erstwhile friend | sixth
"AIDEN!"
Atensi sang pemilik nama teralih dari bukunya lantaran namanya dipanggil. Dirinya sedang duduk di tempat favoritnya-di bawah pohon belakang sekolah. Dia menaikkan sebelah alis, bingung dengan air muka Adora yang tak seperti biasanya. Ada apa dengannya?
"Ada apa?" tanya Aiden singkat.
Adora duduk di depan Aiden, menatap lelaki itu dengan serius. Aiden balas tatap dengan tak minat. Keduanya tak ada yang bersuara, membisu. Jarang sekali yang datang ke area belakang sekolah, membuat suasana di sini sangat sepi. Hanya terdengar suara angin dan dedaunan yang jatuh.
Aiden membuang napas. Sebenarnya apa yang ingin gadis ini katakan? "Apa kau baru saja menciptakan penemuan yang bisa mengguncang dunia?" tanyanya asal.
Aiden malah mendapatkan pukulan di lengannya.
"Ah, kau ini! Aku sedang menciptakan suasana serius seperti di film-film misteri, tahu!" Adora menggembungkan pipinya. "Tapi kau malah menghancurkannya!"
Pletak!
Aiden menoyor jidat gadis itu. Mungkin, kekesalannya sudah mencapai ubun-ubun. "Kukira kau mau mengatakan sesuatu yang penting. Mengganggu saja kau!" Aiden bangkit, menepuk celananya. "I'm leaving!"
"Hei, tunggu!" Adora mencekal tangan Aiden. "Maaf, maaf! Aku benar-benar ingin mengatakan sesuatu, kok! Serius!"
Namun, Aiden tak memedulikannya. Pasti gadis itu hanya mau mengerjainya saja, seperti biasa. Gadis itu tidak akan puas jika tidak mengerjai Aiden sekali saja dalam sehari. Karena itu, dia terus melangkahkan kakinya. Semoga saja dia bisa menemukan tempat yang tenang, entah di mana. Yang penting tidak ada eksistensi gadis itu.
Sementara Adora mendecak, lantas berlari mengejarnya.
"Aideeen! Jangan tinggalkan aku!"
"Do your own business! Jangan ganggu aku!"
"Ayolah! I need your help right now!"
"Minta bantuan pada teman-temanmu! Jangan padaku!"
"Tapi kau juga temanku! Berarti aku boleh meminta bantuanmu, 'kan?!"
"Terserah!"
Hingga akhirnya Aiden berhasil dikejar, Adora-dengan tak tahu malunya-langsung memeluk Aiden guna menahan langkahnya. Yang dipeluk seketika meronta, berusaha melepaskan diri.
"Lepaskan!"
"Tidak!"
"Kubilang, lepaskan-" Aiden masih saja tidak mau mendengarkannya. Adora menggigit bibir bawahnya. Mau tak mau, ia harus mengeluarkan itu.
Adora pun mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya, menunjukkannya di depan wajah Aiden. "Ini! Ini yang mau aku tunjukkan padamu!"
Aiden merebut kertas yang diberikan gadis tak tahu malu tersebut. Kala netranya menangkap tulisan di dalamnya, Aiden menautkan kedua alis. "Apa ini?"
"Itu ditulis oleh Malorie sendiri. Entah untuk apa dia memberikan kode itu, aku tidak mengerti," jelas Adora. Ia memainkan jarinya. "Setelah memberikan itu, dia berkata, 'tolong lepaskan aku darinya'. Dia pun menghilang. Poof!"
Aiden diam saja, tak memberikan respons berarti.
Gadis itu menggaruk kepalanya frustrasi. "Aku benar-benar tidak mengerti apa maksudnya. Otakku terlalu bodoh untuk hal semacam ini. Maka dari itu, aku butuh bantuanmu."
Sekian menit membisu, lelaki itu pun angkat bicara. "Jujur saja, aku pun tidak mengerti arti kode ini ...," Aiden menjeda perkataannya, berpikir sejenak, "... tapi setidaknya kita perlu berusaha."
"Jadi? Kau mau membantuku?"
Aiden mengangguk pelan. "Lagi pula, aku pernah berjanji akan membantumu menyelesaikan masalah hantu itu, 'kan?"
Senyum lebar langsung tercetak jelas di wajahnya. Tanpa permisi, ia memeluk erat tubuh Aiden. "Yay! Terima kasih, Aiden!"
Saking eratnya pelukan Adora, membuat Aiden tak bisa bernapas. "H-hei, lepaskan. K-kau lebai sekali," ucap Aiden, berusaha melepas pelukan gadis itu.
Bel berbunyi, Adora menarik tangan Aiden, melangkah kembali ke gedung sekolah. Yang menarik bersenandung riang, sedang yang ditarik hanya bisa mengikuti seraya menghela napas pasrah.
🍁🍁🍁
Sekarang masih jam pelajaran Matematika. Namun, Adora sudah tak kuat lagi memperhatikan Mr. Roberts-guru Matematika yang kebetulan memiliki nama depan sama dengan Mr. Stevens-dan segala rumus rumit yang diterangkannya saat ini. Ia sudah mencapai batasnya. Otaknya yang pas-pasan sudah tak mampu lagi memproses ilmu.
Dan sepertinya hampir seisi kelas pun merasakan hal yang serupa. Terkecuali para kaum rajin, kaum pandai, dan juga kaum yang memang menyukai pelajaran satu ini.
Diam-diam, Adora mengeluarkan ponselnya. Dinyalakannya ponsel untuk melihat waktu sekarang. Ia pun menghela napas. Masih tersisa satu jam lagi, dan pelajaran yang lebih rumit dari kehidupan ini akan berakhir. Cepatlah pergi bersama rumus-rumus sialanmu, Mr. Roberts!
Lelah men-julid-i guru Matematikanya dalam hati, Adora putuskan untuk menyelami dimensi lain saja. Siapa tahu, ia bisa bertemu artis pujaannya di sana: Chris Hemsworth, Chris Evans, Chris Pine, Chris-eh, kenapa semuanya bernama Chris?
Ia membuat bukunya berdiri menutupinya. Ia menunduk, lantas menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangan, tertidur. Baru beberapa detik, ia sudah terlelap pulas. Bahkan, murid yang duduk tak jauh darinya dapat mendengar sayup-sayup dengkurannya.
"Ekhem!"
Tanpa disadari olehnya, ia sudah tepergok oleh Mr. Roberts. Guru itu memandang Adora yang tertidur pulas dengan tatapan membara, bak ada api yang menyala-nyala di sana.
Beberapa murid yang duduk di sekitarnya mencoba membangunkan Adora, tetapi ditahan oleh Mr. Roberts. Dia menggeleng, seolah memberi isyarat, 'biar saya yang membangunkan murid pemalas ini'.
Mr. Roberts melangkah menuju mejanya, lalu kembali dengan sesuatu di tangannya. Seluruh penghuni kelas-kecuali Mr. Roberts-berseru tertahan. Itu adalah botol air minum. Jangan-jangan ....
"Gyaaaaaa!"
Tak terelakkan, Mr. Roberts menuangkan air di dalam botol tersebut ke kepala Adora. Membuat gadis itu terbangun seketika. Napasnya terburu, jantungnya berdegup cepat.
"Bagaimana? Segar sekali, 'kan?" tanya Mr. Roberts dengan senyuman tipis, yang anehnya terlihat menyeramkan bagi para murid.
Adora tak menjawab. Ia hanya menunduk takut. Astaga, ia hampir saja mengucapkan sumpah pernikahannya dengan Chris Evans, tetapi malah dihancurkan oleh guru ini. Sudah begitu, rambut dan wajahnya basah. Lagi pula, kenapa ia bisa tepergok, sih? Bukankah kedoknya sudah sempurna?
Omong-omong, di mana bukunya?
"Astaga, kau bahkan tidak mencatat penjelasan saya dari tadi!?" Habis sudah.
Yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah memasrahkan jiwa dan raga kepada Tuhan. Semoga Dia tidak membuat Mr. Roberts kalap dan memberinya hukuman yang berat.
Terdengar helaan napas dari Mr. Roberts. "Sudahlah. Kau pergilah, keringkan wajahmu," titahnya singkat. Ia membalikkan badan, berjalan kembali menuju mejanya. "Sepulang sekolah nanti, datang menghadap saya. Mengerti?"
Adora mengangguk lemah. Ia bangkit, melangkah menuju pintu. Terdengar bisik-bisik iba dari beberapa penghuni kelas mengiringi langkahnya.
🍁🍁🍁
Adora mengusap-usap wajahnya menggunakan handuk kecil-ia mendapatkannya dari satpam sekolah yang iba melihat kondisinya. Ia menatapi pantulan wajahnya di cermin toilet. Memastikan bahwa wajah dan rambutnya sudah benar-benar kering.
"Guru itu sadis sekali. Bukannya membangunkanku secara baik-baik. Ini?" Adora mendesah. Ingin sekali rasanya menyantet guru Matematika satu itu. Namun, nanti dosanya bertambah banyak.
"Karma, oh, karma. Janganlah berlaku kejam padaku. Aku ini anak baik-baik. Langganan hadiah dari Santa," ucapnya asal.
Mungkin, bukan hanya rambut dan wajahnya yang basah, tetapi kewarasannya ikut luntur sedikit demi sedikit.
Krieeettt ....
Matanya membulat sempurna. Dari cermin, ia dapat melihat salah satu pintu toilet terbuka sedikit. Tepatnya pintu toilet paling ujung.
Adora mengelus-elus dada, berusaha menenangkan diri. Pasti karena angin. You don't need to worry about it, Adora. It's just-
Tap .... Tap ....
Suara langkah siapa itu? Bukankah ia hanya seorang diri di sini? Indra pendengarnya masih bekerja dengan sangat baik, ia tidak mungkin salah dengar. Itu memang suara langkah kaki!
Ah, apa mungkin itu hanya suara langkah kaki seseorang saja? Ya, pasti. Pasti itu hanya suara langkah entah murid ataupun guru yang ingin menggunakan toilet ini. Lagi pula, toilet ini milik bersama, bukan hanya miliknya seorang. Adora menoleh ke belakang dan terkejut.
Tidak ada siapa-siapa.
Lalu, siapa pemilik suara langkah kaki itu?
Matanya kembali mengarah ke cermin, kembali membulat sempurna. Bulu kuduknya langsung berdiri. Tubuhnya bergemetar. Kakinya terasa lemas.
Padahal, ia sudah bertemu dengan-nya beberapa kali. Namun, ia masih saja tak mampu menguasai rasa takut yang menggerogoti seluruh tubuhnya.
Disekanya kening yang sudah dibanjiri keringat dingin. Kedatangan-nya bukan tanpa alasan. Entah dia ingin mengatakan sesuatu atau dia mau memberikan sesuatu padanya. Dan yang harus ia lakukan sekarang ialah bertanya.
Adora menelan ludah kasar. Ia paksakan diri untuk tersenyum ramah. "H-hei, Malorie ...?"
Dan seperti biasanya, Malorie diam membisu. Tatapan matanya kosong, tak terlihat tanda kehidupan di sana. Kulitnya yang begitu pucat, ditambah jari-jarinya yang tak berkuku, selalu sukses membuat Adora bergidik ngeri.
Sekian menit berlalu dalam keheningan yang mencekam. Jantung Adora memompa cepat dengan ritme yang tak beraturan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Mengapa dia tak juga mengatakan keinginan-nya? Apa dia hanya ingin menakuti Adora saja? Apakah dia sekurang kerjaan itu?
Atau, apa ini adalah karma atas perbuatannya di kelas tadi? Jika iya, takdir kejam sekali. Apakah membuatnya dihukum sepulang sekolah nanti masih belum cukup bagi Sang Takdir? Oh ayolah!
"Bukalah. Pakailah pada saat semuanya berubah wujud."
Otak Adora belum selesai memproses ucapan tersebut, tetapi sosok Malorie perlahan memudar dari pandangan. Ia pun mendekatkan wajahnya ke cermin. "H-hei, jangan pergi dulu! A-aku tidak mengerti-"
Adora tersentak saat ada tangan yang memegangi pundaknya. Traumanya akan kejadian semalam masih menempel kuat di otaknya. Sekilas otaknya memainkan adegan itu, sukses membuatnya berkeringat dingin. Takut-takut, ia menolehkan kepala perlahan ke belakang.
Ia membuang napas lega saat mendapati pelakunya. Itu adalah teman sekelasnya, Samantha. Gadis itu berkacak pinggang, menatap Adora heran sekaligus sebal. "Apa saja yang kau lakukan dari tadi? Hampir tiga puluh menit dan kau belum juga kembali ke kelas. Karena itu, Mr. Roberts menyuruhku untuk mengecekmu. Merepotkan saja."
Adora menggaruk tengkuknya, menunduk sedikit. "Maaf," ucapnya singkat.
Mereka berdua memang memiliki hubungan yang tak terlalu erat. Samantha adalah gadis yang cantik, seksi, juga terkenal. Tak ada yang tak mengenalnya di sekolah ini. Ia dikenal sebagai gadis yang baik, ramah, dan bersahaja. Namun, ia pun tak luput dari sisi buruk; ia suka berbaur dengan anak-anak yang tergolong biasa saja, kemudian menjelek-jelekkan mereka ketika ia sudah tahu rahasia mereka.
Sebenarnya, Adora tidak mengajak Samantha waktu itu. Waktu mereka bermain permainan Werewolf. Namun, gadis itu bersikeras untuk ikut. Beberapa teman Adora pun menginginkan kehadiran Samantha dalam permainan. Agar permainan menjadi lebih menyenangkan, kata mereka. Karena itu, Adora tak bisa berbuat apa-apa, selain membolehkan Samantha ikut bermain.
Samantha memutar bola mata. Sejenak, ia memperhatikan dirinya di cermin. Ia mengeluarkan sebuah lip tint, memoleskannya pada bibirnya yang tebal memesona. Dari sudut mata, ia melirik tak suka ke arah Adora yang diam memperhatikan aktivitasnya.
"Kenapa? Ada masalah denganku, eh?" Matanya kembali fokus ke cermin. "Aku sedang tidak ingin mencari masalah dengan siapa pun sekarang. Kau pergilah ke kelas sendiri. Bilang saja aku sedang buang air."
Anehnya, Adora menurut saja. Ia mengangguk kikuk, lantas pergi keluar dari toilet.
"Bisa-bisanya aku menuruti ucapan Iblis Bermuka Dua itu," gumam Adora kesal pada diri sendiri.
Sementara itu, Samantha sudah selesai merias dirinya. Ia baru saja akan pergi dari sana ketika tanpa sengaja ia melihat sesuatu yang menarik atensinya. Ia mengambil benda tersebut, kemudian memandang pintu luar toilet.
Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas-ia tersenyum menyeringai. Benaknya mendapat sebuah ide yang menurutnya brilian.
"Sepertinya seru bermain-main sedikit dengannya." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top