erstwhile friend | seventh
PUKUL tujuh pagi. Sang baskara di ufuk timur telah menunjukkan batang hidungnya, meski belum menduduki singgasananya di tengah-tengah cakrawala. Hangat cahayanya menyinari para makhluk hidup yang sudah memulai aktivitas masing-masing.
Begitu pula dengan Adora. Ia melangkah kecil menuju ruang makan. Karena bangun terlampau pagi, awalnya ia ingin melanjutkan tidurnya. Namun, alam mimpi sudah tak mengizinkannya kembali ke sana. Oleh sebab itu, ia berpikir untuk membersihkan diri serta bersiap-siap untuk menyambut ilmu. Walaupun bel sekolah baru akan berbunyi sekitar satu jam lagi.
Ibunya pun sudah siap dengan seragam kantornya. Matanya terpaku pada tablet di meja, entah sedang memperhatikan apa. Mungkin urusan kantor, sampai-sampai dia tak menyadari kedatangan anak semata wayangnya di sana.
Tak berniat mengganggu, Adora duduk perlahan di bangku yang kosong, memakan panekuk yang mungkin dimasak oleh ibunya tadi. Hening menyeruak di ruangan itu untuk beberapa menit lamanya.
Lanny menyesap secangkir kopi, tersentak kala melirik sosok Adora di seberangnya. Ia terbatuk-batuk, tersedak. "H-hai, Adora. Maafkan Ibu tidak menyadari kehadiranmu."
Adora terkekeh. "Tidak apa-apa, Mom. Mom pasti sedang sibuk sekali sekarang."
Lanny mengangguk, menyetujui. "Begitulah. Mom ingin segera menyelesaikan seluruh pekerjaan Mom, supaya Mom bisa mendapat tambahan hari libur untuk Natal nanti."
"Natal masih sekitar dua bulan lagi, Mom. Santai saja."
"Mom pun sebenarnya berkeinginan seperti itu. Sayangnya, Mom tidak bisa. Dalam dunia orang dewasa, tidak ada yang namanya santai," sanggah Lanny. Dengan nada remeh, dia berkata lagi, "Susah menjelaskannya pada anak kecil sepertimu."
"Huuuh! Aku sudah dewasa, Mom!" Adora menggembungkan pipinya, sebal. "Masih dua tahun lagi, sih. Yah, pokoknya, aku sudah pantas dianggap dewasa!"
Gemas, Lanny mencubit pipi anaknya. "Ya Tuhan, anakku menggemaskan sekali!"
Setelah Lanny puas mencubit-cubit pipinya, Adora memutuskan untuk menanyakan lagi mengenai hal itu. Semoga saja dia mau menjawab kali ini. Ia mengambil napas sejenak. "Ummm ... Mom?"
"Ya, Sayang?"
"Boleh aku bertanya sesuatu? Tapi, Mom harus jawab, ya?" Adora menatap mata sang ibu dengan serius. "Aku tidak ingin ada rahasia di antara kita."
"Iya. Mom janji, Mom akan menjawab apa pun pertanyaanmu."
Adora menundukkan kepala, memainkan jemarinya. Baiklah, inilah saatnya. "Apa Mom mengetahui sesuatu tentang kematian Malorie Franklin?"
Air muka Lanny berubah dalam sekejap. Seakan ada guntur yang menghujamnya, setetes keringat meluncur dari keningnya. Bibirnya terkatup, seolah dikunci oleh gembok tak terlihat. Lama sekali keduanya terdiam. Tak seorang pun berniat mengeluarkan suara. Adora menggigit bibir bawah, frustrasi. Sementara Lanny hanya mematung.
"... Kenapa kau menanyakan itu?"
Adora menengadah, mendapati air muka ibunya yang serius. Namun, ada yang janggal pada matanya. Kilatan matanya seolah menyiratkan ... kesedihan?
"A-aku hanya ingin tahu saja."
"Dari mana kau tahu tentang Malorie Franklin?" Adora semakin gugup dibuatnya.
Adora bingung. Bodoh! Bagaimana ia harus menjawabnya sekarang? Dari awal, seharusnya ia tak terlalu frontal bertanya mengenai Malorie Franklin. Sudah pasti Lanny akan menaruh curiga padanya-walaupun sebelumnya Adora sudah pernah melakukannya.
Sebenarnya, Adora bisa saja jujur dan bercerita tentang Malorie yang meminta bantuan Adora untuk mencari pembunuhnya. Namun, Lanny pasti akan memarahinya habis-habisan dan menyuruhnya untuk berhenti. Maklum saja, Lanny tidak ingin kejadian di masa lalu terulang lagi pada keluarganya.
Lanny mengembuskan napas. "Baiklah, jika kau tak mau menjelaskannya. Lagi pula, Mom pikir, kau tak perlu tahu juga." Lanny bangkit dari kursi, hendak meninggalkan ruang makan.
"T-tunggu! Bukankah Mom sudah berjanji akan menjawab apa pun pertanyaan-"
"Kau saja tidak mau menjawab pertanyaan Mom," potong Lanny dengan tatapan datar. "Kau yang mengatakan 'tidak ingin ada rahasia di antara kita', bukan?"
Adora bungkam, tertohok perkataannya sendiri. Ia tak bisa melakukan apa pun selain melihat ibunya yang melangkah pergi. Namun, ia dibuat terkejut saat mendengar ucapan Lanny.
"Kita bicarakan lagi saat Mom pulang nanti."
🍁🍁🍁
Saat ini, Adora serta seluruh murid di sekolahnya sedang menikmati waktu istirahat. Sebagian besar murid pergi beramai-ramai ke kantin. Katanya, ada menu menarik di sana. Namun, ternyata itu tak cukup untuk membuat Adora meninggalkan bangkunya yang nyaman.
Entah kenapa, hari ini ia merasa tak bertenaga, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Seolah-olah ada monster tak terlihat mengisap seluruh energi kehidupan dari tubuhnya. Ia pun merasa seperti ada yang belum ia kerjakan, padahal semuanya sudah-termasuk mengganggu Aiden.
Apa mungkin ia sakit? Sepertinya tidak. Suhu badannya normal saja.
Namun, memeriksakan diri ke klinik sekolah juga bukanlah ide yang buruk. Sekaligus membolos juga, pikirnya.
Bosan, ia menyalakan ponsel, mencari aplikasi permainan yang sudah ia unduh di sana. Saat asyik-asyiknya memainkan gim di ponsel, telinganya tak sengaja menangkap pembicaraan beberapa teman sekelasnya.
"Hei, kau sudah tahu akan memakai kostum apa saat Pesta Halloween nanti?"
"Belum. Semoga saja aku bisa mendapat pencerahan dalam waktu dekat. Aku tidak boleh melewatkan pesta itu!"
"Aku juga! Pesta itu pasti akan sangat-sangat menyenangkan! Dengar-dengar, akan ada Kontes Kostum Terbaik di sana."
"Wah! For real? Aku harus memenangkannya!"
"Kostum saja belum punya, tapi kau sudah berambisi menang saja. Aku yakin seratus persen kau tidak akan memenangkannya."
"Sirik tanda tak mampu!"
"Apa maksudnya?"
"Tidak tahu. Aku mengetahuinya dari temanku."
Pesta Halloween? Kontes Kostum Terbaik? Astaga, merepotkan sekali, batin Adora.
Tidak seperti mayoritas orang yang begitu menyukai hari di mana mereka bebas mengenakan kostum apa pun yang mereka inginkan, Adora justru sebaliknya. Untuk apa menyusahkan diri memakai kostum dan riasan aneh serta menghias rumah seseram mungkin, jika keesokan harinya sudah harus dibereskan lagi? Itulah yang disebut pembuangan waktu yang sia-sia.
Selain itu, pada hari Halloween, banyak hantu yang bermunculan di mana-mana. Enak bagi mereka yang berpenglihatan normal. Sementara bagi mereka yang mampu melihat dunia yang tak seharusnya bisa dilihat manusia? Mereka hanya bisa memasrahkan diri.
Sekarang saja, ada hantu lelaki-yang kelihatannya sebaya dengannya-sedang mencolek-colek baju Adora. Entah untuk apa dia melakukannya, Adora tak peduli. Mungkin dia hanya sedang mengusilinya saja, pikirnya asal.
Adora mendecak, terdengar suara 'game over, you lose' dari ponselnya. Ia mematikan ponsel, lantas memasukkannya ke laci meja. Selanjutnya, ia membenamkan wajah dalam lipatan tangan, berniat melanjutkan mimpinya pagi tadi. Namun, keinginannya tersebut runyam lantaran ada suara seseorang menyapanya.
"Halo, Adora! Apa kabar?"
Adora mengangkat kepalanya, menoleh tak minat. Ternyata Samantha. Gadis itu tersenyum ramah. Namun, terlihat jelas di mata Adora bahwa senyuman itu palsu belaka. Hanya pencitraan saja. Apa yang diinginkan gadis ini padanya?
Adora tak menjawab, bibirnya telanjur malas menanggapi pencitraan gadis itu.
Tak terlihat tanda-tanda kesal di air muka Samantha, padahal dia jelas-jelas diabaikan. Dia justru melebarkan senyumannya. "Adora, apa kau tidak merasakan sesuatu? Seperti kehilangan benda, misalnya?"
Diam sejenak, Adora pun menggeleng pelan. "Tidak."
"Serius?"
"Iya."
"Kau tidak berbohong, 'kan?"
"Untuk apa aku berbohong untuk hal yang aku saja tidak tahu?" Adora balik bertanya.
Sepertinya Samantha mulai kesal, pemirsa. Namun, dia tidak mau menyerah begitu saja. "Mengaku sajalah. Kau kehilangan sebuah kunci, 'kan?"
"Kunci?" Adora menelengkan kepala.
"Iya, kunci."
"Kunci apa?"
Samantha menepuk keningnya. Baiklah, dia sudah lelah. Lebih baik, dia cepat mengembalikannya saja, daripada waktu berharganya terbuang sia-sia hanya untuk menjahili gadis satu ini. Reputasinya sebagai gadis baik hati dan ramah juga terancam hancur bila dia membentaknya.
Samantha merogoh saku rok kurang bahannya, lantas menaruhnya di meja Adora. "Ini kuncimu. Aku menemukannya kemarin di toilet. Kau tak sengaja meninggalkannya waktu mau kembali ke kelas."
Adora mengambil kunci tersebut, memperhatikannya lekat-lekat. Tak lama setelahnya, ia menaruh kembali kunci tersebut. "Aku tidak ingat memiliki kunci seperti ini."
"Oh ayolah, aku yakin sekali bahwa itu adalah milikmu. Lagi pula, aku tidak memiliki kunci seperti itu juga." Samatha berkacak pinggang. "Sudahlah, kau ambil saja. Siapa tahu, ternyata itu adalah kunci rumahmu?" Samantha tertawa kecil.
Apanya yang lucu? batin Adora heran.
Selain palsu, ternyata Samantha memiliki selera humor yang aneh.
Samantha menepuk bahu Adora, masih dengan senyum palsunya. Ingin sekali Adora menyiram muka gadis itu dengan botol air minumnya. "Baiklah, aku pergi dulu. Tak perlu berterima kasih, aku benar-benar tulus mengembalikan kunci itu padamu. Jagalah baik-baik, ya."
Samantha pun melenggok pergi dari sana. Banyak mata memperhatikannya dengan kagum. Sementara Adora mendecih jijik. Ia bangkit dari bangku, melangkah keluar dari kelas.
🍁🍁🍁
Adora melangkah tanpa tujuan jelas di koridor. Ia memperhatikan sekitar. Ada beberapa gadis berkumpul, entah sedang membicarakan apa. Ada seorang lelaki dan perempuan berpelukan mesra-bahkan ia sempat melihat mereka berciuman. Selain itu semua, ada seseorang yang memancing perhatiannya. Entah matanya yang sudah mengalami kerusakan atau ia hanya berhalusinasi saja.
Ia melihat seseorang, dengan santainya, tidur di lantai.
Adora memandang aneh orang tersebut. Apa urat kewarasan orang itu sudah putus? Bisa-bisanya dia tidur dengan nyenyak di lantai yang belum tentu sudah dibersihkan. Memangnya tidak ada tempat lain yang sekiranya lebih normal untuk dijadikan alas tidur?
Adora berjongkok, mencolek-colek pipi orang itu. Wah, pipinya lembut sekali! Ugh, jadi ingin sekali mencubitinya.
Setelah diperhatikan lebih saksama, ternyata orang itu memiliki tampang yang terkesan imut untuk ukuran seorang lelaki. Postur badannya pun tidak sebesar dan sekekar lelaki lain di sekolahnya. Wajahnya terasa asing, belum pernah ia lihat selama satu tahun ia bersekolah di sini. Apa mungkin dia murid baru? Ah, atau bahkan murid pindahan luar negeri? Karena ciri khas wajahnya tak seperti orang-orang di sini.
Astaga, aku tidak tahan lagi! Asalkan tidak ketahuan, mencubit pipinya sebentar saja tidak apa-apa, 'kan?
Dengan gerakan yang sangat pelan, Adora meluncurkan tangannya ke pipi mulus si lelaki imut. Tangannya yang lain memegangi dada, berharap dapat menghentikan jantungnya yang berdegup dalam ritme cepat dan tak teratur. Ditambah lagi, telinganya seakan mendengar musik latar ala film-film thriller-saat sang tokoh utama menghadapi situasi sulit. Menambah perasaan tegang yang meliputinya.
Ya Tuhan, mudahkanlah aku dalam melakukan tindakan tidak benar ini.
Hingga akhirnya ia berhasil mencubit pipinya, ia berseru tertahan. Hampir saja ia menjerit saking gemasnya. Lelaki itu sukses membuat gula darahnya meningkat drastis. Mungkin, tak lama lagi, ia perlu dilarikan ke rumah sakit lantaran diabetes stadium akhir-eh?
Ia belum juga melepaskan tangannya dari pipi orang tersebut, saat ia mendengar sebuah suara.
"Sudah puas mencubiti pipiku?" Adora terlonjak kaget, hingga ia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Pipinya merona merah, malu karena perbuatannya tepergok. Orang-orang di sekitar memandangnya bingung, tetapi Adora tidak terlalu menghiraukannya.
Si lelaki imut mengangkat tubuhnya seraya mengucek-ucek matanya. Setelahnya, ia menatap Adora datar. Tanpa disadari lelaki itu, gadis di hadapannya merasa terintimidasi oleh tatapannya.
"Siapa kau?"
Adora merapikan anak rambut, lalu mengulurkan tangan dengan gugup. "P-perkenalkan, namaku Adora Harris. Senang bertemu denganmu, err ...?"
"Bintang." Lelaki itu tak berniat menyambut uluran tangan Adora. "Bisakah kau minggir sedikit? Aku ingin berdiri."
"A-ah iya, maafkan aku." Adora menuruti perkataan Bintang begitu saja, seakan lelaki itu adalah seorang pangeran, sementara ia hanyalah pelayan biasa-memiliki derajat lebih rendah.
Adora memberanikan diri untuk mengajak Bintang berbicara. "Ehm, kau anak baru di sini, ya?" tanya Adora mencoba ramah. Namun, respons yang didapatnya tak terlalu bagus.
"Menurutmu?" Bintang menaikkan sebelah alis.
"A-apakah kau baru pindah ke negara ini?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku hanya menebak saja, sih." Adora cengengesan sendiri.
Bintang hanya berdeham saja, lalu menyibukkan diri dengan ponsel. Jemarinya sibuk mengetuk-ngetuk layar ponsel, mungkin dia sedang berkirim pesan dengan seseorang. Dia tampak asyik sekali, hingga mengabaikan Adora yang masih setia di sebelahnya.
Penasaran, Adora melirik layar ponsel lelaki imut tersebut. "FLC? Grup apakah itu?"
Bintang langsung menjauhkan ponsel, menatap masam Adora. "Itu bukan urusanmu."
"Oh, ayolah! Beri tahu aku sedikit saja."
"Tidak. Kau tidak akan mengerti," ucap sang lelaki imut, menatap Adora penuh makna. Seakan ia ingin menyampaikan sesuatu, tetapi tak sanggup. "Percayalah, kau akan menyesal begitu mengetahui seberapa waras-nya grup ini."
Adora menelengkan kepala. Mengapa dia menekan kata 'waras'? Aku jadi semakin penasaran. "Bagaimana aku akan menyesal jika aku saja tidak tahu tentang grup itu?"
Bintang mulai salah tingkah. "P-pokoknya, aku tidak akan membiarkanmu terjerumus ke dalam grup ini!" Setelah mengatakannya, Bintang mengambil ancang-ancang kabur.
Sebelum lelaki imut itu meluncur pergi bagaikan ninja di sebuah animasi terkenal dari negeri matahari terbit, dia mengatakan sesuatu dengan air muka nan polos dan suci-padahal sebenarnya dia hanyalah iblis berbulu malaikat. Sungguh, lelaki itu membuat tingkat penasaran Adora melonjak drastis.
"Cobalah gunakan kunci itu pada salah satu lemari di gudang bawah tanah sekolah ini. Gaunmu menanti di sana." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top