Sektor B - Hari Keempat
[Cherry: justNHA]
Api yang disemburkan Chimera merajalela, membuat Cherry mempercepat langkahnya mengikuti yang lain masuk ke pintu Seth setelah mengambil alkohol dan perban untuk lukanya nanti.
Ruangan itu lebih gelap dari ruangan sebelum-sebelumnya. mulanya Cherry tidak bisa melihat apapun kecuali hitam, hingga matanya beradaptasi dan menangkap tiga masker di sebelah kanan ruangan.
Kenapa hanya ada tiga?
Hal itu langsung terbesit di benak Cherry begitu melihat masker itu.
Apa yang sebenarnya diinginkan orang-orang dibalik semua ini? Mengeliminasi mereka satu persatu?
Cherry menghela napas pelan, biarlah dia beristirahat dulu sembari menyembuhkan lukanya. Setidaknya kini tidak ada batas waktu yang mebuat kami terburu-buru.
Dirinya duduk di tengah-tengah ruangan begitu saja, terlalu malas untuk berjalan ke sisi, toh dia hanya membalut lukanya sebentar sebelum memeriksa ruangan ini lebih lanjut. Mengingat di ruangan sebelumnya, nyaris tidak ada yang Cherry lakukan hingga kehabisan energi seperti Paman, Rin atau Kai.
Cherry mengeluarkan botol berisi airnya, membersihkan pada luka di tangannya. Setelahnya, dia menyiram lukanya dengan alkohol.
"Akh." Cherry meringis begitu merasakan alkohol mengnai lukanya. Untunglah sekarang lukanya membaik, walau rasa nyeri dari lukanya masih belum hilang.
Setelahnya, Cherry melilit lukanya dengan perban, mengikatnya keras.
"Kotor." Cherry menatap kemejanya kesal. Kini ada noda darah pada kemejanya.
Cherry mengambil obat-obat di kantong celananya, memasukkan kembali ke botol yang sudah dikeringkan dengan kemejanya.
Setelah kembali melilitkan kemejanya pada pinggang, Cherry bangkit, melihat sekeliling.
Jarak dirinya dengan sumber cahaya di atas terlalu jauh, cukup sulit untuk keluar dari sana. Kalau saja dirinya membawa tali di kamarnya, mungkin saja tali itu bisa menggapainya.
###
[Alex: Catsummoner]
Matanya kembali memicing ketika menangkap pola di dinding. Seperti pola acak tetapi berbeda dengan sekadar warna-warna mozaik tanpa bentuk. Dia pun berjalan mendekat untuk memastikan.
"Ini ...?" gumamnya, tak yakin.
"Maaf, aku akan ambil api untuk penerangan. Kalian istirahat saja dulu sebisanya!"
Lalu dia bergegas berlari kembali ke taman. Yang dicarinya adalah batang kayu yang cukup kuat untuk menjadi obor penerang.
Namun sayang, pintu sudah keburu tertutup kembali. Hilang sudah kesempatannya untuk membuat penerangan.
###
[Cherry: justNHA]
"Ada apa?" Cherry mendekati Paman. Sepertinya dia menemukan sesuatu.
###
[Alex: Catsummoner]
Teguran Cherry sempat membuatnya agak terlonjak, karena tadi dia terlalu tenggelam dalam pikiran putus-asanya sendiri.
"Tidak ... Aku bermaksud membuat obor dengan kayu dari taman, tetapi pintunya terlanjur tertutup. Seharusnya ... dari tadi kubuat sebelum kalian semua masuk, ya. Maaf. Padahal aku ingin memeriksa gambar di dinding ruangan ini."
###
[Cherry: justNHA]
"Gambar? Gambar apa?" Tanya Cherry lagi, dia tidak menyadari ada gambar di ruangan itu.
###
[Alex: Catsummoner]
Dia melangkah menuju salah satu dinding bercorak yang tadi dia lihat.
"Di dinding ini ada gambarnya, tetapi aku tak bisa memastikan dengan jelas bentuk keseluruhannya seperti apa," jelasnya.
"Ada kemungkinan dinding yang lain juga ada," dia menambahkan sembari memeriksa dinding di seberangnya. "Oh, ternyata betul!"
Tangannya mulai menyentuh kancing baju, membuka satu-persatu. Dia bermaksud untuk membuat api dengan meminjam pisau dari salah satu rekan.
###
[Cherry: justNHA]
"Apa yang Paman lakukan?" Alis Cherry mengerut melihat gerakan Paman itu yang membuka bajunya.
###
[Rin: rafpieces]
Sembari beristirahat, Rin mengobati beberapa lukanya lalu mengambil beberapa pain killer. Setelah dirasa cukup, gadis itu berusaha membangunkan pemuda di sampingnya.
"Oi, Kai, sadarlah. Jangan mati dulu. Kau tidak berguna kalau mati," ucapnya sambil menggoyangkan tubuh si lawan bicara.
Melihat gelagat mencurigakan si Gondrong piiiip—mulai sekarang ia akan memanggil pria yang membuatnya gatal-gatal itu—yang hendak membuka baju, Rin langsung menyemburnya.
"Apa yang akan kau lakukan, hah? Tebar pesona?!"
###
[Alex: Catsummoner]
"Hm?" Dia menghentikan gerakannya.
"Ini ... Aku hanya mau membuka kemeja," jawabnya santai. "Bahannya cukup bagus untuk dibakar. Pasti bisa menerangi ruangan ini lebih baik dari cahaya redup dari atas sana."
###
[Cherry: justNHA]
"Tidak perlu, jangan buka baju." Cherry memijat keningnya pelan, hampir saja dia melihat laki-laki tanpa atasan.
"Aku sepertinya bisa melihat gambar-gambar itu secara samar." Cherry mendekat pada dinding di sisi kiri, menyipitkan matanya.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai membuka sebelah matanya dengan malas. Dari suaranya yang lantang, sepertinya si gadis barbar baik-baik saja. Sudah Kai duga, kekuatan gadis itu memang di atas rata-rata.
"Aku tidak mati. Aku cuma mau tidur sebentar," gumam Kai sambil menggerutu.
Sayangnya, kini rasa kantuknya telah menguap begitu saja. Mau tidak mau, dia ikut memperhatikan si koki gondrong yang tengah berbincang dengan Cherry.
###
[Cherry: justNHA]
Cherry memicingkan matanya. Gambar pada dinding itu tidak begitu jelas, sepertinya setengah dari gambar itu hilang, tidak utuh.
Samar, Cherry menangkap gambar hewan-hewan yang berjalan ke satu arah. Cherry tidak yakin apa yang dituju para hewan itu, gambar yang menunjukan tempat tujuan hewan-hewan itu memudar, menghilang setengahnya, Cherry hanya menangkap sesuatu yang besar berbentuk persegi? Entahlah, Cherry tidak yakin. Tapi sepertinya begitu.
Cherry berbalik menuju dinding satunya. Gambar di sana jauh lebih jelas dibanding gambar sebelumnya.
Sama seperti sebelumnya, gambar itu menunjukkan hewan-hewan yang menuju ke satu tempat, yang membedakan hanya, para burung lebih mendominasi gambar ini, dan hewan-hewan pada gambar ini tidak berpasangan seperti gambar di dinding satunya.
"Aku bisa melihat gambarnya, walau tidak begitu jelas karena sebagian dari gambar ini memudar." Cherry menoleh pada orang-orang yang berada di ruangan itu, terutama Paman itu.
"Tapi aku tidak mengerti maksud dari gambar itu," ucapnya lagi.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai ikut menyimak penjelasan Cherry. Tadi, dia hanya fokus pada tiga masker yang tergeletak di sana, tidak menyadari jika ada gambar-gambar yang mungkin bisa jadi petunjuk.
"Tolong deskripsikan pada kami, Cherry." Badannya masih terasa nyeri untuk digerakkan. Dia tidak bisa bangun untuk ikut memeriksa gambar-gambar itu.
Pemuda itu memperhatikan kawan-kawan seperjalanannya. Beberapa menit lalu, dia pasti akan memikirkan segala cara untuk dapat mengamankan satu masker untuk dirinya sendiri. Namun sekarang, setelah sebagian ingatannya kembali, Kai tidak yakin apakah dia pantas mendapatkan kesempatan keluar dari tempat itu dengan mengorbankan orang lain.
"Menurutmu bagaimana, Rin? Apakah kau ada bayangan tentang apa gambar-gambar itu?" bisiknya kepada gadis yang duduk di sebelahnya.
###
[Rin: rafpieces]
Mencuri dengar dari penjelasan Cherry dan yang lain, ada gambar yang tertera di dinding. Mungkin ada baiknya ia mengetahui apa maksud dari gambar-gambar tersebut sebelum menyimpulkan apa yang akan dilakukannya dengan masker yang ada.
"Entahlah." Gadis itu menjawab.
Rin akhirnya mengeluarkan pisau lain yang masih mengilap dari kotak P3K. Ia berharap pantulan yang ada dari cahaya remang-remang dapat membantunya melihat lebih jelas.
###
[Alex: Catsummoner]
Dia kembali berusaha melihat dengan lebih jelas, tetapi sia-sia.
"Aku hanya bisa melihat gambar sesuatu di tengah, seperti kotak. Lainnya ... hanya terlihat seperti pola-pola tak beraturan di mataku. Bisa tolong jelaskan apa yang kau lihat, Nona Cherry?"
###
[Cherry: justNHA]
Cherry mendekat pada gambar, menunjuk hewan-hewan yang berada di sekitar kotak itu.
"Mereka hewan-hewan, terlihat seperti menuju ke kotak di tengah itu." Telunjuk Cherry mengelilingi setiap hewan.
"Berbeda dengan gambar yang di sebelah sana." Cherry menunjuk sisi dinding satunya, "gambar di sini lebih didominasi dengan burung-burung, dan hewan-hewan kecil sedangkan gambar di sana didominasi hewan-hewan besar." Cherry mengakhiri penjalasannya.
###
[Alex: Catsummoner]
Hewan-hewan kecil dan besar mengelilingi. Mereka berpasang-pasangan. Di mana dia pernah mendengar kisah seperti itu. Tiga nama ibrani kuno, mengacu pada putra-putra Adam sebagai nama pintu. Lalu taman yang disebut sebagai Eden. Pikirannya mencoba mengolah ulang semua informasi itu.
"Seharusnya aku lebih mendengarkan waktu dia bercerita tentang dongeng dan mitos dari masa lalu," keluhnya menggaruk kepala pirang yang tak gatal.
Karena merasakan kebuntuan, perhatiannya kembali pada tiga helm yang masih tak tersentuh.
Dia mendekati helm-helm tersebut, lalu memungut salah satunya. Ketika dia mencoba mengetuk-ngetuk permukaan helm, suara tumpul dan berat terdengar samar.
"Keras," gumamnya.
Tak begitu jelas, tetapi yang berbentuk aneh di bawah kacamata, pastilah alat untuk menyaring udara.
Bahan yang digunakan berbeda, jauh lebih ringan tetapi juga sangat kuat. Tak salah lagi, dia pernah menggunakan yang semacam itu di masa lalu. Namun dibanding dengan yang ada di tangannya saat ini, yang pernah dia gunakan jadi seperti tiruan murahan yang ringkih.
###
[Rin: rafpieces]
Rin mengedarkan pandang. Cahaya yang terpantul setidaknya bisa membuat ia melihat lukisan hewan-hewan yang berpasangan. Mungkinkah? Gadis itu mengingat kembali cerita tiga anak Adam. Selain cerita itu, ia juga mencari tentang keturunan Adam yang lain. Mereka diberi berkah Tuhan dan diperintahkan untuk membimbing manusia. Salah satunya diperintahkan untuk membawa hewan-hewan ke dalam kapal besar saat mereka akan dibinasakan.
"Bahtera Nuh," celetuk Rin. Gadis itu terperanjat. Mungkinkah?!
Gadis itu buru-buru melihat ke arah kumpulan masker yang salah satunya sedang dimainkan si Gondrong Piiip. Kalau benar mereka akan mengalami seleksi alam, ia harus bertindak cepat.
###
[Weiss: Graizonuru]
Weiss hanya mendengar pembicaraan mereka saja. Kemudian menaikan alisnya ketika mendengar pembicaraan mengenai bahtera Nuh.
Kalau tadi ada tentang anak-anak Adam lalu bahtera Nuh....
Apa semua petunjuk tiap pintu berkaitan dengan alkitab semua?
Satu ditangan pria gondrong, Rin yang tampak terburu-buru mengambil masker gas. Sisa satu masker yang belum diambil.
Dengan cepat ia menyambar masker terakhir untuk jaga-jaga. Walau dia tak tahu apakah dia akan dirugikan nantinya dengan pilihan ini, tapi ambil saja dulu.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai hanya duduk diam di tempatnya tiga orang lainnya mengambil masker masing-masing. Dia benar-benar sudah malas berdebat, terserah mereka saja lah. Menurutnya, dia memang sudah sepantasnya mendapat hukuman.
Namun, ketika melihat Cherry yang tidak kebagian masker sepertinya, Kai merasa kasihan. Gadis itu mengingatkannya pada seseorang yang sangat berharga baginya.
"Kamu yakin, dengan kondisimu yang seperti itu, kamu dapat bertahan hidup sampai akhir? Bukankah lebih baik kamu berikan pada orang lain yang harapan hidupnya lebih besar?" Dia bertanya pada Weiss.
Kai tahu ucapannya barusan terdengar sangat kejam. Namun, menurutnya Cherry akan lebih berguna bagi yang lain daripada Weiss yang sudah kehabisan tenaga. Lagi pula, gadis itu masih sangat muda.
Baru saja Kai mengatupkan mulut, terdengar suara desis yang cukup keras dari langit-langit. Dugaannya benar. Jika tidak menggunakan masker, kemungkinan besar mereka akan mati oleh gas beracun.
###
[Weiss: Graizonuru]
"Hmm..." Dia menyipit menatap Kai. Memangnya kenapa kalau dia yang pegang masker terakhir?
"..."
"Sederhananya kau ingin aku mati saja kan? Lalu apa kau yakin Cherry yang akan bertahan di akhir? Lalu kau sendiri bagaimana?" Katanya memasang wajah serius. Masih mempertahankan maskernya.
Baru saja dia menanyakan hal itu, tiba-tiba saja gas bocor dari atas. Ah jadi itu gunanya masker?
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai mengangkat bahu. "Aku sudah tidak peduli lagi. Percuma saja aku keluar dari sini. Aku sudah tidak punya siapa-siapa di luar sana."
Ingatan Kai memang belum lengkap. Bahkan, dia masih belum yakin apakah Kai memang namanya. Namun, dia tahu orang tuanya telah lama meninggal.
"Pikirkan juga yang lainnya Weiss. Apakah kamu akan berguna bagi yang lain atau malah jadi beban? Setidaknya penglihatan Cherry cukup tajam, dan dia bisa bergerak lebih bebas darimu."
Kai menghela napas panjang. "Rin dapat melindungi yang lain. Sedangkan dengan badannya yang besar itu Tuan Gondrong juga dapat menyumbangkan tenaganya."
###
[Weiss: Graizonuru]
"Hah"
Dia menyipit. Hilang sudah sisi kalem yang selalu dia tunjukkan. Logika macam apa itu memikirkan orang disaat seperti ini??
"Hanya karena aku apes di awal kau seolah menyiratkan aku hanya beban saja huh. Baiklah Tuan suicidal kalau itu maumu"
*Kalau orang ini ingin dia mati begitu saja dengan menyerahkan masker terakhir semudah itu...*
"Then kau coba ambil masker terakhir ini untuknya." Katanya mengeluarkan pisau dan mengambil kembali kuali yang nganggur. Maskernya masih dia kalungkan belum dia pakai.
Lebih baik dia mati setelah berusaha daripada menyerahkan barang berharga dengan konyol. Jangan pikir meskipun badannya masih sulit dia gerakkan dia tak bisa melawan.
###
[Rin: rafpieces]
Mendengar pernyataan Kai, Rin jadi geram. Bisa-bisanya dia menyerah setelah beraliansi. Dilihatnya masker di tangan.
Tiba-tiba gas muncul dari langit-langit. Sejurus kemudian, paru-parunya terasa sesak. Dengan cepat gadis itu memakai masker di tangannya.
Ingatan seolah membanjiri. Rasanya familier, seolah ia pernah di situasi seperti ini. Rin segera mengenyahkan pikirannya itu, lantas berbalik pada Kai.
"Kita sudah beraliansi Kai. Bisa-bisanya kau menyerah dengan mudah. Kau akan membantuku keluar dari sini. Sebelum itu kau tidak boleh mati," tegas Rin sambil mengacungkan pisau. Dia berbalik pada Weiss. "Kau harus menghadapiku juga."
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai menatap tajam ke arah Weiss. Kalau tahu begini, tadi dia tidak akan bersusah-susah menyelamatkan pemuda berparas cantik itu.
"Kau yakin? Dengan kondisimu yang seperti itu? Jangan lupa, aku yang membunuh chimera tadi di saat kau hanya berguling-guling di tanah."
Kai terkesiap saat mendengar perkataan Rin. Meski Rin mengucapkannya dengan ketus, tetapi entah kenapa hati Kai terasa ... hangat.
Dia tidak menyangka Rin akan membelanya, meski gadis itu tampaknya salah sangka. Rin tidak sadar bahwa Kai sedang berusaha mendapatkan masker untuk Cherry.
###
[Weiss: Graizonuru]
"Hah, ngapain kau ikut-ikutan. Kalau kau ikutan lebih baik buang saja maskermu dan serahkan ke yang membutuhkan" dengusnya ke Rin
"Aku tau" katanya ke Kai
Dia sangat tahu betapa tak bergunanya dirinya dan betapa heroiknya aksi pemuda di depannya. Dia sangat sadar diri dirinya siapa.
"Setidaknya aku masih mencoba berusaha daripada kau yang ingin membuang hidup padahal kau baik-baik saja. Kau anak muda tak tahu diuntung" katanya ke Kai.
Mungkin hanya egoistiknya semata. Tapi kalau memang permainan ini membutuhkan seleksi alam, biarlah dia menjalankan seleksi alam seperti seharusnya. Tidak menyerah dengan konyol untuk orang yang bahkan belum terlalu dia kenal.
###
[Alex: Catsummoner]
Terlalu asyik bernostalgia dengan helm bermasker di tangannya, dia tak sadar sekelilingnya sudah memanas. Dia baru akan mengatakan sesuatu untuk menengahi ketika suara desisan mulai terdengar.
Aromanya sedikit berbeda, yang kali ini juga tak berwarna, tetapi sensasi yang samar-samar mulai terasa itu ... dia pernah mengenali.
"Tidak hanya maskernya, mereka juga membuat versi canggih dari gas mustard?" desisnya, seraya membuka kemeja dengan cepat.
"Kawan-kawan, aku punya usul. Bagaimana kalau kita serahkan saja nasib kita pada undian?"
"Dua dari kita akan mendapatkan masker asal-asalan dari kain, sementara tiga yang lain mendapat masker sungguhan. Untuk mengundinya, cukup hom-pim-pa, seperti permainan anak-anak," jelasnya lagi
###
[Kailani: amelaerliana]
"Kau yakin, masker kain dapat melindungi kita dari gas beracun?" tanya Kai sambil terbatuk-batuk. Aroma gas semakin menyengat, membuat organ pernapasannya serasa terbakar.
###
[Alex: Catsummoner]
"Mungkin tidak sepenuhnya, tetapi daripada tidak sama sekali? Setidaknya kita sudah berusaha."
###
[Weiss: Graizonuru]
"...."
"Hmm...terdengar cukup adil" kata Weiss akhirnya.
Sesungguhnya dia sendiri tidak mengharapkan pertumpahan darah. Dan setidaknya undian tidak membuatnya menyerah dengan konyol.
Dan undian tidak juga membuat seseorang jadi sok pahlawan. Semua berusaha dengan tangan sendiri. Sisanya tergantung Tuhan yang memberikan nasib.
Walau sesaat dalam hatinya terbesit pesimis dia bakal apes lagi.
###
[Cherry: justNHA]
Perhatian Cherry yang tadinya berada di gambar-gambar pada dinding teralihkan begiru mendengar perdebatan dari yang lain.
Tanpa dia sadari ketiga masker itu sudah di tangan Rin, Weiss dan Paman. Bahkan Kai dan Weiss bertengkar demi masker itu.
Lebih mengejutkannya lagi, suara mendesis dari atas keluar bersama bau yang aneh.
"Ide yang bagus." Cherry mengangguk, hal ini jelas menguntungkan dirinya yang belum mendapatkan masker.
"Kalau dilihat dari ruangan ini dan Chimera tadi, sepertinya, siapapun yang berada di belakang ini menginginkan kita sedikit demi sedikit tereliminasi."
"Masker yang hanya tiga. Aku tidak yakin, tapi jika mereka menginginkan kita saling membunuh, mengeliminasi untuk selamat. Aku jelas tidak ingin mengikuti keinginan mereka." jelas Cherry panjang lebar.
###
[Rin: rafpieces]
Rin bergidik melihat si Gondrong Piiip yang sudah setengah telanjang. Ditambah pernyataannya untuk mengundi nasib membuatnya kian geram.
"Kalian ingin menggantungkan hidup pada sebuah permainan konyol?!" desis Rin tak terima. "Kalau tetap ingin menentukan nasib tanpa ada pertumpahan darah, kusarankan kita melakukan permainan yang mengandalkan usaha kita, bukan peruntungan."
Rin berpikir sejenak permainan apa yang mungkin bisa mereka mainkan? Lomba lari apa memungkinkan?
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai menganggap ide pria itu adalah ide yang bodoh. Jika benar gas itu beracun, mustahil mereka selamat hanya dengan selembar kain. Kai juga setuju dengan Rin, sangat konyol menggantungkan hidup pada keberuntungan.
Namun, menggunakan undian lebih baik daripada bertarung dengan Weiss. Kalaupun dia menang, Kai tetap akan merasa bersalah karena kondisi Weiss lebih parah darinya.
Rin mengusulkan menggunakan permainan lain untuk menentukan nasib.
"Permainan apa yang dapat dilakukan di tempat gelap yang makin lama makin sesak ini, Rin? Jangan-jangan kita semua keburu mati sebelum menyelesaikan permainan."
###
[Cherry: justNHA]
"Dengan keadaan seperti ini? Nyaris setengah dari kita terluka Rin. Permainan apa yang menguntungkan bagi setiap orang? Tidak ada. Yang ada mereka yang baik-baik saja yang dapat." Cherry tidak setuju dengan idenya Rin.
###
[Alex: Catsummoner]
Efek gas di paru-parunya mulai terasa.
"Kalau tidak ada ide lain, kita sepakat mengundi? Siap-siap hom-pim-pa, ya!"
###
[Cherry: justNHA]
"Aku setuju saja." Cherry mengangguk mendekat pada Paman, mengulurkan tangannya.
###
[Rin: rafpieces]
"Satu pertanyaan, kenapa kalian ingin hidup?" tanya Rin pada akhirnya, memutuskan siapa yang benar-benar ingin keluar dari sini.
###
[Cherry: justNHA]
"Bagaimana denganmu? Apa alasanmu?" Cherry balik bertanya pada Rin, cukup sudah dia memerintah sana-sini.
###
[Kailani: amelaerliana]
"Kalau kau bertanya itu saat kita masih di eden, aku akan menjawab karena aku ingin menghajar orang yang telah mengurung kita di sini," jawab Kai lirih.
"Aku berhasil mengingat sebagian masa laluku. Aku hanya sampah masyarakat. Seseorang mati karena ulahku." Kai menatap Rin dengan lembut. "Maaf, Rin. Kurasa kita tidak bisa melanjutkan aliansi. Aku yakin kamu dapat keluar dari tempat ini dengan selamat, meski tanpa bantuanku."
Dada Kai terasa sesak, bukan hanya efek gas yang mengisi ruangan semakin pekat. Dia merasa sedih karena tidak bisa bertemu lagi dengan teman-teman barunya, terutama Rin.
###
[Weiss: Graizonuru]
"Hm? Aku tak bisa menyerah sekarang sebelum aku tahu kenapa aku bisa berakhir disini dan kenapa kita harus menjalani ini. Minimal setidaknya aku harus ingat dulu siapa aku sebelum mati" katanya datar.
"Uhuk..." Sial nafasnya mulai sesak.
"Jadi bagaimana? Mau ikut peruntungan saja atau menunggu mati?"
###
[Rin: rafpieces]
"Aku masih memiliki misi, mengumpulkan potongan-potongan ingatan yang kumiliki. Aku yakin, keberadaanku di dunia masih dibutuhkan. Aku tidak boleh cepat mati!" tegasnya.
###
[Cherry: justNHA]
"Memangnya aku tidak? Alasanku hidup-"
Seketika Rin tehenyak. Kalimat itu terasa familiar, seolah seunur hidupnya dia selalu bertemu dengan pertanyaan itu. Tidak, mungkin, dia selalu mempertanyakan hal itu.
Kepalanya terasa pening. Sekelebat gambar muncul di kepalanya, seolah muncul di depan matanya seperti sebuah film.
Orang-orang yang menghujatnya, mengatakan dirinya pembunuh. Seketika, tangan Cherry bergetar pun dengan tubuhnya.
Tiba-tiba pendengerannya terasa penuh, penuh dengan suara teriakan yang mengatakan dirinya pembunuh.
Cherry menutup telinganya kuat-kuat, lutunya melemas dan tangannya semakin kuat menutup telinganya.
"A.. aku bukan pembunuh," gumam Cherry, suaranya bergetar.
Tapi suara itu semakin kencang dan memenuhi kepala Cherry.
"AKU BUKAN PEMBUNUH!" Cherry berteriak, suaranya menggema di ruangan yang kosong itu.
###
[Rin: rafpieces]
Kai menyerah secepat itu? Dia yang berhasil membunuh si Chimaera. Rin saja yang berusaha keras untuk hidup malah terluka. Kai yang masih diberi harapan hidup ... ingin menyerah? Gadis itu tidak terima. Bisa-bisanya dia mengabaikan kesempatan.
"Beri aku alasan kau ingin tetap hidup!" tegasnya. Yang gadis itu harapkan, setidaknya Kai bisa keluar bersamanya karena tiga orang lainnya tidak terlihat meyakinkan. Setidaknya, Kai berhasil membuktikan diri di hadapan semua orang kalau dia berharga.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai terhenyak. Tiap kata yang diucapkan Rin seolah menyadarkannya. Ingatannya belum sempurna kembali. Bagaimana jika ada seseorang yang menunggunya di luar sana?
Belum sempat Kai merangkai jawaban, jeritan Cherry memecah keheningan.
###
[Alex: Catsummoner]
Dia mengagumi kawan-kawan barunya yang terlihat serius memikirkan alasan hidup masing-masing. Rasanya dulu dia juga pernah mengagumi seseorang karena alasan yang sama, bahkan sampai taraf iri. Apakah orang tersebut adalah yang memiliki satu-satunya nama yang dia ingat ketika bangun tadi, dia belum yakin.
Mendadak Cherry yang biasanya terlihat tenang, meneriakkan sesuatu dengan nyaring.
Dia bukan pembunuh ... begitu kata gadis itu. Kalau gadis itu, mungkin saja memang masih bersih walau entah bagaimana bisa terlibat di tempat aneh ini bersama yang lain.
Dia memang belum mendapatkan seluruh ingatannya, tetapi samar dia merasa kehidupannya sebelum ini tidak bisa dikatakan bermartabat.
###
[Cherry: justNHA]
Ditengah pikiran Cherry yang semakin kacau, dirinya teringat teringat dengan obat di kantungnya.
Dengan tangan gemetar Cherry mengambil obat itu dari sakunya, mengeluarkan tiga kapsul dan meneguknya sekaligus.
Perlahan, suara-suara itu hilang dari kepalanya. Detak jantungnya kembali tenang.
Dia mengangkat kepalanya, melihat yang lain menatap dirinya, dia terkekeh lirih, kembali menundukkan kepalanya. "Maaf," ucapnya lirih.
"Biar aku saja yang pakai masker kainnya," ucap Cherry pasrah.
###
[Rin: rafpieces]
Rin tersentak. Cherry berteriak tiba-tiba. Ada apa dengan gadis itu? Mungkin otaknya korselet karena racun yang terus keluar. Apa kalau dibiarkan ia akan berguna? Mungkin tidak. Namun, bagaimanapun, mereka harus tetap memutuskan siapa yang akan mendapat ketiga masker.
###
[Alex: Catsummoner]
Dia memandang wajah rekan-rekannya satu persatu. Cherry yang terlihat mulai pasrah, Kai yang seperti tersadar akan sesuatu dan mendapatkan kembali semangat hidupnya, Weiss yang tetap semangat walau dalam kondisi lemah, lalu Rin yang sejak awal selalu teguh dengan pendiriannya.
"Jadi, bagaimana kalau yang ikut undian cukup yang masih bersemangat hidup saja?"
Lalu dia mengangkat helm di tangannya.
"Tetapi karena aku tidak termasuk di antara yang memiliki semangat hidup itu, aku juga tidak ikut undian ... Pas dua orang."
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai tergemap. Dia menatap Cherry iba. Ingin dia membujuk gadis itu untuk mengikuti undian, tetapi dia dapat memahami perasaan Cherry.
Kepala Kai terasa makin berat. Dia menatap helm di tangan si koki. Apa yang pria itu bilang? Dia juga ingin menyerah? Itu artinya hanya tersisa Rin, Weiss, dan dirinya.
"Di saat aku mulai mempertimbangkan untuk berjuang hidup, kenapa sekarang justru kalian yang menyerah?" ucap Kai dengan suara tersekat.
Kai mendongakkan kepala.
"Hey, Kalian! Apa yang sebenarnya kalian mau dari kami?" teriaknya dengan sisa-sisa napas yang dia miliki. Setelah itu, Kai batuk hebat. Mulutnya merasakan anyir darah.
###
[Weiss: Graizonuru]
"HEI APA-APAAN KALIAN. KENAPA KALIAN MENYERAH SEGAMPANG ITU?"
Kenapa dia afk sebentar semua orang mendadak menyerah begitu saja?
Kau harus hidup...apapun yang terjadi...
Sekelabat ingatan masuk ke benaknya. Bersamaan dengan tiba-tiba ia ikutan batuk hebat.
"Jangan...lagi..."
"JANGAN COBA-COBA MENYERAH DI DEPANKU LAGI" teriaknya memegangi kepalanya yang sekarang pun mulai sakit.
Mending dia yang mati daripada yang lain...lagi.
Aneh padahal sebelumnya dia ingin hidup. Namun sebuah ingatan yang baru masuk membuatnya sekarang entah kenapa muak hidup untuk sekian kalinya diatas kematian orang lain.
###
[Rin: rafpieces]
Rin menggeram. Dua semangat hidup telah tumbang. Apa itu karena dirinya? Tidak tahu. Dirinya agak bersalah juga. Cherry sudah pasrah. Si Gondrong Piiip juga menyerah. Tinggal ia, Weiss, dan Kai yang tersisa.
Kai terbatuk, rasanya sangat sakit. Tanpa basa-basi, ia mengambil masker dari si Gondrong, lalu memberikannya pada Kai.
"Pakai," perintahnya.
Rin kemudian mengeluarkan kain bekas bajunya. Dia menghadap si Gondrong. "Kau yang minta," katanya sambil menyerahkan kain. "Pakai bajumu."
###
[Alex: Catsummoner]
Helm di tangannya berganti dengan buntalan kain dari Rin. Dia tersenyum lebar.
"Terimakasih, Nona Rin," ujarnya. "Akan kugunakan kain darimu sebaik mungkin hingga akhir."
Lalu dia mengenakan kembali bajunya, merapikan penampilannya sebisa mungkin. Lalu mengambil tempat untuk bersandar di salah satu sisi ruangan.
Kain di tangan dia lipat-lipat sedemikian rupa supaya agak menebal, lalu dia pakai untuk menutupi mulut dan hidungnya sebelum dililitkan ke leher. Dia mencoba bernapas perlahan melalui masker buatan tangan itu. Apa yang sudah terlanjur masuk ke paru-parunya mungkin tidak akan bisa dikeluarkan lagi, tetapi setidaknya dia ingin bisa mati tanpa terlihat terlalu kesakitan.
###
[Kailani: amelaerliana]
Tubuh Kai melorot ke lantai. Sepertinya gas beracun itu mulai bereaksi. Atau mungkin, sebenarnya dia mengalami luka dalam akibat pertarungan dengan monster tadi.
Kai hanya bisa pasrah saat Rin memasangkan masker ke wajahnya.
Dapat Kai lihat sorot teguh di mata Rin. Gadis itu punya semangat hidup yang sangat tinggi, mengingatkannya pada seseorang.
Gadis di masa lalunya itu mungkin secara fisik mirip Cherry, tetapi semangat hidupnya persis seperti Rin.
Seiring dengan kesadarannya yang menipis, Kai seolah dapat mendengar sebuah suara lembut berkata kepadanya.
Berjanjilah kepadaku. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri lagi.
###
[Rin: rafpieces]
Rin menatap si Gondrong iba.
"Setidaknya, kau harus bisa mengingat namamu agar aku bisa mengukir di batu nisanmu dengan benar, bukan Gondrong Si***n," gumamnya.
###
[Weiss: Graizonuru]
Weiss dilema. Dia melepas tali masker yang dia gantung di lehernya tadi. Berniat memberikannya kepada Mas Gondrong. Karena seperti kata Kai, dia lebih berguna kan?
Dengan terseok-seok dia mendekati pria itu.
"Anda serius dengan ini? Uhuk..." Tanyanya khawatir.
###
[Cherry: justNHA]
Melihat yang lain sudah mengenakan maskernya, Cherry melepas lilitan kemeja di pinggangnya. Hendak memakainya sebagai masker pengganti.
Cherry mengikat kemeja itu pada bagian belakang kepalanya, sedikit kebesearan memang, hingga menutupi setengah kepalanya.
Cherry bangkit ikut duduk disamping Paman itu, "senang bertemu denganmu, Paman." Cherry berkata dengan suara yang kecil.
"Kalian semua juga." Kali ini suaranya sedikit lebih besar, berharap yang lain juga mendengarnya, walau wajahnya menunduk dalam.
Setidaknya, Cherry tidak akan menyesali kematiannya ini.
###
[Rin: rafpieces]
Apa-apaan dia itu? pikir Rin. Belum lima menit dia ingin berkelahi dengan Kai, sekarang dia malah memberikannya pada si Gondrong? Ke mana semangat hidupnya lagi? Apa ini karena kata-kata Rin lagi? Sialan.
"Kalian labil," cibirnya.
Gadis itu kemudian memapah Kai bersandar ke dinding, membenarkan maskernya, kemudian memeriksa keadaan lelaki itu, khawatir dengan luka yang dia terima.
Kau sudah janji akan membantuku keluar dari sini!
Setelahnya, Rin duduk bersama Kai, menunggu nasib.
###
[Alex: Catsummoner]
Dia tersenyum pada Cherry yang ikut duduk bersamanya. Sungguh sangat disayangkan gadis muda sepertinya memilih jalan ini, tetapi dia tak berhak untuk mendikte pilihan hidup orang lain.
Ketika dia kembali bersandar, seseorang menyodorkan masker padanya.
"Weiss ... Kenapa?"
Lalu melihat pemuda berambut putih itu terbatuk, dia buru-buru bangkit. Lalu merebut helm dari tangannya.
"Kenakan maskermu dengan benar!" serunya sembari dengan panik memaksakan masker itu pada Weiss.
###
[Weiss: Graizonuru]
"Eh..."
Dia hendak melawan. Namun terlambat maskernya sudah terpasang. Lagipula kondisinya sendiri sudah terlalu buruk untuk melawan.
"....A... Hiks"
*Bodoh. Ada orang lagi yang akan mati di depannya...ah*
"....Maaf...hiks..."
Pandangannya perlahan mulai menggelap. Ambruk di depan pria gondrong itu. Tak kuat lagi.
###
[Alex: Catsummoner]
Waktu terasa bergulir perlahan. Rasa panas bagai terbakar mulai memenuhi rongga dadanya. Dia yang sejak tadi menahan batuk untuk tidak membuat yang lain panik, akhirnya tak kuat lagi.
Batuk-batuknya reda, bukan karena lega melainkan karena dia sudah terlalu lelah untuk terus batuk. Dalam pandangannya yang mulai kabur, dia bisa melihat tetesan merah pekat di lantai dekat tempat kaki jenjangnya bersila. Sepertinya waktunya memang sudah dekat. Ironisnya kondisi saat itu justru membuat kepalanya terasa jauh lebih jernih.
Mungkin benar kata orang-orang, bahwa menjelang ajal, orang akan dipaksa melihat banyak kilas balik masa lalu. Dia masih belum ingat bagaimana bisa terlibat dengan tempat aneh itu, tetapi setidaknya dia sudah ingat betul siapa dirinya.
"Nona Rin ... Boleh titip sesuatu?" tanyanya, parau.
###
[Rin: rafpieces]
Detak jantung Rin semakin kencang. Dari balik maskernya, napasnya berderu. Ia yang memakai masker saja seperti itu, bagaimana dengan yang lain?
Ia mengedarkan pandang. Kai di sebelahnya masih tergolek lemas, Weiss terbaring di dekat Si Koki Gondrong—yang kini membisikan sesuatu padanya. Gadis itu menghampiri pria yang tampak sekarat tersebut.
"Nona Rin .... Boleh titip sesuatu?"
Gadis itu mengangguk, mendekatkan telinganya untuk mendengarkan kata-kata terakhir si Gondrong.
"Tentu saja," jawabnya.
###
[Alex: Catsummoner]
Mendengar jawaban langsung dari Rin, dia terkekeh, akibatnya paru-parunya memaksa dia kembali terbatuk untuk beberapa saat.
"Sorry ... Sorry. Tak kusangka permintaanku bisa langsung dikabulkan," komentarnya. Masih lemah tapi tak bisa menahan geli. "Kukira bakal ditolak mentah-mentah, tadi."
Napasnya berat, dia perlu menarik udara perlahan-lahan, untuk tidak terbatuk lagi. Setelah cukup tenang, dia melanjutkan, "Nanti aku tak usah dikubur. Kasihan kalian bertiga tidak akan kuat menyeret badan tua besar ini."
Dia harus istirahat sejenak untuk kembali mengumpulkan napas yang makin lama terasa semakin sulit dilakukan.
"Lalu ... Seandainya kalian bisa keluar dari tempat ini .... "
Dia terdiam sejenak, seperti ragu tetapi rembesan merah di masker kainnya yang perlahan melebar membuat dia memutuskan untuk meneruskan, "Tolong beritahu orang yang bernama Alex Lui: Aku ... Thomas ... minta maaf, tidak bisa memenuhi janji."
Suaranya semakin tipis dan akhirnya hilang.
Dia masih ingin mendengar jawaban Rin, tetapi kesadarannya sudah keburu melayang. Matanya juga sudah tak mampu menangkap cahaya lagi.
Embusan terakhirnya sangat sunyi.
###
[Cherry: justNHA]
Gas itu semakin memeneuhi ruangan. Cherry merasa dadanya semakin sesak, sakit.
"Ukh." Kedua tangannya menekan dadanya, berusaha memininalisir rasa sakit di dadanya. Kalau tahu cara matinya semenyekakitkan ini, lebih baik dia menggorok lehernya saja tadi.
Air mata mulai berjatuhan dari mata Cherry, sakit sekali. Tapi sebisa mungkin dia menyembunyikan tangisnya, dia tidak ingin menyesali keputusannya.
Cherry terus berusaha terlihat tegar, lantas mengangkat kepalanya menatap langit-langit, menghalau air mata yang jatuh.
Sembari telinganya mendengar seksama apa yang Paman dan Rin katakan. Dirinya tidak sanggup bertatapan langsung dengan mereka.
"Rin, bertahan hiduplah, sampaikan juga pada Weiss dan Kai. Semoga kita bertemu lagi." Cherry berkata parau, menahan rasa perih dan sesak yang semakin pekat.
Setelah mengatakan itu, dia menutup matanya, menerima kematiannya sepenuhnya.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kesadaran Kai hilang timbul. Pemuda itu berusaha menyentuh wajah, tapi yang dia rasakan justru permukaan dingin masker yang menutupi mulut dan hidungnya.
Ketika terdengar suara batuk menggema di ruangan itu, Kai dengan cepat menoleh. Pria tinggi besar yang beberapa jam lalu minum kopi bersamanya terbujur lemas tidak jauh darinya. Di samping pria itu, Cherry tampak duduk bersadar sambil mendongakkan kepala.
Kai berusaha bangkit, tetapi kakinya masih terasa lemas. Akhirnya dia merangkak menuju mereka.
Keheningan yang mengisi ruangan itu membuat Kai dapat mendengar pesan terakhir yang diucapkan si koki urakan--yang ternyata bernama Thomas-- kepada Rin.
"Terima kasih sudah mengajariku masak, Thomas," bisik Kai lirih. Dia harap arwah Thomas dapat mendengarnya.
"Sampai jumpa Cherry. Semoga di tempatmu sekarang, kamu tidak dihantui lagi masa lalumu."
Detik itu juga, Kai bertekad, akan membalaskan dendam kedua temannya. Mereka mungkin memang baru mengenal beberapa jam, tetapi Thomas dan Cherry lebih pantas disebut sebagai teman daripada orang-orang yang selama ini mengaku sebagai temannya.
Kai menoleh ke arah pintu yang baru terbuka. Cahaya menyilaukan merembes masuk ke ruangan mereka. Entah bencana apa lagi yang menunggu mereka di sana.
###
[Rin: rafpieces]
Rin membelalakan matanya, orang ini tidak ingin dikubur? Itu permintaan yang egois. Tidak ingin menyusahkan katanya. Dalam keadaan seperti ini, serangan ingatan mendadak datang. Ia seperti pernah mengalami hal ini dengan orang lain, mementingkan teman dibanding dirinya sendiri.
Rin mengangguk. Suara si Koki Gondrong—Thomas—perlahan memudar, diiringi embusan terakhir yang tak terdengar. Mata pria itu perlahan kehilangan cahaya kehidupannya.
Bibir Rin mengatup. Ada kristal bening di ujung matanya. Meskipun Thomas pernah hampir membunuhnya secara tidak langsung, tetap saja pria itu berguna. Masakannya enak, berpengetahuan tinggi, dan bisa membela diri.
Rin beralih pada Cherry. Wasiat terakhirnya, hanya agar mereka bertahan hidup dan semoga bisa bertemu lagi. Itu kontradiksi, dia berharap mereka cepat mati? Ah, bukan saatnya marah di saat seperti ini.
Rin mendekati mereka dua. Direngkuhnya kepala dua orang yang sudah tiada itu. Ia berkata lirih, "Semoga jiwa kalian berada di Eden yang sebenarnya. Berbahagialah kalian, karena penderitaan dunia telah berakhir. Tempat terbaik, untuk mereka yang berjuang sampai akhir."
###
[Weiss: Graizonuru]
"Janji semoga kita bisa keluar sama-sama sebagai diri kita sendiri"
"Janji..."
Weiss perlahan membuka matanya. Asap masih memenuhi ruangan. Dia masih dengan maskernya. Lalu...
Dia spontan bangun memeriksa orang di dekatnya. Pria gondrong itu.
"Ah..."
Terlambat, dia bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Manik mata merah sipitnya mencari satu orang lagi yang tak mendapatkan masker. Sama saja.
Dia menyipit. Ingin menangis lagi rasanya sudah terlalu lelah. Mungkin karena ingatan yang perlahan masuk satu persatu di benaknya.
Meskipun baru sedikit, namun itu ingatan yang suram. Sesuram situasi mereka sekarang. Sesuram nama lengkapnya yang akhirnya ia ingat.
White Hollow
Ia akhirnya hanya menangkupkan tangan berdoa dalam diam. Semoga mereka mendapatkan yang terbaik di surga sana.
Perlahan asap mulai menghilang. Pintu baru pun akhirnya terbuka. Sudah waktunya mereka pindah sekarang.
"Mau bawa mereka juga?" Tanyanya pada temannya yang masih hidup. Tatapannya datar. Tak ingin berlama-lama menangisi yang telah pergi.
Nanti saja saat dia sendirian, begitu pikirnya.
###
[Rin: rafpieces]
Rin melepas rengkuhannya. Ditatapnya Weiss yang telah sadar. "Cherry saja yang kita bawa," katanya. Dia menatap Thomas. "Sesuai wasiat yang dia berikan."
Rin menatap Weiss dan Kai bergantian. "Ayo, bawa dia," ujarnya sambil melihat ke arah pintu lain yang kini telah terbuka.
###
[Kailani: amelaerliana]
Kai mengatur napas. Kekuatannya perlahan-lahan kembali.
"Biar aku yang menggendong Cherry," katanya. "Weiss, tolong bawa apa yang bisa kita bawa. Dan, Rin, sepertinya yang cukup kuat bertarung hanya kau. Maukah kau memimpin di depan?"
###
[Rin: rafpieces]
Rin mengangguk. "Baiklah."
###
[Weiss: Graizonuru]
"Oh baiklah" katanya hanya menurut. Mengambil semua yang bisa ia bawa. Walau itu harus melucuti mayat juga. Kualinya, pisau, stok obat yang tertinggal dan lainnya.
Karena Mas Gondrong ditinggal sekali lagi dia sempat berdoa lagi sebelum akhirnya dia meninggalkannya mengikuti yang lain
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top