Chapter 13 - Pasien
"Selamat pagi, Ibu," ucap gue pada suatu pagi yang cerah secerah senyum abang-abang martabak spesial, lalu menatap pada bocah berusia 7 tahun yang wajahnya mirip golongan bocil menyebalkan.
"Adek Rangga, ada keluhan apa? Kok bisa sampai dirujuk ke rumah sakit? Coba cerita sama Dokter? Ntar Dokter bantu menghilangkan penyakitnya kayak Ultraman."
Rangga ini tidak menjawab. Dia hanya memandang gue dengan kening mengkerut. Mungkin sedang memikirkan rencana terselubung menaklukkan dunia.
"Ini Dok." Si Ibu akhirnya menjawab. "Rangga tuh demam dari kemarin enggak turun-turun. Di kasih makanan malah muntah. Terus suka minta ini itu enggak jelas. Saya sampai pusing urusnya, kalau permintaannya enggak dipenuhi dia malah meraung-raung. Di kasih obat malah dibuang."
"Hmm, begitu ya?" Gue menulis semua informasi tersebut dengan cepat. Entah mengapa, firasat buruk tiba-tiba datang tanpa sebab. Rangga masih menatap gue dengan intens. Bisa bahaya, jika bocah ini bertingkah aneh.
"Ada keluhan lain, Bu?" tanya gue kembali dengan senyum yang mengembang.
"Enggak Dokter."
"Sekarang udah enggak muntah lagi, 'kan?
"Udah enggak."
Oke, gue kembali mencatat bahwa keluhan muntah sudah hilang. Berdasarkan pemeriksaan darah. Leukositnya memang cukup tinggi. Ada indikasi infeksi oleh bakteri, virus, dan kawan-kawannya.
"Nanti saya lapor ke Dokter Spesialis dulu, ya Bu? Nanti beliau akan datang memeriksa."
Diagnosis Rangga adalah suspek demam dengue, diagnosis banding demam tifoid (tipes).
Gue pergi menemui Dokter Hansamu yang baru saja selesai berbicara dengan Narnia. Gue sebenarnya udah ogah-ogahan sama nih anak. Masa bodoh dengan dia. Tetapi gue harus tetap profesional kerja. Dengan melaporkan follow up gue pada Dokter Hansamu.
"Semuanya sudah berkumpul? Oke, ayo kita visite semua pasien."
"Lo udah akur ama Nia?" Elle tiba-tiba mendekat dengan sebuah bisikan. Gue hanya bergumam lirih sebagai jawaban.
"Lo jadi cowok enggak peka banget. Iya dech, lo merajuk. Tapi kalian baikan yuk? Enggak enak lihat teman sendiri marahan mulu."
Sebenarnya gue mau berteriak dan berkoar-koar bahwa Elle bisa saja benar dan bisa saja salah. Tetapi ini bukan saat yang tepat membahas hal seperti itu. Gue tetap diam dan membiarkan Elle terus mengoceh sampai di bangsal.
"Selamat pagi, Bu. Perkenalkan saya Dokter Hansamu. Saya Dokter Spesialis Anak di sini. Ini, anaknya kenapa, Bu?"
"Anak saya sakit, Dok."
"Iya, saya tahu anak Ibu sakit. Nah, jadi keluhannya ada apa saja, Bu?"
Dokter Hansamu selain tampan. Beliau juga cukup sabar untuk menghadapi para orang tua pasien.
"Oh, ini Dokter Hansamu. Anak saya sakit demam dan muntah-muntah sejak empat hari lalu. Kata dokter jaga umum. Anak saya kemungkinan kena tipes, Dok."
Bentar-bentar. Gue merasa ada yang terdengar salah di sini. Seingat gue, kayanya si Rangga sakit sejak kemarin. Kok bisa jadi empat hari. Firasat gue ada benarnya. Sesuatu yang buruk akan terjadi lagi. Tetapi, untuk diagnosis perbandingan dengan gejala tipes, gue masih aman.
Dokter Hansamu pun melakukan pemeriksaan pada Rangga, lalu berlanjut pada para bocil lainnya. Setelah selesai, seluruh koas dikumpulkan dalam ruangan beliau.
"Zinc Moes. Benar begitu namamu?" Dokter Hansamu tiba-tiba mempertanyakan nama gue.
"Betul, Dok." Gue menjawab dengan masih tenang. Walau jantung seakan ingin melarikan diri dari tempatnya.
"Laporanmu tertulis demam dua hari, sedangkan berdasarkan keterangan pasien. Anaknya demam udah empat hari. Bagaimana kesalahan ini bisa terjadi? Apa telingamu sudah dibersihkan? Butuh surat rekomendasi ke departemen THT untuk pemeriksaan lengkap?"
Lagi, gue mengalami kondisi Risman kedua. Tidak ada gunanya gue membela diri. Bagi Preceptor, koas itu salah dan pasien selalu benar.
"Maafkan saya, Dok. Saya salah."
Sudah, gue enggak mau memperpanjang masalah ini. Wajah Mamanya Rangga gue tandain di jalan bila ketemu lagi. Sedikit senang, jiwa gue yang lain tertawa jahat. Tetapi tidak untuk ditiru.
Cuma, gue merasa heran. Kenapa pasien seolah senang mempermainkan dokter magang kayak kami. Kami itu salah apa? Kami berusaha membantu Anda semua. Tetapi, yang kami dapatkan sungguh sebuah kesulitan hidup.
Entah mungkin, orang tua wali tidak bisa mengingat perkataannya yang sebelumnya atau tidak. Jika sudah begini, gue hanya bisa pasrah, pasrah dan pasrah. Karena semakin gue ngebacot. Yang ada gue makin emosi dan pengen gebukkin seseorang.
Pasien
Biasanya, setiap pengunjung masa state berakhir. Koas akan memasuki minggu ujian. Gue sebelum tidur berusaha untuk setidaknya membuka mata lebar-lebar demi belajar. Walau badan gue udah remuk dan minta tidur. Gue enggak bisa, kalau perlu ada lima menit gue belajar sebelum tertidur menuju pulau kapuk.
Ya, sesakit-sakitnya hati gue sering disalahkan sama pasien. Gue enggak ada dendam sama mereka. Sebab, gue merasa sangat beruntung waktu ujian bersama konsulen, karena gue bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang bagi Elle adalah pertanyaan maut nan mengerikan.
Pasien Done
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top