ENAM BELAS

-Hyung, please...
save me..... "

~~~~~

Siapa yang pernah berkata bahwa, salju adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidup?

Kim Taehyung lah orangnya. Dimana remaja itu sangat menyukai musim dingin yang jatuh pada bulan Desember.

Ya, sekarang adalah musim dingin.
Musim gugur yang berwarna merah serta jinga telah berubah menjadi hamparan putih selembut kapas.

Memasuki 3 purnama sejak Jungkook mengurung diri. Taehyung berjalan lesu pada lorong gedung sekolah. Melewati kelas-kelas dan siswa lain yang menatapnya bingung.

Beberapa kali ia datang pada kediaman keluarga Jeon, tapi tidak ada sahutan sama sekali dari dalam. Rumah Jungkook sangat hampa dan sepi, bahkan terlihat seperti rumah kosong karena halamannya sangat kotor.

Taehyung memasuki kelasnya, menunduk memperhatikan sepatu hitamnya yang bergerak maju.

"Kau akan menabrak sesuatu jika terus berjalan seperti itu, hyung."

Suara lembut menyapa telinga Taehyung, dengan cepat ia mendongakan kepalanya. Melihat sesosok manusia terduduk manis saat ini.

"Kookie?"

Bendungan kecil meluap dengan segera pada pelupuk mata Taehyung. Terburu-buru dirinya menghambur dekapan hangat. Sungguh Taehyung bahkan lupa caranya bernafas.

Ia rindu, sangat rindu. Bahkan Jungkook, sahabatnya terasa lebih kurus dengan kulit yang terasa dingin. Taehyung menatap lekat pemuda bergigi kelinci yang sedang melempar tersenyum padanya saat ini.

"Kau menghilang kemana saja hah?!" suaranya meninggi, dan kekehan ringan menjadi jawaban akan pertanyaan yang Taehyung lontarkan.

"Aku pergi ke tempat yang jauh, tenang saja hyung aku sudah berada disini sekarang."

Menatap mata malam Jungkook, Taehyung berusaha mencari kebohongan disana. Dan entah mengapa hanya kekosongan yang ia dapatkan?

"5 Hari lagi adalah ulang tahunku, pulang sekolah mari kita pergi ke taman bermain." Senyuman lebar mengembang di wajah Taehyung.

Jungkook membalasnya, mengangguk pasti. Dengan cepat ia menyetujui ajakan Taehyung.

"Kau menurun Kookie, apa kau baik-baik saja?"

"Tentu saja, aku sedang diet."

Lancar sekali labium Jungkook mengucapkan kalimat dusta sejak ia berbincang dengan Taehyung. Tersenyum gundah dalam hati, merapalkan kata maaf berulang kali disana.

Rasa bersalah semakin menumpuk saat ini. Persona yang ia tunjukan pada semua orang, ia tak sanggup lagi menahannya. Topeng ini mulai hancur secara perlahan entah sampai kapan ia sanggup mempertahankannya.

"Ayo ke kantin. Kau ini aneh sekali, badanmu sudah kurus dan sekarang kau diet."

Menarik pergelangan tangan Jungkook, berjalan tergesa-gesa, mungkin jam pertama akan mereka habiskan untuk membolos demi mengisi perut Jungkook.

.
.
.
.
.

Petang ini, sesuai dengan janjinya, Taehyung bersama dengan Jungkook pergi mengunjungi taman bermain. Sepasang tungkai melompat-lompat kecil kala baru saja menginjakan dirinya melewati gerbang setelah membeli tiket.

Jungkook hanya tersenyum sebagai balasan, melihat bagaimana mulut Taehyung tak henti-hentinya mengoceh ini dan itu.

"Jungkookie! Ayo kita bermain itu."

Tangan kurusnya di tarik menuju tempat dimana perahu besar berayun dengan kecepatan tinggi. Mereka menaikinya, menjerit kencang kala perahu tersebut mulai bergerak.

Beberapa saat setelahnya, mereka turun dengan tawa menggelegar. Taehyung menatap Jungkook, ia tak ingat kapan terakhir kali melihat sahabatnya tertawa lepas seperti ini.

Menatap bagaimana dua gigi kelinci secara cuma-cuma di pamerkan, Taehyung bahagia sekali.

Lantas, mereka pun berhenti pada tempat penjual aksesori. "Jungkookie, pakai ini."

Meletakkan bando dengan telinga panjang berwarna putih, sekarang Jungkook tak ada bedanya dengan seekor kelinci hutan.

"Aku tak mau, aku bukan kelinci, Hyung!" kalimat protes membuat Taehyung terbahak di depannya.

"Ayolah pakai saja, dan aku akan memakai ini." meletakkan benda yang sama di atas kepalanya. Yang membuat berbeda hanyalah mainan yang berbentuk telinga harimau berwarna coklat terang.

Jungkook cemberut, ia kesal sekali. Mengapa banyak orang yang menganggapnya seperti buntalan bulu putih pemakan wortel.

"Ini, untukmu."

Tangannya terulur memberikan sebuah rantai kecil, dengan bandul berbentuk kristal salju berwarna perak.

Jungkook bingung, mata hitamnya menatap Taehyung.

"Aku juga memiliki yang sama,"

"lihat?" ia memamerkan pergelangan tangannya yang terdapat gelang manis sama yang persis.

"Karena kau adikku, walaupun ini adalah acara ulang tahunku. Tetapi, aku ingin sekali memberikan ini." ucapnya, memakaikan rantai tersebut pada pergelangan tangan Jungkook yang sebelumnya telah terisi gelang lain, pemberian Jimin.

"Kau memiliki dua sekarang. Ku tebak, paus itu pasti pemberian hyung-mu?"

Sang pemilik hanya tertawa hambar menanggapi perkataan Taehyung. Inginnya mengangguk gamblang, mengatakan bahwa ini memang pemberian kakaknya. Tapi nyatanya gelang itu bukanlah dari Yoongi.

"Terimakasih, Tae-Hyung."

Taehyung tersenyum sebagai balasan, menarik tangan Jungkook untuk ia bawa kesana kemari. Menaiki wahana yang di sediakan satu persatu.

Mereka tertawa, bertingkah layaknya anak sekolah dasar, bahkan Taehyung suka sekali menampakkan wajah konyolnya membuat Jungkook tak bisa menahan malu.

Taehyung dan Jungkook tak menyadari sesuatu, gerak gerik yang sudah diawasi sejak mereka keluar dari gerbang sekolah. Dua orang laki-laki memakai masker hitam terus menatap salah satu pemuda berseragam sekolah.

"Kau yakin pemuda itu yang bos inginkan?" tanyanya pada seseorang.

"Aku yakin sekali. lihat ini pemuda itu memiliki mata hitam yang sama dengan di foto." bisiknya menunjukan selembar potret.

"Kapan kita akan membawanya?"

"Setelah Tuan Muda sudah tak ada lagi di sekitarnya."

.
.
.
.
.
.

Jungkook terduduk pada kereta malam ini, menatap siluet hamparan luas serta pohon-pohon yang seakan tengah berlari.

Malam semakin larut, jam sudah menunjukan pukul sebelas. Setelah bermain dengan Taehyung, Jungkook tak lantas pulang kerumah miliknya.

Walaupun Taehyung mengantarnya sampai pintu gerbang, Jungkook berbalik badan berjalan kembali menuju stasiun kereta saat mobil Taehyung tak lagi nampak pada pandangannya.

Busan adalah tujuannya saat ini.

Mata miliknya kosong, bibirnya mulai membiru dikarenakan udara yang semakin dingin dan Jungkook hanya memakai Hoodie hitam miliknya.

Lorong kereta nampak kosong, hanya segelintir orang di dalamnya.

Jungkook tidak melarikan diri, ia pergi larut malam hanya ingin mengobrol banyak dengan ibu dan ayahnya yang berada di kampung halaman.

Ia membuka tabungan yang sudah lama ia simpan sebagai bekal menuju kesana.

Disini lah Jungkook berada sekarang, di atas lahan seperti bukit kecil yang terdapat banyak gudukan tanah di atasnya.

Ia terduduk, kepalanya bersandar pada salah satu nisan bertuliskan nama sang ibu dengan sebelah tangan menggenggam batu satunya yang merupakan milik sayang ayah.

Bunyi-bunyi jangkrik memecah keheningan malam. Gelap, tempat ini seperti setengah hutan yang di bawahnya terdapat lampu-lampu penerang dari kota kecil.

"Eomma?" suaranya melirih, bibirnya gemetar menahan isak yang tak tahu sampai kapan ia akan tahan.

"Aku sudah berumur 18 tahun saat ini."

"Bukankah Eomma berjanji akan memberikan sebuah action figure kesukaanku jika aku mendapatkan nilai tinggi?"

"Aku merindukanmu..." Jungkook memejamkan matanya, membayangkan bagaimana pelukan hangat wanita cantik yang memiliki wajah serupa dengannya itu.

Membayangkan bagaimana sang Ibu menyapanya di pagi hari saat ia baru saja bangun dari mimpinya.

"Aku merindukan Appa..."

Dan dimana Ayahnya tersenyum menatap Jungkook kecil yang manja. Ayahnya yang selalu menyambut langkahnya di malam hari, saat dimana pria tersebut berteriak 'aku pulang' dengan lantangnya.

Kekehan kecil yang begitu manis saat Jungkook mendapatkan kecupan-kecupan singkat di sekitar wajahnya.

"Aku merindukan Yoongi hyung..."

Yoongi yang menegur adiknya karena terlalu banyak tingkah. Genggaman tangan hangat pemuda pucat itu, Jungkook menautkan jari-jari dinginnya, membayangkan Yoongi saat ini.

Ya tangan itu, terlalu sulit bagi Jungkook untuk mengapainya saat ini.

"Aku ingin bersama kalian, kumohon..."

Dan bendungan itu pecah mengiringi suara serangga malam hari, ia menangis tersedu-sedu.

Mengadu pada malam yang bahkan enggan memberinya kehangatan.

Mengadu pada bulan yang bahkan enggan menemaninya.

Hanya udara dingin yang menyapanya, menusuk dirinya sebagai sasaran empuk. Kehampaan semakin terasa di saat, ia merasa begitu tersesat sejauh ini.

.
.
.
.
.

"hyung?"

Jimin membuka pintu ruangan kerja milik Yoongi, matanya berpendar cepat. Mencari-cari keberadaan pemilik ruangan itu.

Ia tak menemukan siapapun disana, dan langkahnya terangkat menuju pintu pada sisi ujung ruangan. Membukanya perlahan demi meredamkan suara.

Dan Jimin mendapatkan Yoongi tengah jatuh pada dunia mimpi. Ruangan ini memang khusus dibuat untuk Yoongi menginap, terdapat satu buah ranjang dan lemari pakaian serta nakas di sisi kanan.

Tak ada yang spesial didalamnya.

Kecuali satu hal, Jimin menatap buku dan pena yang ia berikan beberapa bulan lalu. Dua benda itu sekarang terdampar di atas nakas.

Beberapa hari ini mereka tak pernah saling bertukar pikiran. Pasalnya, pemuda pucat itu semakin terlihat dingin dengan air wajah yang membuat siapa saja tak sanggup hanya untuk sekedar menyapanya.

Yoongi hanya terus menghabiskan waktu yang ia punya di laboratorium miliknya.

Mengabaikan jam makan yang ia miliki, mengabaikan siapapun seolah-olah pemuda pucat itu sedang di kejar waktu hanya untuk menyelesaikan pekerjaan yang bahkan Jimin rasa semakin muak melihatnya.

"Bangunlah, hyung belum makan apapun hari ini." mengguncang kecil tubuh yang masih meringkuk, Jimin berucap dengan kesabaran ekstra yang ia miliki.

"Yoongi hyung?"

Tak lama, pemuda yang di himbau bangkit dari lelapnya. Menatap Jimin yang memberikan sekantong plastik makan malam yang ia beli di resto terdekat.

Yoongi hanya diam, mengambil alih kantong tersebut dan membukanya. Melahap dengan pelan, tak ada kosa kata yang terucap. Bahkan untuk sekedar berterima kasih pada pemuda bersurai pirang yang menatapnya.

"Ini..." Yoongi mengerutkan alisnya menatap sebuah sampul surat berwarna putih tepat di depan wajahnya.

"Apa ini? Apa kau berencana mengundurkan diri menjadi asisten laboratoriumku?"

Dan kekehan kecil menjadi balasan atas pertanyaan Yoongi. Jimin menggelengkan kepalanya, "Buka saja. Sebelumnya aku enggan memberikan ini padamu, tapi ku rasa, kau punya hak untuk mengetahui isinya."

Lantas tangan pucat itu membukanya, mendapatkan selembar kertas dengan lambang rumah sakit pusat kota di sana.

Yoongi membacanya, netranya membelak saat dirinya membaca diagnosa Dokter Kejiawaan.

'PTSD?'

Lantas Yoongi menatap Jimin, tatapannya menuntut.

"Milik siapa?" tekannya.

"Mengapa kau tak membacanya baik-baik?"

Sesaat setelahnya, tubuh Yoongi memegang. Tangannya tremor seketika. "Kau pasti bercanda?" ia tertawa, kencang sekali.

Pikirannya kabur.

"Apa surat itu terlihat seperti sesuatu hal yang bisa ku bercandakan Yoongi hyung?" senyumnya.

Yoongi meremas surat yang di gengamannya dengan gemas. Tatapannya kosong, ia tergugu tak tahu apa yang sekiranya pantas lidahnya ucapkan setelah ini.

Jimin melunturkan senyumnya, di tariknya tubuh bergetar Yoongi dalam dekapan. Jimin menangis, menumpahkan segala kesedihan yang ia miliki. Ia yang menemani bocah itu, membawanya kerumah saat di mana Jungkook kejang-kejang.

Melihat bagaimana Yoongi ditarik paksa dari keangkuhan. Jimin hanya bisa memberikan sedikit sandaran untuk pemuda pucat yang perlahan di tarik oleh lubang hitam penyesalan.

.
.
.
.
.

"Apa kau tersesat adik kecil?"

.
.
.
.
.
.

TBC

Hallo~~
Chapter ini sedikit panjang.
Maaf untuk keterlambatannya ya.
Semoga kalian tidak pernah bosan menunggu cerita yang sebenernya biasa-biasa aja hehe. ♥️😭
Hayo, siapa yang kmren minta aku publish Day By Day?
Jangan lupa mampir ya!

Btw, stay helth and happy everyday untuk kalian semua~~

'IndahHyera
22012021'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top