Chapter 10 - Bangsal
Kian Moes Samsara
Tidak, ini bukan nama judul. Ini nama bayi dari persalinan yang gue dan Kai tolong. Bu Nurmala meminta maaf atas tindakannya selama masa-masa pembukaan dan partus.
Ya, telah lahir ke dunia ini. Seorang anak laki-laki sehat dan tampan yang diberikan nama dari nama gue dan nama Kai. Iya, kalau kalian ingat. Nama Kai itu empat gerbong kereta, Kai Kian Lucas Darzi. Nama Samsara diambil dari nama rumah sakit tempat bayi ini dilahirkan.
Karena Kian lahir pukul 5 sore. Gue, Kai dan Arok harus pulang pukul setengah tujuh. Sayang, kalau seandainya Arok ikut dijambak, nama dia bakal diabadikan oleh Bu Nurmala.
Angin malam benar-benar membuat gue mengigil kedinginan. Walau sudah menggunakan jaket yang tebal, hawa dingin ini tidak bisa dihilangkan.
Gue duduk di jok motor belakang, sedangkan Arok yang duduk di depan mengendarai motor. Tugas Arok selain menjadi koas, dia juga berperan sebagai ojek dadakan yang gue perlukan. Kai sendiri pulang dengan mobil yang tidak kuketahui jenis mereknya.
"Lo enggak mau mampir?" tanya gue pada Arok setelah membuka helm di depan rumah.
"Ada Suri, baru gue mau mampir."
"Ck, dasar bucin lo."
"Iri bilang bos."
Malas berdebat dengan Arok, membuat gue hanya memutar bola mata malas. Memastikan anak orang pulang dengan selamat di ujung jalan, barulah gue bergegas masuk ke dalam rumah.
Rumah gue biasanya sepi kayak kuburan. Airlangga tinggal di asrama dan Sagara lebih sering menginap di laboratorium. Nyokap dan Bokap sibuk dengan perkejaan mereka masing-masing. Gue sendiri enggak terlalu ingat shiff jaga mereka. Karena mereka biasanya selalu pulang di atas jam 8 malam.
Rumah kosong seperti biasa. Gue sendiri memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, sebelum memutuskan makan malam. Di pintu kulkas, gue tersentak atas sebuah memo yang ditempelkan dengan sebuah pin bermotif buah-buahan.
Papa dan Mama pergi menemui Airlangga. Jika Sagara pulang, jaga rumah tetap aman.
Kalau udah pergi mengunjungi si Bungsu. Biasanya pulang bakalan lama, gue mah malah merasa kian bebas. Mustahil Sagara mau pulang kalau tidak ada urusan mendesak. Baru juga hendak melihat-lihat bahan makanan apa saja yang ada dalam kulkas. Kakak pertama gue muncul dengan rambut basah dan berdiri di samping pintu kulkas.
"Udah balik, Zinc?"
"Udahlah. Lo enggak lihat gue udah nampak di hadapan lo."
Gue tutup pintu kulkas dengan kasar. Dengan tangan memegang dua butir telur yang akan diolah menjadi telur dadar.
"Tubuh lo bau alkohol." Sagara kembali berucap dan melangkah menuju meja makan.
"Tubuh lo bau formalin," balas gue yang enggak mau kalah diledek. "Mau telur juga enggak, nih? Sekalian gue masakkin."
"Enggak perlu. Gue sedang pesan ayam kremes."
Telur yang ada di tangan gue udah pecah satu. Lalu gue berbalik menatap Sagara dengan kesal.
"Punya gue ada, enggak? Pelit lo kalau enggak belikan buat adik lo yang tampan ini."
Sagara tidak menjawab, ia sibuk memperhatikan layar ponsel di tangannya. Tahu, kalau ada makanan yang akan diantarkan, gue pun memasukkan telur yang masih utuh dan telah pecah kembali ke dalam kulkas.
"Nyokap pergi jenguk Airlangga."
Gue yang sedang cuci tangan di westafel menyahut santai. "Hooh, gue mau pesan oleh-oleh. Enaknya hadiah dari negeri sihir apaan ya?"
Sagara mendongak dari layar ponsel dan menatap ke arah wajah gue dengan seksama.
"Sapu jerami. Lo butuh itu biar bisa cepat menemui pasien."
...
Di departemen kebidanan, terdapat bangsal berisi pasien – pasien post-partum maupun pasien lain yang memerlukan perawatan. Gue udah stand by di sini bareng Arok dan yang lain.
Para koas sudah bergerak untuk melakukan follow-up dan mencatat keadaan pasien lalu menunggu dokter spesialisnya datang untuk melakukan visite. Menyadari bahwa Preceptor kali ini memiliki level bos 20, gue berulang kali membaca hasil follow up. Sejujurnya, gue merasa sedikit trauma mendapatkan pasien seperti Risman. Lain di depan dan lain yang di belakang. Tipe-tipe pria lambe yang lembek banget.
"Pagi, Bu Nurmala. Gimana, Bu? Bayinya sudah bisa buang air kecil?"
Karena Kai masih trauma soal insiden semalam, dia enggan untuk menyapa terlebih dahulu, sedangkan Arok berdiri di samping gue dengan wajah sok asik.
"Belum nih, Dok. Tadi saya udah beri Asi sih."
Gue manggut-manggut sambil menulis. Biasanya, dalam tata pelaksana. Ibu dan bayi yang mengalami persalinan normal dan si bayi yang telah buang air kecil atau besar. Dapat diizinkan pulang lebih awal.
"Dokter-dokter ini ... masih jomlo, tidak?"
Gue agak terkesiap mendengar pertanyaan Bu Nurmala. Belum sempat gue menjawab, Kai telah mendahului gue.
"Saya udah tunangan, Bu. Kalau dia." Kai menunjuk gue. "Ditinggal nikah dan dokter Raga sudah menikah."
Gue injak kaki kiri Kai dengan gerakan perlahan dan lama-lama semakin kuat. Ia bertindak cepat menarik kakinya. Setidaknya, kalau Kai ingin berbohong. Dia bisa bikin skenario yang lebih bagus.
Gue enggak suka dengan judul ditinggal nikah. Padahal gue sendiri belum pernah merasakan pacaran. Jangan tanya sama gue bagaimana hal itu bisa terjadi. Karena selama gue menempuh pendidikan, fokus utama gue hanya satu, sukses. Soal wanita bisa nomor dua.
Setelah melakukan follow up pada Bu Nurmala. Gue pun membuka suara di depan pintu bangsal pada Kai.
"Kai, lo enggak bisa kasih kebohongan yang bagus dikit napa? Gue tadi, itu ditatap kasian sama Emaknya Kian."
"Lah?" Kai malah nyolot balik. "Seharusnya lo berterima kasih sama gue. Karena berkat gue, lo enggak menjadi bapak tirinya si Kian."
Gue masih enggak terima. Tetapi, karena kami berdua sedang diperhatikan oleh para bidan. Akhirnya gue memilih untuk mengalah.
"Koas. Tolong bawa resep ini ke farmasi."
Gue dan Kai mendekat ke salah satu bidan di meja resepsionis di ruang bangsal. Kami berdua menerima beberapa resep yang isinya adalah obat-obatan pasien rawat inap. Gue yang hendak mengajak Arok, seketika tersadar. Dia tidak ada di dekat gue dan Kai.
"Arok mana?" tanya gue dengan cemas.
"Enggak tahu." Kai malah ikutan kebingungan. "Ayok pergi! Pasien menunggu."
Karena gue dan Kai masih dalam pengawasan para bidan. Kami berdua terpaksa pergi menuju instalasi farmasi. Sekedar mengetahui jenis resep yang diminta. Gue membaca ada permintaan obat asam mefenamat untuk Mamanya Kian.
Asam mefenamat adalah obat untuk meredakan nyeri akibat nyeri haid, cedera, sakit gigi, sakit kepala, atau radang sendi. Asam mefenamat tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, dan cairan suspensi.
Penggunaan asam mefenamat atau asmef pada ibu pasca persalinan. Biasanya ditunjukkan untuk meredakan nyeri pada jalur lahir. Masalahnya, dalam proses kelahiran Kian. Petugas menemukan bahwa pinggul pasien terlalu sampit untuk jalan keluar dari si bayi. Otomatis, petugas harus menggunting sedikit area tersebut untuk menyelamatkan Kian.
Proses persalinan semalam cukup menengangkan. Bu Nurmala sudah kelelahan untuk mengedan dan ditambah, ketubannya sudah pecah dan bayi yang terhimpit di jalur lahir telah meminum air ketuban ibunya.
Proses persalinan kemarin, benar-benar mencengangkan. Gue enggak henti-hentinya berdoa semoga ibu dan anaknya selamat. Gue enggak sanggup, jika hal tersebut terjadi.
Di apotek, gue dan Kai menyerahkan resep di dalam keranjang yang telah disediakan di luar loket dan memecet bel.
Setelahnya, kami harus menunggu permintaan resep dikerjakan. Ngomong-ngomong, asam mefenamat bekerja dengan cara menghambat enzim yang berperan dalam pembentukan prostaglandin.
Prostaglandin akan memicu munculnya gejala dan tanda radang saat tubuh mengalami cedera atau luka. Jika produksi prostaglandin dihambat, gejala radang, seperti nyeri, kemerahan, bengkak dapat mereda.
Asam mefenamat pun tidak boleh digunakan lebih dari 7 hari kecuali atas anjuran dari dokter. Obat ini, sebaiknya juga dikonsumsi bersama makanan untuk mencegah sakit maag. Dibandingkan ibuprofen sebagai penghilang nyeri. Asam mefenamat masuk golongan obat yang keras dalam penggunaan medis.
Butuh waktu 15 menit untuk menunggu resep dikerjakan. Jika gue kedapatan membawa beberapa resep obat. Gue tertawa jahat melihat Kai membawa tentengan berisi kasa steril alkohol swab, dan spoit ukuran 0,5 cc.
Alkohol swap merupakan salah satu alat kesehatan berupa kapas atau tisu alkohol antiseptik yang digunakan untuk membersihkan luka dan pembersih alat-alat medis.
Digunakan untuk membersihkan atau mensterilkan area yang akan diberi suntikan. Entah injeksi atau intravena. Penting mengingat, segalanya harus dalam keadaan steril.
"Moes," panggil Kai yang suaranya bikin kuping gue gatal.
"Lo waktu itu, menolak cintanya, Narnia, 'kan?"
Gue mendadak, menghentikan langkah di area selasar yang mengarah ke arah departemen obsgyn. Gue tatap wajah Kai dengan seksama dan perasaan yang mendadak jadi dongkol.
"Gue? Menolak perasaan Narnia? Sejak kapan dia nembak gue?"
"Ck, dasar cowok enggak peka. Lo ini enggak pernah sadar? Narnia naksir lo sejak awal. Bukannya gimana ya, gue enggak sengaja dengar bisik-bisik Noell dan Elle soal lo dan Narnia."
Gue menggeleng, rasanya enggak ada ungkapan-ungkapan cinta seperti yang dibicarakan oleh Kai. Di peristiwa terakhir, malah Narnia yang menampar gue dengan alasan yang tidak jelas.
"Enggak! Kalian salah paham. Gue dan Narnia enggak ada yang seperti itu. Udah, gue duluan."
Pusing kepala gue memikirkan Narnia. Wanita itu masih saja mendiamkan gue dan gue bukan tipe orang yang bakal mengejar sesuatu yang membutuhkan kepastian terhadap perasaan wanita yang terlalu ambigu serupa Narnia.
Dari ruang persalinan, koas yang sempat dibicarakan gue dan Kai nongol bersama Elle dan Noell. Tampaknya, ada pasien yang akan bersiap untuk partus.
"Moes." Noell mendadak berjalan menghalangi gue dari depan. Tatapan matanya seperti singa yang sedang mengintai zebra untuk jadi menu makan malam. Heran juga sama nih, singa. Tipe selera makannya koas tanpa lemak kayak gue.
"Resep Ibu Sartika kasih ke kita. Sisanya lo bawa ke bangsal. Mana?"
"Oke." Setidaknya gue enggak perlu repot-repot membawanya lagi ke bangsal. Setelah Noell menerima, Elle mendekat.
"Moes, lo uda punya pacar?"
Pertanyaan aneh apa lagi ini. Gue sempat melirik Narnia yang masih berdiri tanpa sekali pun bergeming. Tatapan mata wanita itu terlihat aneh.
"Udah, kenapa? Lo naksir gue."
Entah kenapa, kata-kata gue terdengar kasar. Elle dan Noell serempak menoleh ke arah Narnia yang bagaimana pun membuat gue ikut menoleh padanya.
"Hmm, pantas saja lo dingin."
Kalimat diskriminasi itu, mengalun keluar dari bibir wanita yang jelas-jelas berdarah es batu kutub utara. Tidak mau ambil pusing, gue kembali meneruskan langkah menuju bangsal.
Bangsal Done
Bingung mau tulis apa di sini. Silakan tegur jika ada para alih di sini. Oh, ya soal Arok bawa resep dari kebidanan ke farmasi, di tempatku sih gitu.
Setiap ada bahan atau alkes. Orang2 di kebidanan wajib meminta dengan resep dokter.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top