Sektor A - Hari Ketiga
[Vii: Shireishou]
"SUDAH KUDUGA!" Vii menjerit! "AKU BENCI KATA CAIN!"
Dikeluarkannya gunting kecil dari saku, tapi dirinya tahu bahwa tidak mungkin melawan dengan benda sekecil itu.
Refleks tiba-tiba membuatnya meloncat cepat ke sebelah kanan. Dia terguling dan berhasil mengembalikan posisinya tegak dalam satu lentingan.
Napasnya memburu... Separuh kaget karena serangan makhluk buas itu, separuhnya lagi kaget dia bisa bergerak seperti itu.
Siapa sebenernya dirinya? Apa sebenarnya yang terjadi?
Pikiran pemuda itu kembali penuh dengan kalimat tanya yang tak akan menemukan jawaban.
[ ### ]
[Asep: SaliverLight]
Asep menatap besi di tangannya dan mahluk itu bergantian. Ia yakin besi itu bisa langsung diempas dalam sekali serangan. Lalu Asep terpikir ide menambah performa bekas kursi itu.
"Aku punya rencana, tapi aku butuh waktu. Tolong tetap alihkan perhatiannya!"
Asep meloncat ke dalam semak-semak. Ia mengumpulkan batu dan daun kering, bermaksud membuat percikan api.
[ ### ]
[Nala: Boiwhodreams_]
" ... Ngun!"
"BANGUN!"
Haah! Mataku refleks terbuka, jantungku masih berdegup kencang. Siapa tadi yang membangunkanku?
Belum sempat kucerna situasi di sekitarku, suara auman segera merangsek ke dalam indera pendengaranku. Kutolehkan kepalaku ke arah si empunya raungan.
"Hah?! Kenapa ada singa?!"
Belum ada yang menjawab, hewan singa aneh itu melompat ke arahku. Aku segera berguling ke samping untuk menghindari terkamannya.
Aduh, kepalaku seketika langsung pusing.
"Sial!"
[ ### ]
Chimaera yang datang dari atas pohon kurma mengamuk: ia tak mampu melihat apa-apa usai dilempar biji Datura. Nala selamat dari terkaman sang Chimaera.
Dalam kebutaannya, ia berusaha mencari target. Hidungnya menangkap bau seseorang yang terguling ke arah kiri depan pintu Abel. Lantas, sang chimaera menggerakkan cakarnya ke arah salah satu lengan Mada yang terekspos. Lengannya berdarah.
Vii dengan spontan melempar guntingnya tepat mengenai salah satu mata ular pada ekor Chimaera.
Di sisi lain, Asep berkali-kali menggesekkan dua batu pada dedaunan kering, tetapi api belum juga muncul.
Menggunakan sisa mata yang ada pada ekornya, Chimaera itu bergerak untuk menggigit tubuh Vii.
Vii kurang cepat menghindar dari Chimaera, akibatnya salah satu kaki Vii terkena gigitan berbisa dari ekor ularnya.
[ ### ]
[Nala: Boiwhodreams_]
Dengan sigap aku duduk, lalu mencoba berdiri sambil membaca situasi.
Detik dari detak jantungku sudah kacau dari tadi, peduli setan dengan waktu. Chimaera itu hampir berhasil menyerang laki-laki berambut antena (siapa namanya tadi?). Setidaknya, mungkin sekarang lelaki itu akan kehilangan satu kaki.
Di tangannya aku menangkap sebuah gunting kecil yang ada di tangannya.
"Hoi! Lelaki antena! Lempar guntingmu ke aku!"
[ ### ]
[Mada: Patricia Anggi]
"Ahh.. sial! Lenganku." Mada meringis, lengannya mulai mengeluarkan darah. Untung cakaran makhluk itu tidak dalam. Ia berpikir mungkin masih bisa diatasi dengan p3k yang ada di tas celananya.
Melihat si singa mengalihkan perhatiannya ke lelaki berambut panjang dan menyerangnya, Mada memilih menepi di dekat kolam. Ia mengambil perban dan mengikatnya sembarangan, berpikir bahwa sementara bisa menghentikan darah yang mengalir, *Tak ada waktu* .
Kemudian, ia mengambil dua pisau dapur yang lumayan panjang. Kedua tangannya bersiap untuk menyerang si singa.
Sedangkan di depan sana, Nala dan yang lain dalam bahaya.
[ ### ]
[Vii: Shireishou]
Vii terkekeh lirih ketika dia mulai merasakan tubuhnya mengejang. Peluh berjatuhan di tubuhnya.
"A-aku sudah bi-lang... Ja-ngan Cain..."
'Ya sudahlah, mati pun tak buruk juga. Mungkin aku bisa masuk ke dunia yang lebih baik daripada harus berjibaku dengan monster antah berantah tanpa kenangan sedikit pun.'
'Semoga aku hanya sebatang kara. Jadi, tidak akan ada yang menangisiku. Semoga saja kelak nasibku lebih beruntung daripada sekarang.'
Vii merasakan tubuhnya semakin lelah dan lemah. Akhirnya, Vii pun menutup mata untuk selamanya.
[ ### ]
[Mada: Patricia Anggi]
Tak ada respon dari paman rambut panjang, batin Mada.
"Hei, Nala! Ambil ini!!"
Mada berlari mendekat dan melemparkan pisau dapur ke Nala. Entah lemparannya berhasil atau tidak. Ia masih menggenggam satu pisau untuk dirinya sendiri.
[ ### ]
[Asep: SaliverLight]
Asep mendengar entakan kaki di luar semak-semak, ia membuka sedikit celah di dedaunan yang rimbun. Terbelalak kala melihat rekan-rekannya diserang dengan buas. Ia menutup mulutnya yang hampir berteriak melihat keadaan Vii.
Asep berniat keluar dari tempat persembunyian, tetapi ia mengurungkan niatnya karena merasa tidak akan begitu berguna di sana. Ia memutuskan kembali membuat api dengan mengambil lebih banyak dedaunan kering di sekitarnya.
"Ayolah, ayolah, jadilah api! Kumohon!"
[ ### ]
[Vii: Shireishou]
Vii mendadak merasakan tubuhnya seperti ditarik ke belakang sebelum seperti diempas ke tanah. Pria itu mendadak membuka mata dan menarik napas terengah-engah.
'Lho? Belum mati?' batinnya kecewa. Karena sesudah itu, dia harus mengerang karena sakit yang luar biasa menerjang kakinya.
Vii melihat luka di kakinya dan menggerutu. Susah payah dia bangun dan bergerak ke tepian. Dengan gunting yang disiram alkohol, dia membuka luka agar racunnya keluar sebanyaknya.
Vii menarik lepas lengan bajunya dan membebat kakinya yang berdarah.
'Kurang ajar kalian! Kenapa aku yang apes padahal bukan aku yang memilih Cain!'
Vii melihat sekeliling mencari apa yang sekiranya bisa dijadikan senjata.
[ ### ]
[Kadensa: frixasga]
Oh? Ia berhasil. Kadensa menyaksikan singa itu menggeliat sebentar, tapi Nona Rambut Coklat dan Vii menjadi incaran serangannya. Darah mengucur dan Kadensa menyeringai.
Apa yang harus dilakukannya agar yang lain punya waktu untuk mengobati diri atau menghindar?
"Mau Cain atau apa pun, kemungkinan kita akan tamat masing-masing 25%, tidak usah menyalahkan!"
Yang Kadensa lempar berikutnya. Roti atau botol air, atau melempar dirinya sendiri ke atas sang singa.
Ah, boleh juga. Menunggangi singa dan menarik surainya keras-keras agar dia meronta sepertinya pilihan bagus. Toh singa itu cuma akan melemparnya dan tidak bisa menyakarnya atau menebas menggunakan ekor.
Kadensa pun melentingkan tubuhnya dengan bantuan pijakan pohon, menuju punggung singa dan mencengkeram erat.
[ ### ]
Nala berusaha menangkupkan kedua tangannya untuk meraih pisau yang dilempar, tapi lemparan pisau itu meleset dan tergeletak di lantai.
Asep masih berusaha keras memantik api. Sebenarnya mulai muncul sedikit percikan, tetapi mungkin terlalu sedikit bagi dedaunan lembap itu untuk mampu terbakar.
Vii, di lain sisi, berusaha mencari senjata yang bisa digunakan di sekitarnya. Ia melihat sebuah pisau dapur tergeletak di lantai, tetapi saat berusaha menggapainya, rasa sakit di kakinya mulai menjadi-jadi. Ia menengok ke arah sang Chimaera.
Ada Kadensa di sana, menjambak surai sang Chimaera. Belum usai beberapa detik, sang singa berekor ular meraung, lantas mengibas-ngibaskan tubuhnya sehingga ia jatuh terhempas ke tanah.
Sang singa yang kini buta dengan impulsif hendak menyeruduk Kadensa.
Namun saat akan menyeruduk, sang Chimaera kehilangan keseimbangan. Dia sempat kehilangan arah musuh akibat pendarahan pada matanya, hingga menyeruduk sebuah pohon.
[ ### ]
[Kadensa: frixasga]
Aduh!
Sang singa lebih pintar sehingga dia tersungkur di tanah. Padahal mereka sudah berhasil membuatnya buta!
Singa tidak menyerah, dan berusaha menyeruduknya yang mengerang di tanah, untungnya ia belum diberi kesempatan untuk mati. Pohon yang diseruduknya patah percuma, tapi itu mungkin akan membuatnya diam sebentar.
Tentu saja, ia tidak bisa tinggal diam di sana, berpura mati.
Tapi punggungnya sakit juga.
Rasanya tidak etis melempar botol air atau roti ke singa buta, ia juga tidak mungkin melihat.
"Apa yang harus kulakukan sekarang ya?" pikirnya dengan suara keras.
Oh iya, ada batang pohon yang tadi diseruduk singa, ranting-ranting besarnya bisa digunakan.
Kadensa terhuyung bangun.
"Tuan Ikan!" pekiknya. "Bakar pohon ini! Saya akan mencoba mengalihkan perhatiannya lagi."
Saatnya melempar-lempar singa dengan batu ke segala arah sehingga dia kebingungan.
[ ### ]
[Nala: Boiwhodreams_]
Aw, Kak Kadensa, itu pasti sakit.
Memanfaatkan si Chimaera yang sedang membabi-buta (buta secara literal), aku berlari, hendak meraih pisau yang jatuh di lantai.
[ ### ]
[Vii: Shireishou]
Vii mengerjapkan mata beberapa kali berharap yang dilihatnya bukan ilusi dari racun yang tersisa di tubuh. Chimera nyusruk ke pohon? Astaga!
Vii berusaha berdiri, tapi kakinya kembali berdenyut. Darah di kakinya sudah berhenti merembesi pakaian. Setidaknya Vii berharap racunnya berhasil keluar semua, atau dirinya keracunan saja sekalian biar tidak repot.
Vii melihat orang-orang itu berusaha melawan. Dia pun ingin membantu. Ditenggaknya 2 butir paracetamol yang dibawanya dengan segera sebagai pereda sakit sementara.
[ ### ]
[Mada: Patricia Anggi]
"Ah, sial." Lemparan pisau Mada ke Nala gagal. Bocah itu tidak bisa menangkapnya. Pandangan Mada beralih ke Vii yang ternyata telah bangun, *Syukurlah dia masih hidup*
"Sepertinya, tuan rambut panjang bisa mengatasi dirinya sendiri," gumamnya. Ia kemudian terhenyak ketika bunyi gedebuk terdengar. Ternyata sang singa tumbang karena menyeruduk pohon.
Kadensa, wanita itu sepertinya punya ide. Tapi, ia tak mungkin hanya berdiam diri. Kesempatan bagus untuk menusuk tubuh si singa dengan pisau yang dia bawa.
Mada berlari ke arah si singa, berusaha menungganginya dan hendak menusuknya.
[ ### ]
[Asep: SaliverLight]
Asep mangambil ranting-ranting pohon yang diberikan Kadensa. Untungnya singa itu sama sekali tak menyadari keberadaannya yang ada di balik semak-semak sejak tadi.
Saat keluar dari persembunyiannya, ia jadi tahu kalau Vii masih hidup, meski kelihatannya sudah hampir sekarat. Tetapi setidaknya Vii sangat berani karena masih berada di sana, berbeda dengan Asep yang seolah hilang ditelan bumi. Ia merasa tidak berguna karena sementara Mada sudah bergerak lincah ke arah singa. Ah, nyalinya kalah dengan seorang gadis. Oh, tidak, lebih tepatnya kalah dengan bocah yang berusaha meraih senjata.
Asep menetaskan air mata tanpa aba-aba. Untuk pertama kalinya, ia kambuh di saat yang tepat. Ia merasa deja vu dengan situasi ini. Tangan yang kaku saat memegang batu dan ranting ini sama seperti perasaaan itu, perasaan di masa lalu yang tak bisa ia ingat, kecuali suara tembakan meriam yang samar di telinganya.
"Argh, kenapa aku tidak bisa ingat apa, pun?" Asep memutuskan kembali berurusan dengan bahan pembuat api di hadapannya. "Kalau kau sampai tidak berhasil lagi, kau harus keluar dan bantu mereka dengan apa adanya senjatamu," katanya pada dirinya sendiri.
[ ### ]
Murka dengan aksi mereka sebelumnya, Chimaera mulai mengepakkan kedua sayapnya tinggi-tinggi. Kini, ia terbang di atas mereka. Kedua matanya berusaha menerka-nerka musuh walau pandangannya kabur.
Sang Chimaera menghela napas, kemudian melepaskannya dalam sebuah auman pada mereka berlima.
Hanya, yang keluar bukan udara.
Melainkan api.
Semburan pertama menggelora, tapi meleset, hampir saja mengenai Nala yang memungut pisau. Alih-alih mengenai Nala, kobaran api jatuh persis ke belakang Asep, nyaris menyambar pantatnya. Satu per satu pohon yang terkena percikan api mulai terbakar.
Sang Chimaera tak pantang mundur.
Semburan api kedua dilontarkan, dan tumpah mengenai punggung Kadensa--membakar baju dan kulitnya hingga melepuh.
[ ### ]
[Kadensa: frixasga]
Aduh, kali ini lebih sakit. Ternyata si singa bisa mengeluarkan api!
Ternyata memang lebih menyenangkan kalau bajunya digunting ketimbang terbakar. Kadensa pun berguling menuju kolam untuk mencoba meredakan punggungnya yang melepuh. Air mungkin akan membuat lukanya semakin menyengat, tapi tidak banyak pilihan lain.
Adrenalin tidak cukup untuk menghalau sengat luka bakar, sepertinya. Entah sakitnya akan berkurang atau tidak.
Singa itu terbang sekarang, tapi ia buta, seharusnya singa itu tidak memiliki banyak kesempatan untuk menyerang.
Mungkin?
[ ### ]
[Asep: SaliverLight]
"Huwaaa, api! Api! Api!" Asep bernjijit dan melompat ke depan. Ia mendongak ke atas, mencari sumber api. Rupanya Chimaera itu bisa menyemburkan api. Asep hanya bisa melongo. "Hah? Hah? HAH?!"
Merasa usahanya sia-sia, Asep mengerang kesal. "Siluman aneh, kenapa tidak dari tadi saja kau keluarkan apinya?!" Ia menggerutu lagi dan memutuskan segera membakar ujung besinya yang tertutup gumpalan sobekan baju pasien dengan api di semak.
Ia memandang rekan-rekannya yang sepertinya sudah mulai kehabisan tenaga. "Sepertinya hanya aku yang masih dalam kondisi prima," gumam Asep sebelum mulai memanjat pohon kurma. "Aku yang paling tinggi di sini, seharusnya aku bisa menjangkau mahluk itu. Mumpung dia sedang buta."
Asep memanjat pohon kurma dengan cepat, begitu sampai di puncak, ia mencoba menusuk sayap chimaera dengan besi berapi. Ia berharap serangannya tepat sasaran.
[ ### ]
[Mada: Patricia Anggi]
Mada terhenyak ketika mendekati Chimaera, cakar singa itu menyerang dan tak sempat menghindar. Mada merasakan benturan yang sangat keras, kemudian badannya terhempas ke kolam.
Selama beberapa detik ia meraih permukaan, ketika sampai, malah ia melihat taman yang sudah dilalap si jago merah.
Raungan si Chimaera kembali terdengar, kemudian
wussshh.
Keluar api dari mulut Chimaera. Akhirnya Mada tahu asal api itu. Ia menyelamatkan diri dengan menenggelamkan diri ke kolam, berharap tak terkena semburan api itu.
[ ### ]
[Vii: Shireishou]
Vii bangkit melihat rekan-rekan seperjuangannya sibuk berusaha menyerang.
"CEBURIN KE KOLAM BISA GA SI? KALI DIA KONSLET?!" jeritnya.
Sesaat Vii baru sadar elemen Singa jelek itu api, bukan listrik.
Kadung malu, Vii berusaha mencari senjata yang bisa dimanfaatkan.
Tangannya meraba onigiri isi daging yang dibawa tadi.
"SINGA JELEEEK! KALAU LAPER... MAKAN ONIGIRI AJAAAA!"
Vii berusaha mengalihkan perhatian agar teman-temannya bisa menyerangnya. Mobilitasnya paling buruk saat ini. Hanya ini yang bisa dia lakukan untuk berjuang.
[ ### ]
[Nala: Boiwhodreams_]
"Api?!" Aku memekik, kontan kembali berlari menjauh.
Mataku menangkap dan meneliti, api yang dikeluarkan rasanya punya interval ....
Betul, setiap 5 detik. Cukup kah selama waktu itu aku maju menyerang? Setidaknya aku harus menusuk lehernya.
Peganganku di gagang pisau mengerat.
Satu ... dua ... tiga ....
Aku mengambil ancang-ancang, jika setiap 5 detik singa aneh itu akan 'bersin api', jadi ia tinggal mengandalkan refleksnya untuk menghindar.
Lima!
Nala merangsek maju.
[ ### ]
Tidak. Chimaera itu agaknya enggan berkalang tanah walau lehernya berdarah. Sisa-sisa tenaganya dia kumpulkan. Dia angkat sayapnya dengan niat mengenyahkan Asep, tetapi untungnya Asep hanya terjatuh dan dapat menghindar dari terkaman maut Chimaera.
Masih belum puas, Chimaera itu mulai bangkit berdiri, ekor ularnya mendesis dan menyemburkan bisa beracun pada wajah Nala.
Untungnya, Nala bisa menghindar tepat waktu.
[ ### ]
[Nala: Boiwhodreams_]
Hampir! Bisa ular yang ada di pantat singa aneh itu hampir saja mengenai wajahku.
Terima kasih kepada otot-otot tubuhku yang refleks menghindar. Aku sendiri tidak tahu ternyata tubuhku bisa selincah ini.
Sekarang, singa aneh itu makin marah saja rasanya. Ia belum sepenuhnya mati, tapi luka di leher singa akibat tebasanku pasti lumayan memberi kesulitan baginya.
Sekarang, muncul masalah lain, si ekor ular itu yang terlalu gigih menyemburkan bisanya tiap kali kami mendekat.
"Kak Ikan Aneh! Tebas ekornya!" teriakku seraya melempar pisau yang tadi aku genggam.
[ ### ]
[Kadensa: frixasga]
Sudah berapa kali ia mengaduh? Tapi untungnya jeritnya tertahan karena dia masuk ke dalam kolam.
Wow, perih sekali. Rasanya seperti tumbuh tulang baru di punggungnya, tapi tulang itu adalah listrik yang memeluknya dan membuatnya mengejang.
Ia mencoba naik ke permukaan, menarik kepalanya ke arah muka air. Apa kabar singa itu sekarang? Oh, apa ia akan mati saat ia berhasil menarik kepalanya keluar dari kolam?
Ah, tapi paling tidak ia keluar kolam nantinya masih berbusana, mungkin ia harus berterima kasih pada singa itu nanti semisalnya ia sudah menjadi bangkai.
[ ### ]
[Asep: SaliverLight]
Asep merasa tidak akan bisa mendekati ekor singa yang berwujud ular itu dengan mudah. Setelah menangkap pisau dari Nala, ia malah berlari ke dekat pintu Cain. Tangannya kelabakan mencari sisa besi pretelan kursi tadi. Saat sudah menemukannya, Asep kebingungan mau mengikatnya dengan apa. Mau tak mau ia merobek baju pasiennya lagi sampai atasannya tak lagi menutupi tubuh.
Asep selesai dengan membungkus pisau, ia berlari ke arah api dan membakar pisaunya. "Bagus, sekarang aku punya pisau yang terbakar!" Ia menatap Nala yang masih di dekat Chimaera. "Minggir, bocah! Ini panas!"
Asep menerjang ekor Chimaera berwujud ular itu, berusaha memenggal lehernya dengan api yang berkobar di tombak rakitannya.
[ ### ]
[Vii: Shireishou]
Vii melihat kepala Kadensa keluar di permukaan! Tampaknya dia kesakitan.
Sakit?
Vii lagi-lagi merogoh saku bajunya sebelum berlari terseok ke arah Kadensa dan menjulurkan tangan.....
"Mau paracetamol?"
[ ### ]
[Mada: Patricia Anggi]
"Kadensa? Kau tak apa?" Tanya Mada ketika melihat Kadensa sama-sama tercebur ke kolam.
Ìa juga melihat Vii menghampiri Kadensa, memberinya Paracetamol.
[ ### ]
Sang Chimaera sudah kehabisan tenaga dengan serangan terakhirnya tadi. Tubuhnya menggelepar, laiknya paus yang terdampar di tepi pantai.
Sungai kecil berwarna merah mengalir dari leher, sayap, dan mata pada ekor ularnya tak henti-henti. Pergerakannya tadi malah melebarkan luka-luka di tubuh sang singa.
Nala benar-benar menikam pembuluh nadi di lehernya; dadanya kembang-kempis; napas Chimaera tersebut lambat laun terterungku dalam paru-parunya.
Sebelum sang Chimaera kehilangan kesadaran, Nala bersumpah ia sempat melihat setetes air yang kabur dari pelupuk mata kanan sang singa.
[ ### ]
[Kadensa: frixasga]
Kadensa menghela nafas panjang setelah menelan dua paracetamol pemberian Vii dan Mada. Memang, penanganan luka bakarnya tidak benar, sehingga lukanya mengalami infeksi. Ia hanya terduduk di tepi kolam, hanya bisa diam dengan segala sakit di punggung dan kini di dalam perut karena obat-obat tadi.
Sebentar lagi rasa sakit harusnya hilang, tapi paracetamol tidak bisa menghalau infeksi. Yah, tidak masalah, rasa sakit dan panas tubuh bisa hilang.
Di sisi lain pandangannya, Tuan Sinis tengah bermain heroik dan mengalahkan si singa. Entah apa yang akan dia katakan setelah ini, semoga saja dia tidak membusungkan dada atau mungkin Kadensa akan menginjaknya.
Dan si Tuan Ikan ...
Ah, Tuan Ikan kasihan sekali mukanya tersembur sesuatu dari mulut ular. Kemungkinan bisa racun. Mukanya bisa rusak bila terus dibiarkan.
"Hei, Vii? Nona? Tadi rasanya saya melihat ada akar-akaran kuning di ujung sebelah sana. Namanya kunyit. Bawa sebagian untuk Tuan Ikan dan sebagian untukku, ya? Balurkan saja di wajahnya agar dia tidak keracunan."
Kepalanya terasa penuh, ada suara-suara soal 'antiseptik'. Ia akhirnya duduk diam, tidak mampu bergerak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top