Chapter 6- Defibrillator

Jaga malam bareng Kai, sebelas dua belas dengan jaga malam bareng Noell. Jika yang cewek es batu, yang cowok ini, kek batu karang banget.

Sejak jam jaga dimulai, gue dengan Kai sibuk melakukan follow up. Sebuah kegiatan memantau atau mengetahui keadaan pasien. Selain itu, kami perlu memperbaiki dan mengganti cairan infus pasien.

Malam ini, kami memiliki lima pasien yang berada di ruang observasi. Tiga diantaranya adalah pasien dengan penanganan yang terbilang cukup gawat. Pemantauan di ruang observasi biasanya 1x24 jam sebelum dialihkan ke ruang rawat inap dengan penanganan lebih intes.

Apabila dalam masa observasi pasien berangsur membaik. Maka mereka bisa diizinkan pulang tanpa perlu melakukan opname lebih lanjut.

Ibu Susan selaku pasien pertama mengalami sesak napas dengan mengidap hipertensi.

Renita Lestari sebagai pasien kedua dengan keluhan demam dan gelisah sejak sore, sedangkan pasien ketiga adalah pasien diare bernama Andika. Seorang remaja balig berusia 17 tahun.

Si Andika ini sudah diinfus oleh Arok dan Narnia yang berjaga di shiff siang. Serta diberikan obat loperamid yang bekerja untuk memperlambat gerak usus agar menghasilkan feses dalam bentuk lebih padat.

Kondisi Andika stabil sejak follow up pertama. Dia mengeluh kepada ibunya karena ngidam mau makan seblak. Tetapi tidak diizinkan.

Pasien paling prioritas adalah Ibu Susan dan Renita Lestari. Setiap lima belas menit, gue dan Kai secara bergantian memeriksa kondisi terkini mereka.

Setiap hal yang kita periksa, akan dicatat dengan detail. Penting, karena Dokter Alka selalu mengawasi kami dari jauh.

"Lo kenapa?" Kai tiba-tiba menegur gue yang gelisah mengetukkan pena di atas meja.

"Enggak apa-apa."

"Aneh, tingkat keanehan lo berbeda dari biasanya. Katakan aja, lo melakukan hal memalukan yang tidak diketahui oleh orang lain?"

Kai itu sering ngajak berantem dari kalimat-kalimatnya, sebelas dua belas dengan Noell yang kalimatnya menusuk jantung hingga terluka.

"Gue enggak papa. Hanya saja, kita berdua harus memantau Bu Susan dan Renita."

Kai melongok ke arah ruang observasi dengan santai. Lalu beralih menatap gue.

"Mereka kan kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dicemaskan."

"Enggak bisa! Lo harus tetap waspada!"

Suara gue terdengar membentak. Kai terkejut dan menatap gue dengan alis mengkerut. Masa bodo dengan kecemasan Kai. Gue lebih cemas memikirkan keadaan kedua pasien gue.

Dengan inistiaf sendiri, gue pergi ke bad tempat Renita Lestari berada. Dia seusia dengan gue. Putri bungsu dari dua bersaudara. Kakak perempuan dan ibunya berjaga di samping ranjang.

"Dokter Moes." Si Ibu menyapa lembut. Beliau pasti risih, melihat wajah gue nongol terus. Tetapi dia tidak keberatan, untung gue ganteng kayak Jaemin NCT.

"Reni masih tidur, Dok."

"Iya, Bu. Saya datang untuk kembali memantau. Takut kenapa-napa."

Oximeter tiba-tiba berbunyi nyaring. Saturasi pasien mendadak turun ke angka 80%, lalu bergerak ke 75%. Ambang batas saturasi normal harusnya 95-100%.

Kai berlari dengan Dokter Alka. Beliau menggunakan penlight untuk memeriksa reaksi pupil. Bu Anna selaku kepala perawat dan Bu Sisca menghampiri dengan mendorong defibrillator mendekat.

Defibrillator biasanya disebut juga DC shock merupakan alat untuk memberikan kejutan listrik dengan tujuan mengembalikan irama detak jantung agar menjadi normal kembali pada pasien yang mengalami gagal jantung. Kadang, dilengkapi dengan ECG atau elektrokardiogram. Yaitu grafik yang dibuat oleh sebuah elektrokardiograf, yang merekam aktivitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu.

Denyut nadi di pergelangan pasien tidak lagi gue rasakan. Mata gue mendadak perih dan hati gue terasa sesak.

"Defriblattor!" Dokter Alka berseru nyaring. Gue dan Bu Susan bergerak cepat memasang paddle AED atau automatic external defibrillator pada dada pasien.

"Menjauh dari pasien!"

Kami semua bergerak, Kai menarik para wali pasien. Tombol shock ditekan. Denyut nadi pasien masih belum kembali.

"CPR!"

Gue berseru lalu naik di atas ranjang untuk melakukan CPR dan meletakkan satu telapak tangan di bagian tengah dada pasien, tepatnya di antara payudara.

Posisi telapak tangan gue yang lain diletakkan di atas tangan pertama. Posisi siku lurus dan bahu berada tepat di atas tangan.

Dada pasien ditekan setidaknya 100–120 kali per menit, dengan kecepatan 1–2 tekanan per detik.

Saat menekan, gue harus menggunakan kekuatan tubuh bagian atas dan jangan hanya mengandalkan kekuatan lengan agar tekanan yang dihasilkan lebih kuat.

Orang tua pasien sudah menangis histeris. Tetapi gue enggak akan menyerah. Gue akan berusaha sekuat mungkin untuk membawa detak jantung itu kembali.

CPR atau cardiopulmonary resuscitation atau dikenal juga dengan sebutan RJP yaitu resusitasi jantung paru. Ini adalah upaya pertolongan medis untuk mengembalikan kemampuan bernapas dan sirkulasi darah dalam tubuh.

Gue sangat berharap CPR ini harus berhasil. Keringat dan peluh mulai menempati pelipis, bahkan mata gue kian perih.

"Hentikan! Hentikan Moes!"

"Enggak bisa, Dok! Pasien harus selamat!"

"Moes!"

Sebuah tamparan keras menyadarkan kekalutan gue. Mata Dokter Alka menatap gue dengan garang. "Turun!"

Gue menunduk dan turun dari atas bad. Dengkul gue terasa lemas.

"Waktu kematian." Beliau kembali berujar. "Lo harus mengatakan waktu kematian pasien."

Gue melirik ke orang tua wali. Si Ibu sudah terduduk di atas lantai IGD yang dingin dengan putri pertama yang berusaha menenangkan sang Ibu.

"Waktu kematian," seru gue sambil melirik arloji di tangan kanan. "00.08 dini hari."

Kai menarik gue untuk pergi meninggalkan ruang observasi. Bu Anna dan Bu Sisca menangani pekerjaan sisa.

Keran air mata gue bocor saat kami berdua masuk dalam dapur kecil IGD. Gue roboh bersandar pada pintu kulkas. Kai duduk di samping dan menepuk pundak gue berulang kali.

"Lo udah berusaha semaksimal mungkin."

Gue menggabaikan kata-kata dukungan tersebut. Gue merasa salah dan tidak berkompeten melihat pasien meninggal di hadapan gue.

Semakin memikirkannya, gue merasa sesak dan kacau.

"Moes, tenanglah. Hal seperti ini akan selalu lo lihat. Lo enggak bisa melakukan apa-apa, jika kematian telah menjemput."

Gue menyeka air mata dengan sapu tangan yang selalu gue selip dalam jas dokter. Rasanya, mental gue seperti kerupuk dan anak cengeng.

"Lo bisa melihat malaikat maut di sana?"

Mata Kai terbelalak. "Maksud lo? Gue enggak bisa lihat hal aneh kayak gitu. Kalau tipenya aneh kayak lo, gue sering lihat."

Dia masih mengajak bertengkar di saat seperti ini. Gue pun menunduk memandang telapak tangan gue yang memegang sapu tengan dengan kuat.

"Arok melihatnya."

"Melihat Ken Dedes dan Tunggul Ametung?"

Walau gue tahu, Kai mencoba berkelakar. Timing nya benar-benar tidak pas. Anehnya, wajahnya malah terlihat serius. Gue jadi parno, bahwa dia adalah reinkarnasi Tunggul Ametung.

"Malaikat maut, Dopamin! Lo pernah melihat malaikat maut?"

"Ck! Kalau gue pernah melihatnya. Gue enggak akan koas bareng lo di sini."

Gue tertawa, ada benarnya juga. Harusnya Arok juga seperti itu. Mungkin karena dia immortal, fakta itu tidak berlaku.

"Maksud lo, Raga melihat malaikat maut ada di IGD?"

Gue menatap wajah Kai sebentar. Dia tampak cemas dan panik. Padahal tadi biasanya sedatar aspal jalan tol. Sekarang jauh lebih mirip patung Moai di tanah paska.

"Ya, di tadi titip pesan. Ada yang dijemput. Enggak jelas, siapa yang dijemput. Gue pikir lo sih."

Di ujung kalimat, gue tersenyum miring pada Kai yang wajahnya kian bertambah pucat. Sejak tahu, Arok tipe anak-anak istimewa. Dia memilih menghapus Arok dari daftar rivalnya dan menarik gue ke posisi pertama.

Defibrillator

Jenazah almarhumah telah dipindahkan ke rumah duka yang juga menjadi fasilitas Samsara Medical Center. Kai berjaga duluan dan bergantian dengan gue pukul tiga pagi.

Sejak Arok mengatakan hal tersebut. Gue jadi cemas memikirkan sosok pembawa sabit yang hadir di dalam IGD. Dia mungkin sedang duduk manis di ruang tunggu menunggu para jiwa-jiwa fana dibimbing ke dunia lain.

"Dokter Moes?"

Suara Bu Anna yang menegur, membuat lamunan gue menjadi buyar. Dia menyodorkan sekaleng pocari sweet pada gue yang sedang duduk di depan IGD.

"Cairan tubuh Anda berkurang sejak CPR. Dokter butuh itu untuk mengembalikan cairan tubuh yang hilang. Ngomong-ngomong, peristiwa tadi adalah pengalaman pertama ya?"

Gue mengganguk sambil membuka tutup kaleng.

"Saya mengerti perasaan dokter muda seperti Anda. Hal-hal seperti ini tidak bisa dihindari. Saya juga pernah merasakan hal yang serupa."

Beliau menjadi sosok yang tiba-tiba membuat gue merasa nyaman untuk mengobrol.

"Sebagai petugas medis. Kita sudah melakukan semaksimal yang kita bisa. Pasien pun berjuang untuk tetap sehat. Semua orang sama-sama berjuang. Tetapi memang, tidak ada yang mampu melawan garis kematian."

Beliau menepuk pundak gue dengan sikap keibuan. "Kuatlah, Nak. Kita tidak akan bisa melakukan apa pun, jika malaikat maut telah menjemput. Mereka ada di mana-mana, memperhatikan kita para manusia fana."

"Apa mereka menggunakan sabit untuk menarik jiwa?"

Bu Anna tertawa renyah. Ia meneguk minumanya sendiri dan menatap ke arah depan.

"Benda itu tidak digunakan seperti itu, Nak. Itu sesuatu yang istimewa. Apa kamu pernah melihat mereka?"

Gue menggeleng. Lalu mengutip kalimat Kai. "Kalau gue udah melihatnya, Bu. Gue enggak ada koas di IGD."

Bu Anna tersenyum, lalu menggangukkan kepala beberapa kali. Seolah sedang menertawakan gue akan suatu hal yang beliau ketahui. Namun gue tidak mengetahuinya.

Kepala perawat IGD ini, mendadak jadi misterius. Rasa dingin tiba-tiba menyelimuti tengkuk belakang gue. Mungkin karena hampir pagi. Gue mau duduk di sini sembari menikmati cakrawala menampilkan keindahannya.

"Nak, Moes." Gue tatap wajah Bu Anna dengan serius. "Kita sering melihat mereka membaur. Coba perhatikan lebih seksama. Anda pasti menemukan satu."

Gue merasa, arah pembicaraan ini menjadi tidak masuk akal. Mendadak, gue jadi teringat Airlangga adik gue yang tingkat kegantengannya masih di bawah gue.

"Malaikat maut hidup berbaur bersama manusia?" Gue mencoba menebak.

Bu Anna tidak menjawab untuk membenarkan dan tidak pula menjawab untuk membantah. Nah, kan. Beliau makin terlihat misterius.

"Ya, mereka ada dan hidup sebagai manusia biasa." Kepala Bu Anna tiba-tiba berpaling menatap gue. "Bukan hanya malaikat maut, Fallen Angel, Dewa-Dewi, Peri—"

"Dan penyihir?" sela gue antusias. "Anda ingin mengatakan bahwa mereka semua itu nyata, bukan?"

Awalnya Bu Anna terperangah mendengar komentar gue. Lalu tersenyum, bangkit dari kursi dan berjalan pergi sambil menepuk punggung gue.

"Adik gue masuk sekolah penyihir," ucap gue pada diri sendiri. "Gue saja yang memilih jalan menjadi Muggle. Kenapa tiba-tiba Eritrosit Pra Klinik jadi genre fantasi?"

Defibrillator Done

Selain hal-hal menyenangkan. Pasti ada hal yang membuat sedih. Seperti biasa, jika ada para ahli di sini, saya sangat senang diberi kritik, saran dan masukkan.

Oh, ya. Untuk mengetahui latar belakang Zinc Moes. Silakan berkunjung di akun wga_academy bagian buletin Luminol. Dia jadi brand ambassador di sana. Hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top