erstwhile friend | third

SANG raja siang telah meninggalkan singgasananya, dan kini giliran sang ratu malam yang duduk di sana. Para bintang pun turut menemaninya menyinari bumi agar tak sepenuhnya ditelan gelapnya malam. Tak lupa dengan keikut sertaan para binatang malam, yang mengeluarkan suara-suara merdu mengusir sunyi.

Oleh karena kejadian itu, Adora menyuruh teman-temannya untuk kembali ke rumah masing-masing. Mereka sempat protes, karena permainan baru saja akan dimulai. Namun, Adora menegaskan bahwa mereka masih bisa melanjutkannya di lain waktu. Toh mereka memiliki tugas yang harus dikumpulkan esok. Setelahnya, mereka pun pulang.

Adora menghela napas. Ia tahu, sebenarnya mereka masih sedikit syok dengan penampakan itu, begitu pula dengannya. Anehnya, mereka tetap bersikeras ingin melanjutkan permainan. Memangnya sebegitu pentingkah permainan itu bagi mereka? Seharusnya, mereka lebih memikirkan kondisi diri sendiri dulu, baru memikirkan hal lain.

Sekarang, Adora duduk di teras rumah, hanya melamun. Tubuhnya ia lapisi dengan selimut tebal. Di tangannya, ada segelas cokelat panas yang asapnya masih mengepul. Pandangannya kosong, seakan tidak memiliki nyawa. Pikirannya tak berada di tempatnya, sedang berkelana ke masa lalu.

"Sepertinya dia meminta bantuanmu," ucap Aiden.

Adora mengernyit, bingung. "Apa maksudmu?"

"Dia ingin kau mencari pelaku yang membunuh-nya." Aiden menyerahkan buku binder yang dipegangnya. "Jika kau masih tak mengerti, cari saja sendiri di dalam buku ini. Dia menceritakan semuanya."

Adora menerima buku binder tersebut. Ia menggigit bibir bawahnya. "T-tapi ... aku tidak mau ...."

"Memangnya kenapa? Kau takut?"

"Bukan," sanggah Adora. "Aku hanya ... tidak mau saja. M-memangnya salah ...?"

Aiden mendesah. "Dia meminta bantuanmu, berarti dia tahu kalau kaulah yang bisa membantunya. Lagi pula, kau memiliki itu, kan?"

"Masalahnya, a-aku tidak ingin berurusan dengan masalah mereka lagi. Bukankah aku sudah pernah menceritakan tentang itu padamu?" Adora mulai terisak. "Harusnya kau mengerti ...."

Brug.

Tanpa aba-aba, Aiden menarik Adora ke dalam dekapannya. Dia mengelus-elus kepala gadis itu dalam diam, membiarkan dadanya menjadi sandaran bagi Adora. Rasanya hangat. Adora membalas pelukannya. Dapat ia rasakan 'permintaan maaf' lelaki itu, lewat pelukan ini. Lelaki yang satu ini memang tak pandai bermain kata untuk mengungkapkan perasaannya. Dia hanya bisa menunjukkannya dengan tindakan langsung.

Namun, menurut Adora, itu justru lebih manis.

Hening beberapa saat di antara mereka. Hanya suara jarum jam yang terdengar, membuat suasana seakan waktu mereka di dunia mulai menipis--sehingga mereka masih nyaman dalam pelukan.

"... Kurasa, kau perlu waktu untuk memikirkan tentang itu. Lagi pula, itu hakmu untuk memilih ingin membantu-nya atau tidak," ucap Aiden. Ia melepas pelukannya, lantas tersenyum hangat. "Apa pun keputusanmu, aku tidak akan memaksa."

Wajah Adora seketika merona ketika mengingat bagian itu. Kedua tangannya menutupi wajah. Astaga, malu sekali. Bagaimana lelaki itu bisa membuatnya jadi berdebar-debar tidak jelas seperti ini? Padahal, ia masih waras-waras saja sebelumnya. Jangan-jangan Aiden mengiriminya sihir hitam--

Adora menampar pipinya. "OMFG! Kenapa pikiranku jadi berkhayal ke mana-mana seperti ini?"

"Adora? Are you okay, dear?"

Adora membelalak, menoleh ke sumber suara. Ternyata itu ibunya, Atlanta Harris--Lanny. Wanita berumur akhir tiga puluh tahun itu menatap anak gadisnya bingung sekaligus khawatir. Sepulangnya dari tempat kerja, kondisi anaknya sudah seperti orang depresi yang sudah tidak memiliki harapan yang tersisa untuk hidup.

Tidak biasanya Adora seperti ini. Biasanya dia selalu ceria dan aktif, bahkan sampai memalukan namaku, batinnya.

Lanny duduk di bangku sebelah Adora, lalu menatapnya lekat-lekat. "Dari sejak pulang kerja, kulihat keadaanmu kacau sekali. Apakah terjadi sesuatu selama aku belum pulang? Apakah--"

"Aku baik-baik saja, kok, Mom." Adora mengangkat satu lengannya, membuat pose seakan lengannya berotot bak atlet binaraga. Ia menyengir lebar. "See? No need to worry."

Lanny terkekeh, lalu menoyor anaknya itu. "Kamu ini bisa saja. Ya sudah, aku pergi ke dapur dulu. Apa yang ingin kaumakan?"

"Hmmm ... sepertinya aku tidak mau makan, Mom. Aku sedang ingin diet," jawab Adora sekenanya. Padahal kenyataannya ia tidak nafsu makan.

"Kalau begitu, akan aku buatkan carbonara." Lanny melangkah masuk ke dalam, mengabaikan panggilan Adora.

Astaga, ia tidak ingin makan, tapi ibunya yang tersayang itu malah membuatkannya makanan. Karena itu, Adora menghela napas. Yah, setidaknya ibunya masih memiliki kepedulian padanya, dan tidak membiarkan dirinya mati kelaparan.

Adora menghabiskan coklat panas yang masih tersisa sedikit, lalu beranjak masuk ke dalam rumah.

🍁🍁🍁

Matanya masih terbuka lebar, rasa kantuk belum juga hadir. Ia sudah merebahkan diri di kasur, lengkap dengan selimut yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Namun, ia tak kunjung mengantuk, atau setidaknya menguap.

Adora mengubah posisinya menjadi posisi duduk. Ia meraih ponsel yang ditaruhnya di atas nakas yang terletak tepat di sebelah tempat tidurnya. Ia mengetuk layar dua kali dengan telunjuknya, dan ponsel itu pun menyala.

11.00 PM.

Ia menghela napas. Tersisa satu jam lagi untuk mencapai tengah malam. Sebaiknya rasa kantuk segera menghampirinya, karena ia sangat membenci waktu tengah malam. Di waktu itulah, mereka mulai berkumpul, hingga puncaknya pada pukul tiga dini hari. Suasana akan menjadi sangat berisik--setidaknya bagi telinganya dan telinga orang-orang yang memiliki kemampuan serupa dengannya.

Ia meneguk habis segelas air yang sengaja ia siapkan di atas nakas. Karena terkadang, ia suka terbangun karena kehausan, tetapi ia terlampau malas untuk melangkah keluar dari kamar dan mengambilnya di dapur. Hingga akhirnya itu menjadi kebiasaannya setiap hari.

Ketika akan menaruh gelas, matanya terpancing pada suatu objek. Ia mengambilnya, mengusap sampulnya. Selepas Aiden pulang, ia mencoba menjernihkan pikirannya. Ia tidak ingin salah ambil langkah, yang nantinya malah berefek pada dirinya, bahkan keluarganya. Bagaimanapun caranya, ia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Sekalipun artinya ia harus membayar dengan nyawanya, ia rela.

Hingga keputusan akhir pun ia tetapkan; ia akan membantu menyelesaikan apa pun permasalahan hantu itu. Dan mungkin ia akan meminta bantuan Aiden. Ini akan menjadi kali pertamanya membantu hantu bersama seseorang, sejak beberapa tahun.

Lagi pula, ia sedang tidak melakukan apa pun saat ini. Mungkin ada baiknya ia membaca sebentar buku binder tersebut. Siapa tahu ia bisa mendapatkan petunjuk.

Dan semoga buku itu dapat menjadi obat tidur yang mujarab.

Dibukanya halaman pertama. Hanya ada dua kata di halaman tersebut.

Malorie Franklin.

"Mungkin nama dari hantu itu," gumam Adora pada dirinya sendiri. Untuk beberapa alasan, nama 'Malorie' mengingatkannya pada nama tokoh utama di film yang cukup ia sukai, Bird Box.

Ia pun membuka lembar demi lembar yang ada, membaca isinya dalam diam. Seperti yang ia duga, keseluruhan isi buku ini adalah ungkapan hati dari hantu tersebut--Malorie--kala dia masih hidup. Selain itu, tulisan tangannya indah sekali.

"Dulu, dia pasti orang yang perfeksionis dan memiliki perencanaan yang matang," ucap Adora. Ia bisa menilai seperti itu, sebab tulisan tangan itu rapi sekali, tidak ada satu pun ia temukan kata yang mengalami kesalahan penulisan alias tipo.

Ia membuka lembar selanjutnya. Tulisan yang ada di sana seketika itu juga memancing perhatiannya.

30 Oktober 1996.

Dalam hitungan jam, Halloween akan menghampiri seisi kota. Banyak yang menyambutnya dengan penuh antusias. Begitu pula dengan temanku, Atlanta. Dia bahkan sudah menyiapkan kostum dari jauh-jauh hari! Ia pun menabung untuk membeli peralatan rias yang sekiranya dapat mendukung karakternya nanti.

Berbeda sekali denganku. Bukannya mempersiapkan kostum ataupun membantu mendekorasi rumah, aku malah duduk diam di depan meja belajar, menulis buku harian ini. Haha, membosankan sekali, bukan?

Karena sekolahku mewajibkan seluruh siswa untuk memakai kostum, aku tak punya pilihan lain. Beruntung, aku sudah memiliki gambaran mengenai karakterku besok.

Beberapa hari ini, untuk beberapa alasan yang tak dapat kujelaskan, aku merasakan sesuatu yang aneh. Setiap pulang sekolah, aku selalu merasa ada yang mengikutiku. Anehnya, ketika aku menoleh ke belakang, tak ada siapa pun. Terus seperti itu. Dan, sungguh, itu membuatku tidak nyaman.

... Yah, semoga saja itu bukan apa-apa.

Ketika kuceritakan pada Atlanta pun, ia menanggapi dengan santai. "Mungkin kau hanya cemas berlebihan saja," katanya. Namun, kuputuskan untuk memercayainya saja. Mungkin ia pernah mengalami hal serupa, sehingga ia bisa berkata seperti itu? Entahlah.

Mungkin hanya itu saja yang bisa kuceritakan untuk hari ini. Kuharap esok bisa menjadi hari yang sangat menyenangkan. Doakan aku, ya!

-Malorie.

Sebenarnya tidak ada yang menarik dari tulisan itu. Namun, Adora penasaran dengan nama yang disebutkan di dalamnya. Nama itu terasa sangat familier baginya. Pikirannya mulai menduga-duga.

"Atlanta?" Benak Adora langsung menampilkan wajah seorang wanita yang telah berjasa melahirkan dirinya ke dunia yang fana ini. "Apa mungkin 'Atlanta' yang dimaksud di sini adalah ... Ibu?"

Jika diingat-ingat, memang ada kemungkinan bahwa 'Atlanta' yang dimaksud adalah ibunya. Seingatnya, ibunya lahir pada tahun 1980. Jika dikurangi dengan tahun yang terdapat pada tulisan, maka umur ibunya saat itu--tahun 1996--adalah 16 tahun.

Ia pun mencoba mengingat kembali wujud Malorie ketika pertama kali ia melihat-nya. Perawakan-nya terlihat persis seperti anak remaja yang sebaya dengannya. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa Lanny dan Malorie berada dalam satu angkatan yang sama. Berarti ....

Adora langsung menggeleng-geleng. "Ah, tidak mungkin. Lagi pula, nama 'Atlanta' tidak mungkin hanya dimiliki oleh satu orang saja, kan?" ucapnya meyakinkan diri sendiri.

Adora pun menutup buku binder, menaruhnya kembali ke atas nakas. Lebih baik ia mencoba tidur kembali, siapa tahu kali ini akan berhasil. Mungkin aku akan menanyakan soal itu pada Mommy esok. Hanya ingin sekadar memastikan bahwa dugaanku salah, batinnya mantap.

Merasa sudah tidak memiliki urusan dengan dunia, ia menyelimuti kembali seluruh tubuhnya hingga tersisa kepala dan lehernya. Kemudian ia memejamkan matanya.

Dan benar saja, ia pun tertidur pulas, terbang menuju alam mimpi. Saking pulasnya sampai ia tak menyadari kehadiran sosok yang berdiri di pojok kamarnya, tersenyum. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top