dan, ah, tampaknya mereka mengubur teman mereka, ya?
"Saya tidak punya bukti selain pakaian kami yang compang-camping," ucapnya pada gadis galak itu - Nona Galak? Nona Galak. "Nona Galak, kami bukan singa yang tiba-tiba muncul dari pohon kurma, kami datang melalui pintu."
###
[Mada: Patricia Anggi]
Mada tertawa kecil mendengar kelakar Kadensa. "Reaksi yang bagus untuk wanita galak itu," bisiknya.
###
[Kailani: amelaerliana]
Tawa Kai nyaris pecah saat mendengar gadis itu menyebut Rin sebagai Nona Galak. Untung saja dia bisa menahan diri, kalau tidak, pisau Rin mungkin akan bersarang di lehernya. Meski aliansi mereka makin kuat setelah apa yang terjadi, itu tidak menjamin Rin akan memaafkannya dengan mudah.
"Apakah kalian memang bertiga sejak awal?" tanya Kai kepada kedua gadis itu.
Kai mengamati 'teman-teman' barunya. Hanya ada dua gadis dan seorang bocah remaja. Dari segi kekuatan, tampaknya Weiss pun dapat membekuk mereka dengan mudah. Meski begitu, dia merasa, si gadis mungil berambut pink perlu diwaspadai.
Siapa pun yang dapat bersikap tenang saat berhadapan dengan Rin, perlu diwaspadai.
###
[Weiss: Graizonuru]
Eden sebelah? Berarti ada ruangan lain selain tempat awal mereka?
Weiss baru saja selesai mendoakan Cherry. Akhirnya ia bisa melihat dengan detail siapa-siapa saja orang baru itu. Satu anak kecil dua perempuan dewasa? Kebalikan dari mereka.
"Eden sebelah ketemu singa juga? Kalau begitu apa berurusan dengan asap juga?"
###
[Mada: Patricia Anggi]
Seorang lelaki kini yang menjawab Kadensa. Apakah ia akan jujur saja? Ah ... Kadensa malah sudah menyebutkan nama. Sepertinya, mereka sama-sama survivor di tempat asing ini.
"Kami kehilangan teman kami juga. Awalnya berlima," ujarnya pada lelaki itu. Mada menebak mungkin lelaki itu berumur dua puluh tahunan ke atas.
Lelaki yang lain bertanya lagi. "Apakah kalian juga? Yah ... singa itu memang menjengkelkan dan jelek. Tapi, kami tak tahu menahu tentang asap," ujar Mada.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai menepuk-nepuk tangannya, lalu mengelapnya ke celana. Toh, celananya sudah kotor penuh lumpur dan darah chimera.
"Kalian bisa memanggilku, Kai," katanya sambil berjalan ke arah Kadensa. "Dan kalau kau masih ingin hidup, kusarankan tidak memanggilnya sebagai Nona Galak."
Kai berjongkok di sebelah Kadensa dan melihat luka bakar di punggung gadis itu. Tampaknya, mereka sudah berusaha mengobatinya dengan membalurkan kunyit.
"Biar kucarikan obat dan makanan untukmu."
Tentu saja Kai belum dapat mempercayai ketiga orang yang baru ditemuinya itu.
Keep your friends close, and your enemies closer.
Sejak terbangun di tempat asing ini, prinsip itulah yang selalu Kai pegang.
"Tolong awasi mereka dulu, Rin," bisik Kai pada gadis berambut hitam yang telah menyelamatkan nyawanya itu. "Aku akan berkeliling dulu."
###
[Weiss: Graizonuru]
"Mau kubantu?" Tawarnya ke Kai. Hei dia tak pengen jadi beban lagi soalnya.
###
[Kailani: amelaerliana]
"Kau bisa membuat api?"
###
[Weiss: Graizonuru]
"Api ya...aku pernah baca caranya di buku sebelumnya. Kurasa bisa" katanya mengangguk.
"Aku akan cari kayu kalau begitu" katanya kalem.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai menepuk pundak Weiss. "Kalau begitu, urusan api aku serahkan padamu. Kalau kau menemukan umbi-umbian yang bisa dimakan, mungkin kau bisa sekalian memanggangnya. Kita perlu mengisi ulang energi."
###
[Weiss: Graizonuru]
"Baiklah"
Dia pun pergi mencari ranting dan beberapa daun kering. Sekalian mencari buah atau umbi yang bisa dimakan. Tak lama kemudian kuali yang dia bawa pun sudah penuh dengan beberapa ubi. Sebelah tangannya juga sudah penuh dengan kayu kering.
Lalu ia mulai menyiapkan api dengan membuat serbuk kayu dan menggosokkan kedua batu. Api pun tercipta.
"Ah andai ada garam dan minyak disini pasti lebih bagus" katanya agak sedih ditengah kegiatannya menusuk ubi dengan kayu untuk dipanggang. Tahu begini harusnya di cafetaria tadi dia bawa garam.
"Hei kalian yang disana hangatkan diri sini. Ruangan ini agak dingin kan?" Katanya mengajak para perempuan yang diharem bocil disana (tak rela Nala dapat harem).
###
[Rin: rafpieces]
Mata Rin berkedut. _Nona Galak, dia bilang?!_ Dia harus diberi pelajaran tentang sopan santun, tapi tidak sekarang.
"Apa kalian terbangun juga dalam keadaan hilang ingatan?"
###
[Mada: Patricia Anggi]
"Kurasa begitu."
###
[Rin: rafpieces]
Weiss sudah tidak waras, itu pikiran yang pertama kali terbersit. Belum satu jam mereka bertemu, tapi sudah mengajak mereka duduk bersama?!
"Kita harus hati-hati. Kita tidak tau siapa mereka yang sebenarnya."
###
[Weiss: Graizonuru]
"Aku tahu aku tahu..." Katanya malah asik mengipasi ubi dengan daun lebar. Lalu mengambil satu yang terlihat sudah matang.
"Minimal kau dulu deh. Makan dulu. Perutmu bunyi" katanya menyodorkan ubi bakarnya ke Rin. Lalu memasang senyum pada yang lain.
Rin jangan tumbang duluan, dia frontliner mereka soalnya. Meskipun itu terdengar jahat sih menjadikan perempuan sebagai tameng.
###
[Kadensa: frixasga]
Wah, manis sekali. Dipanggil galak langsung menyalak, tidak ada bedanya dengan Tuan Sinis. Senyum Kadensa menyeringai.
Sayang, sudah tidak ada Tuan Ikan berselera humor bagus yang mungkin akan tertawa di saat seperti ini.
"Hilang ingatan? Mungkin. Atau bisa saja kita tidak pernah punya ingatan sebelumnya." Kadensa menjawab tenang, tidak perduli akan sorot tajam Rin yang menusuk. "Nona Galak lebih baik tersenyum sedikit, atau, oh, sesuai kata-kata Tuan Lembut, apa saya akan dibunuh?"
Sementara, Tuan Lembut mau mencarikan obat dan makanan. Dia dan Nona satunya sudah berkelana melihat-lihat sekeliling.
Mungkin ia bisa melihat-lihat juga sambil berusaha menangkap ikan. Toh dia punya tongkat dari Tuan Ikan. Semoga setara triden Poseidon.
"Saya ke arah pohon bidara itu, ya. Tenang saja, saya akan mengambilkan ikan dan bumbu-bumbu kalau kalian mau." ia menoleh ke arah Mada.
"Mungkin lebih baik Nona Rambut Coklat bersama mereka saja." Kadensa menunjuk Weiss dan Rin.
Ia mengedip dan pergi.
###
[Rin: rafpieces]
Menuruti kemauan Weiss untuk makan, Rin ikut saja. Bagaimanapun, ia butuh tenaga sebelum harus melenyapkan yang lain.
"Berikan," pintanya pada Weiss. Dilahapnya ubi yang masih panas itu sambil terus memperhatikan gadis yang berjalan pergi.
###
[Mada: Patricia Anggi]
Ah mulai lagi si Kadensa. Apa tidak keterlaluan sikapnya kepada orang-orang itu? Mada bangkit, aroma ubi bakar menelusuk indera penciuman.
Samar-samar, ia ingat pernah mencium aroma seperti ini, tapi di mana?
Ia berjalan menghampiri kelompok seberang yang pesta ubi. Perutnya juga lapar. Lebih baik ia berbaur. Nanti saja berkelilingnya.
"Apakah aku boleh bergabung?" tanyanya pada Weiss dan kawan-kawan.
###
[Nala: Boiwhodreams_]
"Orang-orang itu berkumpul tanpa rasa waspada, bukan begitu?" Aku menoleh ke Kak Kadensa yang juga memandangi Nona Rambut Cokelat—aduh, panjang sekali, bagiamana kalau kupanggil Kakak Tembaga saja?—yang berjalan menuju kelompok lain.
"Kakak tidak mau bergabung? Tidak lapar?" tanyaku sambil menerawang jauh ke lukisan AXIS MUNDI.
###
[Weiss: Graizonuru]
"Hum tentu. Toh kalian tak jauh beda dengan kami kurasa" katanya angkat bahu. Memberikan ubi pada gadis berambut coklat.
Weiss sebenarnya walau terlihat tidak waspada sama sekali, namun daritadi dia sedang membaca setiap orang baru ini. Rasanya sudah seperti kebiasaannya melakukan hal itu. Sama seperti sebelumnya.
Melihat anak kecil yang ikut berbaur dengan mereka tengah mengamati sesuatu, dia pun ikut melihat arah matanya. Sebuah lukisan lagi. Ia mencoba memikirkan kali ini berkaitan dengan kisah apa lagi lukisan di sana.
"..."
Dia hanya menyantap ubi jatahnya memikirkan kemungkinan terburuk yang akan datang.
Anak adam, bahtera nuh, axis mundi...
###
[Kadensa: frixasga]
Mereka sudah berkumpul, seperti orang-orang piknik mengelilingi api unggun.
Ubi ya, sepertinya enak, tapi ia sudah terlanjur berjalan karena penasaran.
"Sisakan satu ubi saja untukku, Tuan Sinis." ucapnya, tidak menoleh.
Air di sekitar danau itu cukup dangkal, tapi kakinya yang pendek harus bekerja ekstra untuk menembus lumpur menuju pohon bidara.
Lukisan itu terlihat lebih dekat sekarang, walau tidak terlalu jelas. Lebih kentara tulisan 'Axis Mundi' di atasnya ketimbang ilustrasi manusia tenggelam di sana.
Mungkin sejarah manusia menurutnya kurang menarik ketimbang obat-obatan, daun-daun herbal, dan nasib mencit dalam dosis obat.
Hampir lupa ia mencari ikan ketika melihat enam vial yang terbungkus kain hijau tergeletak di sebelah pohon. Kadensa tertegun.
Enam vial berisi cairan bening yang sama, tidak kekurangan jumlah, pas untuk mereka semua.
Kadensa mengantongi satu, tidak ada keinginan di benaknya untuk meminum isinya.
Sebaiknya ia melapor kembali setelah membawa paling sedikit tiga ikan besar dan biji lada.
Dan tentu saja bubuk daun bidara untuk mengobati luka.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai telah mengelilingi tempat itu. Sungguh tempat yang aneh. Tanaman yang tumbuh di sana tidak terbatas ke satu iklim tertentu. Dia juga menemukan beberapa buah-buahan tropis di salah satu sudut hutan, tersembunyi di balik pohon-pohon pinus yang tumbuh lebat.
"Aku menemukan lidah buaya di sudut sana," kata Kai pada gadis yang tengah berusaha menangkap ikan di danau. "Itu bagus untuk luka bakar, kan?"
Kepala Kai tengadah.
Diperhatikannya pohon besar yang seolah menjadi pusat semesta tempat itu. "Oh, ini pohon bidara. Kalau tidak salah daunnya juga bagus untuk mengeringkan luka." Pemuda itu memperhatikan Kadensa. "Bukankah seharusnya kau menjaga lukamu tetap kering? Biar aku saja yang menangkap ikannya."
###
[Rin: rafpieces]
Setelah makan ubi dan perutnya kenyang--ditambah bibir yang panas karena tidak sabar memasukkan ubi yang masih mengepul--Rin bergegas ke arah danau untuk membersihkan diri dari tanah, darah, dan kotoran--dan mengobati mulutnya yang terbakar.
Jernih, adalah satu kata yang dapat ia berikan untuk air itu. Dapat ia lihat pantulannya yang beriak karena sesuatu bergerak dalam danau. Gadis itu melihat arah gerakan yang ternyata bersumber dari perempuan berambut merah muda. Siapa tadi namanya? Kadensa kalau tidak salah.
Di sisi danau, terdapat pohon besar, bidara. Seperti pohon itu adalah pusat tempat ini. Rin cepat mengedarkan pandang karena teringat sesuatu. Di tempat sebelumnya, ada tulisan EDEN terpampang. Kalau sekarang ... AXIS MUNDI.
Pusat Dunia.
Ia memandang sekeliling lagi. Kalau sebelumnya ada lukisan, mengkinkah ... ada. Tapi, gambar itu tidak jelas. Ia harus menyelidiki tempat itu lebih jauh. Sebelum itu, ia harus mendinginkan bibir yang masih terbakar atau nanti bisa melepuh.
###
[Kadensa: frixasga]
Ia menusuk beberapa kali, bagaimana pun caranya yang penting batang besi itu menembus tubuh ikan. Pada akhirnya, ia cuma dapat dua ikan besar. Ah sudahlah, capek juga mencoba sesuatu yang tidak biasa dilakukannya.
Kini, yang mendekati Kadensa adalah Kai - si Tuan Lembut yang tadi mengajak semua dari kubu sebelah untuk mengisi perut.
Tampaknya, Tuan Lembut juga tahu beberapa fungsi tanaman obat, tapi Kadensa sangsi dengan asal-usulnya.
Kadensa sekedar mengangguk, mengiyakan. "Anda baik sekali, Tuan Lembut. Akan saya ambil lidah buaya itu nanti dan saya serahkan soal menangkap ikan pada anda."
Ia membawa dua ikan, hampir terlupa soal vial.
"Di dekat pohon bidara itu ada vial-vial yang terbungkus kain hijau, mungkin kalian juga mau mengambilnya."
Kadensa lalu kembali ke arah api unggun untuk menyerahkan ikan.
###
[Mada: Patricia Anggi]
Sambil menikmati ubi, mata Mada menyapu sekitar. Ia melihat pintu tempat mereka keluar, di tengah-tengahnya terdapat lukisan berwarna yang tak begitu kelihatan detailnya dari jauh. Namun, ia masih bisa membaca tulisan di atas lukisan itu. Axis Mundi. Poros Dunia, tempat surga bertemu dengan bumi.
Wah, darimana dia tahu artinya? Mungkin itulah pengetahuan kecil sebelum dia lupa siapa dirinya. Ia mengucapkan terimakasih kepada Weiss dan mendekati lukisan yang dilihatnya tadi. Ia mengamati dengan seksama.
Aku tahu lukisan ini. Tentang peristiwa sungai merah, sungai yang terbelah ketika bangsa Israel menyeberang dipimpin oleh Musa. Pasukan Mesir kalah digelung ombak.
Namun, ia tak dapat jawaban kenapa lukisan itu ada di tempat itu. Ia menengadah, melihat tulisan Axis Mundi. Poros dunia? Poros?
Ia menoleh cepat ke arah pohon di tengah danau. Mungkinkah poros yang dimaksud adalah pohon itu?
Tanpa babibu, Mada akhirnya menuju ke danau, berniat ke pohon itu.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai tidak menyangka dengan tubuh mungilnya itu, Kadensa dapat menangkap dua ikan yang cukup besar. Pemuda itu menangkap dua ekor ikan lagi. Dia rasa sudah cukup, tadi dia juga sempat memetik beberapa buah-buahan sembari berkeliling hutan. Kai juga mengambil beberapa akar tua dan juga dahan yang dia rasa cukup kuat. Siapa tahu Rin ingin membuat tombak sebagai senjata.
Didorong rasa penasarannya, Kai menyeberang ke pulau yang terapung di danau. Benar kata gadis berambut merah jambu itu, ada tabung-tabung vial tergeletak di bawah pohon bidara. Terdapat cairan bening berkilauan di dalamnya.
Apakah ini semacam eliksir? Kai bertanya-tanya. Dia memasukkan semua tabung yang tersisa ke kantung celananya.
Kai berpapasan dengan Rin saat hendak kembali ke daratan utama.
"Aku menemukan lidah buaya. Untuk gatal-gatalmu." katanya sembari tersenyum pada Rin. "Juga sesuatu yang sangat menarik di sana," sambung Kai sambil mengedikkan kepala ke arah pulau.
###
[Rin: rafpieces]
Selesai membasuh wajahnya dan mendinginkan mulut, Rin melihat ke arah pulau. Mungkin ia harus ke sana untuk penyelidikan. Namun, Kai baru saja kembali dari sana dengan sesuatu di tangannya. Dia menawarkan lidah buaya.
"Terima kasih. Semoga saja ini bisa membantu," jawabnya datar, kontra dengan hatinya yang terpesona dengan senyuman Kai. Mungkinkan ia dapat melihat senyuman itu lagi? Ah, ini bukan saatnya. Rin menggeleng sembari menerima lidah buaya lantas memakainya untuk meredakan gatal.
"Kau menemukan sesuatu di sana?" tanya Rin mengalihkan perhatiannya.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai mengeluarkan salah satu tabung dari sakunya. "Ada lima. Kalau gadis itu sudah mengambil satu, artinya pas ada enam," ujarnya sembari melirik ke arah Kadensa.
###
[Weiss: Graizonuru]
"Selamat datang kembali" katanya menerima ikan-ikan baik dari gadis merah jambu ataupun Kai. Lanjut membersihkan ikan tersebut dan membakarnya setelah sedikit membumbuinya dengan biji lada.
"Itu apa?" Tanyanya penasaran. Hanya bisa bertanya karena tugasnya belum selesai. Kayaknya hanya dia kan tukang masak sekarang?
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu. Tadi gadis berambut pink itu yang menunjukkannya padaku. Jadi, kurasa percuma juga kalau menyembunyikan ini dari mereka. Mungkin, dia sudah memberi tahu teman-temannya."
Lelaki itu menoleh pada Rin dan Weiss secara bergantian. "Aku tahu kita belum bisa mempercayai mereka sepenuhnya, tetapi kurasa lebih baik kita pura-pura bekerja sama dengan mereka. Mungkin kita bisa membuat salah satu dari mereka meminum cairan ini, untuk menguji apakah ini obat atau racun," usul Kai.
###
[Rin: rafpieces]
Rin yang kembali dari danau duduk di sebelah Kai. Mendengar pernyataan pemuda itu, nalarnya menolak.
"Setelah semua yang kita lalui, dan kau masih beranggapan kita harus meminum cairan aneh yang diberikan oleh orang-orang yang membangun fasilitas ini?! Obat atau racun, tidak ada yang tahu!" sentak Rin. Tidak ada petunjuk tentang itu. Gambar di dinding pun ia tidak tahu apa maksudnya. Dua kubu, yang satu selamat, yang satu tenggelam. Apa artinya?
###
[Kailani: amelaerliana]
"Itulah kenapa aku bilang, kita coba bujuk salah satu dari mereka untuk meminumnya, Nona Rin." Kai tersenyum untuk menenangkan Rin. "Walau aku sama bencinya kepada orang-orang jahat itu, sepertimu, harus kita akui, masker gas yang mereka sediakan telah menyelamatkan kita."
Wajah Kai mendadak murung. Teringat pada Thomas dan Cherry yang harus kehilangan nyawa karena mereka ... bukan, karena permainan orang-orang yang menempatkan mereka di tempat ini. "Kita coba serahkan dua tabung kepada mereka, sedangkan yang tiga kita simpan dulu. Kita amati dulu keadaan sebelum memutuskan apakah akan meminumnya atau tidak."
"Bagaimana menurutmu, Weiss?"
###
[Weiss: Graizonuru]
"Aku setuju saja. Sudah cukup dari kita kurasa" katanya pelan.
"Lalu bagaimana membujuk mereka untuk mencobanya? Kuperhatikan si gadis merah jambu cukup menyulitkan untuk dirayu. Si bocah agak sulit diprediksi. Si coklat mungkin agak bisa dibujuk? Entahlah" katanya menerima vial ditangan Kai
Walau sebenarnya ini cukup salah mencari tumbal untuk vial ini. Tapi mereka juga tak punya cara lain untuk mencaritahu benda apa itu sebenarnya.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai menyerahkan masing-masing satu tabung kepada Rin dan Weiss. "Kita coba lihat reaksi mereka dulu," katanya sambil mengeluarkan dua tabung lagi untuk diserahkan pada si bocah remaja dan gadis berambut cokelat nawala.
###
[Rin: rafpieces]
Senyum Kai memudar. Masker yang menyelamatkan kita katanya. Ingin rasanya ia mengutuk siapa pun yang telah menjebaknya di sini. Apakah satu-satunya cara hanya dengan mengikuti arus permainan mereka? Menolak artinya mati. Itu hal yang ia pelajari selama di sini.
Dengan enggan, ia menerima vial dari Kai, tidak tahu harus diapakan.
###
[Nala: Boiwhodreams_]
Sambil membolak-balikkan ubi (tambah satu untuk Kak Kadensa yang seenaknya titip), aku mengernyit dari kejauhan melihat sekelompok orang yang mencurigakan itu terasa mendiskusikan sesuatu. Si Kakak Tembaga dan Kakak rambut merah muda juga masih ada di sana, sepertinya mereka semua terlihat sedang berbicara dengan berfokus pada suatu benda.
Penasaran sih, sayangnya, perutku sudah berbunyi.
"Segini cukup deh." Kemudian aku melahap ubinya.
###
[Kadensa: frixasga]
Kadensa mengulum senyum, kembali dengan dua ikan di tangan yang ia pasrahkan ke tukang masak dan mengambil ubi yang dimasak oleh Nala. Ada kasak-kusuk tidak nyaman dapat terdengar tidak jauh dari mereka, senyumnya hanya meruncing.
"Tuan Sinis, tadi di pohon itu ada enam vial. Tuan Lembut di sana mengambil sisanya, anda bisa ambil dari dia." ucapnya, menunjuk Kai. "Ah, Nona Rambut Coklat, tidak perlu ke pohon itu lagi, ambil dulu vial dari Tuan Lembut, sebelum mereka mengambil semua vial itu."
Kondisi saat ini berbeda ketika mereka ada di gas chamber dalam pintu Cain. Isi cairan bening di vial itu bisa memiliki dua arti.
Kadensa rasa, kubu sebelah pasti akan berusaha untuk siapa pun meminumnya duluan karena mereka takut mati.
Tapi, tidak baik menunjuk kepala. Lebih baik ia menunggu.
Perlawanan bisa dikeluarkan di waktu yang tepat kalau diperlukan.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai berjalan ke arah api unggun. Dilemparkannya dua tabung ke arah si bocah lelaki. "Ini untukmu dan nona rambut cokelat." Kai kemudian menoleh kepada Kadensa. "Kau sudah mengambil satu, kan, Nona Kadensa?"
Sekilas dia dapat mendengar percakapan antara Kadensa dan bocah yang entah siapa namanya itu. Tebakan Weiss benar, gadis berambut merah jambu itu tidak mudah dikelabui.
###
[Nala: Boiwhodreams_]
Aku menerima vial yang dilempar dengan satu tangkapan emas.
Di telapak tanganku, vial dengan cairan bening itu sangat mencurigakan. Yah, setidaknya aku tidak perlu repot-repot berjalan saat aku baru saja makan, apakah vial ini berbahaya atau tidak, kita pastikan nanti.
Asal ada masalah, rasanya aku bisa yakin 60% kalau vial ini tidak berbahaya, seperti yang ada di ruangan sebelumnya tadi.
Aku kembali ke ubiku yang baru setengah kumakan. Damai sekali tempat ini, ya.
Mengerikan.
###
[Kailani: amelaerliana]
Semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing, begitu juga dengan Kai. Dia melempar-lempar vial miliknya di antara kedua tangan. Tabung itu terasa ringan.
Kai tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan tabung misterius itu.
Minum atau tidak?
Sama sekali tidak ada petunjuk apa misi mereka sekarang. Hutan buatan itu juga begitu tenang, tidak ada tanda-tanda akan datang bencana susulan.
Kai menoleh pada Kadensa. "Mungkin ini adalah obat, sebagai hadiah karena kita telah berhasil keluar dari ruang terkutuk itu. Kenapa kamu tidak coba meminumnya Nona Kadensa? Siapa tahu luka-lukamu dapat sembuh seketika."
Amarah Kai terbit saat mendengar perkataannya sendiri. Apa katanya barusan? Hadiah? Mereka baru saja membunuh teman-teman mereka. Tidak pantas menerima hadiah.
###
[Kadensa: frixasga]
Vial ada di kantungnya, terasa seperti bergerak setelah mendengar kata-kata dari Tuan Lembut, yang ternyata mungkin tidak selembut bagaimana ia terlihat.
Kalimat itu hadir bagai tantangan, tapi bagi Kadensa cara menyuarakannya terdengar naif.
Tapi, bagaimana kalau sedikit bermain-main agar dia menelan kata-katanya sendiri?
"Tawaran yang sangat indah, Tuan Lembut," balasnya ringan. "Tapi saya rasa bila sudah ada obat yang mampu menumpas segala rasa sakit, manusia sudah tidak perlu takut mati, bukan?"
Vial itu dikeluarkannya dari kantung, ibu jarinya bermain di tutupnya.
"Bagaimana kalau anda mencoba sendiri lebih dulu untuk tahu efeknya? Kepercayaan akan kesembuhan adalah plasebo terindah."
Ah, sebentar lagi teman-teman Tuan Lembut mungkin akan menghardiknya. Mungkin.
###
[Kailani: amelaerliana]
Jujur saja, sebenarnya sejak tadi pemuda itu memang penasaran ingin mencoba isi tabung di tangannya. Namun, dia belum sepenuhnya yakin.
"Aku sedang memikirkannya, tapi aku tidak tahu apakah aku menginginkannya." Kai melirik Rin. Dia tahu gadis itu pasti akan mengomelinya lagi, tetapi tetap dia lanjutkan perkataannya. "Aku masih merasa harusnya aku yang mati, bukan gadis yang baru saja kami makamkan, atau pun pria yang terpaksa kami tinggalkan di ruang sebelah."
Mata Kai mulai berkabut. Dia seolah dapat mendengar renyah tawa Thomas dan juga suara lembut Cherry.
"Kurasa kau juga sedikit paham tentang obat-obatan, Nona Kadensa. Kulihat kau merawat luka-lukamu dengan baik. Apa isi tabung ini menurutmu?" Kai mengacungkan tabungnya ke depan. Cairan di dalam tabung berpendar memantulkan berkas cahaya api unggun.
###
[Kadensa: frixasga]
Pertanyaan yang berlangsung sama setelah ia menunjukkan bagian memorinya yang ingat akan obat-obatan. Cairan dalam suntikan tadi, atau isi vial ini.
Vial ini sayangnya tidak berbau. Bisa saja siapa pun yang menitipkannya di sana hanya sekedar melarutkan parasetamol ad 5 mL vial. Atau bisa saja isinya sekedar air.
"Kalau anda ingin mati, ada banyak cara selain menenggak sesuatu yang isinya bahkan belum jelas racun atau bukan," imbuh Kadensa. "Jujur saja, saya tidak tahu apa isi tabung ini."
Tidak berwarna, tidak berbau. Tidak ada petunjuk mengenai isi kandungan kecuali vial ini ada di bawah pohon bidara.
"Bila saya katakan ini racun, apa anda akan segera meminumnya, Tuan Lembut?"
###
[Kailani: amelaerliana]
"Tidak." Kai melempar senyum pada Kadensa. "Aku akan menyimpannya untuk nanti karena aku sudah berjanji pada Rin untuk membantunya keluar dari sini."
###
[Kadensa: frixasga]
Senyum Kadensa melengking sekali lagi, "Begitu ya,"
Ia memutar vial itu di dalam genggaman.
"Andai isi vial ini dapat membantu kalian dan membuat kalian lebih baik, apa anda akan memberikannya pada Rin?"
###
[Kailani: amelaerliana]
"Aku tidak seculas seperti yang kau pikirkan. Tadi, kuambil semua vial dan kubagi pada kalian semua. Dengan satu yang kau ambil, jumlahnya pas enam. Artinya vial itu memang diperuntukkan bagi kita, kan?"
Kai membuka tutup tabung dan coba membaui isinya. Nihil. "Kau sendiri bagaimana Nona? Kenapa kau mengambil vial itu untukmu sendiri? Tidak sekalian untuk teman-temanmu supaya mereka tidak repot menyeberang."
###
[Rin: rafpieces]
Mendengar namanya disebut-sebut, Rin tersadar dari lamunannya. "Benar, kau tidak boleh mati dulu. Bagaimanapun kita harus bisa keluar dari sini hidup-hidup," katanya tegas. Gadis itu masih ragu apa kegunaan vial di tangannya.
Kenapa mereka diberi vial masing-masing satu? Apa maksudnya?
Tidak ada petunjuk mereka harus meminumnya.
Rin melihat ke arah Kadensa. "Sepertinya kau tahu banyak tentang obat-obatan, apa yang kau bisa perkirakan tentang isi benda ini?"
###
[Kadensa: frixasga]
"Anda benar, vial itu diperuntukkan untuk kita berenam. Untung saja tidak ada yang iseng mengambilnya dua," kekehnya. Tidak, ia tidak akan melakukan hal itu, tidak ada gunanya.
"Kalau kamu tidak di sana, Tuan Lembut, mungkin saya akan mengambil semua vialnya untuk dibagikan, itu saja."
Dan, ah, ditanyai lagi soal isi benda ini. Kali ini oleh si Nona Galak.
"Saya sudah bilang saya tidak tahu isinya," Kadensa mengedikkan bahu. "Saya tidak suka mengira-ngira."
###
[Kailani: amelaerliana]
"Berhentilah memanggilku Tuan Lembut. Sudah kubilang kau bisa memanggilku Kai. Percayalah, aku bukan orang yang lembut. Tanyakan saja pada Weiss di sana. Tadi, dengan kejamnya aku memintanya menyerahkan masker gas untuk orang lain." Sorot mata Kai meredup. "Padahal, aku sama sekali tidak berhak menentukan hidup orang lain."
Kai sangat ingin meminta maaf kepada Weiss. Namun, egonya terus menghalangi. Maka, dia putuskan untuk menunjukkan penyesalannya secara tidak langsung.
###
[Rin: rafpieces]
"Kalau begitu, kenapa kau yakin sekali kalau kita harus meminum cairan ini?" tanya Rin lagi.
###
[Kadensa: frixasga]
Nona Galak mulai menggigit.
"Saya tidak menyuruh anda atau Tuan Lembut meminum cairan ini. Saya hanya menyebutkan kemungkinan. Tuan Lembut yang menyuarakan ide untuk saya meminumnya."
###
[Weiss: Graizonuru]
Weiss hanya tertawa pelan saja ditunjuk. Yaah kalau teringat perihal masker sih mereka berdua sama-sama bukan orang baik kan?
Ngomong-ngomong terlalu lama perdebatan soal siapa yang akan meminumnya membuatnya gerah lama-lama.
Apa perlu dia yang minum? Siapa tau lolos dari keracunan lagi part 4?
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai lelah dengan perdebatan mereka yang tidak berujung. Dia pun bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh.
Akan dia minum isi vial itu di tempat tersembunyi, supaya jika dia keracunan, Rin dan Weiss tidak perlu melihatnya tersiksa.
###
[Weiss: Graizonuru]
"..."
Dia menghela nafas panjang hanya memandangi Kai yang perlahan menjauh. Memutuskan untuk mengekorinya.
Kalau mengingat perilakunya waktu di ruangan asap sebelumnya kemungkinan besar...
"Kau berniat meminumnya...kan?"
###
[Kailani: amelaerliana]
"Tidak ada salahnya untuk mencobanya, kan? Kalau dalam tiga puluh menit aku tidak kembali. Katakan pada Rin untuk tidak meminumnya!" pinta Kai sembari tertawa.
Kai berjalan meninggalkan Weiss, tetapi baru beberapa langkah dia berhenti dan menoleh pada pemuda cantik itu. "Weiss. Maafkan aku ... atas kejadian di ruangan sebelah ... Aku sungguh-sungguh menyesal."
###
[Weiss: Graizonuru]
Sudah ia duga. Dasar padahal sebelumnya dia berniat untuk tidak pasrah pada nasib.
"Tak ada yang perlu dimaafkan soal sebelumnya. Yang kau lakukan itu wajar. Aku pun memaksamu kan sebelumnya" dia masih mengekori Kai.
"Daripada kau bagaimana kalau aku saja yang mencobanya. Diantara kita kayaknya Rin paling tak ingin kau yang mencobanya"
Dia membuka tutup vial ditangannya. Menenggaknya duluan.
"Kau balik sana," katanya menepuk pundak Kai. Hanya senyum kalem saja.
Sesungguhnya dia ingin selamat dan tak yakin dengan cairan yang dia minum akan aman apa tidak. Namun karena sedikit ingatan yang ia dapatkan, entah kenapa dia tak sudi ada yang mati lagi di depannya. Terutama anak muda seperti Kai.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai berusaha mencegah Weiss, tapi dia terlambat. Isi tabung yang dipegang Weiss telah kosong.
"Weiss! Kau tidak apa-apa?" Kai panik hingga lupa pada tabungnya sendiri yang jatuh menggelinding entah ke mana.
###
[Weiss: Graizonuru]
Vial ditangannya jatuh. Weiss hanya diam membeku sangat lama. Dengan kedua pelupuk mata tahu-tahu turun hujan.
"..."
Rasanya ada sesuatu yang masuk ke kepalanya bagai air bah. Ingatan yang sedari tadi berkabut rasanya perlahan satu persatu tersusun. Membuatnya pusing.
*Sekaligus membuatnya sedih*
Ia menutup mulutnya. Sedikit mual akibat terlalu banyak yang masuk ke kepalanya.
Lalu ia mengusap kedua matanya hanya mengacungkan jempol. Kepalanya agak sakit untuk bicara sekarang.
###
[Kadensa: frixasga]
"Hoo," Kadensa mengimbuh. "Sepertinya vial itu isinya aman-aman saja. Buktinya teman kalian tidak mati."
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai menoleh ke sumber suara. "Kalau begitu, apa kau berminat untuk meminum milikmu?"
Pemuda itu memasukkan kembali tabung miliknya ke dalam saku. Untung saja ketemu.
###
[Rin: rafpieces]
Rin mendekati Weiss ketika pemuda—mungkin—itu muntah-muntah. Kai di dekatnya tampak sedang menenangkan.
"Kau meminumnya?" tanya Rin kecewa, sekaligus penasaran, "Apa yang kau rasakan?"
Rin melirik sinis pada Kadensa. "Untung tidak mati."
###
[Weiss: Graizonuru]
"Hhh....huff..."
Dia mencoba menenangkan diri. Masih agak sakit kepala karena informasi yang terbuka masih belum semua. Namun perlahan satu persatu terbuka. Mungkin dia akan sakit kepala seharian.
Haruskah ia mengatakan itu obat apa? Mengingat kenangan yang ia dapatkan tidak seperti yang ia harapkan dan ia teringat Cherry dengan ketakutannya ketika ingatannya kembali....
Entah kenapa ia terpikir apa jangan-jangan semua orang disini memiliki kenangan yang buruk. Makanya ingatan mereka dihilangkan.
"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit mual" katanya pelan.
"Kurasa isi vialnya aman. Rasanya isi kepalaku plong sekarang " katanya hanya senyum tipis sedikit berbohong.
Menyembunyikan perasaan sedih yang masih ia rasakan karena ingatan yang mulai ia dapatkan.
###
[Kadensa: frixasga]
Tentu saja, Tuan Lembut dan Nona Galak akan segera menatapnya ketika ia angkat bicara. Ia sekedar tertawa kecil.
"Saya masih tidak tertarik mencoba," pungkasnya. "Kalau mau, kalian saja. Toh kalian juga lebih muda."
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai mengeluarkan vial dari sakunya. Ucapan Kadensa serupa tantangan baginya.
"Baiklah. Tadi, aku memang sudah berniat untuk meminumnya." Tanpa pikir panjang Kai langsung menghabiskan cairan berkilau itu dalam sekali teguk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top