TUJUH

'Aku. Kisah hidupku, kesedihanku, dan rasa sakitku.
Bolehkah aku mengatakannya?
Bolehkah aku memaki-maki dunia saat ini?'

~~~~~~~~~~~~

Sang surya menyapa dengan semangatnya. Menyembulkan cahaya hangat dengan perlahan di balik awan biru yang cantik jika dilihat.

Udara sedikit sejuk pagi ini, angin menyapa kulit dengan lembut karena hari pun masih menunjukkan jam tujuh pagi.

Tetapi tidak untuk Jeon Jungkook.
Ya! pagi ini rasanya tubuh remaja itu enggan untuk meninggalkan persemayaman miliknya. Bukan karena ia malas atau hanya ingin melanjutkan tidur paginya.

Tetapi tubuhnya sudah terlampau sakit bahkan untuk menggerakkannya rasanya sulit. Alih-alih peduli akan fisiknya, rasa sakit di hati terasa lebih membunuhnya dari pada tubuh yang seakan-akan remuk.

Jungkook hanya terdiam, tatapannya kosong menatap langit-langit kamar miliknya.

Samar.

Kejadian semalam terlintas dibenaknya. Rasa sakit yang semakin perih. Jeritan kesedihan semakin ngilu menjalar ke relung hatinya.

Semua terlihat samar di benaknya. Seperti kaset hitam putih usang, semua berputar seperti memori. Tetapi bukan memori indah seperti apa yang ia inginkan melainkan memori pahit yang kembali terjadi.

'karena ia membunuh orang tuaku.'

Jungkook memejamkan matanya. Kalimat menyakitkan itu sungguh mengganggu pikirannya.

Setiap Yoongi menuturkan kalimat itu hatinya nyeri. Menarik nafas pun sulit rasanya. Hanya lima kata yang terucap dari bibir Yoongi mampu membuat Jungkook di hantam ribuaan belati. Mampu membuat Jungkook tenggelam dalam jerit penderitaan.

'Anak ini membunuh ibu dan ayahku! Ia membunuhnya! Malam itu! Pada malam dimana seharusnya aku merasakan kebahagiaan!!'

Pintu memori kesedihan Jungkook terbuka sudah takala perkataan selanjutnya terlintas. Ketika itu terucap, kenangan hari dimana kecelakaan itu berputar kembali. Jungkook menyaksikan bagaimana orang tuanya hangus terbakar di telan api.

Di tengah dinginnya malam. Di tengah bentangnya langit kelam bercampur cahaya merah mengikilat yang nampak bertentangan jika dilihat. Kobaran api besar, teriakan masyarakat yang menyaksikan dan tangisan bocah berumur delapan tahun.

Perlahan airmata jatuh kembali. Ia benci Mengeluarkan nya.

Ia benci terlihat lemah akan air mata yang tak pernah absen untuk mengutarakan berapa menyedihkan dirinya.

Tetapi ia tak sanggup membendungnya terlalu lama lagi. Ia tak sanggup menahan sesaknya lagi. Sampai saat ini ia masih tak mengerti, mengapa?

Apa?

Dan bagaimana bisa?

Bahkan Jungkook sudah tak sanggup lagi memikirkan alasan dibalik Yoongi yang membencinya. Takbisa, sungguh sulit untuk menembus lapisan dinding pemikiran seorang Jeon Yoongi yang terkenal genius itu.

Tiga puluh menit telah berlalu, dan selama itu pula Jungkook masih sama terdiam dengan berbaring menatap langit kamar.

Namun pikirannya pergi entah kemana. Pikirannya kacau, ia takbisa berfikir lebih jauh lagi.

"Kookie?" sebuah suara memasuki pendengaran Jungkook. Matanya menatap pintu putih miliknya.

Bingung siapa yang mengetuk pintu kamar sepagi ini? Tidak mungkin jika itu Yoongi. Konyol sekali, pikirnya.

Jungkook perlahan mencoba bangkit dari tempat tidurnya. Sedikit pening ia rasakan sekarang, Tubuhnya terasa sakit seluruhnya.

Jungkook berjalan perlahan menghampiri pintu dan membukanya.

"Jimin hyung?"

Pemuda berhati lembut penuh perhatian tersebut sedang berdiri dengan membawa nampan berisi susu hangat rasa pisang, dengan sepotong roti pangang ditangannya.

Tapi lain halnya dengan Jungkook yang menautkan alisnya bingung. Mengapa Jimin sepagi ini datang kerumahnya? dan mengapa Yoongi tak memarahinya jika Jimin datang ke kemarnya?

Ah! Jungkook baru ingat Jimin sempat bertengkar dengan Yoongi semalam. Hatinya menghangat mengingat bahwa Jimin membelanya dan berkata bahwa ia adalah adiknya.

Namun rasa bersalah datang menghampirinya, karenanya Jimin dan Yoongi bertengkar.

Jungkook tersenyum miris.

"Kau baik-baik saja? Apa ada yang sakit?" memandang raut wajah Jungkook lekat.

Entah Jiimin salah melihat atau memang wajah Jungkook terlihat lebih tirus dari sebelumnya. Pipi yang biasanya terlihat mengemaskan tergantikan sudah. Kulitnya sedikit memucat dengan kantong mata yang terlihat jelas.

'Ada hyung.'

"Tidak hyung aku baik-baik saja." Jungkook mengelengkan kepalanya cepat, tersenyum kecut takala mulutnya berbohong.

"Apa kau yakin?" pertanyaan itu membuat Jungkook memejamkan matanya erat.

'Aku tak yakin, rasanya sangat sakit aku lelah hyung. ku mohon tolong aku.'

Ingin menangis, meneriakan bahwa ia tak sanggup lagi. Fakta bahwa Jungkook tak bisa melakukannya membuatnya menyedihkan.

"Ya hyung aku yakin." bocah bergigi kelinci itu tersenyum meyakinkan pemuda di hadapannya.

Jimin yang melihatnya hanya menganggukan kepalanya paham. Memberikan nampan berisi sarapan pagi yang ia buat untuk Jungkook.

"Makanlah aku tahu kau lapar. Kau belum makan bukan dari semalam. Ada susu kesukaanmu dan roti panggang. Maaf aku takbisa membuat yang lain karena tak ada bahan di kulkas, tak apa bukan?"

Jungkook menatap nanar nampan yang di bawa oleh Jimin, lalu menganggukan kepala menerima apa yang berikan untuknya.

Seulas senyum tipis terlukis di wajah Jungkook. Apakah ia bahagia? Tentu ia bahagia dengan hal kecil seperti ini.

Ia bahkan selalu memimpikan hal seperti ini. Lalu apa ia sepenuhnya bahagia? Tidak, Jungkook lebih bahagia jika Yoongi lah yang membuatnya.

"Terima kasih hyung. Bolehkah aku membawanya kedalam kamarku? Akan ku makan pemberianmu setelah aku membersihkan tubuhku."

"Baiklah Kookie aku akan menunggumu di bawah." mengusap lembut pucuk kepala adik kecil di hadapannya lalu perlahan pergi meninggalkan kamar Jungkook.

'Aku akan bahagia jika kau lah yang memberikannya padaku Yoongi hyung'

----

Suara bel bergema. Tak ada yang membukkaan pintu rumah besar keluarga Jeon saat ini.

"Aish! mengapa tak ada yang menjawabnya." Taehyung yang kesal terus menekan bel rumah Jungkook.

"Apa ada orang didalam? Aku ingin bertamu!" berteriak sesekali tangannya mengetuk kencang papan kayu yang masih tertutup.

Beberapa saat, tetapi pintu tersebut masih tertutup sangat rapat. Taehyung yang lelah akhirnya duduk bersandar di pintu.

Menunggu siapa saja yang akan membukakan pintu untuknya. Ayolah, ia seperti gembel dengan seragam sekolah. Meraung-raung seperti kucing yang di usir dari kandangnya.

Jimin baru saja selesai mandi. Memakai baju santainya dengan jas lab berada di tangan kirinya. Hari ini mungkin Yoongi akan membawanya ke ruang bawah tanah membuat proyek robot manusianya yang tak kunjung selesai.

Keluar dari kamar tamu. Entah telinganya yang salah atau ia telah mendengar pintu rumah keluarga Jeon sedang diketuk rusuh oleh seseorang seperti ingin menagih hutang.

"biasanya rumah Yoongi hyung tak pernah ada tamu." dengan malas Jimin berjalan lalu membuka pintu kasar.

"Awww."

"Yakkkk! Astaga! "

"Ahh! ini sakit." Taehyung mengeluh, mengusap belakang kelapanya. Yang benar saja kepalanya mendarat duluan di lantai dengan badan yang hampir terjungkal dengan tak elitnya.

"Kau siapa?" sadar dari tadi terkejutnya, Jimin bertanya dengan sinis.

"Oh, ku kira tadi Jungkook yang membukakan pintu." bangkit dari jatuhnya ia berdiri dan menatap Jimin.

"Jungkook?" beonya heran.

"Aku Taehyung. Kim Taehyung." tersenyum dengan senyuman kotaknya.

"Sedang apa anak SMA sepertimu di rumah ini?" Pasalnya ia maupun Yoongi tak mengenal bocah di hadapannya.

"Aku mencari Jungkook. Aku temannya di sekolah. Apa Jungkook ada? Apa ia sekolah hari ini? aku ingin bertanya padanya. Ah dan juga kemarin ia sakit aku membawanya dan mengantarnya pulang. Apa ia sudah baikan?" jelas Taehyung panjang lebar.

Jimin mengerutkan dahinya heran Jungkook punya teman?

Setahu Jimin, Jungkook itu anak pendiam tak memiliki banyak teman apa lagi seperti bocah di hadapannya. Dan tunggu apa katanya tadi, Jungkook sakit? Sakit apa? Sejak kapan?

"Masuklah." mempersilahkan masuk kerumah keluarga Jeon, Taehyung pun mengikutinya dari belakang.

Menyamankan dirinya pada sofa hitam rumah Jungkook sementara jimin mengambil minuman untuk bocah yang tak tahu asalnya dari mana. Mata tajamnya menatap ruangan besar yang nampak sederhana tetapi elegan dengan perpaduan warna yang tenang.

"Apa kau hyungnya Jungkook?" Taehyung bertanya saat Jimin meletakkan teh hangat untuknya.

"Aku bukan hyungnya, tapi ia adikku."

"Jungkook punya dua hyung?" heran Taehyung berfikir.

Hanya senyuman yang di lontarkan Jimin untuk Taehyung yang nampak berfikir seperti bocah.

--------

Jimin menyibak tirai coklat kamar milik Tuan dan Nyonya Jeon. Sinar mentari memasuki ruangan serba putih tersebut. Hatinya menghangat saat matahari menyambut dengan senangnya.

Mata Yoongi terbuka saat cahaya menampar menyinari kulit pucatnya. Mata hitamnya menangkap siluet pemuda dengan rambut pirang tebal sedang berdiri melihat pemandangan luar jendela.

"Oh hyung kau sedah bangun?"

Pemuda itu berbalik menatap sosok yang nampak kacau sekarang. Ah tidak mungkin lebih buruk dari itu. Rambut hitam yang terlihat acak-acakan dengan wajah yang terlihat lesu seperti manusia yang terbebani dengan banyak pikiran.

Hening.

Yoongi tak menanggapi pertanyaan Jimin. Ia menutup mata dengan lengan miliknya. Ia bingung, kalut dan takut. Marah akan sesuatu hal perasaannya campur aduk sekarang.

Ia mengingat kembali perkataan Jimin padanya, benarkah bahwa ia sudah kelewatan?

"Jimin." akhirnya suara berat Yoongi terdengar.

"Hmm?"

Membalikan tubuhnya menatap Yoongi yang terbaring di kasur besar. Melihat Yoongi yang seperti ini membuat dirinya bingung. Seperti bukan Yoongi yang ia kenal.

"Apa aku tersesat?"

"Apa aku sudah terlalu jauh Jimin?"

"Apa aku terlalu lama menutup mataku?"

Jimin mengerti arah pembicaraan Yoongi sekarang. Perasaan seseorang yang sudah ia anggap sebagai hyung sekaligus seniornya di kampus itu sedang bingung dan kalut. Yoongi sedang berperang dengan dirinya sendiri.

"Ya kau sudah tersesat hyung. Bukan kah sudah ku katakan? Kau sudah berlari terlalu jauh, kau hanya berfikir dengan otak kerasmu tapi tidak mendengarkan hatimu."

Jimin menghampiri Yoongi. Menarik tangan Yoongi membuat tubuh yang hampir sama dengannya itu terduduk.

"Kau harus mandi, kau kacau."

"Jimin."

Memandang Jimin kosong. Tidak, jangan lagi Jimin sudah berfikir bahwa Yoongi akan luluh atau setidaknya mengerti apa yang ia ucapkan.

Iris tajam itu menusuk mata coklat milik Jimin.

"Bisakah kau tak usah mencampuri urusanku?"

Sial.

.
.
.

TBC

'IndahHyera
15062019'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top