erstwhile friend | fifth

ADORA menaruh ranselnya ke sembarang tempat, lantas melemparkan diri ke atas empuknya kasur. Kala ia sampai di rumah, kakinya langsung membawanya ke dapur. Niat awalnya ingin mengecek bahan makanan yang tersisa di kulkas. Namun, ia mendapati catatan kecil tertempel di pintu kulkas.

Penulis catatan itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah ibunya. Garis besar isi catatan tersebut adalah pernyataan bahwa ibunya memiliki urusan mendadak dan dia akan pulang larut malam. Di catatan itu pun tertulis, bahwa tidak banyak bahan yang bisa dimasaknya untuk makan malam, sehingga Adora disuruh untuk membeli makanan di luar saja.

Baguslah, lagi pula mood-nya saat ini lebih menginginkan piza. Oleh karena itu, setelah membersihkan diri, ia mengambil ponsel dan menyalakannya. Ia menekan beberapa angka di papan tombol, lantas menekan tombol panggilan. Ia merapatkan ponsel ke telinga, lalu mulai berbicara kala mendengar suara dari seberang sana.

Ia memutus panggilan, lalu menaruh ponsel di sembarang tempat. Ia turun dari kasur, melangkah menuju pintu. Ia membuka pintu, melongok ke luar kamar. Rumah ini hanya ditinggali olehnya dan ibunya. Berbanding terbalik dengan rumah ini yang cukup luas-yang sebenarnya bisa saja diisi lima orang lebih. Sehingga ada beberapa ruangan yang tak terpakai. Untung saja ibunya sering menonton televisi di ruang tengah, sehingga membuat suasana rumah ini tak begitu sepi.

Namun, kali ini berbeda. Ibunya tak ada di rumah.

Yah, terkadang ibu meninggalkannya sendiri di rumah, seringnya karena lembur ataupun urusan mendadak di kantor sehingga menuntutnya untuk kembali. Ia pun biasanya tidak terlalu memedulikan suasana rumah yang pastinya sepi bak rumah angker. Namun, untuk beberapa alasan yang tidak dapat ia jelaskan, ia merasa merinding sekarang.

Seperti ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak tahu apa.

"H-heiii ...," Bibirnya berucap dengan sedikit gemetaran, "... siapa pun di sana, j-jangan ganggu aku, ya ...? A-aku anak yang baik, kok, hehe ...."

Bodohnya kau, Adora! Siapa pula yang akan mendengar ucapanmu?! Kecuali kau, tidak ada siapa pun di rumah ini! batinnya mengutuk diri sendiri.

Adora menelan ludah kasar. Lebih baik, ia menonton televisi saja di ruang tengah, sembari menunggu piza pesanannya datang. Lagi pula, hari ini ada episode baru dari kartun favoritnya, Steven Universe.

Dengan langkah pelan, Adora menuju ke ruang tengah sambil sesekali celingak-celinguk ke sekitar, seakan ada sesuatu yang memperhatikannya. Saking sepinya rumah ini, suara langkah kakinya yang bertemu dengan lantai dapat tertangkap jelas oleh indra pendengarnya. Bibirnya berkomat-kamit, menyanyikan lagu-lagu yang sekiranya terlintas di benaknya.

"L-London Bridge is falling down. Falling down, falling down. London Bridge is falling down, my fair lady ...."

Hingga ia sampai di ruangan yang dituju, ia langsung mendudukkan bokongnya ke sofa yang empuk seraya membuang napas lega. Ia meraih remote dan menyalakan televisi, tak lupa menaikkan volume suara hingga hampir mencapai batas maksimum. Walau sedikit memekakkan telinga, ia tidak terlalu mempermasalahkannya.

Yah, meskipun sebenarnya itu tidak terlalu membantu mereduksi rasa takutnya.

Ia tetap saja sendirian.

Terdengar suara bel yang nyaring ke penjuru rumah. Adora bangkit dari duduknya, melangkah cepat menuju pintu depan. Kala ia membuka pintu, didapatinya seorang pria berjaket merah dengan celana jin hitam. Di kepalanya, terdapat topi berwarna senada dengan jaketnya-dengan lambang piza serta nama restorannya.

Di tangan pria tersebut, ada sebuah kotak besar. Dapat tercium aroma harum dari kotak itu, membuat rasa laparnya mulai meronta-ronta.

Setelah ia memberikan beberapa lembar uang, sang pengantar piza berkata, "Terima kasih telah memesan. Selamat menikmati piza Anda." Setelahnya ia melangkah pergi dari sana.

Ia membuka kotak di ruang tengah sesudah menutup pintu. Satu loyang piza New York Style dengan taburan keju mozzarella, pepperoni, jamur, dan saus tomat. Dan setahunya, bumbu yang digunakan untuk piza jenis ini antara lain oregano, bubuk cabai, keju parmesan, dan juga bawang putih.

Baiklah, cukup dengan identifikasi bahan-bahannya. Yang ia inginkan saat ini adalah merasakan nikmatnya piza ini sembari menonton.

🍁🍁🍁

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Pizanya masih tersisa dua potong. Film kartunnya sudah berganti dengan film lain yang tidak ia tahu juga hiraukan. Sementara itu, Adora sudah tertidur di sofa dengan posisi yang sungguh tidak anggun. Air liur pun turut menghiasi pipinya.

Mohon untuk tidak meniru gadis ini di rumah.

Ia terbangun kala mendengar suara dering dari ponselnya. Ia mengucek matanya, lantas memencet tombol hijau. Sebuah suara yang familier pun menyambut telinganya.

[Hei, Adora. Kau sudah makan?] ucap seseorang di seberang sana.

"Sudah. Aku makan piza." Adora melirik sisa pizanya. "Ah, masih tersisa dua potong. Itu buat Mom saja."

[Tidak usah, kau habiskan saja. Mom sudah makan bersama kolega-kolega Mom tadi.]

"Masalahnya, perutku sudah tidak mau menerima asupan lagi, Mom."

[Ya sudah, simpan saja di kulkas. Hidup jangan dibawa susah.] Lanny menghela napas.

"Baiklah ...." Adora menaruh ponsel di meja, mengaktifkan mode speaker. Ia pun bangkit dan membereskan sampah-sampahnya. Tatkala ia mengingat sesuatu, ia kembali berkata pada Lanny, "Oh iya. Kapan Mom pulang?"

[Mom sedang dalam perjalanan ke rumah. Let's see ...,] Lanny menjeda perkataannya sejenak, [... mungkin sekitar satu jam lagi Mom akan sampai. Memangnya kenapa? Tumben sekali.]

"Bukan apa-apa, sih. Aku hanya merasa kesepian saja. Rumah ini sunyi sekali kalau tidak ada Mom." Adora terkekeh pelan.

[Oh, kau takut, ya?] Ucapan ibunya itu menohok Adora seketika. Entah kenapa, sekalinya Lanny peka dengan apa yang dikatakan Adora, pasti rasanya tertohok bak ratusan panah terhujam ke dadanya.

Adora cemberut kala mendengar ibunya tertawa.

[Tenang saja. Mom tidak akan lama,] ucap ibunya masih tertawa. [Kalau begitu, Mom tutup ya. Hati-hati, perhatikan sekitarmu. Siapa tahu ada seseorang atau, yah, sesuatu.] Panggilan diakhiri secara sepihak olehnya setelah dia cekikikan kecil.

"Membantu sekali, ya, Mom. Haha," ucap Adora menatap kontak Lanny masam. Bukannya menenangkannya, dia malah melakukan sebaliknya-menakut-nakutinya. Ibu macam apa itu? Durhaka pada anak sendiri. Lihat saja, Adora akan membalasnya.

Adora memasukkan ponsel ke saku celana pendeknya. Setelah membuang sampah, ia melangkah ke kamarnya. Langkah kakinya sedikit sempoyongan, sebab rasa kantuk sudah menguasai hampir seratus persen dari kesadarannya. Beberapa kali ia menyenggol perabotan.

Matanya membelalak tatkala ia merasa ada yang memegangi kakinya. Peluh dingin menetes membasahi keningnya. Bulu kuduknya meremang. Tangan itu dingin sekali bak es batu-bahkan lebih dingin dari itu.

Ingin sekali menjerit, tetapi bibir juga lidahnya tak sanggup melakukan keinginannya.

Siapa? Siapa yang memegangi kakinya sekarang?

Adora menelan ludah. Dengan sisa keberanian yang ia dapat kumpulkan, ia melirik ke bawah. Air bening yang ditahannya sedari tadi lolos dari kelopak matanya.

Benar, ada sebuah tangan yang menembus dari lantai, memegangi pergelangan kakinya. Tangan itu pucat sekali. Penuh dengan luka yang menganga. Kukunya pun hitam panjang. Dinginnya tangan itu bahkan menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat Adora merasa lemas.

Adora pasti sudah ambruk ke lantai, jika ia tidak merasakan kehadiran sesuatu di belakangnya. Aura dari tangan itu dan sesuatu di belakangnya kuat sekali, membuatnya merasa sesak-bagai diimpit dua dinding dengan begitu kerasnya.

Mengapa ia sial sekali malam ini?

"Lepaskan gadis itu."

Adora menoleh, merasa familier dengan suara tersebut. Dugaannya benar. Pemilik suara itu, tak lain dan tak bukan, adalah si hantu gadis berpayung yang telah membuyarkan hidupnya sejak beberapa hari lalu, Malorie. Payung yang biasa ia pakai kini dalam kondisi tertutup.

Hening. Tangan itu tak juga melepaskan kakinya, seolah tak peduli dengan ucapan Malorie sebelumnya. Malahan, tangan itu mempererat genggamannya, membuat Adora meringis kesakitan. Sementara Malorie terlihat datar saja, seakan yang dialami Adora bukanlah hal yang besar.

"T-tolong aku, Malorie ...," lirih Adora.

Tak ada jawaban.

"Kyaaaaaa!" Adora menjerit tatkala ada tangan lagi yang memegang kakinya yang lain.

Kakinya terasa lumpuh, hingga akhirnya ia ambruk ke lantai yang dingin. Air mata tumpah ruah, sudah tak bisa dibendungnya lagi. Tubuhnya bergemetar hebat. Matanya terpejam. Dirapalkannya segala doa yang ia tahu dalam relung hatinya. Berharap Tuhan dapat mendengarkan doanya dan mau mengulurkan tangan-Nya.

Satu detik ....

Dua ....

Tiga ....

Huh? Kenapa tidak ada yang terjadi?

Bukannya Adora mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Hanya saja, ia bingung. Pertanyaannya seakan terjawab kala indra pendengarnya menangkap suara seseorang.

"Sudah aku katakan padamu. Lepaskan gadis itu."

Terdengar suara dentuman yang aneh. Adora pun membuka mata, mendapati kakinya sudah dibebaskan, tetapi menyisakan bekas memar yang terlihat sangat jelas. Mungkin akan hilang dalam waktu yang cukup lama, pikirnya.

Memproses apa yang telah terjadi, ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tak dapat ia temukan tangan hantu itu di mana-mana. Ke mana perginya?

"Kau tak perlu khawatir. Dia tak akan berani mengusikmu lagi."

Adora mendongak. Malorie menatapnya datar. Sepersekian detik setelahnya, dia melangkah kakinya pelan menuju ....

... Lantai atas?

Adora menautkan kedua alisnya, tak mengerti apa yang mau dilakukan Malorie. Namun, hatinya seakan berkata, "Ikutilah dia." Oleh karena itu, ia bangkit berdiri, lantas mengikuti hantu gadis itu. Tak membutuhkan waktu lama baginya untuk sampai di tempat yang Malorie. Ia semakin kebingungan.

"Kamarku? Untuk apa dia pergi ke sana?"

Malorie berdiri menghadap pintu kamarnya, kemudian berjalan menembusnya. Karena dia adalah hantu, dia bisa dengan sepuas hati masuk-keluar ruangan yang ada. Terkadang, Adora berpikir ingin memiliki kemampuan seperti itu. Namun, ia sadar bahwa ini bukanlah cerita fiksi seperti yang ada di buku-buku literasi.

Dan ini bukanlah waktu yang tepat untuk melamun.

Adora membuang napas, masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak mengerti lagi harus melakukan apa. Lebih baik ia mengikuti alurnya saja.

Adora menelengkan kepalanya kala mendapati Malorie berada di dekat meja belajarnya, entah memandangi apa. Penasaran, Adora mendekat.

Baiklah. Saat ini, di meja belajarnya, terdapat buku binder yang terbuka di halaman kosong. Seingatnya, ia sudah menutup buku itu sebelum turun ke ruang tengah. Kenapa bisa terbuka? Siapa yang membukanya? Malorie-kah? Namun, bagaimana caranya? Dia itu hantu! Tidak mungkin bisa menyentuh benda fisik.

Yah. Adora bisa beranggapan seperti itu, sebab ia sudah sering bertemu hantu, dan hampir semuanya tidak bisa menyentuh benda yang bersifat fisik-sebenarnya bisa, hanya saja jika mereka mengeluarkan energi ekstra. Terkecuali bagi hantu-hantu yang sudah berusia cukup lama. Mereka bisa dengan sepuasnya menyentuh serta menggerakkan benda-benda di sekitar mereka.

Adora duduk di bangku, ikut memandangi halaman kosong buku binder. Ia ingin mengambil bolpoin di kotak alat tulisnya, kala jari telunjuk Malorie-yang tidak memiliki kuku dan berlumuran darah-mulai menuliskan sesuatu di buku. Adora menghentikan gerakannya demi memperhatikan apa yang ingin dituliskannya.

CS; 827567-v

"Hah? Apa ini?" Adora mengambil buku tatkala Malorie selesai menulis. Ia memicingkan mata, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Beberapa menit ia gunakan untuk memproses tulisan Malorie di benaknya, hingga akhirnya ia gagal paham.

"Errr .... Apa kau bisa menjelaskan lebih detail lagi?"

Responsnya tak sesuai dengan yang diharapkan. Malorie menggeleng seraya menunjuk sesuatu di dadanya. Netra Adora mengikuti arah yang ditunjuk. Bukannya mendapat pencerahan, kegelapan yang didapatkannya.

Yang mau ditunjuk oleh Malorie adalah seuntai kalung dengan liontin berupa batu permata merah yang begitu indah. Adora seakan dibius oleh keindahan liontin tersebut. Matanya tak bisa beralih darinya bahkan seinci pun.

Adora tersadar kala Malorie berkata, "Tolong ... lepaskan aku darinya ...."

Sebelum Adora sempat bertanya lagi, sosok Malorie menghilang, lenyap begitu saja. []


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top