Bab 1

Suara ketukan keyboard terdengar sangat keras di ruangan yang sunyi. Sinar matahari memancar dari balik tirai tebal yang menutup dinding kaca. Sesekali telepon berdering, dijawab operator dan dialihkan ke pegawai yang berwenang. Total ada sebelas pegawai di ruangan yang meja dan kursi terpisah oleh kubikel pendek. Tidak ada yang bicara satu sama lain, sibuk dengan urusan masing-masing.

Milea mengucek mata setelah menerjemahkan berlembar-lembar dokumen, lehernya terasa pegal dan punggung kaku. Ia memutar leher, menepuk-nepuk punggung dan bahu agar terasa lebih enak. Menyambar tumbler untuk minum tapi ternyata isinya habis. Bangkit dengan enggan menuju dispenser air yang letaknya di pantry. Berjalan perlahan agar tidak menimbulkan suara yang mengganggu tapi sempat melirik beberapa pegawai yang menunduk di atas keyboard mereka. Pandangannya bersirobok dengan laki-laki berwajah tirus yang juga memakai kacamatan dan mengangguk samar padanya.

Namanya Danton, salah satu programer IT yang bisa dikatakan paling jago di sini. Milea tidak pernah mengobrol secara akrab dengannya tapi sesekali mengangguk atau bertukar senyum samar. Di antara pegawai perempuan, Danton termasuk yang populer karena dianggap tampan, pintar, dan mapan. Bukan rahasia lagi kalau seorang programer IT memang bergaji besar.

Ada dua perempuan yang sedang bercakap sambil menyeduh kopi di pantry. Milea tidak terlalu mengenal mereka, hanya tahu kalau keduanya pegawai senior di sini dari departemen keuangan. Milea meletakkan tumbler di bawah dispenser dan memencet tombolnya. Air mengucur memenuhi tumbler dan tanpa sengaja telinganya mendengar percakapan samar keduanya.

"Lo tahu nggak kabar terbaru?" Perempuan berambut kecoklatan sedang mengaduk kopi di dalam cangkir porselen. "Katanya Dirut mau ngantor di sini. Makanya ruangan di lantai atas direnovasi. Barang-barang di dalamnya diganti semua jadi perabot paling mahal dan mewah."

Teman bicaranya, perempuan berambut sebahu menimpali. "Gila, sih, kalau beneran Dirut kerja di sini. Mata gue bakalan seger terus, Coy. Lihat cowok cakep gitu."

"Hooh, udah cakep, kaya raya, dan punya kuasa. Makin tinggi aja selera gue sama cowok."

"Lah, sama. Kalau Pak Dirut mulai ngantor kita harus dandan paling cakep. Siapa tahu kecantol'kan?"

"Hahaha, boleh juga. Rencananya juga gitu."

"Aaw!" Milea menjerit kecil saat air tumpah dari tumbler yang kepenuhan. Mencuri dengar percakapan dua orang itu membuat Milea tertegun dan lupa menekan tombol berhenti. Ia buru-buru menutup tumbler dan mencari pengepel untuk lantai basah. Tidak peduli pada pandangan mencela yang diarahkan dua pegawai itu padanya.

"Ceroboh!"

"Nggak usah dilihat. Pegawai area satu memang rata-rata aneh gitu."

"Ayo, ah. Balik ke ruangan. Takutnya ada barang lain yang dia tumpahin!"

Milea mengepel tanpa kata, tidak membantah perkataan keduanya. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di area dua yang biasanya memegang jabatan penting dan senior. Lebih baik untuk tidak membuat masalah dengan keduanya.

Perempuan berambut cokelat bernama Hanina, terkenal cantik tapi juga judes. Hanina adalah wakil manajer keuangan, sedangkan perempuan berambut pendek dengan wajah lonjong adalah ketua divisi umum. Keduanya pegawai senior dan berpengaruh di perusahaan ini. Selesai mengepel, Milea kembali ke tempatnya dengan tumbler terisi penuh. Menghenyakkan diri di kursi sambil mengernyit. Kevin akan berkantor di sini, padahal biasanya di kantor pusat. Entah apa yang terjadi sampai-sampai direktur besar memilih untuk kemari. Apakah terjadi sesuatu? Tanpa sadar Milea bergidik saat mengingat yang terjadi di pesta pernikahan Laura dan Devon.

"Nggak nyangka, kalau kamu yang mungil begini ternyata berdada cukup besar, Milea."

Saat itu Kevin tanpa sengaja menyentuh dadanya. Milea yang mendadak merasa malu menutup wajah yang memanas.

"Aaah, apaan sih jadi ingat lagi."

Pesta sudah berlalu hampir setengah tahun, selama ini pula Milea bertemu Kevin hanya beberapa kali dan itupun dari jauh. Biasanya saat ada kunjungan kemari, para pegawai akan berdiri untuk memberi sambutan pada Kevin . Milea pun sama, menyambut sopan dan tidak ada tegur sapa yang lain. Mendadak dapat kabar laki-laki tampan itu akan berkantor di sini membuat dada Milea berdebar keras.

"Para perempuan memuja dia, nggak tahu aja kalau aslinya dia mesum!" gumam Milea untuk didengar diri sendiri. "Emang, sih, tampan kayak model tapi kalau kotaknya kotor, bukannya sama aja kayak orang mesum?"

Milea mendengkus, mengingatkan diri sendiri kalau dirinya tidak kalah mesum. Saat ini di file yang ada di dalam laptopnya ada puluhan cerita panas yang ditulisnya. Semua melibatkan tentang sex, perempuan telanjang, laki-laki yang gampang horny dan kisah panas memicu gairah. Mirisnya cerita-cerita porno itu ditulis olehnya yang masih perawan. Tidak ada yang tahu pekerjaan sampingannya selain sahabatnya, Laura.

Saat ini Laura sedang hamil muda dan setiap pagi selalu muntah. Wajah cantiknya pucat, sulit menelan makanan dan membuat Laur harus bedrest. Milea berencana untuk menjenguk hari Minggu ini. Terdengar suara langkah tergesa, seorang laki-laki berambut klimis dengan kumis tipis berteriak.

"Siapa yang namanya Milea?"

Semua pandangan tertuju pada kubikel Milea. Berdiri dengan bingung, Milea bertanya pada laki-laki itu.

"Aku Milea. Ada apa?"

"Kamu naik ke ruang direktur sekarang."

Milea melongo. "Sekarang?"

"Iya, ada dokumen penting. Buruaan!"

Para pegawai bertukar pandang saat melihat Milea berjalan bingung menuju ruang direktur utama. Tidak ada yang tahu apa yang diinginkan oleh sekretaris direktur dengan memanggil Milea. Tadi mereka mendengar soal dokumen, sepertinya memang ada pekerjaan untuk Milea. Masalahnya kenapa ke pegawai baru? Sedangkan ada dua penerjemah yang lebih senior?

Saat ini kedua penerjemah itu menatap layar komputer dengan muram. Satu laki-laki berumur tiga puluh tahun, dan perempuan yang dua tahun lebih muda. Mereka tanpa sadar mengalihkan pandangan pada punggung Milea yang menghilang ke balik pintu. Disertai perasaan tersaingi bercampur sebal, bingung serta muram.

Milea yang tidak sadar menjadi sasaran keingintahuan orang-orang, melangkah gugup ke lantai atas menuju kantor direktur utama. Setahunya hanya ada sekretaris yang di sana dan selama ini tidak pernah membutuhkan tenaganya. Kenapa mendadak memanggilnya? Sekretaris direktur adalah seorang perempuan berambut digelung dengan tubuh gempal, berusia pertengahan tiga puluh tahun yang terlihat tangguh dan cekatan. Milea berdiri gugup di depan perempuan itu.

"Bu, ada perlu apa sama saya?"

Si Sekretaris menaikkan sebelah alis. "Kamu nggak tahu siapa yang manggil kamu?"

Milea menggeleng. "Nggak tahu, cuma disuruh datang kemari."

Si Sekretaris mengamati penampilan Milea dari atas ke bawah. Mengakui kalau Milea berwajah cukup cantik meskipun berkacamata. Rambut hitam dan tebal saat ini dikuncir ekor kuda. Memakai setelan sederhana dengan rok selutut dan kemeja cokelat, menunjukkan kalau Milea tidak punya selera bagus dalam berpakaian. Tipekal pegawai baru yang belum punya gaji cukup untuk berdandan.

"Rapikan kemejamu, bagian leher terlipat ke dalam. Rambutmu kuncir ulang biar lebih rapi."

Milea melakukan apa yang diminta si Sekretaris dengan bingung. Tidak tahu alasan dirinya diminta untuk merapikan penampilan. Bukannya seorang penerjemah tidak diharuskan untuk berpenampilan cantik karena yang terpenting dokumen diterjemahkan dengan baik. Kalau pun butuh sebagai penerjemah langsung biasanya dilakukan oleh senior.

"Sudah, Bu."

"Oke, jaga sopan santun saat bicara dengan Tuan Kevin."

Milea belum sempat mencerna informasi dari si Sekretaris saat pintu didorong membuka dan kakinya melangkah ke dalam. Pandangannya tertuju pada laki-laki tampan yang berada di balik meja. Saat ini laki-laki itu menunduk di atas buku hitam, mencorat-coret sesuatu dan seolah tidak menyadari kehadiran Milea.

Bias matahari yang menyelusup lewat jendela membuat bayangan laki-laki itu seolah bersinar. Menambah ketampanan dengan rambut yang dkuncir. Biasanya Milea tidak suka laki-laki gondrong, tapi khusus untuk Kevin hal itu sama sekali tidak mengusiknya. Ia bahkan ingin tahu bagaimana rasanya saat jari menyentuh rambut halus itu.

"Tu-an, saya datang," sapa Milea saat Kevin tidak juga mengangkat kepala.

"Aku sudah tahu kamu datang, Milea. Kenapa memanggilku 'tuan', biasanya kamu manggil aku apa?"

Milea melongo. "Biasanya?"

Kevin mengangkat wajah, meletakkan pulpen ke dalam kotak dan menutup buku. Melambaikan tangan pada Milea.

"Kemari!"

Milea seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mendekati meja direktur dengan was-was. Tidak tahu apa yang ingin dilakukan laki-laki itu padanya. Ia makin mendekat dengan pandangan Kevin tertuju padanya. Tajam, menilai, dan ada sedikit binar mencemooh atau bisa jadi rasa geli yang seolah tidak bisa disembunyikan. Milea meneguk ludah.

"Ya, Tuan!"

Kevin bangkit dari balik meja, mendekati Milea yang berdiri gugup di depannya. Mengulurkan anak-anak rambut yang berada di dahi dan menyelipkan ke balik telinga. Tidak menyadari kalau sentuhan di ujung jarinya membuat tubuh Milea bergetar aneh.

"Milea, aku menganggap kita cukup akrab satu sama lain setelah beberapa kali ketemu. Kamu adalah sahabat Laura, yang juga istri dari temanku. Kenapa kamu menganggapku seperti orang lain, Milea. Hatiku bisa terluka."

Milea melongo sekarang. "Tuan, mak-sudnya apa?"

Kevin mengangkat dagu Milea, mengusap lembut bibir merah yang dipoles lipstik tipis-tipis. Tidak peduli kalau wajah Milea memerah dan memanas karena sentuhannya.

"Pertama kali kita bertemu di restoran kamu panggil aku apa?"

Milea meneguk ludah. "Pak Kevin."

"Waktu di pesta pernikahan?"

"Pak Kevin juga."

"Kenapa sekarang menjadi, tuan? Siapa yang mengajarimu?"

"Itu, Pak, anu, Tuan."

Milea sangat gugup sekarang dengan jantung berdetak keras. Penggambaran apa yang dirasakannya sekarang sangat persis dengan cerita yang ditulisnya. Dada berdebar, tubuh panas dingin seperti demam dan wajah memanas. Itu semua karena sentuhan jari laki-laki di bibirnya. Bagaimana kalau jari itu membelai pipi, dagu, leher, dan pundak? Seakan bisa membaca pikirannya, Kevin berbisik.

"Jangan membasahi bibir saat aku sentuh dagumu, Milea. Tahu kenapa? Aku jadi ingin menciummu. Melumat bibir dan menyatukan lidah di dalam tenggorokan. Bagaimana? Apa kamu berminat kita berciuman lebih dulu sebelum bekerja?"

Bayangan erotis tentang ciuman, cumbuhan, dan sentuhan meledak dalam pikiran Milea. Ia ingin sekali mengangguk dan berteriak kalau tidak keberatan dicium oleh Kevin sekarang. Namun, belum sempat Milea menjawab bibir Kevin sudah bergerak dan menyentuh lembut bibirnya.

"Muach! Sementara hanya kecupan. Tunggu saja, aku benar-benar akan melumat bibirmu, Milea."
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 10.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top