Chapter 2 - Hecting Set

Di IGD Samsara Medical Center. Total bad untuk pasien adalah dua puluh ranjang. Dibagi menjadi dua, yaitu sisi kanan sepuluh dan sisi kiri sepuluh dengan nomor urut untuk masing-masing tempat tidur.

Ada tiga ruang tindakan darurat. Tertulis ruang 01, 02, dan 03. Digunakan pada pasien kritis yang membutuhkan tindakan penanganan yang cepat.

Ruang Observasi, berada di sudut lainnya. Ini merupakan ruangan untuk mengobservasi kondisi pasien yang memerlukan pemantauan secara ketat sampai kondisi pasien stabil. Apakah mereka perlu opname atau tidak.

Gue dan Kai mendekati Dokter senior yang bisa jadi, dia menjadi penanggung jawab Eritrosit. Mata elangnya, menatap sengit pada gue dan Kai.

Saat gue melirik ke arah bad. Para gadis ada ada di sana dan sedang melakukan penanganan pada pasien yang gue enggak tahu keluhannya apa. Ciwi-ciwi ini gercep sekali.

"Dokter Athena?" sapaku ramah. Menilik, dari sablon nama pada jas putih panjang yang ia gunakan sampai lutut.

"Kenapa kalian ke sini? Pergi lihat pasien yang bisa ditangani. Dasar budak-budak malas."

Kurasa dia Kak Ros yang bersembunyi dibalik nama Athena. Gue menyikut  lengan Kai sebagai salam perpisahan.

Karena gue agak grogi dan sedikit sotoy. Gue bergerak ke arah perawat yang sedang menangani seorang Ibu-ibu tua yang pergelangannya terluka dengan luka yang cukup lebar.

"Selamat pagi, Ibu. Izin memeriksa tangannya ya? Suster, tolong sarung tangan karetnya," ucap gue setelah membasuh tangan dengan cairan antiseptik.

"Baik, Dok."

Tatkala gue sudah berada dalam mode seorang dokter yang menyandang gelar koas. Gue mengambil pinset dari hecting set yang disodorkan perawat yang belum gue ajak kenalan. Tapi bisa nanti, soal itu.

Pertama-tama, gue mengambil kapas yang sebelumnya telah direndam dalam cairan NaCl 0,9% untuk membersihkan area di sekitar luka sayatan yang dari kedalamannya gue rasa berasal dari pisau dapur yang digunakan memotong daging ayam, rusa, sapi, kambing dan kawan-kawannya.

Setelah area sekitar luka bersih. Gue kembali memeriksa area pembuluh darah vena dan arteri yang bisa jadi ikut terkena potongan. Infus di tangan kiri sudah dipasang. Ini adalah tindakan, mencegah korban kehilangan banyak cairan. Perawat ini terbaik se-IGD. Cocok masuk golongan halo dek.

"Sus, lidocain satu ampul." Gue perlu melakukan anestesi lokal di jaringan kulit sekitar luka. Untunglah, walau cukup dalam, tidak ada cedera pembuluh darah. Pasien bahkan tidak mengeluh atau menjerit saat jarum suntik menembus lapisan epidermis kulitnya.

Secara umum, lidocain adalah obat untuk menghilangkan rasa sakit atau memberi efek mati rasa pada bagian tubuh tertentu atau obat bius lokal. Obat ini juga bisa digunakan untuk mengatasi aritmia jenis tertentu, sehingga termasuk juga dalam golongan obat antiaritmia.

Cara kerjanya dengan cara menghambat sinyal penyebab nyeri sehingga mencegah timbulnya rasa sakit untuk sementara. Lidocain tersedia dalam berbagai bentuk sediaan dengan tujuan penggunaan yang berbeda-beda pula.

Gue mengerjab tidak percaya, serius. Dalam beberapa kasus yang gue pelajari dari modul, seminar, webinar, youtube, video dokumenter, buku paket, sampai jurnal ilmiah. Biasanya pembuluh darah dalam pasti mengalami cedera.

Karena gue merasa si Ibu mendapatkan berkah Dewa Zeus, gue pun menoleh dan tersenyum pada suster yang bisa gue baca nametag nya adalah Lenny.

"Suster Lenny?" sapa gue selembut daging buah durian. "Tolong siapkan jarum jahit."

"Baik, Dok."

Sekarang, gue balik tersenyum pada si Ibu yang sedang menatapku penuh minat. Gue harap beliau tidak akan berkata. Udah punya pacar, Dek? Bolehlah kenalan ama anak perempuan Ibu.

"Dokter Moes? Ini jarum hecting nald dan catgut chromik."

"Makasih Sus Lenny." Tidak lupa, senyum secerah matahari Teletubbies di akhir kata.

Dengan menggunakan jarum untuk menjahit kulit, iya itu loh yang hecting nald tadi. Gue masukkan benang ke lubang jarum, pada penggunaan jarum melengkung atau curved needle dari arah dalam ke luar.

Gue sering mempraktekkan adegan hecting ini di kampus, di rumah dan di boneka beruang milik Airlangga yang disimpan di gudang. Lumayan, nilai gue secara teori dan prakterk di benda tidak hidup.

Dengan peluh menetes demi tetes. Gue benar-benar merasa gugup, meriang, dan serangan debaran jantung tidak normal. Ini pertama kalinya gue mencoba di si Ibu yang belum gue ajak kenalan.

Memegang jarum menggunakan klem kemudian mulai menjahit luka dengan sangat hati-hati. Jantung gue kian berdebar cepat.

Jika luka dalam sampai jaringan otot maka dijahit lapis demi lapis. Jenis benang pun disesuaikan dengan jaringan yang robek. Lalu mengikat benang tersebut dengan menggunakan simpul potong benang.

Gue harus menyisakan sepanjang 1 mm untuk jahitan dalam dan 0.65 cm untuk jahitan luar. Kemudian melanjutkan jahitan luka sampai terjadi penutupan luka.

Di akhir, gue memberikan desinfektan pada jahitan. Lalu menutup dengan kassa steril. Serta membersihkan alat dan melepaskan sarung tangan.

"Ibu, tangannya telah kami jahit. Sekarang udah aman kok. Kira-kira, ini kenapa bisa terluka ya, Bu?"

Sebelum pergi, gue perlu berbasa-basi dan berkenalan dengan para pasien. Gue ingin mencoba lebih dekat dan akrab pada mereka, sedangkan Lenny pergi menyingkirkan semua alat hecting set untuk dibersihkan dan disterilkan kembali.

"Enggak ingat, Dok. Tiba-tiba aja tangan teriris. Kecapaian kayaknya."

Gue mengganguk mengerti. Cairan infus menetes tetes demi tetes. Air wajah pasien juga mulai terlihat stabil. Walau di awal-awal dia tampak pucat.

"Keluarganya ada, Bu?"

"Enggak ada Dok, mereka pergi kerja semua. Tadi di antar tetangga. Tapi udah balik. Saya, menginapnya berapa lama ya, Dokter? Siang nanti boleh keluar enggak? Anak saya belum dihubungi. Takut dia khawatir."

Sejenak, gue merasa sedikit sedih. Entahlah, kalau menyangkut cerita keluarga. Gue bawaannya pengen nangis bombay. Mental laki-laki gue seakan rapuh masalah ginian.

"Boleh, Bu. Nanti datang lagi besok untuk kami bersihkan lukanya. Tapi, Ibu istirahat dulu ya?"

"Makasih, Dokter."

Gue tersenyum ramah, lalu menarik tirai untuk menutupi ranjang tempat tidur si Ibu. Gue biarkan beliau tidur sejenak. Tampaknya, beliau kurang istirahat. Gue pun melapor ke resepsionis IGD, di mana seorang wanita dewasa yang sedang berjaga.

"Permisi, data pasien bad 6 bisa dilihat? Saya mau meresepkan obat penambah darah."

"Oh, iya, Dok. Tunggu sebentar."

Lagi, aku tersenyum ramah pada perawat yang usianya jika ditebak kepala 40'an. Tetapi pasti menolak mengakui, jika beliau setua itu.

"Ini kertas resepnya dan data rekam medik pasien tersebut."

"Makasih Sus."

Setelah gue menerima data rekam medik tersebut. Gue segera menulis hasil penanganan yang gue lakukan dan jenis obat yang akan gue resepkan.

"Ini ... panggilnya Dokter Zinc atau Dokter Moes?"

Gue tersenyum malu-malu kucing, begitu mendengar pertanyaan ini. Kalau dilihat kucing tetangga, dia bakal pingsan.

"Sesuka Suster aja. Dokter Zinc boleh dan Dokter Moes pun boleh. Mau nanya Suster ... Anna?"

"Ya, Dok? Tentang apa?"

"Dokter Athena," ucap gue setengah melirik. Sekarang Dokter Athena sedang berada bersama Raka di ruang tindakan bersama seorang cewek yang gue mulai ingat namanya Noell. Sepertinya pasien korban kecelakaan tersebut. Membutuhkan penanganan cepat.

"Dokter Athena itu, Dokter Spesialis Emergensi ya?"

Sebenarnya gue udah tahu waktu lihat namanya tadi. Tetapi, karena gue harus basa-basi dan mencari topik pembicaraan. Gue perlu menanyakan hal ini. Gelar Dokter Athena adalah dr. Athena Nani Sp. EM.

Sebagai informasi, Dokter Spesialis Emergensi adalah dokter yang mendalami bidang kedokteran emergensi. Dokter Spesialis Emergensi bertugas melakukan stabilisasi dan tata laksana pasien yang mengalami masalah kesehatan yang bersifat akut ataupun cedera yang terjadi akibat adanya trauma atau kecelakaan.

Karena hanya beliau yang terlihat sebagai senior. Artinya, hanya Dokter Athena yang menguasai departemen ini.

"Benar, Dok. Dokter Athena adalah Dokter Spesialis Emergency dan satu dokter Residen. Namanya Dokter Alka. Hari ini, beliau shiff siang."

Gue mengganguk, lalu menyerahkan rekam medik kepada Bu Anna. Sebagian besar pasien, sudah ditangani koas yang lain. Tetapi, saat netra mata gue menangkap koas Hawa yang gue enggak tahu siapa namanya. Gue memutuskan untuk mendekat.

"Pagi, Dek." Gue kembali berujar ramah pada remaja perempuan yang seharusnya di jam segini dia ada di sekolah.

"Dokter Moes?"

"Ya?" Gue menyahut pada rekan koas gue yang ternyata memiliki nama Narnia Lewis. Gue mendadak merasa familiar dengan nama tersebut.

"Pasiennya kenapa?" Jika dilihat dari kondisi pasien. Dia tampak baik-baik saja. Tidak ada cedera luar yang membutuhkan penanganan kritis.

"Ini Dokter Moes," ucap Narnia, "pasiennya tidak mau di infus. Tadi katanya pingsan di sekolah."

Tetapi dia enggak pucat. Mungkin efek make up natural zaman sekarang.

"Dek, ini lo kekurangan cairan loh. Kalau lo enggak di infus. Nanti lo bakal makin lemah. Ya udah, kalau enggak mau di infus. Dokter pesankan makanan mau? Biar ada tenaga dikit."

Si siswi remaja berambut pendek ini melirikku dengan tatapan ala abang-abang kolektor barang antik. Jenis pandangan menilai, sebagus mana objek yang berada di depan mereka.

"Enggak mau! Gue takut di infus. Dibuat jadi minuman aja. Ntar gue minum."

Gue dan Narnia saling melemparkan pandangan. Sepertinya, Narnia memiliki watak yang suka enggak enakan sama orang lain. Jenis kepribadian yang bisa disalahgunakan kaum Buaya biasanya. Narnia menatap risih ke arah gue. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung untuk terucap.

"Lo mau minum cairan infus?"

"Iya, buruan Dok. Gue cape di sini dari tadi. Mey malah pergi ninggalin gue dari tadi. Awas aja tuh anak, entar gue labrak karena berani tinggalin gue di IGD."

"Oke, tunggu sebentar."

Gue berasa pengen nonjok nih bocah. Tetapi gue harus jaga image. Masih hari pertama, gue enggak mau bikin catatan koas gue buruk, akibat menghajar anak perempuan orang yang sedang terbaring di ranjang IGD.

Maka, dengan sedikit senyum mencurigakan. Gue berjalan mendekati Narnia dan berbisik.

"Nia, lo tolong beli Pocari Sweet satu kaleng dan isi di gelas. Lalu bawa ke sini, ya?"

Narnia enggak langsung menjawab. Wajahnya malah berubah kek kepiting rebus. Bisa bahaya kalau dia mendadak kena demam.

"Lo sakit?" tebak gue

"Enggak!" Narnia menggeleng. "Bentar, Moes. Gue bakal ambil."

Segitu aja, lalu dia bergerak cepat seperti seorang ninja Konoha. Meninggalkan gue dengan pasien yang memiliki resiko membuat koas darah tinggi.

Hecting Set Done

Barangkali, ada kakak perawat dan kakak dokter yang punya ilmu lebih dan menemukan kesalahan dalam penanganan pasien pada cerita ini

Penulis sangat-sangat senang menerima kritik dan saran untuk melahirkan karya yang mengandung nilai edukasi.

Btw, cerita ini ditulis berdasarkan pengalaman-pengalaman penulis menangani pasien secara langsung, membaca buku-buku kedokteran, farmasi dan keperawatan, menonton drama korea dan video-video edukasi nakes di sosial media.

Karya ini masih jauh dari sempurna. Mohon bimbingannya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top