Chapter 5- Jaga Malam ft Noell

Shiff jaga telah dibagi. Dua koas tiap state. Entah kenapa, gue udah seminggu ini selalu dapat jaga malam berturut-turut. Hanya partner yang berbeda-beda. Dokter Alka mungkin sengaja memberiku tugas ini gegara kasus visite seminggu lalu.

Gue enggak bisa membela diri dan menyalakan pasien. Posisi gue serba salah, meskipun begitu. Gue telah menandai wajah Risman kalau ketemu di jalan.

Di Samsara Medical Center. Waktu shiff dibagi tiga. Sebagai catatan seperti ini.

Pagi : 07.00 - 14.00
Siang : 14.00 - 21.00
Malam : 21.00 - 07.00

Kata para senior gue. Pengalaman paling seru selama koas adalah jaga malam dan setelah gue mengalaminya sendiri. Jawaban itu tidak salah juga.

Seru dalam tanda kutip bisa berubah tergantung sudut pandang dan patner jaga. Contohnya, malam ini ... gue bareng Noell. Bekerja bersamanya, itu sensasinya double.

"Moes."

"Apa?"

"Lo mau jaga pertama atau gue? Ntar gantian jam berapa?"

Untuk dua koas yang menjaga sebuah state. Pembagian seperti ini biasanya wajar. Ini pun demi menyelamatkan energi tubuh agar tetap prima di saat tidak terduga.

"Lo aja yang duluan," kata gue, "kita jaga bareng sampai jam 12 malam. Gue tidur sampai jam 3. Setelahnya lo jaga sampai pagi. Bagaimana?"

"Oke. Gue sepakat."

Sebenarnya, masih ada Dokter Alka. Waktu pembagian shiff, gue mengetahui sesuatu yang maha dasyat dan penting. Yaitu, Dokter Alka mengambil dua shiff jaga sekaligus. Yap, dari siang sampai malam dan akan berganti dengan Dokter Athena di pagi hari. Alasannya, tanya sendiri.

Saat ini, beliau sedang di ruang kerjanya. Gue dan Noell berada di ruang belakang untuk berjaga-jaga bila ada pasien darurat yang tiba. Sekalian, duduk membuat laporan jaga malam. Kalau pun, ada pasien darurat yang datang. Gue dan Noell bertugas bergiliran untuk memeriksa.

Hitung-hitung hemat energi dan memanfaatkan waktu membuat tugas selain sempat. Pokoknya, jadi koas tuh harus pintar-pintar bagi waktu buat pasien, tugas, dan diri sendiri.

"Noell," panggil gue di sela-sela menulis. "Lo punya pacar?"

"Gue enggak tertarik pacaran sama lo."

Waduh, sejujurnya ... gue merasa sedikit tertohok. Ditolak langsung.

"Percaya diri amat sih, gue enggak ada maksud ke sana. Lo juga bukan tipe gue."

"Baguslah. Kenapa tanya-tanya?"

Untuk orang yang awal-awal mengenal Noell. Pasti udah kena serangan jantung lebih dulu. Tetapi karena gue udah cukup terbiasa dan memahami karakter rekan koas-koas yang lain, gue mencoba berpikir positif. Walau tetap aja, rasa sakitnya enggak bisa hilang.

"Tanya doang, mang enggak boleh? Lo sering digodain cowok buaya. Siapa tahu aja, lo belum nemu buaya yang bisa buat lo jadi pawangnya."

Gerakan tangan Noell berhenti, dia menengadah dari kertas-kertas berisi laporan kepada wajah gue yang termanggu.

"Mungkin dia bisa."

"Maksud lo? Gue enggak paham."

Sungguh, cara bicara Noell selain menusuk. Kadang pula, tidak jelas arahnya ke mana.

"Ada cowok yang gue taksir."

"Bukan Arok, 'kan? Dia udah ada pawangnya. Enggak bakal berhasil pelet lo sama dia. Kai? Terlalu misterius sih."

"Jih, bukan!" Noell membantah dengan wajah memerah semu, gue pikir cuma Narnia aja yang bisa. "Dia tipe pria paling sempurna yang pernah gue lihat."

Dalam hati, gue berasa pria tidak sempurna yang terlihat di pelupuk mata si gadis es batu.

"Lo ingat pria yang mengisi seminar di fakultas dari angkatan militer?"

Gue mencoba mengingat kenangan lama. Terlalu banyak kenalan dan hafalan serta hal tidak penting di kepala gue.

"Ingat sih, acaranya." Gue mengaku. "Lo naksir tentara?"

Noell tidak menjawab. Hanya anggukan kepala sebagai balasan. Namun, dia melirik gue dengan tatapan tidak suka.

"Dokter Alf Arafura. Lo lupa? Dia pembicara seminar itu."

Perlahan, kepingan ingatan itu muncul. Aku berseru huruf O panjang dan Noell masih saja menatap gue sinis.

"Enggak ingat, 'kan? Bilang aja. Enggak usah sok drama."

Gue memilih diam, peraturan pertama menghadapi cewek es batu adalah memilih untuk tetap waras.

"Dokter?"

Panggilan lembut dan manis mengalihkan atensi gue dari Noell. Seorang gadis dengan dress merah polos menghampiri kami.

"Infus adik saya habis."

"Oh, tunggu sebentar."

Noell memilih mengambil alih. Walau kata-kata wanita ini terkesan menusuk. Dia bisa berubah 180 derajat menjadi Dewi yang sangat manis seperti Aphrodite.

Gue memilih melanjutkan kegiatan dengan menulis laporan. Biasanya akan di presentasikan setiap habis jaga. Data yang diperolah pun, biasanya diambil dari pemeriksaan terakhir pasien.

"Moes? Di mana Noell?"

Gue berdecak kesal. Baru juga menulis beberapa huruf, udah terganggu lagi. Dokter Alka mendekat dengan tangan memegang minuman kopi kalengan yang masih berembun.

"Lagi masang infus buat pasien."

"Pasien? Pasien siapa?"

"Walinya yang cewek tadi datang."

"Pasien dari rawat inap? Kok bisa sampai ke IGD?"

Gue malah menatap heran Dokter Alka yang mengambil tempat duduk di meja sebrang sambil menunggu jawaban dari gue.

"Eh, bukannya hari ini enggak ada pasien IGD yang masuk ruang observasi ya, Dok?"

Dokter Alka mengganguk. Lalu menyemburkan kopi yang hampir terteguk. Gue dan beliau sama-sama tertengun.

Gue bisa tahu apa yang ada di pikiran Dokter Alka sekarang. Wajahnya mendadak pucat pasi dan dia tidak berkedip menatap gue.

"Pergi periksa!" titahnya bak Raja di di dunia novel. "Cepetan!"

"Eh, iya. Iya, Dok."

Gue pun lari pontang-panting hampir menabrak meja dan laptop kesayangan gue. Belum juga keluar ke koridor. Noell datang dengan menundukkan kepala, bahkan hampir menabrak gue yang berdiri bagai patung batu.

"Lo enggak napa-napa? Pasiennya gimana?" Gue masih mencoba tetap tersenyum bagai manusia tak punya dosa.

"Pikir lo! Pasang infus sama Mbak K berbaju merah baik-baik saja?"

Noell menubruk bahu gue dengan kasar. Matanya memerah menahan tangis. Ia pun pergi ke meja dan duduk di sana dengan tungkai kaki gemetar. Bahkan, koas satu ini tidak menyadari keberadaan Dokter Alka.

"Moes, ikut gue ke apotek sebentar."

Bentar-bentar, gue berpaling ke depan pintu. Dokter Moes sedang berdiri di depan gue dengan tangan memegang bungkusan plastik merah.

Dengan takut-takut, gue menunduk untuk melihat ke bawah. Kakinya menyentuh lantai. Tetapi gue perlu pembuktian, sejenak gue menoleh ke arah mana tadi Dokter Alka pertama duduk dan hasilnya nihil. Tempat duduk itu kosong. Tidak heran, kalau Noell memang tidak menyapa beliau.

Ya, karena memang di sana tidak ada siapa-siapa. Hal terakhir yang gue ingat, suara Dokter Alka yang berusaha membangunkan gue dengan panik.

Jaga Malam ft Noell

Kalian pikir gue akan tertidur sampai pagi? Hm, salah. Perkara tadi jam 10 gue pingsan karena ketakutan. Gue terbangun pukul 12 malam.

Dokter Alka tidur di ranjang di samping gue. Ya, kamar tidur yang dipersiapkan buat staff yang berjaga malam. Ada tiga ranjang yang tersusun di dalam.

Saat gue ingin lanjut tidur, perasaan gue enggak enak. IGD pasti kosong sekarang, dan koas yang bertugas adalah Noell.

Akhirnya, karena gue khawatir dia kenapa-kenapa, gue pun menyelinap keluar dari kamar. Di meja resepsionist ada dua orang perawat yang berjaga. Mereka adalah Sanny dan Tias.

"Malam, Sus. Lihat Dokter Noell?" sapa gue ramah.

"Dokter Noell?" seru Sanny dengan wajah berpikir. "Tadi sih, sedang merapikan bad di ruang observasi. Coba di periksa ke sana, Dok."

"Oh, oke. Makasih."

Gue pun beranjak mencari Noell dan benar saja. Wanita itu, sedang berbaring dengan posisi menyamping di salah satu ranjang.

"Noell?" panggil gue. "Lo everything is okay?"

Punggung itu bergerak. Mata sayu dan wajah khas orang bangun tidur.

"Apaan? Lo udah sadar? Baguslah. Tadi lo pingsan. Yang lihat setan kan gue. Kenapa lo yang pingsan?"

Dia terbangun dengan skeptis. Gue pun bergerak berdiri lebih dekat di bagian ranjang bawah.

"Lo tidur duluan, gih. Biar gue yang jaga duluan. Gue udah enggak ngantuk lagi."

"Yakin?"

"Iya, yakin."

"Gue tidur di sini saja."

"Kenapa?"

"Di kamar wanita, lampunya di matikan. Gue enggak berani. Kunti merah itu buat gue trauma."

Sebenarnya, mendengar nama-nama itu disebut. Gue merasa enggak nyaman-nyaman banget. Tetapi karena gue penasaran. Gue pun menceritakan pengalaman horor gue dengan Dokter Alka KW.

"Hem, itu terlalu menakutkan," komentar Noell dengan tatapan lurus nan dalam.

"Cewek yang tadi memanggil kita, rupanya membawa gue ke ruangan observasi yang memang lagi kosong dan sedetik kemudian, gue merasakan ada napas hangat yang mengenai tengkuk belakang. Dan lo jangan tanya apa yang terjadi. Singkatnya, gue buru-buru kembali ke tempat semula."

Penjelasan itu menjelaskan semuanya. Walau gue tahu dan sadar bahwa fenomena ini bisa saja terjadi. Gue enggak pernah kepikiran bakal menjadi semenakutkan ini.

Karena Noell sudah lanjut tidur di bad pasien. Gue memilih pergi nongkrong bersama Sanny dan Tias.

"Dokter Moes. Dokter Raga suka makanan apa?"

Senyum di wajah gue mendadak terbit mendengar pertanyaan Sanny.

"Dia tidak pemilih sih. Tapi Arok paling suka makanan yang dibuat oleh Suri."

"Ah, Suri?" Raut wajah Sanny berubah. Dia melirik Tias yang sedang menahan senyum. "Mereka benar-benar pacaran?"

"Hooh. Kenapa? Suster Sunny mau menikung?" goda gue buat melemparkan umpan.

"Selama janur kuning belum melengkung, kenapa tidak?"

Wah, tipe-tipe gadis bar-bar. Entah mengapa, ini terlihat menarik. Masalah soal penampakan teralihkan.

Lalu bunyi pangillan telepon mengalihkan perhatian semua orang.

"Halo, dengan IGD Samsara Medical Center?" jawab Tias sambil meraih ganggang telepon.

Gue menarik napas dalam-dalam. Perawat ini mengganguk sesekali, lalu melirik ke arah gue dengan menutup telepon.

"Dalam 15 menit. Ambulance akan tiba. Seorang wanita berusia 28 tahun ditemukan tidak sadarkan diri di sebuah klub malam. Dia pingsan setelah meminum alkohol dalam jumlah banyak."

"Siapkan ruangan penanganan!"

Kami bertiga pun bubar, segala peralatan dan obat-obat penunjang diperiksa. Penting mengingat bahwa semuanya harus tersedia.

Sekitar lima belas menit kemudian. Pasien tersebut pun tiba. Tim regu penyelamat mendorongnya masuk ke ruangan tindakan.

"Tekanan darah?" tanya gue pada salah satu petugas. Sembari menggunakan penlight guna memeriksa reaksi pupil mata. Untuk mengetahui, seberapa cepat pupil mengerut ketika tiba-tiba terkena cahaya terang.

"Tekanan darah 90 per 60, denyut 96, Dok."

Tidak ada luka fisik yang terlihat. Tubuh pasien dalam kondisi utuh.
Oximeter pun segera dipasang. Alat ini digunakan untuk mendeteksi setiap perubahan pada saturasi oksigen meskipun dalam kadar kecil.

"Panggil Dokter Alka!" titah gue pada Tias. Dia mengganguk dan segera berlari pergi.

"Berapa banyak yang dia minum? Oh, sial. Oksigen darahnya turun ke level 85."

Regu penyelamat menggeleng dan gue mempersilahkan mereka untuk keluar. Sembari menunggu Dokter Alka tiba, gue melakukan pemeriksaan auskultasi menggunakan stetoskop, yaitu pemeriksaan untuk mendengarkan bunyi yang berasal dari tubuh.

Biasanya di dada untuk mendengarkan suara napas dan suara jantung. Dilakukan di abdomen untuk mendengarkan bising usus.

"Siapkan kantong oksigen dan berikan 10 liter per menit."

Suara Dokter Alka seketika membuatku merasa nyaman. Gue pun memberikan ruang kepada beliau untuk memeriksa.

"Tunggu sebentar!" Dokter Alka  mendadak menahan Sanny untuk bergerak. Beliau menggunakan steteskop kembali untuk memeriksa suara pernapasan di atas dada.

"Pasien ini menahannya. Lakukan intubasi." Setelah memerintah hal tersebut, beliau membuka mulut pasien. "Masih ada reflek muntah."

"Bahaya jika jalan napasnya tersumbat," ucap gue memberikan pendapat. "Dia terlihat ingin berbicara. Tapi itu bisa dianggap tidak sadar."

"Benar. Intubasi diperlukan untuk mencegah pneumonia dan mempermudah memonitor. Siapkan intubasi."

Intubasi sendiri merupakan prosedur medis yang bertujuan untuk membantu pernapasan seseorang yang mengalami kondisi medis tertentu.

Prosedur ini dilakukan supaya pengidap bisa tetap bernapas ketika operasi, mendapatkan bius atau anestesi, atau mengalami kondisi berat yang membuatnya kesulitan bernapas.

Langkah awal yang dilakukan Dokter Alka adalah membuka mulut pasien dan memasukkan sebuah alat yang dinamai laringoskop untuk membantu membuka jalan napas dan melihat organ pita suara. 

Dia perlu berhasil melihat pita suara, lalu memasukkan sebuah tabung berbahan plastik fleksibel yang dinamai tabung endotrakeal. Tabung ini akan dimasukkan dari mulut hingga ke dalam batang tenggorokan. Ukuran tabung, biasanya akan disesuaikan dengan usia dan ukuran tenggorokan pengidap.

Dokter Alka pun menghubungkan tabung endotrakeal dengan kantong pompa napas sementara atau ventilator. Kedua hal ini, punya fungsi mendorong oksigen masuk ke organ paru-paru pasien.

Setelah selesai, Dokter Alka menggunakan stetoskop untuk mendengar bunyi napas pasien.

"Saluran napasnya kembali."

Mendengar seruan Dokter Alka. Kami semua bernapas lega. Salah satu hal yang membuat gue ingin menjadi seorang dokter adalah ini. Sesuatu yang tidak pernah bisa diucapkan, namun bisa dirasakan. Ketika lo bisa menyelamatkan tingkat kehidupan seseorang.

Jaga Malam ft Noell Done


Emm, aku selalu meminta kritik, saran dan masukkan dari para ahli bila ada tindakan yang salah.

But, aku cukup menikmati proses menulis EPK. Setiap bahan riset membawa gue pada pengetahuan baru yang membuat gue makin suka dan jatuh cinta sama kisah-kisah bertema medical.

Ada dokter Alf yang sempat disinggung Noell. Nah, simpan nama itu baik-baik ya...

Spoiler warning

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top