EMPAT BELAS

"Taehyung?"

Sepasang kaki jenjang terhenti, kala mendengar suara yang memanggil namanya dengan berat.

Membalikkan tubuh kurusnya, mata hazel Taehyung menatap dingin Namjoon yang baru saja keluar dari ruangan kerja.

Hari-hari di sekolah Terhyung habiskan tanpa temannya, Jungkook. Rasa khawatir menjalar kala ponsel sahabatnya itu tak bisa dihubungi.

Semangatnya sudah hilang entah kemana, Jungkook benar-benar bagaikan matahari untuknya.

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

Memutar matanya malas, Taehyung melanjutkan langkahnya menuju kamar. Mengabaikan keinginan Namjoon.

Kebohongan yang keluarganya lukis, senyum dengan wajah tak bersalah yang keluarganya lontarkan, Taehyung muak bukan main.

Saat malam hari, tanpa seorang pun dirumah. Taehyung mencari tahu apa yang keluarganya lakukan di masa lalu.

Menyusup masuk kedalam ruangan kerja yang di tinggalkan ayahnya untuk Namjoon, betapa terkejutnya ia mendapatkan fakta bahwa,

Orang tua sahabatnya, Jeon Jungkook, mati karena ulah ayahnya sendiri.

Skema kuno dengan alibi kecelakaan. Kedengkian ayahnya akan suksesnya mantan sahabat, membuat Taehyung buta dalam sekejap.

Lalu ayahnya mati karena kasus barang ilegal, disusul ibunya yang meregang nyawa karena depresi yang menhantui wanita berparas cantik tersebut.

Dan sekarang, dengan conggaknya Namjoon ingin mengulangi kesalahan yang sama.

Dimana hati nurani Namjoon sebenarnya?

Apa otak pintarnya itu tak berguna?

"Kim Taehyung."

Mengengam tangan dingin adiknya, Namjoon meremasnya perlahan. Suaranya meninggi dengan raut kesal yang nampak jelas.

"Jangan menyentuhku." lirihan syarat akan penekanan. Taehyung mati-matian menahan diri untuk tidak menghabisi Namjoon saat ini juga.

"Kau harus bicara dengan ku!"

Tangan Taehyung di tarik paksa, menuruni anak tangga dengan terburu-buru, tubuhnya di seret menuju ruangan kerja Namjoon.

Mendorong adiknya untuk duduk pada sofa beludru berwarna navy, Taehyung hanya terdiam tak peduli.

"Tanda tangani ini, setelah kau lulus, aku akan memberikan setengah perusahaan yang dimiliki Appa untukmu."

Menatap map hitam di hadapannya, mata tajam Taehyung menusuk netra yang serupa dengan miliknya.

"Kau memaksaku meneruskan kebusukan kalian?"

"Apa yang kau maksud?"

Namjoon mencoba untuk tenang saat ini, berbicara dengan anak remaja memang sangatlah sulit.

Namjoon yang masih saja melihat Taehyung sebagai anak kecil, membuat dirinya merasa ialah yang mendominasi.

"Appa."

Tubuh Namjoon menegang.

"Aku sungguh tidak mengerti Taehyung, mengapa kau melantur tantang Appa?"

"Ku kira kau pintar Namjoon hyung. Tak kusangka kau setolol ini."

Netra Namjoon bergerak rusuh. Ia gelisah, takut-takut jika tebakannya benar bahwa Taehyung telah mengetahui segalanya.

"Pembunuhan, Penggelapan, Eomma dan sahabatmu, Jeon Yoongi."

Sudut bibirnya terangkat, ia terkekeh menyedihkan kala labiumnya mengucapkan sederet kata menyakitkan.

"Oh jangan lupakan sahabat sekaligus Adikku, Jeon Jungkook."

"Kau mengenalnya bukan? Hmm, atau jangan-jangan ia adalah targetmu yang lain?"

"K-Kauuuu?!!!"

Taehyung berjalan mendekati kakaknya, kepalanya ia tempatkan pada sisi wajah Namjoon.

"Tak akan ku biarkan kau menyentuhnya. Kim Namjoon."

Menarik sudut bibirnya, kali ini lebih terlihat menyeramkan dari sebelumnya.
Taehyung pun pergi dari ruangan, meninggalkan Namjoon yang mengepalkan tangannya geram.

.
.
.

Jimin membawa pulang Jungkook dari rumah sakit sejak 1 jam yang lalu.

Ia terduduk, menyaksikan sosok yang tengah terbaring nyaman pada ranjang empuk bergambar kartun kesukaan sang pemilik.

Setelah ia membaringkan tubuh itu. Kakinya tergerak mencari Yoongi. Ingin memberitahu apa saja yang adiknya alami saat ini.

Nyatanya, tak ada seorang pun dirumah besar ini. Ruangan kosong dan gelap. Padahal saat itu jam masih menunjukan pukul 6.

Yoongi melarikan diri pagi-pagi sekali karena tak ingin melihat wajah mereka.

Jimin mengehela nafas berat. Kenapa ia masuk dalam permasalahan keluarga ini.

Tapi, Jimin tak sejahat Yoongi untuk mengabaikan Jungkook. Ia begitu menyayangi bocah kelinci ini.

Beranjak dari duduknya. Matanya tak sengaja melihat buku tergeletak di ujung ranjang.

Jimin meraihnya, buku yang terlihat masih bagus dengan gambar kelinci sebagai cover.

Tanpa pikir panjang, Jimin membawa buku itu keluar dari bilik Jungkook.

Jimin bertanya-tanya, jika memang benar apa yang dikatakan orang yang ia temui beberapa waktu lalu adalah benar, ia akan benar-benar kecewa dengan Yoongi.

Kebutaan akan segalanya membuat pemuda pucat itu terjatuh semakin dalam. Rasa sayang atau benci yang sebenarnya Yoongi rasakan selama ini.

Jari-jarinya membuka lembar pertama, Jimin terkekeh kala melihat tulisan abstrak khas anak-anak yang baru saja lancar menulis.

Membacanya dengan perlahan, ia tersenyum lebar sebagai balasan. Betapa manisnya Jungkook menorehkan apa yang ia rasakan.

Kegembiraan dan bahagia yang bocah itu tuang, karena mendapat kado kecil dari Yoongi.

Mengapa rasanya begitu sesak jika membacanya di saat-saat seperti ini?

Lalu ia buka lembar demi lembar kertas yang mulai memudar, terkekeh renyah kala membayangkan, jika Jungkook mencelotehkan kalimat yang sama persis dengan apa yang bocah itu tulis.

Tak banyak lembar bahagia yang Jimin temui disana. Lalu pada lembar ke sepuluh, Jimin tergugu. Tangannya tremor dengan iris yang melebar, lantas dengan cepat ia menggigit labiumnya guna menahan tangis.

Disini, hari yang tertulis dengan gurat acak seperti getaran tangis.

[Maret, 09]

'Eomma Appa. Yoongi hyung marah pada kookie, Yoongi hyung bilang ia membenci kookie. Eomma Appa mengapa kalian meninggalkan kookie? siapa yang akan menemani Kookie sekolah nanti?'

Jimin tak tahan lagi, air matanya menetes membasahi buku milik Jungkook. Tangan hangatnya masih tergerak untuk membuka lembar selanjutnya.

Hari demi hari Jungkook tulis disana, sejak anak itu berusia 8 tahun hingga saat ini, tulisan yang nampak jelas semakin memilukan.

Buku ini seperti isi hati Jungkook, terdapat pula kalimat indah seperti lagu didalamnya.

Ia menorehkan segalanya, rasa sakitnya, bahagianya, isi hatinya, apa yang ia alami selama ini. Ini seperti buku perjalanan hidup Jungkook.

Bahkan beberapa lembar dengan tanggal baru-baru ini terdapat gambar abstrak.

Jika di lihat-lihat, gambar dengan pensil sebagai medianya nampak sangat ambigu. Goresan menyerupai wajah dan di kelilingi oleh coretan tebal, nampak seperti menandakan suasana malam hari.

Menutup buku itu dengan kencang.

Sudah cukup, sekarang juga ia akan membawa buku ini pada Yoongi.

.
.
.
.

Yoongi tengah sibuk merancang hal yang sama selama ini. Jantung manusia.

Entah sampai kapan ia akan bergelut dengan bentuk dan obsesi. Yang jelas, ia sudah bertekad untuk menyelesaikan apa yang ayahnya tinggalkan.

Bantingan pintu membuat aktivitas tangan Yoongi terhenti, berbalik lalu ia menoleh menatap Jimin kesal.

"Apa sopan santunmu sudah lenyap, Park Jimin?"

Tak mengatakan sepatah kalimat pun, Jimin menarik Yoongi. Membawanya pada atap gedung yang luas.

Mengacak surainya yang tertiup angin ia benar-benar bingung harus mulai dari mana.

"Hyung, aku bersumpah. Kau benar-benar salah selama ini."

Yoongi mengangkat satu alisnya bingung, tak mengerti sama sekali apa yang sebenarnya ingin Jimin ucapkan.

Lantas Jimin mengambil sebuah pulpen bergaya klasik. Pulpen perekam suara.

"Kau harus mendengarkannya, aku mohon. Setelah itu, tolong sadarkan dirimu."

.
.
.
.
.
TBC

Tugas-tugas ku seperti ngajak tauran.
Banyak bgt, niat mau double update sebagai permintaan maaf, tapi chapter selanjutnya baru setengah cerita.
Jadi, aku update yang ini dulu, takut kalian nungguin lama.
Semoga kalian tak bosan yaa.... ♥️♥️

'IndahHyera
20112020'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top