Sektor B - Hari Pertama

[Alex: Catsummoner]

Ruangan yang asing.

Dia menarik napas panjang, aromanya tak menyenangkan, tetapi belum jelas apa yang membuat tidak menyenangkan. Setidaknya garis-garis dan grafik di monitor menunjukkan dia baik-baik saja--mungkin.

Kaki jenjangnya perlahan menjejak lantai yang tak kalah bersihnya dengan dinding dan seprai.

"Satu-dua ... Senam sedikit!"

Putar setiap sendi, bergantian untuk pemanasan.

"Hmm ... Sip!"

Tak ada luka luar. Semua otot dan organ juga berfungsi dengan normal. Kalaupun ternyata dia disekap, setidaknya masih ada badan.

"Kamar mandi di sebelah mana, ya?"

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

Hal pertama yang pemuda itu lihat ketika membuka mata pertama kali, ia berbaring di sebuah ranjang mirip kapsul di ruangan serba putih. Manik mata merahnya mengenjap berkali-kali melihat sekitar dengan perasaan asing.

Segalanya terasa asing baginya. Bahkan dengan pakaian yang ia kenakan sekarang yang tampak seperti pakaian rumah sakit? Namun anehnya disini tidak seperti...rumah sakit?

Yang jelas ada sebuah monitor besar di sebelah kasurnya. Memperlihatkan data yang tak ia mengerti sama sekali.

Kenapa ia bisa berakhir disini?

Anehnya dia tak bisa mengingatnya sama sekali. Dari kenapa ia bisa sampai disini bahkan...

Siapa aku?

Ia tertegun menyadari hal itu. Kebingungan kehilangan arah.

Untuk sekarang ia memutuskan untuk mencaritahu dulu apa yang ada di dalam ruangannya.

Ada sebuah cermin tergantung disalah satu sudut dinding. Dia memutuskan untuk melihatnya.

Di balik cermin ia bisa melihat sesosok pemuda berambut putih dengan manik mata merah. Dia tampak seperti albino dengan raut wajah yang cukup manis? Proporsi tubuhnya tampak kecil.

Namun entah kenapa dari melihat pantulan dirinya di cermin sebuah kata terlintas di namanya.

"Weiss...?"

Entah kenapa sebuah kata itu tak hanya sekedar bermakna putih di benaknya sekarang.

Apa itu namanya? Entahlah, dia tak ingat sama sekali. Tapi mungkin untuk sementara ia akan menganggap itu namanya dulu.

Ia mencari sesuatu di sekitarnya lagi. Ada pintu. Ia mencoba membukanya. Ah tidak terkunci.

Ia pun mencoba mengintip keluar. Tampak sebuah koridor yang cukup panjang entah kemana ujungnya. Ia tak melihat siapapun disana.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Perlahan matanya menelusuri setiap sudut ruangan.

Betul-betul tak ada apapun. Hanya ada dua bentuk persegi yang terlihat seperti pintu. Salah satu mungkin menuju keluar, sementara yang lain bisa jadi toilet atau lemari.

Dia melangkah ke salah satu pintu. Dibuat demikian bagus dan rapi, hingga permukaannya memantulkan bayangan. Nyaris seperti cermin.

Untuk kali pertama sejak membuka mata, dia melihat samar pantulan dirinya. Kulit putih, cukup jangkung, atletis. Rambut pirang gelap, ikal, terurai melewati bahu.

Mata biru cerahnya menatap selama beberapa saat, lalu ....

"Hmm, ganteng!" gumamnya seraya mengusap janggut.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Kelopak mata lelaki itu berkedut beberapa kali, lalu terbuka lebar seketika. Dalam sekali sentak, dia mengurai kabel-kabel yang membelit lengannya. Lampu-lampu di ruangan itu mendadak menyala, menghantarkan cahaya menyilaukan yang membuatnya memicingkan mata. Perlu sekitar satu menit baginya untuk menyesuaikan diri.

Sambil berusaha mengingat apa yang telah terjadi, lelaki itu memijat kepalanya, membuat rambut hitamnya semakin berantakan dan mencuat ke sana kemari. Kepalanya terasa begitu nyeri, seakan habis dihantam godam berkali-kali.

Setelah mengayun-ayunkan tangan dan kakinya untuk memastikan tidak ada yang salah dengan tubuhnya, lelaki itu melompat turun dari tempat tidur. Dia memindai setiap sudut ruangan. Panel-panel kaca yang terpasang di salah satu dinding berhasil menarik perhatiannya.

Ruangan itu tampak asing. Bukan hanya itu, dia pun merasa asing pada pantulan wajah di kaca. Seberapa pun kerasnya mencoba, dia tidak berhasil mengingat apa pun, termasuk namanya.

Saat lelaki itu mengangkat kedua tangannya untuk menyentuh panel kaca, barulah dia menyadari guratan-guratan kasar di lengan kirinya. Bekas luka itu tersebar hampir di sepanjang lengannya dalam berbagai ukuran, simpang siur layaknya coretan iseng anak kecil. Ada yang hanya seruas jari, ada pula yang memanjang hingga sekitar sepuluh sentimeter.

"Apa-apaan semua ini?" Lelaki itu bergumam pelan.

Dia berjalan menuju pintu. Jika dirinya tidak dapat menemukan jawaban di ruangan itu, mungkin dia bisa menemukannya di luar, pikir lelaki itu.

Setelah memencet-mencet tombol yang terpasang di pintu, akhirnya pintu besi itu terbuka juga.

Lelaki itu sedikit merasa lega saat melihat ada orang lain di sana. Meski sosok berambut putih itu juga tampak asing  baginya, paling tidak dia tidak sendirian.

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

Pemuda itu meneguk ludahnya. Akhirnya memilih untuk mencoba keluar. Lagipula tetap berdiam disana takkan memberitahunya apa-apa.

Sebuah pintu di dekat pintu kamarnya terbuka. Tampak sesosok laki-laki berpakaian pasien sama sepertinya keluar dari sana. Tampak seperti sama bingungnya dengan dirinya sekarang.

"Um...halo" katanya mencoba menyapa lelaki itu.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

"Erm ... Ha-lo," jawab lelaki berambut hitam itu dengan ragu-ragu. "Kamu tahu ini di mana?"

Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa pintu tampak berjajar di sepanjang lorong. Bisa jadi, masih ada orang-orang lain di balik pintu-pintu itu.

"Sebenarnya, tempat apa ini?" tanyanya sambil mengacak-acak rambut. Dia masih belum berhasil menyimpulkan apakah sosok di hadapannya adalah lelaki atau perempuan.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Namun rasanya masih ada yang kurang. Dia mematut diri, melihat wujudnya dari berbagai sisi. Reflek tangannya meraih saku celana, ujung jarinya segera menemukan karet rambut.

"Begini lebih pas!" gumamnya puas setelah mengumpulkan dan mengikat rambutnya di tengkuk.

"Nah, sekarang ... bagaimana cara membuka pintu ini?"

Tak ada pegangan. Hanya ada garis-garis timbul yang samar. Mungkin salah satu motif kotak yang ada di situ harus dia tekan. Masalahnya, yang mana dan bagaimana urutannya.

"Asal saja, deh."

Jari panjangnya menyentuh kotak yang paling besar dan terlihat agak berpendar.

PSSSHHHUUU!

Pintu pun bergeser membuka. Sebuah lorong panjang, tak begitu berbeda dengan kamar asing tadi. Dingin, dengan pencahayaan yang tak begitu jelas dari mana asalnya. Apakah sepanjang tepian plafon itu memang lampu semua, dia tak terlalu paham.

Di ujung lorong ada ruang besar dengan tiga pintu ke arah yang berbeda. Satu di antaranya merembes aroma sedap makanan. Tinggal dua. Dia berharap yang dia pilih tidak salah.

Pintu kembali bergeser membuka. Sebuah ruangan putih dan tak kalah canggih dengan ruang kamarnya. Dia perlu cek ulang sekeliling untuk memastikan benar-benar berada di ruangan tujuannya.

"Oh, ada kakus dan peralatan mandi! Untunglah. Aku sudah kuatir tadi."

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

Sesuai dugaannya. Mereka sama clueless sekarang. Pemuda berambut putih itu hanya menggeleng pelan.

"Aku tak tahu" jawabnya.

"Rumah sakit? Aku tak melihatnya seperti itu selain pakaian kita kayak pakaian pasien" ia menjawab pertanyaan kedua.

"Yang kuingat ku hanya bangun tanpa ingat kenapa aku berakhir disini" tutupnya. Masih menatap sekitar kebingungan.

Apa pintu-pintu lain akan terbuka? Ada berapa ruangan di sepanjang koridor ini? Apa ada orang lain selain mereka berdua?

[ ### ] 

[Rin: rafpieces]

Mata gadis itu mengerjap cepat. Iris cokelatnya menatap awas ke sekeliling. Lampu neon putih menyorotnya tajam membuat ia harus melindungi penglihatannya dengan tangan. Dengan cepat ia bangkit, menyadari bahwa dirinya sedang tidak ada di tempat yang seharusnya.

Gadis berambut hitam itu berusaha mengingat apa yang terjadi, tetapi setiap ia menggali ke dasar otaknya, hasilnya nihil. Ia tidak ingat kenapa bisa berakhir di tempat seperti ini.

Setiap ia memandang, hanya putih yang menyambut. Bahkan pakaiannya pun putih.

Tidak banyak barang yang bisa ia temui, setidaknya, sejauh yang bisa dilihatnya. Kasur, nakas, ada beberapa kabinet tak jauh darinya.

Tidak ingin berlama-lama di tempat itu, ia pun berniat pergi. Namun sebelumnya, ia ingin melihat-lihat tempat itu dulu, berharap ada sesuatu yang dapat menjadi petunjuk, kenapa ia ada di sana, apa yang terjadi dan ... siapa dirinya?

Gadis itu menganju, tetapi baju pasien yang serupa tunik sampai mata kaki itu membuatnya sulit untuk bergerak. Dengan kesal, ia merobek bagian samping kanannya sampai batas paha, membuat kulit putihnya terekspos. Senyumnya mengembang ketika pergerakannnya lebih fleksibel seperti yang seharusnya.

Dengan langkah besar, gadis itu menuju ke salah satu tempat kabinet berada. Di atasnya pula terdapat rak-rak yang berisikan obat-obatan biasa; paracetamol, amoxilyn. Untung saja bukan narkoba untuk mencuci otak. Tidak. Ia hilang ingatan. Bisa saja otaknya telah dicuci, didoktrin ... doktrin .... Ada yg familier dengan kata itu. Apa itu berkaitan dengan namanya? Doktrin. Dokter Rin? Tapi, ia tidak yakin ia seorang dokter. Rin. Tidak asing. Mungkinkah?

Mungkin saja, pikirnya.

Rin.

Gadis itu berkeliling, memperhatikan apa saja yang mungkin bisa jadi petunjuk. Cermin tak jauh darinya pun tak luput dari pengawasan. Ia menyentuh cermin itu, memastikan apakah itu cermin dua arah atau bukan. Bagaimana ia tahu? Insting mungkin. Yah, itu bukan masalah besar. Masalahnya sekarang adalah rambutnya berantakan dan tidak nyaman saat bergerak karena menggelitik.

Ia menyusuri rak, berharap ada sesuatu yang dapat dijadikan ikat rambut. Namun, yang ia dapat malah kotak P3K kosong, menyisakan gunting kecil untuk memotong plester. Dengan kecewa, ia mengambilnya, memotong sedikit lengan baju, lantas membuatnya menjadi ikat rambut.

Sekarang, saatnya keluar dari sini.

Gadis itu mengambil kotak P3K kosong, mengisinya dengan obat yang bisa ia temukan, lantas mencari pintu keluar.

Tak disangka, pintu bermodel modern dengan tombol-tombol di sisinya itu macet. Ia mengira akan menemukan pintu otomatis, malah menemui pintu yang tidak mandiri. Dengan kesabaran yang habis, gadis itu menggulung lengan baju kanan yang tidak digunting, menarik tangannnya ke belakang, lalu memukul pintu itu sekuat tenaga.

BAM!

Pintu itu meluncur disertai asap; memperlihatkan lorong panjang.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Dia masih belum memahami bagaimana bisa terbangun di tempat ekstra canggih itu. Namun setidaknya badannya sudah segar setelah mandi. Walau harus berkutat selama beberapa waktu untuk menemukan cara mengeluarkan air dari keran.

"Ada pengatur air panas otomatis, juga pengering rambut! Sungguh menyenangkan."

Perasaannya sedikit ringan, sembari bersiul-siul dia melangkah menuju ruangan yang baunya paling sedap.

Tiba-tiba, salah satu dinding seperti meledak.

Seorang gadis melompat keluar dari pintu.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Laki-laki.

Dia menyimpulkan bahwa rekannya itu seorang laki-laki, meski wajahnya terlihat feminim layaknya seorang gadis muda.

Suasana mendadak terasa canggung karena dia tidak tahu harus merespons apa. Semua itu terasa begitu membingungkan baginya.

Tiba-tiba salah satu pintu terbuka, lalu seseorang yang begitu jangkung keluar sambil bersiul-siul. Tidak lama kemudian, pintu yang lain juga terbuka, kali ini disertai kepulan asap dan suara keras yang mengagetkannya.

Dia pun mulai waswas, jangan-jangan lebih aman baginya jika terus bersembunyi di dalam kamar.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Ketika keluar kamar, gadis itu mendapati tiga orang lainnya tengah berdiri di lorong. Ia lantas mengangkat kedua tangan, membuat kuda-kuda bertahan dengan kotak P3K sebagai tameng.

Ternyata ada orang lain. Bisa saja orang-orang itu adalah yang membawanya kemari. Namun, dengan pakaian yang mereka kenakan, rasanya mustahil. Dengan waspada, gadi itu pun bertanya kepada mereka.

"Siapa kalian? Di mana ini? Kalian tahu sesuatu?"

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

BAM

Sebuah suara keras terdengar disertai asap mengepul dari salah satu pintu mengagetkannya. Di balik asap yang perlahan menghilang tampak sesosok gadis yang tampak penuh persiapan? Namun tetap menyiratkan kalau mereka sepertinya senasib.

Di sisi lain tampak sesosok pria keluar dari pintu yang lain dengan tampak begitu santai. Masih dengan pakaian yang senada.

Menjawab pertanyaan gadis yang...ah roknya sobek itu dia hanya menggeleng sambil menunduk. Jaga pandangan ceritanya.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Sejak bangun, baru kali ini dia bertemu dengan orang lain. Langsung beberapa, pula. Pertama-tama, tentu saja harus memperkenalkan diri, untuk sopan santun.

Namun celaka betul, dia sama sekali tidak bisa mengingat namanya sendiri.

"Um ...," gumamnya canggung.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

"Jangan bilang kalian juga lupa nama kalian sepertiku?" tanya lelaki itu pada kenalan-kenalan barunya.

Dia melirik ke pintu yang masih tertutup rapat. Apakah masih ada orang lain di sana?

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

"Hahaha, iya ... Sepertinya aku juga tidak bisa ingat nama. EH- tidak! Aku ingat satu nama!"

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Gadis yang berhasil menghancurkan pintu dan masih bersikap defensif itu menjawab, "Sayangnya, ya .... Kuasumsikan kalian juga korban sepertiku. Jadi, beri tahu apa pun yang kalian tahu tentang tempat ini."

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

"Korban?"

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

"Korban?"

Ikut membeo dia.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

"Kalau melihat kotak P3K di tanganmu, juga kabel-kabel yang sepertinya digunakan untuk memantau kondisi kita, setidaknya siapa pun yang mengurung kita di sini tidak ingin kita mati dalam waktu dekat," katanya.

Dia memilih bekerja sama dengan gadis itu. Tampaknya gadis itu cukup kuat. Untuk sementara waktu, dia tidak ingin mencari masalah dengan gadis bertubuh atletis itu.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Dia tidak tahu pasti apakah mereka betul-betul korban, seperti yang dikatakan gadis penghancur pintu itu. Namun melihat betapa lengkapnya fasilitas tempat mereka berada, dia merasa mereka bukan sekadar korban. Bisa jadi mereka sendiri yang mengajukan diri untuk dihilangkan ingatannya dan bangun di situ.

"Yah, sepertinya perkataanmu benar juga. Sementara kita nikmati saja dulu fasilitas yang ada sebisanya?"

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

"Ya, korban. Mana ada orang waras yang mau ingatannya hilang. Ditempatkan di ruangan yang membiarkanmu terkunci di dalamnya, dan memasangkan alat mengganggu di sekujur tubuh. Apa pun ini, aku harus segera tahu apa yang terjadi."

Gadis itu melihat orang di depannya satu per satu, waspada dengan apa yang akan terjadi.

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

"Umm...untuk sekarang sebaiknya anda jangan terburu-buru dulu, Nona" katanya mencoba menenangkan.

Hei buru-buru takkan menghasilkan apapun. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Situasi mereka saat ini mengingatkannya pada film triller. Buru-buru hanya akan membunuh mereka.

"Tenang dulu oke?"

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Makin banyak orang yang ditemui, makin gelisah pula perasaannya. Kepalanya pun kembali berdenyut nyeri. Mungkin dia dapat menemukan obat pereda sakit di dalam. Seharusnya tadi, dia memeriksa isi kotak P3K di kamarnya.

"Aku akan memeriksa kamarku lagi. Tolong kabari aku kalau kalian menemukan sesuatu," pamitnya.

Tanpa menunggu respons yang lain, lelaki itu pun kembali masuk kamar. Ada perasaan yang menyentak-nyentak di dadanya. Dia tidak tahu apa yang terjadi, yang jelas sejak tadi jemarinya tidak henti menyusuri gurat-gurat luka di lengan kirinya.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Sepeninggal laki-laki berambut hitam yang memutuskan untuk kembali ke kamarnya tadi, dia menoleh kepada orang yang tersisa.

"Aku akan isi perut dulu. Apapun situasinya, tidak bisa beraksi kalau lapar, kan ... Kalian mau ikut?"

[ ### ]

[Cherry: justNHA

Matanya mengerjap pelan, seolah tidak menerima cahaya putih itu menganggu tidurnya.

Tidur?

Kesadaran perempuan itu terkumpul sepenuhnya begitu menyadari sesuatu yang mengganjal.

"Memangnya, aku tertidur?" Perempuan itu bergumam pelan, memicingkan mata berusaha memfokuskan pandangannya yang kabur entah karena baru terbangun dari tidur, atau terbangun karena pingsan.

Suara gemerincing yang seirama dengan pergerakan tangannya membuat perempuan itu tertegun, menghentikan gerakannya dan beralih mengangkat pergelangan tangan kanannya hingga sejajar dengan matanya.

"Cherry?" Perempuan itu membaca tulisan kecil berwarna putih yang terukir pada lonceng seukuran kelereng dengan warna emas.

Lonceng itu seolah menjadi pusat dari gelang tersebut. Tiga tali berwarna putih yang dianyam hingga menjadi kepang itu terlihat indah dan imut dengan lonceng bulat. Namun...

"Seperti kalung kucing." Perempuan itu menghela napas, dia tidak begitu yakin gelang ini adalah miliknya atau milik seekor kucing. Tapi melihat gelang atau kalung kucing itu berada di pergelangan tangannya, membuat perempuan itu mengambil kesimpulan sementara; bahwa gelang itu miliknya atau milik kucingnya--itu pun kalau dia memiliki kucing.

Perempuan itu menoleh pada jendela besar di sampingnya--yang tidak menampilkan apapun kecuali dinding besi--Pantulan dirinya terlihat di sana.

Rambut panjang dan lurus berwarna putih dengan sedikit warna hitam di ujungnya, bola mata yang juga berwarna hitam pekat, serta tubuhnya yang cukup tinggi untuk seorang perempuan.

Fisik yang indah, tapi perempuan itu merasa asing dan familiar secara bersamaan dengan pantulan dirinya.

"Aku.. tidak bisa mengingat apapun." Perempuan itu berguman dengan masih menatap pantulannya di cermin, lantas setlahnya dia alihkan pandangan ke seisi ruangan.

Putih, benar-benar putih bersih. Sampai sampai dinding dan langit-langit ruangan itu terlihat seolah mengeluarkan cahaya seterang lampu.

Di samping sisi kiri kasur, terdapat botol minum berwarna abu dan satu botol berwarna putih.

Botol putih lebih pendek dan gemuk dibanding botol minum abu. 'Obat pereda' terbaca pada botol itu, membuat perempuan itu mengambil botol tersebut.

Dia mengamati botol itu, tidak ada yang lain selain tulisan tadi, tutupnya pun masih tersegel.

Penasaran, perempuan itu membuka tutup botol itu, dan kapsul berwarna putih tulang memenuhi isi botol itu. Perempuan itu mengeluarkan beberapa ke telapak tangannya.

BAM!

Belum sempat dia mengamati kapsul itu, suara berdentum itu menarik perhatiannya. Perempuan itu memasukkan kembali kapsul itu dan berlari kecil ke arah pintu, yang kemudian terbuka secara otomatis begitu sesuatu garis berwarna biru menyinari wajahnya, seolah men-scan wajahnya.

"Siapa kalian?" Perempuan itu terheran melihat orang-orang yang berkumpul di lorong

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Melihat perempuan yang baru saja datang, seketika senyum laki-laki itu mengembang.

"Wah, selamat pagi, Nona manis. Nyenyak tidurnya?"

[ ### ]

[Cherry: justNHA

Alis perempuan itu menyatu mendengar pertanyaan laki-laki jangkung di depannya.

"Kutanya, siapa kalian?" Perempuan itu mengulang pertanyaannya.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Pertanyaan yang sama dengan dirinya. "Apa kau juga hilang ingatan?" tanyanya.

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

 "Ya, aku tidak dapat mengingat apapun setelah terbangun tadi" jawab perempuan itu.

"Apa kau mengingat namamu?" Permpuan itu balik bertanya.


[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Nama. Kepalanya terasa pening lagi. Sekuat tenaga ia menggeleng. Tidak penting nama asli atau bukan bila ia bertemu dengan orang baru. Nama apa pun yang ia beri tahu, mereka akan percaya. Namun, di tengah krisis identitas, gadis itu memutuskan satu nama yang melintas di benaknya tadi."Rin. Panggil aku Rin," jawabnya tegas.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Sambil berpegangan ke dinding, dia berjalan menuju kotak yang bertengger di atas sebuah bufet yang panjangnya nyaris sama dengan tempat tidur. Tadi, dia sempat mengintip isi kotak berlogo plus itu, tetapi waktu itu ingatannya masih kabur, dia belum sadar apa isi botol-botol yang tertata rapi di dalam kotak.

Kepalanya benar-benar seperti akan pecah. Makin keras dia berusaha mengingat, makin berat pula kepalanya. Dia segera mengeluarkan botol-botol putih dari dalam kotak P3K. Matanya awas membaca label-label yang tertera.

Setidaknya, aku masih ingat cara membaca. Dia membatin.

Akhirnya, lelaki itu menemukan obat yang dia cari.

Aku butuh minum.

Dia membuka semua laci bufet. Nihil. Lelaki itu lalu duduk di atas tempat tidur, berusaha menenangkan diri. Dia tidak dapat berpikir jernih jika tetap panik.

Kai.

Tiba-tiba nama itu melintas begitu saja di kepalanya. Dia mengangkat lengan kiri. Di antara guratan-guratan kasar yang carut marut itu, terdapat tiga garis yang membentuk huruf K.

Apa itu namaku?

"Aargh." Dia meringis kesakitan sembari menjambak-jambak rambutnya. 

Haruskah dia kembali keluar kamar untuk mencari sesuatu yang dapat dia minum? Ataukah dia langsung telat saja pil itu bulat-bulat?

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

"Umm...aku ikut" katanya mengacungkan tangan canggung.

"Tapi kemana?" Tanyanya bingung. Memangnya ada tempatkah untuk mendapatkan makanan disini?

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

"Dari aroma sedap yang tercium saat keluar dari restroom tadi, kutebak di sekitar situ ada ruang kantin atau semacamnya."

Lalu, masih memamerkan senyum lebarnya, lelaki itu menoleh pada perempuan yang bersikukuh untuk dengan pertanyaannya.

"Begini, dari pembicaraan singkat sebelum kau bangun, kami juga tak tahu apa-apa ... Bagaimana kalau ikut saja ke tempat makan lalu kita cari tahu sama-sama?"

[ ### ]

[Cherry: justNHA

Perempuan itu terdiam, lantas mengangguk pelan, "oke." Dia pun ikut bergabung bersama mereka.

Entah kenapa, setelah mendengar penjelasan laki-laki itu dia merasa bahwa mereka orang yang baik.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Lapar. Entah kenapa kata itu membuat sinyal di otaknya mengisyaratkan perutnya untuk berbunyi. Ya, ia lapar. Tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur, dan kini lambungnya minta diisi. Mungkin ada baiknya membentuk aliansi dengan orang-orang yang baru ia temui ini, mengasumsikan mereka juga korban sepertinya.

Dengan menurunkan tangan sambil masih tetap waspada, akhirnya ia menjawab, "Oke, aku ikut. Lagi pula aku perlu tenaga untuk menghajar seseorang untuk keluar dari sini."

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Makanan yang tersedia di kafetaria lebih banyak dari yang dia duga. Selain tumpukan roti--ada beberapa macam, mi, dan sereal, berjajar aneka daging olahan--sosis, ham, salami.

Praktis untuk saat-saat mendadak lapar dan tak sempat masak, pikirnya.

Ketika membuka kotak pendingin, raknya dipenuhi berbagai bahan mentah.

"Oh, bukan cuma telur ... bahkan disediakan daging, keju, sayuran, dan buah. Baik betul!"

Setelah mengamati dan mencoba-coba peralatan masak yang ada, dia mulai menyalakan kompor.

Dengan cekatan tangannya mengiris dan meramu. Sekejap saja, di atas meja tersedia: omelette keju-bayam dan sepanci sup sosis, hanya menggunakan sayur beku, sosis kalengan, dan potongan bawang.

"Sedikit terburu-buru, tapi rasanya lumayan," gumamnya ketika mencicipi hasil karyanya sendiri.

"Kalian juga kalau mau, silakan!" ujarnya pada orang-orang yang ikut ke kafetaria.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Rin menatap lelaki yang memasak itu heran. Bisa-bisanya dia bersikap santai dan menganggap dapur penuh bahan makanan yang bisa jadi ada racunnya itu seperti rumah sendiri. Memperhatikan sikapnya yang seperti itu, tidak heran kalau nanti dia yang akan tumbang lebih dulu akibat keracunan.

Kruuuk ....

Ah, insting bertahan hidupnya memanggil. Terpaksa dia menerima—tidak, lebih baik dia membuat sendiri. Dengan sedikit ingatan saat memegang pisau, gadis itu mulai memotong bawang-bawangan, cabai, dan memecahkan satu butir telur. Satu kaldu instan tertuang—dengan tetap memperhatikan tanggak kedaluarsa, 2121. Tangannya cepat bagai seorang ahli. Dalam hitungan menit, telur dadar siap dimakan.

Saat ia akan duduk, ia teringat sesuatu, "Pisau!" Senjata yang diperlukannya untuk melindungi diri dan keluar dari sana.

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

Rupanya disini ada cafetaria yang tampak sedikit ditinggalkan. Tak begitu berantakan sih tapi tetap ada kesan seperti itu.

Melihat yang lain masak ia pun ikutan mengecek apa ada bahan makanan yang bisa ia masak. Walau sebenarnya dia cukup bagus dalam hal itu.

Ia mengecek tanggal kadaluarsanya. Sebentar, kalau diingat-ingat sekarang tanggal berapa? Sudah berapa lama mereka tidur?

Tidak mungkin puluhan tahun seperti di cerita fiksi kan?

Ia menoleh lagi ke sekitar. Sepertinya tak ada petunjuk waktu. Akhirnya ia memilih bahan makanan yang tak butuh waktu kadaluarsa saja.

Ia ikut mengecek lemari pendingin. Banyak bahan mentah. Berarti tempat ini belum lama ditinggalkan.

Sudahlah masak saja dulu dia lapar. Dia hanya masak ala kadarnya. Sepiring roti dengan telur mata sapi, daging, sosis, keju dan segelas air putih.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Kai keluar kamar. Ya, dia akhirnya memutuskan menggunakan nama yang baru diingatnya itu. Entah kenapa, dia yakin akan tersedak jika memaksakan diri menelan obat tanpa bantuan segelas air.

Pemuda itu juga telah berganti baju dengan pakaian yang dia temukan di kamar. Sebuah kemeja biru berlengan panjang dan celana panjang yang memiliki banyak saku.

Aroma masakan menguar di udara, memenuhi lorong yang kini tampak sepi. Ke mana orang-orang tadi? Kai menelan ludah. Sekarang, dia tidak hanya haus, tetapi juga lapar.

Dia mengikuti wangi masakan dan tiba di sebuah ruangan luas yang tampak seperti kafetaria. Lelaki berambut gondrong yang tadi dia temui di lorong terlihat sedang menikmati sepiring makanan, sedangkan lelaki berambut putih dan wanita yang tadi meledakkan pintu tengah sibuk memasak.

Ada satu sosok baru di ruangan itu, seorang gadis berambut putih yang baru pertama kali dilihatnya. Untuk sejenak, Kai lupa apa tujuannya semula. Dia justru terpaku dan mengamati gadis itu lekat-lekat.

[ ### ]

[Cherry: justNHA

Perempuan berambut putih itu menyadari sepasang mata yang sedari tadi menatapnya.

Dia menoleh, penasaran dengan sosok yang menatapnya itu. Seorang lelaki dengan ramnut yang hitam pekat.

"Kenapa menatapku begitu?"

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Kai buru-buru memalingkan muka. Dia menggumamkan kata maaf dengan suara lirih, nyaris tidak terdengar. Sepertinya dia salah orang. Beberapa saat lalu, dia sempat mengira mengenal gadis itu, atau gadis itu mirip dengan seseorang yang dikenalnya. Namun, dia tidak berhasil memancing ingatan apa pun.

Kai berjalan menuju lemari pendingin. Diperhatikannya empat orang yang sedang bercakap-cakap, saling memperkenalkan diri. Kai menghafalkan nama-nama itu. Melihat mereka masih segar bugar setelah makan, sepertinya cukup aman untuk meminum air yang baru diambilnya dari lemari pendingin.

[ ### ]

[Cherry: justNHA

Samar, Cherry mendengar perkataan maaf yang diucapkan laki-laki itu dengan lirih, membuat Cherry memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu.

"Tidak bergabung bersama kami?" tanya Cherry pada laki-laki itu.

"Ah, aku Cherry, kamu?"

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

"Kai...," lelaki itu berhenti sejenak, "sepertinya."

Dia berjalan menuju salah satu meja, tidak jauh dari tempat teman-teman barunya berkumpul. Kai masih belum sepenuhnya percaya pada mereka, tetapi dia juga tidak ingin ketinggalan informasi.

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

 "Baiklah, Kai." Cherry menanggapinya, sebelum akhirnya membiarkannya yang memilih duduk terpisah.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Dia sedang menyeduh kopi, ketika rekan-rekan serumah (?) nya, satu-persatu mulai memasak. Hanya drip coffee dengan susu, karena masih belum menemukan espresso maker.

"Omong-omong, bagaimana aku harus menyapa kalian?" Dia memulai.

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

"Um..."

Dia memasukkan rotinya ke mulut. Menelannya pelan. Menatap semua orang satu persatu.

"Karena ku tak ingat sama sekali kurasa aku akan menganggap apa yang terlintas di kepalaku saja sebagai nama..."

"...Weiss?" Katanya mengangkat dagunya berpikir. Ia masih heran kenapa kata itu yang terlintas di benaknya ketika berkaca.

"Hum...aku Weiss. Salam kenal" katanya sedikit membungkuk sopan.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

"Weiss, ya?" gumam lelaki itu, mata birunya terarah pada rambut putih cemerlang dan wajah pucat pemuda cantik yang baru saja memperkenalkan diri.

"Memang cocok ... Senang berkenalan denganmu!" tambahnya.

[ ### ]

[Cherry: justNHA

Perempuan itu mengalihkan pandangannya begitu mendengar pertanyaan itu.

Dia terdiam, sedari tadi dia tidak dapat mengingat atau bahkan berusaha mengingat namanya, dan pertanyaan itu kini membuatnya bingung.

"Cherry, panggil saja begitu."

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

"Panggil saja Rin," jawab gadis yang sedang mengunyah cepat itu. Ia lantas bangkit kemudian menuju tempat di mana pisau-pisau berada.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

"Nona Cherry dan Nona Rin, ya?" ulangnya, seperti mencoba merekam sosok dan nama kedua gadis itu. "Manis sekali!"

[ ### ]

[Cherry: justNHA

"Terima kasih" Cherry, perempuan berambut putih itu tersenyum tipis.

"Bagaimana dengan namamu?" Cherry balik bertanya pada laki-laki jangkung itu.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

"Aku?"

"Nama yang kuingat sepertinya juga bukan milikku, jadi kalian bebas saja mau memanggilku bagaimana. Om, Ganteng, Cinta ... Atau semua sekaligus juga boleh~"

Tak lupa ditambah kedip sebelah mata.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Rin bergidik mendengar kata-kata terakhir. Pisau yang digenggamnya seolah memantulkan sosok pria gondrong itu. Sambil mengacungkan pisau, ia berkata tegas, "Jaga bicaramu, koki gondrong! Kau akan berpikir seratus kali lipat untuk berurusan denganku nanti."

Permulaan yang salah untuk membuka sebuah obrolan. Namun, Rin tidak menyesal dengan itu. Di saat seperti ini, ia harus menjaga jarak dengan siapa pun.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Mendadak ditodong pisau oleh Rin, dia mengerjap sekali. Detak jantung agak naik dan langsung memikirkan berbagai kemungkinan untuk membela diri, tetapi tidak ada rasa panik. Sepertinya bukan hanya sekali ini dia mengalami benda tajam diarahkan padanya.

Dia tak mau berkelahi, apalagi dengan perempuan.

"Nona Rin," akhirnya dia berkata. "Aku tak tahu bagian mana dari kata-kataku yang menyinggung perasaanmu, tapi sungguh aku tak bermaksud untuk mendapat tusukan pisau sama sekali."

Lengannya sedikit diangkat dengan kedua telapak tangan terbuka, menunjukkan tanda bahwa dia tak bersenjata dan tak akan melakukan perlawanan.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Kai memutar bola mata. Pria itu benar-benar ... aneh. Namun, Kai tidak ingin bermusuhan dengannya. Meski terlihat serampangan, badannya tinggi besar. Pria aneh itu bisa membanting tubuhnya dengan mudah.

Kai mencatat dalam hati, pria gondrong dan gadis bernama Rin sepertinya perlu diwaspadai. Sedangkan lelaki dan gadis berambut putih tampaknya tidak berbahaya. Setidaknya jika ada bahaya yang mengancam, dia tahu harus berkawan dengan siapa.

[ ### ]

[Cherry: justNHA

"Apakah..." Cherry menggantungkan kalimatnya terlihat berpikir. "Paman tidak menemukan sesuatu yang berhubungan dengan nama di kamar Paman?"

Cherry merasa geli dengan pilihan panggilan yang diberikan paman itu, sehingga dirinya membuat panggilan sendiri. Setidaknya paman lebih baik menurutnya.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Dia tersenyum geli mendengar cara Cherry memanggilnya. Kalau disandingkan, setidaknya dari fisik saja mereka memang sudah cocok untuk jadi seorang paman dan keponakan.

"Sayangnya sama sekali tidak ada, Cherry manisku. Betul-betul kamar tanpa citarasa --walau aku tak yakin juga yang bercitarasa itu seperti apa."

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

"Baiklah, kupanggil paman saja kalau begitu." Cherry mengangguk. Sebelum akhirnya bangkit, pamit ke kamar kepada yang lain.

Karena bunyi berdebum tadi, Cherry tidak sempat mengecek biliknya dengan teliti.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Obat yang dia minum benar-benar manjur. Sakit kepalanya langsung hilang dalam sekejap. Kini, giliran perutnya yang memberontak.

Kai melirik piring si lelaki gondrong. Tadi, dia melihat masih ada sisa sup di atas kompor.

Setelah menimbang-nimbang sebentar, Kai akhirnya bertanya, "Boleh aku minta sup yang tersisa di panci?"

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

"Oh, tentu. Habiskan saja ... Memang tak banyak, tapi rasanya bisa kujamin."

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

"Terima kasih."

Mengonsumsi makanan yang disiapkan orang asing di tempat yang asing bukannya tidak berisiko, tetapi Kai sudah memikirkannya baik-baik. Lelaki itu menyantap makanan yang sama, jadi Kai rasa makanan itu cukup aman. Selain itu, dia ingin menjaga hubungan baik dengan lelaki itu.

Menurut Kai, Rin terlihat tidak stabil. Tadi, dia habis menghancurkan pintu kamar. Kini gadis itu menodongkan pisau ke arah si gondrong. Kai rasa Rin dapat meledak kapan saja. Sepertinya pria gondrong itu lebih dapat diandalkan.

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

Wah pria ini curang. Tak mau ngasih namanya sama sekali. Ya paham sih sama-sama amnesia, tapi ya setidaknya pikirkanlah sebuah nama.

"Um...Mas Gondrong aja kalau begitu" kekehnya. Menghindari kata ganteng tentu saja, dia masih lurus. Bukan homo.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Payah. Satu kata yang terlintas saat melihat pria gondrong itu. Rin kemudian menurunkan pisau yang digenggam, memutarnya, lantas mencari kain yang bisa dijadikan sarung pisau.

Tidak mendapat apa yang ia cari, Rin lalu menggunakan kotak P3K yang telah dibawanya sebagai koper yang berisi pisau, garpu, senpu, dan benda-benda tajam lainnya.

Mengabaikan orang yang lain, Koki Gondrong, Kai, Weiss, dan Cherry, yang patut dicurigai, gadis itu lalu beranjak ke bilik yang tidak jauh dari sana, menuju deretan komputer—berharap ada petunjuk yang bisa dicari.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Kai bersyukur tidak terjadi pertumpahan darah di ruangan itu. Mereka tidak dapat menebak apa yang akan terjadi. Masih terlalu dini untuk saling menyerang, siapa tahu nanti mereka perlu bekerja sama untuk dapat keluar dari tempat itu.

Setelah mengisi perut, Kai bangkit dari duduknya. Sup itu sangat enak.

"Aku akan memeriksa ruangan lain," pamitnya, entah pada siapa.

Dia mendorong pintu yang terletak di sebelah pintu kafetaria. Matanya membulat saat melihat beberapa rak penuh berisi buku. Kai pikir di tempat secanggih itu, semuanya akan tersaji dalam bentuk digital. Jemarinya menyusuri buku-buku di salah satu rak, lalu berhenti begitu saja saat tiba di sebuah buku bersampul hijau.

The Botanical Bible

Untuk sesaat, Kai merasakan sensasi deja vu. Dia segera mengusir pikiran itu dan memeriksa rak lainnya.

Ketika sampai di rak paling ujung, barulah dia menyadari kehadiran Rin yang tengah menatap layar komputer.

"Kau tahu cara memakai benda itu?" tanya Kai dengan hati-hati. Dia melirik ke arah pintu, berusaha memetakan rute pelarian jika gadis gila itu tiba-tiba menyerangnya.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Rin memicing ketika seseorang mendekatinya dan bertanya. Kalau tidak salah, namanya Kai. Gadis itu diam sejenak sebelum menjawab, "Aku tidak yakin. Tapi, setidaknya aku bisa menyalakan benda ini. Kita lihat apakah aku bisa mengakses sesuatu dari sini."

Rin mengabaikan Kai dan mulai menggerak-gerakan tetikus. Setidaknya, ia ingat bagaimana cara mengoperasikan komputer.

Setelah sepuluh menit menjelajah, tidak ada yang bisa ia temukan. Hal paling menarik yang ada hanyalah permainan kartu dan catur.

"Sialan."

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

Selesai makan akhirnya ia ikut yang lain mencoba membuka bilik yang tersisa. Karena ia merasa Rin tak ingin diganggu, dia mencoba iseng membuka bilik terakhir. Tampak sebuah pintu besar yang tampak kokoh di ujung ruangan.

"Hmm...apa ini pintu keluar?" Ia mencoba mendekati pintu tersebut. Mengetuknya.

Tok tok

Ia mendengar bunyi besi yang kokoh. Ia mencoba membukanya. Keras sekali. Sepertinya takkan bisa dibuka dengan mudah. Ia lalu mengecek sekitarnya.

"...."

Mending mundur dulu deh. Takut di dor dari atas. Karena ia melihat *machine gun* diatas langit-langit dan kamera yang mirip cctv ia rasa.

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

Cherry berjalan sendirian menuju biliknya dan pintu itu lagi-lagi terbuka dengan otomatis hanya dengan Cherry berdiri di depannya.

Begitu Cherry masuk melangkahkan kakinya, pintu itu tertutup dengan sendirinya.

Hal pertama yang Cherry datangi adalah meja kecil yang terlihat menyatu dengan kasur berbentuk kapsulnya--meja yang tersimpan botol putih berisi obat penawar dan botol minum abu di atasnya

Dirinya mengambil kedua benda itu, berniat membawanya keluar. Dia merasa bahwa obat itu harus senantiasa berada bersamanya.

Cherry melihat ke sekiling ruangan setelah kedua botol itu berada di genggamannya.

Tidak ada yang spesial di ruangannya, hanya cermin, kasur dan meja kecil.

Cherry memilih duduk di tepi kasurnya, memeriksa ruangan itu dengan lebih seksama.

Dan hasilnya, Cherry menyadari bahwa ada sepetak dinding besi yang terlihat sedikit lebih menonjol dari dinding lainnya. Cherry menghampiri petak dinding itu yang berada di sisi kiri kasurnya, berdekatan dengan cermin.

Jari-jari lentik Cherry mencoba mencongkel sepetak dinding itu, berharap terbuka jika dia berhasil menariknya, tapi tidak berhasil.

Akhirnya Cherry mencoba cara lain dengan menekan pelan sepetak dinding itu dan terbuka!

Sepetak dinding itu bergerak keluar seperti laci. Di dalamnya dia menemukan sebuah kain yang panjang berwarna putih dan tali, entah untuk apa.

Di barisan paling atas, terdapat lebih banyak lagi botol putih serupa dengan yang kini berada di genggamannya dan juga sekotak P3K.

Cherry mendorong laci itu hingga kembali menyatu dengan dinding. Dia tidak menemukan sesuatu yang berarti, atau sesuatu yang harus dibawanya.

Lagipun, jika dia butuh sesuatu, tinggal kembali ke biliknya saja, kan?

Begitu pikirnya.

Merasa bosan sendirian di bilik itu, Cherry kembali ke bilik yang terlihat seperti cafetaria, berkumpul bersama yang lain.

Tapi begitu dia sampai di sana, hanya tersisa paman berjenggot itu, entah pergi kemana yang lain.

Malas berduaan dengannya, Cherry keluar dari bilik itu, mencari yang lain. Mungkin mereka sedang berada di bilik yang lain, mencoba ini-itu.

Sepanjang lorong, Cherry sempat melihat ruangan yang cukup besar berisikan buku-buku dan komputer. Sekilas, dia melihat salah satu layar komputer yang menyala dan dua orang yang berada di dekat komputer itu, tapi Cherry tidak menghiraukannya, kembali berjalan.

Hingga sampai pada ujung lorong, dengan aura yang lebih gelap dan mencekam dari ruangan-ruangan sebelumnya, Cherry melihat Weiss, laki-laki yang juga memiliki rambut putih sepertinya.

Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya, melainkan pintu hitam besar yang berada di ujung lorong.

"Tidak bisa dibuka?" tanya Cherry pada Weiss.

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

Dia menggeleng.

"Sepertinya begitu" katanya pendek.

"Dan aku tak tahu apa kamera diatas berfungsi apa tidak" katanya menunjuk cctv yang menggantung.

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

Cherry mengangguk mendengar penjelasannya, hingga dia teringat sesuatu.

"Kalau tidak salah, ada banyak komputer di ruangan yang seperti perpustakaan itu. Siapa tau terhubung, mau coba lihat?"

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Dia menunggu yang lain selesai makan, lalu mengumpulkan perangkat bekas makan mereka. Secanggih apapun tempat itu, seharusnya tidak termasuk mencuci piring, bukan?

Lelaki itu meragukan pikirannya sendiri ketika melihat kotak-kotak samar di dinding dan laci rak yang sepertinya bukan hanya untuk meniriskan piring basah. Namun akhirnya dia memutuskan untuk mencuci secara manual dulu, sebelum mencoba tombol-tombol yang ada.

"Impressive!" gumamnya ketika menyadari bahwa dapur di kafetaria itu memiliki rak cuci piring otomatis.

"Kalau ada mesin espresso, akan sempurna untuk jadi dapur kafe."

Drip coffee juga cukup enak, tetapi tangannya gatal ingin mengolah secangkir kopi dengan berbagai cara lain. Di kulkas sudah ada susu segar yang bagus, juga krim. Sayang sekali kalau tidak diolah.

"Ya, sudahlah. Sudah bagus masih dapat asupan kafein sedap." Pikirannya membayangkan kaplet-kaplet tak berasa berisi bahan kimia yang sepertinya pernah dia konsumsi entah kapan.

"Yap. Sudah segar dan kenyang. Saatnya melihat-lihat fasilitas lain."


Ketika dia melangkah melalui lorong panjang, di ujung, Weiss dan Cherry terlihat mengamati pintu yang terlihat sangat kokoh. Sepertinya kalau yang itu, Rin sekalipun tidak akan mudah menjebolnya.


Berikutnya, perpustakaan. Ruangan yang terlihat nyaman untuk tidur siang, begitu yang pertama terpikir olehnya.


"Sayang sekali, sepertinya aku bukan penggemar buku."


[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

Sepertinya hanya itu pilihannya. Dia hanya mengangguk kepada gadis berambut putih itu.

"Kuharap yang lain menemukan sesuatu" katanya akhirnya kembali memasuki perpustakaan. Ia bisa melihat Rin mengomel di depan komputer.

Ia pun mencoba mengecek komputer yang lain.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Di area komputer, Rin dan pemuda yang bernama Kai terlihat serius menatap ke layar. Dia bertanya-tanya apakah cukup aman baginya kalau ikut mengintip apa yang sedang dilihat oleh mereka, tanpa memancing pisau Rin teracung padanya lagi.

Tak mau ambil resiko, dia memutuskan untuk mencari-cari hiburan lain, sejauh mungkin dari tempat komputer.

"Apa ini?" Matanya tertuju pada deretan gambar poster film di rak. Berbagaimacam film layar lebar dan serial TV berjajar rapi sesuai dengan genre dengan urutan alfabet judul.

Jarinya terhenti pada poster lelaki perlente dengan pistol genggam, dikelilingi perempuan-perempuan cantik.

"Mantap!" Senyumnya mengembang.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Kai mengamati apa yang dilakukan Rin, lalu setelah itu dia pergi ke komputer lain. Dia coba mempraktikan apa yang tadi dilakukan Rin. Komputer di hadapannya berpendar menyala. Kai pun mulai mengetik beberapa kata.

Dia membaca beberapa artikel dan menonton video-video yang menurutnya penting. Cara memberikan pertolongan pertama, cara memperbaiki perangkat elektronik, cara bertarung bagi pemula. Kai coba mempelajari beragam pengetahuan yang menurutnya diperlukan untuk bertahan hidup.

Saking seriusnya membaca, dia tidak menyadari kalau para penghuni lain kini juga ikut menjelajahi ruang perpustakaan.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Jenuh dengan komputer yang tidak memberikan informasi yang diperlukan, gadis itu beranjak dan menjelajah ke bagian perpustakaan. Buku-buku berjajar memenuhi rak, mulai dari fiksi dan non-fiksi. Ada novel sampai cerita anak. Ada buku biografi sampai sejarah. Namun, dari deretan judul yang dilihatnya, tidak ada tajuk yang berkaitan dengan tempat ini, baik "Lab" ataupun "Rahasia".

"Sebenarnya ini tempat apa, sih?" gumamnya.

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

Cherry mengikuti langkah Weiss yang memasuki perpustakaan, memperhatikan Weiss yang mengecek komputer.

"Maaf aku tidak membantu, aku tidak mengerti hal ini." Cherry bergumam pelan, merasa bersalah karena dia hanya diam.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

"Aneh!" cetus Kai dengan suara keras.

Setiap kali dia mengetik kata "Laboratorium" layar komputer di hadapannya selalu memunculkan kotak merah bertuliskan "error".

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

Cherry refleks menoleh ke sumber suara.

Kai, entah apa yang dilakukannya dengan komputer itu hingga dia bereaksi seperti itu.

Jujur, Cherry penasaran tapi dia memilih hanya mengamatinya saja.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Kai menoleh ke samping dan melihat Cherry tengah memperhatikannya. Lagi-lagi dia merasa gadis itu mengingatkannya pada seseorang, entah siapa.

"Komputer ini punya semacam bank data tentang berbagai pengetahuan dasar. Tapi, setiap aku mengetikkan 'Laboratorium', selalu muncul pesan error," jelasnya tanpa diminta. Dia sengaja bersuara sedikit keras agar yang lain dapat mendengarnya. "Padahal aku hanya ingin mencari tahu tentang bagaimana membuat laboratorium sederhana, siapa tahu nanti kita akan membutuhkannya. Makanan-makanan itu akan habis juga nanti, kan?"

"A-apakah tempat ini semacam laboratorium, dan kita kelinci percobaannya?"

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

Cherry ber-oh pelan mendengar penjelasan Kai.

"Mungkin. Bisa jadi kita kelinci percobaan atau semacamnya. Aku sendiri tidak begitu yakin." Cherry terdiam sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Weiss dan aku pergi ke ujung lorong tadi dan di sana ada pintu yang besar tapi tidak dapat dibuka. Namun, di sana terdapat CCTV. Mungkin kamu bisa mengakses CCTV itu dari komputer itu? Walau aku tidak yakin apa CCTV itu masih berfungsi atau tidak."

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

"CCTV?"

Kai kembali menekuri layar komputer. Tangannya bergerak lincah di atas tetikus.

"Aku rasa itu tidak terhubung ke komputer ini," ujar Kai sambil menggaruk belakang kepalanya.

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

Cherry menghela napas kecewa, "sayang sekali."

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Rin mendelik ke arah Kai. Untung saja lelaki itu hanya berisik untuk sesaat, kalau tidak, yah ... tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan gadis itu. Keluhan pemuda itu membuatnya terpikir tentang mereka yang jadi kelinci percobaan. Bau obat yang menguar, furnitur modern dengan peralatan medis, ingatan yang hilang.

Gadis itu menelisik ke arah dua orang sebelumnya berada, Cherry dan Weiss, di mana sebuah lorong dengan pintu besar tertutup. Tanpa menghiraukan yang lain, gadis itu mendekati pintu tersebut untuk memeriksanya.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Kai menunggu sekiranya lima menit sebelum beranjak dari tempatnya. Dia menuju lorong dan mengamati Rin dari jarak aman. Dia penasaran apa yang akan dilakukan perempuan itu.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Rin menatap pintu besar di depannya lekat-lekat. Diketuknya berkali-kali pintu itu.

Dug! Dug! Dug!

Suaranya lebih seperti baja, tebal, kokoh. Dengan harapan seperti sebelumnya, gadis itu mengambil ancang-ancang untuk meninju.

Satu, dua ...

Bugh!

"Akh ...."

Satu lagi cirinya, tak dapat dihancurkan. Tidak seperti pintu kamarnya yang mudah hancur, pintu itu bahkan tidak tergores sedikit pun.

Rin melihat sekeliling. CCTV di atasnya tampak padam tanpa kelip merah. Dari arahnya datang, Kai sedang menatapnya.

"Apa yang kau lihat?!" sentaknya pada Kai sambil mengelus-elus tangannya yang sakit.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

"Aku penasaran dengan CCTV yang diceritakan Cherry tadi." Kai berusaha bersikap tenang. Dia tidak yakin kemampuan bela diri yang baru dipelajarinya lewat video tadi dapat digunakan melawan Rin.

"Kamu boleh tidak percaya aku. Tapi, aku sama sepertimu. Penasaran siapa yang mengurung kita, dan kenapa."

Kai mendongak dan menatap kamera CCTV. "Mungkin orang-orang itu sedang mengamati kita sekarang," katanya sambil mengusap dagu.

Kai menghela napas. " Aku yakin kamu sangat kuat, tapi kita tidak tahu siapa lawan kita. Daripada memusuhiku dan yang lainnya, bukankah lebih baik kita bersekutu?"

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Rin memicing. Semua tidak dapat dipercaya sekarang. Orang-orang yang membangun fasilitas ini, orang-orang yang terjebak bersamanya, termasuk Kai ini. Namun, pepatah lama mengatakan, lebih baik dua kepala untuk berpikir daripada satu. Dengan berat hati, gadis itu terpaksa menyetujui tawaran Kai, sambil mempertimbangkan kemungkinan pengkhianatan di kemudian hari.

Gadis itu mendekati Kai. Diludahinya tangan sendiri sebelum mengulurkannya pada lelaki itu. "Ingatlah kalau kau berkhianat, aku punya seribu cara untuk menghabisimu."

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

"Aku tahu itu," jawab Kai sambil menyambut tangan Rin.

"Jadi, menurut pengamatanmu, apa kita bisa meledakkan pintu ini?" Kai bertanya sambil mengedikkan kepala ke arah pintu besar di depan mereka.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

"Kau lihat sendiri. Pintu itu sekuat baja. Lagi pula, kita perlu peledak. Aku sangsi di tempat ini ada hal tersebut. Rin mengepal-ngepalkan tangannya yang sudah tidak terlalu sakit. "Kita perlu petunjuk," pungkasnya.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

"Aku setuju denganmu. Tapi, sebelum itu, aku perlu ke kamar mandi dulu," ujar Kai. "Sepertinya, kamu juga perlu ganti baju. Tadi, aku menemukan baju ganti di salah satu laci kamarku. Mungkin di kamarmu juga ada."

Tanpa menunggu jawaban Rin, Kai langsung melangkah menuju bilik terakhir yang belum dikunjunginya.

[ ### ]

[Weiss: Graizonuru]

Ia tak menemukan hal yang berarti di komputer mereka. Membuat Weiss menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya.

Kalau diingat-ingat Rin dan Mas Gondrong tampak menemukan sesuatu di kamar mereka sebelumnya. Mungkin dia balik dulu kali ya.

Ia pun beranjak dan memilih kembali ke kamarnya. Mencari apa saja yang bisa ia ambil.

Ada baju ganti. Mungkin ia ganti saja karena baju rumah sakit rasanya tak begitu nyaman.

Lalu hmm...p3k? Bawa sajalah beberapa perban dan...gunting? Ya mungkin berguna nanti.

Dia pun menyimpan semuanya di dalam sakunya. Lalu kembali lagi ke perpustakaan.

Sepi. Sepertinya yang lain pindah ke bilik yang ada pintunya. Dan ia benar, semuanya tampak memperhatikan pintu. Salah satunya berencana untuk meledakkannya.

"Bagaimana caranya kita dapat bahan peledak?" Tanyanya menimpali gadis-gadis barbar itu. Tahu-tahu sudah dibelakang mereka saja bagai hantu.

[ ### ]

[Rin: rafpieces]

Rin menjawab pertanyaan itu dengan tak acuh, "Mana kutahu. Yang terpenting sekarang adalah mengumpulkan petunjuk sebanyak mungkin."

Tanpa menghiraukan orang itu—kalau tidak salah namanya Weiss—Rin beranjak ke kamarnya lagi mengikuti saran Kai.

Gadis itu melangkah cepat melewati lawang yang sudah tak berpintu. Dengan cepat menyisir tempat kemungkinan adanya pakaian seperti yang dibilang Kai. Setelah beberapa lama, ia menemukan celana jins panjang, kaus tanpa lengan, dan jaket hoodie tipis. Pakaian pasien putihnya ia robek dan dimodifikasi menjadi seutas tali yang cukup panjang—kalau-kalau dibutuhkan untuk membekap Kai atau yang lainnya. Setelah persiapan selesai dengan tambahan kapsul-kapsul obat yang ditemukan, gadis itu kembali ke lorong.

"Saatnya pergi dari sini," gumamnya.

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

Sedari tadi, Cherry belum meninggalkan perpustakaan. Dirinya berkeliling, membuka buku-buku secara acak, mencari sesuatu yang bisa membunuh kebosanannya.

Sepertinya, di perpustakaan hanya tersisa Cherry dan paman berjenggot itu.

Yang lain mungkin sedang memeriksa pintu besi besar itu. Cherry tidak tertarik untuk kembali ke sana, ruangan itu terlalu gelap.

Apa dia kembali ke kamarnya saja? Beristirahat?

Cherry menutup bukunya, baiklah dia akan kembali ke ruangan dengan pintu besi besar itu. Siapa tau Cherry melewatkan sesuatu yang bisa menjadi petunjuk tentang siapa dia atau di mana dirinya berada.

Lagipun, seharusnya tidak begitu menyeramkan jika ada yang lain di sana kan?

Cherry mengembalikkan buku yang tadi dibacanya dengan setengah hati pada rak bundar berwarna putih, sebelum akhirnya dia keluar dari perpustakaan.

Semakin Cherry mendekati ruangan yang ditujunya, lorongnya terasa semakin gelap dan remang.

Hingga dia sampai. Dirinya kecewa begitu melihat ruangan itu kosong, tidak ada seorang pun.

"Haruskah aku kembali?" Gumam Cherry. Masuk ke ruangan itu sendirian sepertinya bukan pilihan bagus untuk dirinya.

Cherry menggeleng pelan, dia mengambil langkah masuk.

Hanya ruangan gelap, tidak lebih. Seharusnya tidak masalah Cherry berada di ruangan ini sendirian.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Kai kembali ke kamarnya. Dia sudah memeriksa kamar mandi, tidak ada cairan pembersih ataupun bahan kimia lain yang mungkin bisa dia gunakan untuk membuat peledak, seperti yang dia tonton di salah satu video tadi.

Lelaki itu menyisir ulang isi kamarnya, siapa tahu ada yang terlewat olehnya tadi. Meski Rin telah setuju bekerja sama dengannya, tapi gadis itu tampaknya masih curiga. Tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga. Dia perlu mencari sesuatu yang dapat dia gunakan sebagai senjata.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Lelaki itu selalu tergelak setiap kali sosok perlente orang yang katanya agen hebat itu mengacungkan pistol mungil, seperti sedang menodongkan tiket pada petugas karcis. Adegan itu terlihat kocak baginya, karena apapun yang terjadi tembakan si agen perlente akan mengenai para musuh kroco.

Belum adegan pukul-pukulan letoy yang sulit dipercaya bisa merobohkan orang kurus sekalipun. Namun tetap saja dia cukup menikmati tontonannya, hingga tak menyadari sekeliling.

Ketika dia bermaksud mengambil film kelimanya perpustakaan sudah sepi.

[ ### ]

[Cherry: justNHA]

"AAAHH" Cherry berteriak, terkejut dengan suara alarm yang terdengar nyaring memenuhi ruangan itu.

Perlahan, pintu besi besar itu terbuka. Cherry segera berlari menjauh dari pintu besar itu, bersembunyi sembari mengintip apa yang akan keluar dari dalam pintu itu.

Tapi tidak ada apapun kecuali cahaya kuning yang terlihat alami serta hijau asri yang begitu pekat di sana, entah tanaman apa yang berada di dalam sana.

Cherry masih ragu untuk memasuki ruangan baru itu, setidaknya dia tidak ingin masuk ke sana sendirian.

Samar, Cherry mendengar derap kaki yang seperti berlari mendekati posisinya. Cherry tidak yakin siapa, tapi dia sangat menantikan kehadirannya.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Ketika alarm meraung-raung, dia baru saja selesai membereskan peralatan menontonnya. Sepertinya ada suara teriakan juga, tetapi segera tenggelam oleh kenyaringan yang memekakkan telinga.

Pikirannya terbagi, antara mengikuti rasa penasaran pada pada keributan di luar sana dengan tetap di perpustakaan, melanjutkan menonton.

[ ### ]

[Kailani: amelaerliana]

Tubuh Kai seolah membeku kala bunyi alarm menyentak gendang telinganya. Dia segera menyambar pisau cukur yang baru dia temukan dan menyimpannya dalam saku.

Matanya membelalak saat melihat pintu baja yang tadi tertutup rapat kini terbuka lebar-lebar.

[ ### ]

[Alex: Catsummoner]

Rasa penasarannya menang.

Keheningan yang timbul setelah raungan alarm terhenti, terasa menyakitkan di telinga. Membuat suara langkah kakinya terdengar lebih jelas dari biasanya.

Bahkan setelah dia melangkah hati-hati dengan alas kaki yang bertelapak empuk.

Keluar dari perpustakaan, yang pertama dia lihat adalah sosok pemuda bernama Kai. Melihat ekspresi pemuda itu, mau tak mau dia mengarahkan pandangannya pada yang membuat Kai terbelalak.






















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top