2. To the Bone
Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran manusia madesu satu ini!
Tolong, siapa pun, dobrak saja pintu ini, biar gaduh. Bangunkan si pemilik kamar yang berbakat sekali tidur sepanjang hari. Aku tidak tahu dia kenapa. Tapi dia sering menangis di depanku. Meratap seorang diri. Kadang menempel pada dinding di dekat jendela. Menggumam tak jelas.
Kalau aku jadi ibunya, sudah aku cambuk dia. Masa depannya masih panjang, tapi kenapa dia menyia-nyiakan waktu untuk menangisi hal yang aku belum tahu apa. Tapi, hei, dia sudah seperti ini satu tahun. Mau digenapi berapa tahun lagi?
Terdengar derap langkah mendekat. Pintu terkuak kemudian—Aska sepertinya lupa mengunci kamar. Memunculkan wajah renta yang letih. Ah, anak ini memang merepotkan. Sudah besar tapi seperti bayi. Perempuan mana yang mau dengan dia. Sudah pengangguran, bakatnya hanya tidur pula. Kalau wajah tampan menjadi kelebihan, tolong coret saja. Buat apa tampan kalau tidak bisa hidup dengan benar.
Kalau aku jadi ibunya, selain kucambuk, kutendang juga bokongnya.
Lihat, wajah letih itu membawakan senampan sarapan. Penuh oleh makanan bergizi. Baunya wangi. Tapi tetap saja gagal membangunkan anak itu. Entah, sistem pencernaannya mungkin sudah mulai tidak bekerja.
Dia jarang pergi ke kamar mandi. Kalau terbangun, dia hanya melamun di jendela. Menatap apa pun yang melintas di luar sana. Tidak banyak yang bisa dilihat. Kompleks ini cukup padat. Bangunan berdiri nyaris berdempetan. Dia memang seunik itu. Aku malas memahami dia lebih lanjut. Capek hati dan pikiran.
Ngomong-ngomong soal hati, aku sempat mencuri dengar jika anak ini sempat dijodohkan. Belum lama. Dua bulan lalu kalau aku tidak salah ingat. Tentu saja anak ini bertingkah. Nyaris kabur dengan melompat dari jendela. Memang nekat. Ini lantai tiga tolong. Anak itu kelewat gila kadang-kadang.
Setelah diusap lembut kepalanya, anak itu akhirnya bangun. Lalu kalimat pertamanya adalah, "Mama, plis, berhenti nyariin aku jodoh."
Wajah letih itu tersenyum. Tangannya bergerak turun mengusap lengan anak bungsunya. "Mama nggak memaksa."
"Tapi yang lain, Papa dan para Kakak, maksa banget. Seolah besok bakal kiamat dan aku mesti punya istri."
Aku menyimak. Urusan perjodohan ini memang riskan sekali.
"Bukan begitu."
"Mama tahu sendiri, aku nggak bisa. Sulit buat memulai dengan orang lain."
Iya, memang. Kau sudah tak punya hati. Dasar madesu kau ya.
"Kalea ...." Mama mengulum bibir. "Kamu belum ingin melupakan dia?"
Tunggu, tunggu. Siapa Kalea? Kenapa aku tidak asing dengan nama itu? Apa aku melewatkan sesuatu? Rasa-rasanya tidak. Sejak anak itu lahir ke dunia, aku sudah mengenalnya. Dari yang masih imut-imut hingga amit-amit seperti sekarang.
Kalea. Kalea. Kal—
"Tapi hidup terus berjalan, Aska."
Suasana di kamar ini mendadak muram. Aku gagal mengingat siapa Kalea-Kalea ini. Tapi melihat raut wajah Mama, pastilah sesuatu yang menyedihkan. Aska juga tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya.
Mama keluar dari kamar semenit kemudian. Setelah berpesan agar Aska menghabiskan sarapannya. Sementara kulihat anak itu sudah mendekat ke jendela. Berdiri kosong di sana. Cahaya matahari persis jatuh di wajahnya. Membuat gurat sedih itu terlihat semakin jelas.
Lalu, seperti yang sudah-sudah, Papa akan muncul setelah Mama beranjak.
Lelaki berperut buncit itu duduk di kasur. Menatap punggung Aska. "Mungkin kamu sudah bosan. Tapi Papa bakal ulangi lagi. Kamu nggak bisa mempertahankan perempuan yang memang bukan jodoh kamu, Aska. Apalagi situasi kalian sangat tidak memungkinkan."
"Aku nggak bisa mencintai perempuan lain selain dia, Pa." Dengan nada putus asa. Lalu menunduk dalam. Napasnya terlihat tak teratur. "Lima belas tahun lalu hingga sekarang, nggak ada yang berubah, Pa. Aku cuma bisa cinta sama dia. Nggak bisa yang lain."
Aku sedih melihatnya. Tibalah satu pemahaman di kepalaku. Kalea adalah cinta pertama Aska dan perempuan itu mengunci hatinya.
Papa menghela napas. Menyimpulkan. "Papa paham jika dia cinta pertamamu. Kalian bertemu di bangku SMA, lima belas tahun lalu. Sekarang usiamu tiga puluh. Padahal kalian terpisah benua selama ini. Bahkan saat dia tutup usia, apa dia masih ingat kamu?"
Aska tidak bisa menjawab. Aku tercekat. Tutup usia?
"Bagaimana mungkin seumur hidup kamu hanya mencintai satu perempuan saja?"
Aska tidak ingin menjawab. Papa juga berhenti menghakimi anaknya. Berderap meninggalkan kamar. Menyisakan Aska yang masih belum ingin beranjak dari jendela.
Baiklah. Aku mengerti sekarang. Kalea adalah sepotong cerita yang disimpan baik-baik oleh Aska. Segenap cinta yang ternyata terpisah jarak dan waktu. Aku tidak tahu jika setahun ini dia berduka untuk cinta pertamanya.
Setahun yang lalu, anak ini baik-baik saja. Dia pekerja keras. Bersosialisasi dengan baik. Wajahnya yang tampan dan sikapnya yang supel membuatnya mudah bergaul. Hubungannya dengan anggota keluarga juga cukup harmonis. Anak ini menyenangkan sebetulnya. Tapi mendadak menyebalkan setahun terakhir.
Barangkali anak itu memang butuh waktu. Besok lusa semoga semuanya membaik dan aku bisa melihat Aska yang dulu.
***
Ini hari Sabtu. Ya, mau weekdays atau weekend pun, tetap sama. Anak itu akan tidur sepanjang hari. Memberiku pemandangan yang sama seperti kemarin-kemarin. Tapi, tunggu. Kamar ini kosong. Ke mana anak itu?
Dari arah kamar mandi terdengar gemericik air. Anak itu mandi sepagi ini? Haha, tidak mung—
Aska bersiul kemudian berdiri di depanku. Menyugar rambutnya yang masih basah. Oh, plis, Aska, aku tahu kamu tampan. Berhenti membanggakan diri seperti itu.
Eh?! Bukankah ini aneh? Mana Aska yang madesu kemarin?
Jangan heran kalau dia mendadak bahagia seperti sekarang. Aku curiga dia ada bipolar. Karena yang kemarin-kemarin pernah begitu.
Anak itu melangkah ke lemari. Mengambil beberapa potong baju, mematutnya di depanku. Aku mendadak heran. Mau ke mana sih?
Pintu kamar ditutup. Aska sudah berderap pergi. Tanpa aku tahu ke mana. Tapi wajahnya terlihat sedikit hidup. Semoga saja sesuatu yang baik terjadi dan anak itu berhenti menjadi orang madesu.
Namun, harapanku patah. Dua jam kemudian, Aska kembali dengan membanting pintu. Kemejanya yang tadi rapi terselip di celana, kini mencuat ke mana-mana. Rambutnya juga acak-acakan. Kenapa? Dia nggak habis dipalak preman, 'kan?
Dengan muram, dia berdiri di hadapanku. Matanya pelan-pelan mulai berkaca. Tolong, Aska, jangan menangis di depanku. Sudah cukup aku melihat keterpurukanmu setahun ini.
"Kalea, apa aku harus nyusul kamu mati aja?"
Tidak. Jangan bertindak bodoh, Aska!
"Buat apa hidup kalau nggak bisa menjalani hidup? Kadang, aku nggak tahu buat apa aku mesti bangun. Kalau cuma buat merasakan lubang itu semakin menganga. Kehilangan itu semakin nyata." Suaranya mulai bergetar. Satu punggung tangannya bergerak ke wajah. Menyeka pipi yang basah.
Aku tidak bisa membantu banyak. Aska mulai menangis tanpa suara.
"Aku udah coba." Di antara isak. "Apa pun cara untuk melanjutkan hidup. Jatuh cinta. Tapi kenapa setiap aku coba melangkah ke sana, aku merasa aku justru mundur."
Sungguh malang anak ini.
"Apa sih hebatnya kamu, Kal?" Aska menatap pantulan dirinya sendiri dengan nanar.
Seperti apakah Kalea? Apakah dia cantik, Ka? Apakah paras dan hatinya sama-sama cantik? Bagaimana bisa satu perempuan yang ada di masa lalu, terpisah belasan tahun, mampu mengambil separuh hidupmu? Atau bahkan seluruhnya?
Bagaimana dulu kamu begitu saja memberi seluruh hatimu? Lihat, ketika dia pergi selamanya, hatimu turut dibawa. Tidak ada yang tersisa. Hanya raga kosong yang dipaksa terus berjalan.
Aska mulai meracau. "Kalau aja aku datang lebih cepat. Kita pasti sempat ketemu, 'kan?"
"Kalau aja aku nggak cukup pengecut. Kita bisa sama-sama, 'kan?"
Cukup, Aska.
"Kalau aja aku punya cukup keberanian untuk bilang lebih awal. Kamu bakal kasih kesempatan, 'kan? Ya kalau pun kamu nolak, aku bakal terus ngejar kesempatan kedua. Aska bego!"
Aska, berhenti menyesali apa pun!
Bergeming. Raga kosong itu begitu rapuh. Sekali genggam akan luruh. Dan segala kecamuk perasaan sedang memeluknya erat-erat.
"Kalea ... aku harus apa untuk melanjutkan hidup?"
***
Tema prompt 2: karakter yang dikutuk tidak bisa jatuh cinta seumur hidup.
Cerita ini terinspirasi oleh tiga hal:
1. Aku pernah nulis cerpen untuk challenge di aplikasi Sweek, dua tahun lalu, menggunakan cermin sebagai sudut pandang. Tp beda genre dengan yg ini 😆
2. Habis baca bab terbaru Catatan Hati Seorang Editor di Cabaca soal sudut pandang yg antimainstream, wkwk~
3. Maspam yg kupinjam mulu lagunya buat judul 😂
Ditulis: 02-04 April 2020
Dipublish: 05 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top