Bab 4

Kevin tiba lebih dulu di lounge sebelum kliennya. Meletakkan tas hitam berisi ponsel, dompet, dan beberapa dokumen ke atas meja. Rencana awal akan bertemu dengan klien di kantor tapi ternyata berubah karena ada hal mendesak. Kevin menatap pintu masuk, berharap Mile datang lebih dulu sebelum klien. Dengan begitu mereka bisa berdiskusi tentang topik pertemuan hari ini. Dari semua orang yang keluar masuk pintu lounge tidak ada yang memakai setelan sederhana dengan sepatu tanpa hak dan berkacamata. Semua perempuan memakai gaun ataupun minidress yang gaya dan kekinian. Kevin berharap tidak ada masalah yang membuat Milea tertahan dan tidak bisa datang.

Pandangan Kevin tetap tertuju ke pintu saat seorang perempuan muda berjalan ke arah mejanya. Perempuan dengan rambut hitam panjang sebahu itu memakai mini dress merah marun berlengan pendek dengan jahitan di pinggang, yang mengikuti bentuk tubuh. Membawa tas merah dan berdiri gugup di dekat meja.

"Pak, maaf saya terlambat."

Kevin mengalihkan pandangan dari pintu pada perempuan di depannya dan melongo sesaat.

"Milea?"

Milea tersenyum kecil, berdiri salah tingkah karena mini dress yang dipakai menurutnya terlalu pendek.

"Iya, Pak."

Kevin bersiul menatap penampilan Milea yang spektakuler. Tadinya mengira akan melihat penerjemahnya dalan balutan setelan sederhana warna cokelat, hitam, ataupun putih. Ternyata sungguh di luar dugaan. Tidak menyangka kalau Milea akan tampil glamour, anggun tapi juga sexy. Dengan make-up tipis serta rambut yang dibiarkan tergerai menambah pesona Milea.

"Cantik sekali kamu. Sedang ada pesta atau gimana?"

Milea duduk dengan kaki menyamping. "Nggak, Pak. Barusan lagi main ke rumah Laura saat ditelepon. Jadi, Laura yang make over."

Kevin tersenyum cerah, mengulurkan tangan untuk mengusap punggung tangan Milea. "Sepertinya Luara harus sering-sering mendadanimu, Milea. Dengan penampilan seperti ini, aku yakin kamu akan memikat setiap laki-laki yang melihatmu."

"Pak, memujinya tolong jangan berlebihan. Bikin saya takut," jawab Milea sambil menahan gelenyar. Sentuhan lembut ujung jari Kevin di punggung tangan memberikan sensasi yang menggelitik.

"Kamu pakai softlens?"

"Iya, kacamata ada di atas." Milea menepuk-nepuk tasnya. "Saya jarang pakai softlens, biasanya untuk acara tertentu saja."

"Kurang nyaman?"

"Lebih ke saya yang nggak mau ribet."

Kevin mengangguk, terus mengusap-usap punggung tangan Milea tanpa menyadari kalau apa yang dilakukannya menimbulkan ketidaknyamanan. Ia suka menyentuh Milea dan akan terus melakukannya sampai mendengar protes atau nada keberatan. Beruntung ia tidak mendapatkan itu dari Milea. Bisa jadi karena tidak berani membantah, Kevin akan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.

Apa yang dikatakan Kevin menjadi kenyataan. Penampilan baru Milea memikat banyak laki-laki. Klien dari Tiongkok kesemuanya laki-laki berjumlah tiga orang. Tidak lagi muda tapi juga belum terlalu tua. Kira-kira berumur empat puluhan.

"Kami baru tahu kalau ada penerjemah yang cantik begini."

"Nona Milea bukan hanya cantik tapi juga pintar."

Milea menerima beragam pujian dengan senyum terkembang. Ketiga laki-laki yang baru datang adalah orang-orang bisnis yang serius. Pujian hanya dianggap basa-basi bagi mereka begitu pula untuk Milea. Tugasnya di sini menjadi perantara antara Kevin dan mereka, menjabarkan satu demi persatu setiap kata yang melibatkan diskusi dan negosiasi.

Milea baru tahu kalau harusnya hari ini ada pimpinan lain yang datang dari De Jong Corporation tapi batal karena situasi tertentu. Hal itulah yang membuat Kevin datang seorang diri. Para klien dari Tiongkok sangat profesional tapi juga peminum andal. Mereka mengobrol sambil meneguk wiskey, coctail, dan beragam minuman beralkohol lainnya. Milea yang tidak mudah mabuk minum dengan tenang demi menghormati mereka. Nyatanya tidak kuat juga karena gelasnya tidak pernah kosong.

Menjelang tengah malam pertemuan selesai. Ketiga klien dipapah keluar oleh asisten dan sopir perusahaan. Kevin duduk sambil memijat kening. Minum terlalu banyak membuat otak buram dan kesadarannya sedikit tidak normal. Ia menggelengkan kepala dengan cepat, menatap Milea yang meringkuk di ujung sofa. Kepala menunduk, paha sedikit membuka dan sesekali terdengar gumaman lirih dari bibirnya. Sama seperti Kevin, Milea juga minum alkohol banyak sekali.

"Milea, kamu baik-baik saja?" tanya Kevin dengan pandangan buram.

Masih dengan kepala yang tertutup uraian rambut, Milea menggeleng. "Ah, banyak banget bintang di mata."

"Bintang?"

"Hooh, mutar-mutar gitu." Milea mendongak lalu menyeringai ke arah Kevin. Membuka paha makin lebar hingga celana dalam merah mudanya terlihat. Kevin menahan napas terutama saat jari Milea kini mengusap pahanya. "Pak, aku senang. Hihihi."

Kevin meneguk ludah, jari Milea dengan berani kini mengusap bagian atas pahanya. Sedikit lagi jari itu akan mengusap kejantanannya yang kini mengeras dengan tidak tahu malu.

"Senang kenapa?"

"Senang bisa bersenang-senang. Soalnya kalau nggak sama Laura aku nggak senang-senang. Lauraaa, temanku yang cantik. Hiks, hari ini aku nangis dan Laura marah."

Kepala Milea terantuk-antuk, berusaha untuk tetap tegak berdiri meski sulit.

"Kenapa kamu nangis?" tanya Kevin. Kecewa karena Milea mengangkat tangan dari pahanya padahal ia masih berharap agar jari yang lentik itu membelai pangkal pahanya. "Kamu sakit atau sedih?"

"Saya sedih, Pak. Sediih banget juga sakit." Milea mengusap pipi lalu leher. "dipukul, dicekik, hiks sakit. Kata Laura harus ditutupi biar nggak kelihatan. Lauraaa, aku mau ketemu Lauraa."

Kevin berusaha memfokuskan diri pada Milea yang kini menangis. Tidak tahu apa yang terjadi tapi sepertinya hal buruk dan menyedihkan sudah menimpanya. Kevin bangkit dengan sempoyongan.

"Ayo, aku antar kamu pulang."

Milea menggeleng. "Nggak mau pulang, takut mereka datang lagi."

"Mereka siapa?"

"Mereka itu, keluarga yang jahat."

Kebingungan karena tidak tahu kemana akan membawa Milea pulang, Kevin memutuskan untuk mencari kamar hotel terdekat. Sayangnya niatnya belum tersampaikan saat Milea bangkit dari sofa dan berjalan ke depan band kecil di ujung ruangan. Menggoyangkan tubuh mengikuti irama musik sambil mengangkat rok hingga sebatas paha. Sedikit sempoyongan tapi sangat sexy. Kevin meraih tas Milea, menghampiri di lantai dansa dan berniat mengajaknya pulang.

"Pak, kita dansa bentar. Saya belum pernah dansa." Milea tanpa malu-malu mengalungkan lengan di leher Kevin. "Ayo, Pak. Bentar aja."

Melingkarkan lengan yang bebas di pinggang Milea, dan mulai bergerak perlahan, Kevin merasa dirinya sudah bertindak terlalu jauh. Saat mabuk seperti sekarang Milea seolah melepaskan kemurungan dan menggantikan dengan keceriaan. Menari sambil menggesekkan dada dan paha, membuat Kevin menghela napas panjang. Saat musik berhenti ia memeluk Milea dan menuntunnya keluar.

"Kita pulang."

"Nggak mau pulang."

"Harus pulang, nggak mungkin menginap di sini."

Kevin dengan susah payah membantu Milea duduk, memasangkan sabuk pengaman dengan benar. Ia akan menyetir sendiri kali ini. Orang yang minum alkohol tidak boleh menyetir, Kevin tahu aturan itu. Sayangnya lupa membawa sopir dan berniat untuk mencari hotel terdekat. Nyatanya Milea berulah, begitu mobil meluncur meninggalkan lounge kaca jendela dibuka.

"Haaai, malam yang indah. I love you malam!"

Milea mulai meneriakan perasaan cinta pada semua orang yang ditemui, pada malam, dan terutama pada Laura. Mengajak bicara setiap kendaraan yang melewati mereka dan membuat Kevin menahan tawa karena tingkahnya yang lucu.

"Hai, kalian tahu nggak aku kenal Laura. Iya, Laura yang superstar itu!"

Tidak ada yang menggubris teriakan Milea, menganggap hanya umpatan khas orang mabuk. Tiba di pinggir taman yang sepi, Milea mengatakan ingin muntah. Kevin menghentikan mobil di dekat pepohonan dan membantu membuka sabuk pengaman.

"Aaah, muaal!"

Milea keluar dari mobil, muntah di dekat pohon dengan suara keras. Seakan tidak sadar kalau ada Kevin bersamanya. Saat bangkit, Kevin mengulurkan sebotol air yang sudah dibuka tutupnya dan Milea meneguk hingga setengah. Tidak peduli pada air yang menetes dan membasahi bagian depan bajunya.

"Sudah muntahnya? Ayo, kembali ke mobil."

Milea menggeleng dan membuang botol di tangannya. Alih-alih kembali ke mobil, ia menubruk Kevin dan berjinjit lalu melayangkan kecupan yang tidak disangka.

"Terima kasih, Pak," bisiknya lembut. "Untuk kesenangan malam ini."

Kevin melingkarkan lengan di pinggang Milea dan mengusap. "Kesenangan apa yang aku berikan sama kamu."

"Banyak, pergi ke lounge mewah, minum dan makan yang lezat dan mahal. Bersikap baik dan menghargai saya. Seperti di novel-novel saat si gadis miskin ketemu CEO kaya dan tampan."

Kevin tergelak mendengar perkataan Milea. Teringat akan aplikasi menulis yang kini dikelolanya. Sepertinya Milea juga ikut membaca cerita-cerita romantis di sana.

"Apa yang bisa kamu berikan buat aku sebagai tanda terima kasih? Kalau cuma kecupan nggak cukup."

Milea menghela napas panjang, menatap mata Kevin lekat-lekat. "Saya pinginnya ciuman tapi nggak pernah ciuman sebelumnya."

Kevin terkesiap mendengarnya. "Kamu belum pernah ciuman?"

"Belum."

"Tapi mau ciuman?"

Milea mengangguk. "Saya mau semua, Pak. Ciuman, bercumbu, bercinta sama laki-laki. Saya ingin semua karena belum pernah."

Kevin tertegun sesaat, menatap Milea yang berujar penuh harap padanya. Alarm dalam kepalanya berdering kencang. Seolah memberi peringatan untuk menjauh karena yang dihadapinya gadis yang sedang mabuk. Tidak boleh memanfaatkan keadaan tapi sayangnya terlambat.

Milea berjinjit dan menggigit pelan bibir Kevin. Jarinya dengan berani mengusap selakangan serta mendesahkan ajakan penuh hasrat. Kevin terpicu, membuka bibir Milea dan berujar perlahan.

"Kamu yang memulai Milea. Jangan sampai kamu menyesali ini saat sadar nanti."

Kevin melumat bibir yang membuka, menjulurkan lidah untuk mengusap bagian dalam mulut dan memagut lembut. Ciuman berubah intens saat Milea tidak berhenti membelai selangkangan. Alkohol membuat keberanian Milea meningkat. Ia mendorong Milea hingga bersandar pada mobil dan mengangkat rok lalu membelai area intim.

"Aaah, ya, Pak."

Tidak ada yang tahu siapa yang lebih menggila, dengan jari mereka saling membelai. Kevin yang tidak tahan membuka pintu mobil, mendorong Milea ke dalam dan merebahkannya lalu menindih dengan posesif.
.
.
Di Karyakarsa update bab 35.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top