Sektor A - Hari Keempat

[Mada: Patricia Anggi]

Mada mengangguk. Di dalam hati ia bertanya-tanya tentang kemampuan Kadensa yang tahu banyak tentang pengobatan. Andai saja ia juga punya kemampuan itu.

Ia segera bangkit dan mengambilkan beberapa buah kunyit. Beberapa ia serahkan kepada Kadensa.

Dengan gerak cepat, ia pun mengupas kunyit, menumbuknya dengan batu, dan menghampiri Asep. Ia membalurkannya ke wajah Asep.

Ah ... benar. Mungkin saja kunyit ini juga bisa untuk menyembuhkan lengannya yang sempat kena cakar si singa. Ia juga menempelkan beberapa untuk lengannya sendiri.

Ia hendak bertanya keadaan Asep ketika suara pintu terbuka terdengar. Pintu Cain telah terbuka!

"Lihat! Pintu itu sudah terbuka!"

Tanpa menunggu yang lain, Mada berlari mendekati pintu itu. Ia diserang rasa penasaran yang tinggi. Kali saja apapun yang ada di pintu itu dapat membantunya mengingat siapa dirinya yang sebenarnya.

[ ### ]

[Kadensa: frixasga

Akhirnya ia bisa bergerak lagi setelah membalurkan kunyit di punggungnya. Ia berdiri dengan limpung.

Pintu Cain yang terkunci dan membiarkan mereka bergulat dengan singa terbuka, tapi ruangannya terlihat gelap.

Kadensa mengerling. Pesta apa lagi yang akan ada di dalam?

"Tuan Ikan, masih ada sisa api, 'kan? Bagaimana kalau anda coba bawa obor ke dalam?" ia memberi saran.

Kadensa pun turut menuju ruang Cain, perlahan tapi pasti.

[ ### ] 

[Vii: Shireishou]

Vii mengekor dengan terseok-seok. Kakinya masih lumayan sakit.

Kalau minum paracetamol harus dalam jarak empat jam minimal. Jelas belum boleh

Vi merasa pikirannya lelah. Begitu kosong, tapi justru terasa letih. Apa yang akan menantinya di ruangan itu?

Gelap.

"Apa ada yang punya senter?"

[ ### ] 

[Mada: Patricia Anggi]

"Tak ada senter. Kita bisa menggunakan sisa api dari singa jelek itu. Aku akan menbantu Asep membuat obor."

Mada berinisiatif. Kadensa dan Vii jelaslah sangat lemah dibandingkan dia, jadi dia akan membiarkan mereka beristirahat.

"Asep! Kau sudah membaik kan? Bisa carikan beberapa ranting kayu? Laku akan mencari dedaunan kering."

Tanpa menunggu reaksi Asep, Mada melihat sekeliling. Cukup banyak daun-daun kering yang tak ikut terbakar. Terlihat juga sisa-sia api dari Chimaera yang belum padam. Ah ... Mada juga menemukan pisau yang tergeletak, sisa bertarung tadi. Ia mengambilnya dan memasukkannya ke dalam tas celana.

Mada kemudian mengumpulkan daun kering. Ia membawa daun-daun itu dengan baju yang ia angkat sedikit seperti kantong.

Ada kunyit juga, ia akan membawanya, perasaannya berkata bahwa sepertinya mereka akan lebih banyak terluka.

[ ### ]

 [Asep: SaliverLight]

Asep berjalan dengan pelan untuk menjaga kunyit di wajahnya tidak jatuh. Ia mengacungkan jempol pada Kadensa dan Mada. Sepertinya untuk beberapa waktu kedepan ia tidak akan bisa banyak bicara karena kondisi wajahnya setelah terkena bisa ular benar-benar sakit. Dan semoga saja tawanya tidak tiba-tiba kambuh di saat seperti ini.

Asep menyeret kotak berisi roti dan kurma yang nyaris terpanggang. Ia memasukkannya ke dalam pintu Cain. "Ada yang mau menbuat roti isi kurma? Aku masih punya banyak roti."

Lalu ia meninggalkan pintu Cain dan mencari peralatan bertarungnya tadi untuk membuat obor. "Nona Mada, buat obor dengan batang pohon saja. Kalau pakai besi nanti tanganmu melempuh kepanasan." Ia menunjukkan telapak tangannya yang sudah melempuh pada Mada. Asep baru menyadari luka di telapak tangannya itu, ia jadi kesulitan memegang sesuatu.

Asep memungut kembali besi-besinya dan memberikan batang pohon yang ia tebas pada Mada.

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Ujung batang pohon seketika membentuk nyala api. Api Chimaera sepertinya ajaib, lain dari api biasa yang tanpa minyak tak akan bertahan lama dan pasti akan membakar habis kayu. Api Chimaera itu menyala terang bahkan dengan kayu kecil, kayu itu bahkan sepertinya tidak cepat terbakar habis.

Wow, sebuah keuntungan.

Ia membawa obor-obor itu ke pintu.

[ ### ]

[Kadensa: frixasga]

Kadensa mengadah ke atas, ada lubang berbentuk persegi yang letaknya jauh di atas. Sinar yang ada dari sana kurang cukup menerangi ruangan yang kurang lebih remang-remang.

Gas chamber, benaknya berkata. Lagi-lagi tempat dan bau familier. Bau familier itu datang dari suntikan yang ditaruh di sisi ruangan dekat pintu.

Kenapa baunya familier lagi? Ia tidak merasa punya hak untuk membuat vaksin--

Tunggu.

Memangnya ia bisa membuat vaksin? Kadensa mengerjap. Kemampuan mengetahui obat-obatan datang secara alamiah pada dirinya hingga ia tidak mempertanyakannya lagi.

Apa jangan-jangan sebenarnya ia adalah--

Belum lama ia mencoba melihat-lihat sekeliling dan terlarut dalam memori, cairan muncul di pojok-pojok ruangan.

Pesta berikutnya sudah dimulai.

[ ### ]

[Asep: SaliverLight]

Asep mengangkat kotak berisi rotinya dan batang besi di tangan. Beberapa persediaanya telah dilahap api, terutama galon berisi air tadi. Ia berdiri dengan tidak tegak karena badannya terasa masih sakit semua pasca pertaruangan berapi tadi.

Ia tak bisa melihat dengan jelas yang lainnya, kecuali Mada yang membawa obor. "Apa yang kau lihat Nona Mada?" Baru saja ia menutup mulut, sesuatu yang basah membanjiri kakinya setelah jatuh dari pojok atas.

Asep bernapas frustrasi. Suara-suara meriam, senapan, dan alat kejut listrik kembali memenuhi telinganya.

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Ruangan di balik pintu Cain yang sudah menutup itu membuat Mada sedikit merinding. Dengan menggunakan cahaya obor, Mada melihat sekeliling dan terhenyak ketika melihat suatu benda.

Asep bertanya apa yang sedang ia lihat. Ia tak menjawab selama beberapa detik karena tiba-tiba saja sekilas dalam benaknya muncul bayangan seseorang lelaki memegang benda yang mirip dengan yang dilihatnya sekarang, Sebuah cairan dalam alat suntik.

"Aku menemukan sesuatu, sebuah alat suntik dengan cairan di dalamnya. Tapi aku tak tahu apa itu. Kadensa? Apa kau tahu sesuatu tentang ini?"

Mada melihat alat suntik itu lagi dan merasakan perasaan yang tak enak. Belum sempat dijawab Kadensa, tiba-tiba terdengar suara seperti semprotan di pojok ruangan, menimbulkan hujan kecil. Tepatnya ada di pojok atas.

"Apa itu tadi?"

[ ### ]

[Vii: Shireishou]

Air membasahinya. Hanya sekejap. Namun, perasaan buruk menerjang bagai bah.

Vii merasa tubuhnya menggigil kedinginan sejak semprotan tadi menghantam tubuhnya.

Racun? Virus? Bakteri? Persetan!

Ada tiga jarum suntik yang tersedia. Lima yang akan memperebutkannya.

Apa dirinya mengalah saja? Kakinya terluka. Tentu mobilitasnya paling terhambat.

Apa Tuhan akan menilai itu sebagai usaha bunuh diri?

Eh? Tuhan? Vii terdiam saat menyadari dia masih bisa mengingat Tuhannya.

Vii menarik napas. Dia harus BERUSAHA mendapatkan suntikan itu! Sisanya, dia harus bisa nenerima....

[ ### ]

[Kadensa: frixasga]

Belum lama ia menenggak paracetamol tapi cuma ada beberapa reseptor yang bisa kebal sementara dari sakit. Cairan yang mengenainya pasti mengandung sesuatu yang mungkin akan menggerogotinya perlahan - bukan cuma dia, tapi mereka semua.

Mada menunjukkan keberadaan tiga jarum suntik di dekat mereka, jarum suntik dengan bau yang familier.

"Saya tidak tahu apa ini tapi kemungkinan ... ini bisa menyelamatkan kita. Tapi hanya tiga, yah? Yang memberikannya sangat murah hati sekali."

Perlahan, kepalanya mulai didera pusing. Menusuk tengkorak.

[ ### ] 

[Nala: Boiwhodreams_]

"Bagi rata tiga suntikan itu untuk kita semua," ujarku yang kebasahan pada Kak Kadensa.

Aku tidak tau cairan apa tadi, tapi, kalaupun itu cairan berbahaya, besar kemungkinan kami dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Cairan itu bisa masuk dari lubang telinga, mata, hidung ataupun mulut kami, atau di luka-luka yang terbuka.

Menunjuk-nunjuk orang yang akan mencobanya hanya akan menambah masalah—dan menurutku, tentu saja suntikan itu tidak berbahaya.

Dinilai dari sejak bangun hingga melawan singa aneh tadi, meskipun ada lawan, paling tidak ada alat yang bisa kami gunakan untuk bertahan hidup.

Di sini hanya ada 3 jarum suntik. Kurasa itulah alat yang harus kami gunakan sekarang.

"Kak Kadensa sepertinya punya keahlian tentang obat-obatan, bagaimana menurutmu? Apakah isinya berbahaya?"

[ ### ]

[Kadensa: frixasga]

Melihat tiga suntikan itu dan semua pasang mata yang menatap ke arahnya karena ia kemungkinan yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan membuatnya tertegun.

Sama seperti saat laga melawan Chimera tadi, mereka semua tidak diberikan kebebasan untuk memilih. Cairan di dalam jarum suntik itu bisa saja racun untuk memperparah keadaan, atau juga penyelamat bagi mereka berlima.

Kadensa melihat level cairan. 15 mL. Bila tiga suntikan itu disatukan dan dibagikan rata untuk 5 orang, mereka akan mendapat sekitar 9 mL cairan.

"Kalau dibilang isinya berbahaya atau tidak, saya kurang tahu. Kita juga tidak punya waktu untuk memeriksanya, bukan?" ia menatap tiga suntikan itu lagi, pandangannya kabur.

"Kalau kita membagi tiga suntikan ini, kita bisa mengeluarkan cairannya dulu dan masing-masing dari kita akan mendapat 9 mL cairan. Atau, misal kalian tidak suka mendapat dosis tidak penuh, bisa saja kalian memilih untuk menyuntikkan semuanya. Terserah kalian."

Kadensa pun memberikan pilihan.

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Setelah terkena semprotan cairan aneh itu, kepala Mada sedikit pusing. Apakah mungkin cairan itu beracun? Ah ... entahlah, Mada tak bisa berpikir berat sekarang.

Sekarang perhatian semua orang tertuju pada 3 suntikan yang dilihatnya. Benar kata Kadensa, siapapun yang memberikan suntikan itu, sangatlah murah hati. Ada 5 orang di sini, tapi hanya ada 3 suntikan. Aku juga tak tahu itu racun atau obat.

Denyut di kepalanya semakin keras.

Kami membuat projek berbahaya. Sangat berbahaya.

Tiba-tiba ia seperti mengingat sesuatu. Ia melihat seorang lelaki mengatakan kalimat itu.

Siapa?

Mada tidak bisa berpikir. Lebih baik kembali saja pada kenyataan. Memikirkan tentang suntikan itu jauh lebih penting.

"Tapi, kita masih belum tahu itu benar-benar obat penawar atau racun. Bagaimana kalau itu racun dan kita mati setelah disuntikkan?"

[ ### ] 

[Nala: Boiwhodreams_]

Tiba-tiba, kepalaku terasa dipukul dengan keras dari dalam. Aku terduduk seketika, pandanganku kabur, sementara kerongkongan dan tenggorokanku terasa panas.

"Ohok!" Darah keluar dari dalam dan hidungku.

Sial, apa lagi sekarang?

[ ### ]

[Asep: SaliverLight]

Hujan air aneh tadi membuat Asep perlahan mulai merosot terduduk. Ia mulai tidak fokus, kepalanya sangat pusing dan perdebatan orang-orang di hadapannya membuatnya semakin tidak bisa melakukan sesuatu.

Ingatannya berangsur-angsur pulih. Namun, hanya ingatan tentang pertarungan di stadion yang ia ingat. Dulu di sana ia adalah salah satu petarung, petarung yang sepertinya dipaksa oleh otoritas tertentu. Ia tidak ingat tepatnya, yang jelas semua orang menertawakan kekalaham Asep. Ia mengehela napas, semakin dalam mengorek ingatannya, hanya ada rasa sakit dan kebencian.

Asep memerhatikan 3 suntikan itu dan orang-orang yang sibuk berdebat bagaimana membagikannya.

Ia tidak menginginkannya. Tak bisa dibayangkan bagaimana rasanya tetap hidup dengan ingatan yang menyakitkan meski hanya sebagian kecil yang bisa diingatnya. Rasanya Asep sudah lelah menjadi mainan mahluk sebangsanya yang kebih kuat.

Omong-omong soal asal usulnya, Asep sebenarnya ras lain yang sangat berbeda dengan orang-orang dalam ruangan bersamanya. Asep yakin saat mati pun jasadnya masih akan dibedah di sini. Siapa pun yang membuat fasilitas mengerikan ini, dia benar-benar tidak bermoral.

Oh, soal siapa yang pantas mendapat suntikan, Asep mencoba memperkirakan kondisi mereka. Kadensa terluka parah, tetapi dia yang paling banyak berkontribusi menyembuhkan semua orang. Dia layak, asal bisa cepat menyembuhkan lukanya.

Lalu, Mada terlihat masih bugar, dan cukup lincah. Dia akan banyak membantu. Dia bisa melanjutkan perjalanan.

Satu-satunya bocah di sana juga punya kondisi uang masih prima dan cukup pintar walau menyebalkan. Aku malas mengatakan ini, tapi okelah untuknya. Asal dia tidak bertingkah.

Lalu, Vii, lukanya cukup mengganggu gerakan. Dia masih bisa terus melanjutkan perjalanan kalau mau. Aku tidak tahu apa dia masih ingin hidup atau tidak, tapi kurasa dia masih bisa melanjutkan perjalanan.

Asep ingin memberikan pandangannya yang dia pikirkan matang-matang—setelah sekian lama tak banyak berpikir. Namun, ia mengurungkan niatnya saat merasa mual dan napasnya mulai sesak.

"Bisa jadi itu obat penawar. Waktunya tidak banyak, kalian bisa mati kalau tidak segera pakai suntikan itu—." Tenggorokan Asep seperti terlilit, ia berhenti bicara. Lalu otot wajahnya kembali bergerak di luar kendalinya. "HAHAHAHAHAHAHA."

Ia kambuh lagi. Tak masalah, setidaknya untuk yang terakhir kali sebelum ajal menjemput ia bisa tertawa lepas.

Kapan lagi aku bisa tertawa kalau bukan sekarang?

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Mada merasakan tenggorokannya panas. Suhu badannya juga naik.

Melihat Nala dan Asep mulai terbatuk-batuk, bahkan Nala mulai mengeluarkan darah, ia mulai sadar harus segera mengambil keputusan.

Terserahlah. Kalau aku mati sekarang. Biarlah. Entah racun atau penawar, tak ada pilihan lain.

Mada mengambil satu suntikan. Lalu berjalan ke tengah.

"Kalau itu memang obat penawar, bagaimana kalau yang mempunyai gejala terberat dapat memakainya lebih dulu? Aku benar-benar tak bisa memikirkan cara yang adil. Membagi cairannya pun tak ada jaminan kita akan selamat karena dosis berkurang. Lebih baik ada yang berkorban, bukan?"

Ia mengulurkan suntikan itu. Mempersilakan siapa saja yang hendak mengambil.

[ ### ]

[Kadensa: frixasga]

Bimbang, tapi waktu mereka semakin terkikis dengan semua mulai menunjukkan gejala. Mereka tetap di 50:50, tidak ada yang tahu cairan ini racun atau penyembuh.

Karena matanya berputar, Kadensa memejamkan mata sebentar, mencoba membukanya lagi.

"Saya hanya memberikan pilihan. Kalau misal kalian membaginya, silakan. Tapi sepertinya tidak ada yang setuju soal membagi dosis, ya."

Kadensa tertegun. Giginya menggertak tidak nyaman. Untungnya Asep masih bisa tertawa.

"Gejala terberat di sini ... Tuan Sinis, ya?" Kadensa mencoba melirik Nala yang sudah batuk darah. "Boleh saja kalau anda mau mencoba, toh saya rasa anda yang paling muda di sini."

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Pandangan Mada beralih kepada Nala. Ia mengulurkan suntikan itu pada Nala.

"Jadi, bagaimana? Mau mencoba?"

[ ### ]

[Nala: Boiwhodreams_]

Cih.

Aku bangkit dan berjalan pelan, tanganku meraih suntikan dan meneliti alat itu sejenak.

Pandanganku semakin kabur, tidak ada alat-alat lain yang membahayakan selain semprotan tadi. Aku yakin suntikan ini yang akan membantu kami bertahan dari efek cairan tidak jelas tadi.

"Disuntik di mana?" tanyaku ke Kak Kadensa.

[ ### ]

[Kadensa: frixasga]

Kadensa terdiam, lagi. Bila Nala menggunakan suntikannya untuk satu dosis, ia akan otomatis tidak membagi ke yang lainnya.

Mari kita coba mengujinya sebentar.

"Jadi, apa anda mau mencoba dan mengambil semuanya, lupa dengan keinginan anda membagi ke yang lain?"

[ ### ]

[Nala: Boiwhodreams_]

"Toh kalian juga tidak ada yang mau mengambil risikonya jika aku membagi dosisnya, 'kan?"

Pandanganku mengedar ke seluruh ruangan.

"Oleh karena itu, aku sendiri yang akan menunjuk seseorang untuk menjadi tester sama sepertiku."

Meski pandanganku perlahan kabur dan kepalaku pening bukan main, aku mengarahkan seluruh tubuhku untuk merangsek maju menuju seseorang yang paling dekat denganku. Tanganku kusiapkan untuk mengait lehernya, kemudian dengan sigap, aku akan menyuntikkan suntikan ini ke lehernya.

Sasaran empuk, sekaligus orang dengan keahlian paling berguna jika aku tetap hidup di tempat ini, Kak Kadensa.

[ ### ]

[Kadensa: frixasga]

Ah, bocah itu memanfaatkan tubuhnya yang lebih besar, lagi.

Memang, badan kecil ini bisa saja membuatnya bergerak lincah dan menghindari Nala, namun salahkan luka di punggungnya, kepalanya yang terus berdenyut, dan tubuhnya yang mulai menggigil tidak nyaman. Dua parasetamol efeknya mulai kalah oleh gangguan luar.

"... Jadi itu mau anda."

Kadensa mendesis, mungkin pertama kalinya sejak ia dilempar ke 'pesta' ini oleh entah siapa.

[ ### ]

[Nala: Boiwhodreams_]

Sebelum pening di kepalaku menjadi-jadi, aku segera menusukkan suntikan yang sudah kubawa ke lehernya.

"Tenang, aku akan menyusulmu, Kak," ujarku, sambil melihat satu jarum suntik yang masih ada di genggamannya.

Begitu dosisnya habis, aku melepaskan perempuan itu, dan menuntunnya untuk duduk bersandar di tembok. Lalu, aku mengambil suntikan dan melakukan hal yang sama.

Saat jarum itu menembus leherku, aku merasakan cairan misterius itu telah mengalir masuk.

Selanjutnya ... apa yang akan terjadi?

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Mada terhenyak melihat tindakan Nala ke Kadensa. Ia menyuntikkan cairan itu ke Kadensa, lalu ke dirinya sendiri. Dua suntikan sudah habis. Tinggal satu.

Tapi Mada merasa pilihan Nala sudah benar. Kadensa, wanita yang mempunyai kemampuan itu harus hidup. Kalau dipaksa memilih, dia tak akan mau.

Jadi ... bagaimana suntikan sisanya? Mada berharap, Asep atau Tuan Vii saja yang menerimanya. Untuk apa hidup jika ia tidak bisa mengingat apapun tentang dirinya?

"Baiklah. Dua suntikan sudah terpakai. Tinggal satu lagi. Siapa yang menerimanya, biarlah waktu yang menjawab."

Ia kemudian berjalan hendak berkeliling ruangan. Namun, pening di kepalanya membuatnya tak bisa bertindak cepat. Pandangannya malah mulai kabur. Dalam situasi itu, ternyata ia masih bisa melihat mosaik-mosaik di sisi kiri tembok.

"Ngomong-ngomong, gambar apa ini?"

[ ### ]

[Vii: Shireishou]

Heeee ... vii memandang suntikan yang tersisa. Kepalanya semakin berat dan tak bisa berkonsentrasi pada apa yang teejadi sedari tadi si hadapannya

Tanpa bicara lagi, pria itu maju terhuyung, menyambar suntikan.

"Boleh aku yang mencoba atau kita harus bertarung?"

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Belum terjawab pertanyaanMada tentang gambar-gambar di dinding, tiba-tiba saja Vii mengajak duel Asep untuk memperebutkan suntikan terakhir.

"Astaga, tuan Vii? Jadi, kau benar-benar menginginkan suntikan itu?"

Napas Mada mulai berat, keringat dingin menjalari tubuhnya. Ia jatuh berlutut. Sesak.

Ia mengambil beberapa obat di dalam tasnya. Semoga bisa menghambat racun ini.

[ ### ]

[Vii: Shireishou]

Vii melihat Mada yang terengah-engah. Dirinya pun sudah susah payah berdiri.

"Le-bih baik mencoba dari-pada di-am. A-tau kamu mau?"

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

"Aku sudah berpikir akan menyerah, tuan Vii. Jadi, terserah saja siapa yang akan mengambil suntikan itu."

Mada berkata jujur. Ia berharap semua ini hanya mimpi, maka jika ia mati akan kembali ke kehidupannya yang sebenarnya.

[ ### ]

[Vii: Shireishou]

"Ja-ngan menyerah! Kita harus berju-ang hing-ga ak-hir!" Vii sebenarnya sudah lelah. Namun, dia takut jika menyerah, artinya dia akan dihitung bunuh diri.

Vii tidak mau bunuh diri.

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Mada mengembuskan napas kesal, "Kadensa? Kalau kau, siapa yang akan kau selamatkan di antara kami bertiga?"

"Pilihlah dengan bijak, Kadensa. Ini juga akan menentukan nasibmu," imbuh Mada.

[ ### ]

[Vii: Shireishou]

Vii terdiam dengan perasaan berdebar.

[ ### ]

[Kadensa: frixasga]

Kadensa mengulum bibir. Suntikan paksa dari Tuan Sinis rasanya sakit sekali dan pusingnya tidak kunjung hilang. Pandangannya masih kabur, walau ia mendengar namanya dipanggil.

Ia disuruh menentukan pilihan. Kenapa harus dia?

"Kenapa harus saya? Saya tidak bisa menentukan siapa yang harus selamat. Saya bukan Sang Penentu."

Dan ia juga tidak sepicik Nala, perlu di garis bawahi.

Ia menangkap bentuk jarum suntik.

"Atau kalian mau menentukan saja dengan putaran jarum suntik ini? Yang ditunjuk jarum suntik ini berhak memakainya."

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Mada mulai terbatuk-batuk. Tak lama kemudian darah keluar dari hidungnya, sama seperti Nala. Perutnya benar-benar mual sekarang.

Ia menyeka darah di hidungnya dengan punggung tangan, "Ku-kurasa itu adil."

Ah, napasnya juga sangat berat sekarang.

[ ### ]

[Kadensa: frixasga]

Kadensa memutar jarum suntik itu perlahan. Tiga pasang mata melihatnya penasaran.

Dan, jarum suntik memilih Mada.

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Mada melihat jarum suntik itu mengarah padanya. Entah ini keberuntungan atau malah petaka.

"Oh. Ku-harap ja-rum suntik itu tak akan menyesal."

Mada mengambil jarum suntik itu dan menyuntik dirinya sendiri. Entah itu obat penawar atau racun, yang jellas, cairan itu sudah masuk ke tubuhnya.

[ ### ]

[Asep: SaliverLight]

"Aku senang bisa mengenal kalian. Semoga kita tidak sama-sama masuk ruang bedah setelah semua ini," kata Asep sambil menahan sakit yang semakin menjadi. Ia berusaha tidak merasakan sungai merah di matanya.

[ ### ]

[Kadensa: frixasga]

"Tuan Ikan."

Kadensa mendesis, lagi. Jarum suntik terakhir sudah diklaim.

"Bisa saja kami yang disuntik yang mati, lho. Jangan hilang harap."

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Mada juga ingin mengatakan sesuatu. Kepada Asep. Kepada tuan Vii. Suka atau tidak, mereka berjuang bersama. Namun, tubuhnya terlalu lemah. Belum ada reaksi apa-apa dari cairan suntikan itu.

Apakah aku akan hidup? Atau malah mati?

Mada tak peduli.

[ ### ]

[Nala: Boiwhodreams_]

"Selamat!" Aku bertepuk tangan.

[ ### ]

[Kadensa: frixasga]

Ah.

Suara riuh yang menyiksa.

Tapi Kadensa hanya bisa mengangkat kepala, melihat ikan menggelepar di tengah ruangan alih-alih kekurangan air dan tuan baik yang jatuh begitu saja ke tanah.

Tidak ada kata-kata baik yang bisa dikatakan lagi, bukan?

Kadensa memejamkan mata, dan ia berusaha bangkit. Diambilnya paracetamol dari saku Vii dan tongkat besi milik Tuan Ikan. Tidak lagi ia melihat dua mayat itu untuk kedua kalinya.

[ ### ]

[Asep: SaliverLight]

"Oh ya, jangan ragu menggunakan apa saja yang kalian lihat sebagai senjata. Bahkan debu atau lelehan plastik bisa menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi kalian." Itu pesan terakhir Asep, ia kemudian tertawa sebelum napasnya terhenti. Tawa inisiatif, bukan kelainannya yang kambuh.

"HAHAHAHAHAHAHAHAHA."

[ ### ]

[Nala: Boiwhodreams_]

"Dies iræ, dies illa!" Tiba-tiba saja mulutku ... bernyanyi.

Aku tidak tahu arti dari lirik-lirik yang keluar dari mulutku, aku bahkan tidak tahu alasan kenapa tiba-tiba aku bisa menyanyikan lagu itu. Apakah mungkin aku pernah mendengarnya? Di suatu tempat?

"Solvet sæclum in favilla. Teste David cum Sibylla!" Mataku melihat dua orang—salah satunya adalah spesies aneh sih—yang menggelepar seperti ikan karena risiko mereka sendiri."

"Quantus tremor est futurus. Quando iudex est venturus?"

Lucunya, mereka sempat melakukan—mengucapkan—kata-kata terakhir mereka. Padahal, kami semua baru kenal sekarang? Haha! Lucu sekali, aku tertawa sambil menangis.

Aku tertawa ... sambil menangis.

"Ah, aku tidak tahu nama mereka berdua," ujarku, mengusap air mata di ujung mataku.

[ ### ]

[Mada: Patricia Anggi]

Karena merasakan tubuhnya lemas, Mada menutup mata. Namun, lambat laun napasnya mulai lancar, rasa panas di dada dan tenggorokan juga mulai mereda. Suhu badan tak setinggi tadi.

Ah, apakah benar suntikan itu obat penawar?

Ia membuka mata, entah apa yang terjadi dengan Asep dan tuan Vii. Asep kemudian berkata sesuatu seakan ia akan pergi. Dan benar saja, setelah itu tak ada gerakan lagi dari tubuhnya.

Aku menghampiri mereka secepat kilat. Kadensa mengambil obat dari tuan Vii dan besi dari Asep. Tak sadar, air mata menetes. Mada berlutut di samping Asep dan Vii.

###

[Mada: Patricia Anggi]

Sebuah pintu tiba-tiba terbuka, cahaya yang masuk dari luar membuat Mada mengalihkan perhatian. Bukan pintu Cain yang menuju taman Eden, tapi pintu lain yang Mada pun tak sadar ada sebuah pintu di situ.

"Pintu apa lagi itu?"

Perasaan Mada berkata bahwa itu adalah pintu siksaan lain. *Astaga, sampai kapan ini akan berakhir? Apakah orang di balik ini semua tak puas jika belum melihat kami mati?*Ya sudahlah ...

"Ayo, saatnya bertempur lagi."

Mada berjalan mantap ke arah pintu dan ketika sudah dekat, kepalanya meneleng heran dengan pemandangan yang dilihatnya.Tempat apa lagi ini?

###

[Nala: Boiwhodreams_]

Aku menaikkan satu alis.

Kakak yang satu itu ... tumben berani, dia maju duluan, loh.

"Selamat tinggal," ucapku pelan pada kedua mayat yang sudah tergeletak seraya berjalan menuju pintu selanjutnya.

Sebenarnya, kenapa tempat ini memiliki banyak pintu ya? Kenapa ... kami rasanya seperti dituntun? Oh, dan ... kenapa kami bangun tanpa ingatan apapun?
























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top