eRICo

Angin malam berhembus dengan pelan, menerpa wajah dua lelaki yang berjalan tak kalah pelannya, Eric dan Rico.

Dua pasang kaki itu terhenti kala angin berhembus semakin kencang, cukup kuat sehingga 

membuat dedaunan dan puncak pohon menari ria. Ya, mereka tengah menyusuri hutan karena suatu tujuan.

Eric, lelaki dengan pakaian serba hitam itu menyabet kompas yang ada disaku jaketnya, "Ciih. Rusak lagi ternyata," katanya ketika melihat jarum kompas yang tak berhenti berputar. Dibuangnya kompas berwarna emas itu kesembarang arah.

ERIC

"Ini semua karenamu, kita jadi tersesat di hutan ini!" pekik Rico sambil mengacak rambut kuningnya, frustasi.

"Kau menyalahkanku?" Eric mengangkat alis kanannya dengan cepat, matanya memandang Rico tak percaya, "Bukankah kau yang memaksa ingin pergi kesini?!" Wajahnya tampak lebih kesal dibanding kekesalan Rico.

"Aku hanya penasaran, kau bilang hutan ini angker," seketika Rico tersenyum lugu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, "andaikan saja Kompas mu waras, kita akan kembali dengan segera. Tapi lihatlah! Kita sudah berputar-putar di tempat ini empat kali." Rico mengukir senyum miring diwajahnya, tangan besar itu menunjuk sebuah pohon yang ia yakin sudah dilihatnya 4 kali meski mereka sudah berjalan sejauh-jauhnya.

Eric masih terdiam dengan apa yang tengah mereka hadapi. Cuaca sangat dingin, membuat otaknya semakin membeku dan sulit berfikir ditambah ocehan Rico yang tak kunjung reda. Ia sangat kenal perangai lelaki itu, Rico Ferdinan, sahabatnya sedari kecil. Rico sanggup berbicara berjam-jam lamanya jika sesuatu terjadi, terlebih sesuatu yang mengusik kenyamanannya. 

"Lantas bagaimana ini? Apa kita akan keluar dari sini Eric? Aku takut Eric, bagaimana jika- "

"Sudahlah! Jangan berfikiran yang aneh-aneh. Pegang ini," Eric memotong keluhan Rico dengan cepat sebelum Rico berbicara lebih banyak. Tangan Eric meraih tangan kanan Rico, ia memberikan lampu pijarnya, "Aku ingin buang air kecil, pegang ini dan pastikan kau tak kemana-mana." 

RICO

"Jangan tinggalkan aku, Eric." Sesekali mata Rico tertuju pada pepohonan dan semak belukar disekelilingnya, berfikir makhluk aneh akan keluar dari sana.

"Atau kau ingin melihatku-"

"Tidak! pergilah. Aku masih Normal." Meski takut, Rico berusaha memberanikan dirinya agar tetap tegak meski berada di tengah hutan sendirian. Matanya terpejam, berhenti menatap tumbuhan-tumbuhan besar yang begitu menakutkan.

"Dasar penakut. Kenapa juga kau sok-sok mendatangi tempat ini, jika ternyata... Ya sudahlah, aku pergi dulu. Jangan kemana-mana kalau kau tak ingin diculik makhluk halus." Eric terkekeh melihat sahabatnya yang mematung dengan sebuah lampu pijar sebagai penerangnya. 

Lima menit berlalu. Eric muncul dari semak-semak sambil bernafas lega. Mata Eric meneliti disekelilingnya. Ada sesuatu yang hilang. Rico, sahabatnya tak terlihat lagi.

Eric berteriak lantang, "Rico, kau dimana?" tangan kekar Eric meraih lampu pijar yang tergeletak ditanah.

"Ricoooooo!!"  

***

Seseorang pria paruh baya berlari terburu-buru memasuki kantor polisi. Tubuhnya dibasahi peluh.

"Pak, dengarkan aku. Dengarkan aku." Lelaki itu menepuk meja dengan keras berkali-kali.

"Ada apa lagi tuan?" Seorang berseragam bertanya kepadanya dengan nada sedikit panik, "duduklah."

Polisi gagah itu ingat benar wajah lelaki paruh baya dihadapannya, satu bulan yang lalu dengan peluh yang sama ia melaporkan kejadian yang sangat buruk.

"Aku baru saja melihat seseorang ditarik paksa dan diseret kasar kedalam sebuah kabin tua di tengah hutan, sekitar 1 km dari sini. Aku baru saja dari sana, untung saja lelaki itu tidak melihatku." Jelas pria paruh baya itu sambil sesekali menyeka keringat di pelipisnya.

"Sama seperti yang lalu ya,"  seorang polisi dengan papan nama Mark  J. itu memegang dagunya mencocokkan kejadian malam ini dengan kejadian satu bulan yang lalu.

"Aku yakin lelaki itu dibunuh dan pelakunya adalah seseorang yang selama ini kalian cari." ucap pria paruh baya dengan penuh penekanan.

"Si pembunuh kejam itu!" ucap seorang polisi wanita kurus tinggi dengan rambut sebahu, tangannya menyentuh pundak Mark, "Kita harus melakukan penyusuran malam ini juga!."

"Siap! Bu." Mark menegakkan tubuhnya dan memberikan hormat.

***

Perlahan kelopak mata itu terbuka, memperlihatkan iris biru yang indah, Rico mengerjapkan matanya berkali-kali. Matanya liar meneliti setiap ruangan. Ruang berdinding kayu yang baru pertama kali ia lihat. Tak ada siapa-siapa disini, ia sendiri.

"Kenapa aku disini," ucap Rico sambil menggerakkan lehernya perlahan, tengkuknya masih terasa sakit, "Aa..ada apa denganku?" lagi-lagi ia berbicara sendiri, kagetnya bukan kepalang melihat kedua kaki mungil miliknya tak menyentuh lantai kayu itu, kepalanya mendongak dan membuatnya tak kalah kaget saat kedua tangannya disatukan dengan atap rumah melalui sebuah tali tebal.

Fikirannya benar-benar kacau, ulah siapa ini? Ada apa ini? Apakah aku diculik makhluk astral penghuni hutan? Atau aku sedang dipermainkan? Tidak! Ini bukan hari ulang tahunku.

Rico mencium sesuatu yang busuk dan amis, membuatnya merasa mual dan menambah beban difikirannya. Tidak hanya itu, suara decitan pintu dari arah belakang membuatnya terkejut dan berusaha membalikkan badan.

Apalah daya, ikatan tali pada kedua tangan dan kakinya begitu erat, ia yakin tangan dan kakinya akan patah jika ia memaksakan diri. 

"Siapapun, tidak!" Rico meralat ucapannya, "Apapun disana, tolong jangan apa-apakan aku. Antarkan aku pulang." tak terasa air matanya berlinang. 

Tak ada jawaban, Rico masih mengoceh sendirian. Degup jantungnya kian terpacu saat mendengar hentakan kaki yang melangkah dengan pasti.

"E...Eric?" Gumam Rico pelan, setengah berbisik saat seseorang muncul dari belakang.

"Eric, apa yang sedang kau lakukan disana? Cepat lepaskan aku. Sebelum makhluk itu menemukan kita." Teriak Rico sambil meronta, mencoba melepaskan ikatan ditangan dan kakinya.

Eric bergeming, dengan langkah pelan didekatinya Rico yang tak bisa diam.

"Kau," tangan dingin Eric menyentuh lembut pipi Rico, "Kau telah merebut kekasihku, sahabatku." Ucapnya penuh penekanan.

Rico tersentak saat sebuah seringai mengerikan terukir diwajah tampan Eric.

"Apa yang kau ucapkan? Sudahlah jangan bercanda. Lepaskan aku Ric, aku takut. Ayo kita pulang." Rico terus mencoba memandang ke belakang, arah pintu. Takut sesuatu yang menculiknya datang.

Dengan gerakan cepat Eric memukul perut Rico, wajah yang tak kalah tampan itu juga menjadi sasarannya.

Tak sempat Rico berkata-kata, serangan bertubi-tubi Eric terus diarahkan kepadanya. Jangankan meminta penjelasan Eric, lelaki itu bahkan tak sempat memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. 

Brukk...

Rico terjatuh kasar, tubuhnya tak lagi mengambang, Eric mengerat ke empat tali yang mengikat tubuh Rico.

"Eric, aku tak mengerti apa yang kau katakan, kalau kau memang mau bicara, kita bicarakan dirumah Ric." Ucap Rico terbata-bata sementara wajah dan tubuhnya masih bersatu dengan lantai.

"Kau tau gadis ini?" Eric mengambil posisi jongkok dan  menjambak rambut Rico dengan kasar sambil menyodorkan sebuah  foto perempuan yang tersenyum bahagia bersamanya.

"Kalian punya hubungan?" Tanya Rico sambil meringis saat rambutnya seakan terlepas dari kepala karena Eric menariknya dengan kuat.

"Sejak lama, hingga kau memutuskannya, kau memutuskan hubungan kami. Kau memisahkan dunia kami." Eric menyeringai dan menghentakkan kepala itu kelantai, senyum miringnya terlihat darah segar mulai mengalir dari kening Rico.

Andai saja tubuh Rico lebih besar dari Eric, dan andaikan ia memiliki kemampuan bela diri, ia yakin akan mampu membalikkan keadaan dan minimal membela diri. Tapi apalah daya, Kekuatannya tak sebanding kekuatan Eric yang selalu berolahraga dan mengolah otot-otot tubuhnya.

Eric menjauh dan kembali dengan sebuah kursi, ia duduk tenang melihat Rico meringkih kesakitan dengan sayatan panjang di dahinya, kayu-kayu yang kasar benar-benar sudah melukai wajah itu, membantu Eric dalam membalaskan dendamnya.

"Kau mengetahuinya Eric?" Rico bangkit secara perlahan, tangan kanannya menutup garis panjang di atas alis kanan agar darah tak terus bercucuran, luka akibat kekejaman Eric.

"YA! AKU MELIHATNYA!!" Teriak Eric dan segera bangkit dari Kursi, matanya membulat dan wajahnya memerah penuh kegeraman, "Aku melihat kau membiarkannya dasar Biadab!"

Air mata Rico kembali mengucur, bukan karena takut dan sakit, melainkan air mata kekesalan atas kejadian dua bulan yang lalu, kejadian yang tak ingin ia ingat lagi.

"Aku tak sengaja Eric, maafkan aku. Aku begitu gugup hari itu, dan... dan andai saja aku tahu dia kekasihmu, pastilah... pastilah-"  

Rico bersimpuh dihadapan Eric, ia tak dapat berbicara lebih jauh, lelaki itu meringis setiap mengeluarkan kata demi kata, wajah itu, wajah penuh luka tak mendukung, luka diwajah akibat hantaman Eric membuatnya sulit untuk berbicara, hanya air mata jatuh berbaur dengan darah yang mengalir di dahi yang menjadi saksi betapa Rico menyesali perbuatannya.

"Kau... Dasar kau bajingan!", Eric melangkan kakinya dengan cepat kedua tangan itu menangkup wajah Rico dengan satu tangan, dan memaksanya berdiri, "Tak perlu memandang siapa orangnya jika kau benar ingin menolongnya, harusnya kau tahu itu."

"Eric," Rico mendesah pelan saat Eric mendudukkan tubuh lemahnya disebuah kursi kayu, kedua tangan Rico diikat rapat dibelakang kursi itu.

Eric mengambil sesuatu dari saku celananya, lagi-lagi Eric memperlihatkan senyuman miringnya, seakan lelaki itu tengah merencanakan sesuatu.

Sebilah pisau  mengkilat dengan panjang  20 cm, Eric memegangnya erat dan menghadapkannya didepan mata Rico.

"Kau akan merasakan sakit seperti yang dirasakan oleh Riza-ku." Eric memainkan senjata itu didepan mata kiri Rico, menyentuh alis dan kelopak matanya dengan lembut.

Rico menggelengkan kepalanya, mengelak dan menghindari mata pisau yang tipis dan tajam itu, "kau sudah gila Eric!", tandasnya.

"Kau yang gila! Apa perlu seluruh dunia tahu?" Eric menjauhkan pisaunya sesaat dari mata Rico, "Orang sok lugu seperti mu, tenyata... Ciihh.." saliva Eric mengenai pipi Rico, lelaki itu meludahinya sesaat sebelum melanjutkan ke kalimat berikutnya, "Kau pembunuh!" 

"Aku minta maaf Eric, ampuni aku." Rico menangis sejadi-jadi nya, meronta-ronta bagaikan ikan yang terdampar di daratan,  "lepaskan aku dulu, aku akan segera menuju kantor polisi, biar mereka yang memberiku pelajaran, biar hukum yang memproses semuanya." Lelaki itu berhenti menangis, mengangguk cepat berharap Eric menerima tawarannya.

"Iya, lalu mereka akan melepaskanmu karena mereka hanya akan menganggap itu omong kosong tanpa bukti. Kau bahkan telah menjual mobilmu seminggu setelah kecelakaan. Kau fikir aku tidak tahu? Aku sungguh tak menyangka, kau... aku berharap kau bukan sahabatku." Eric menundukkan wajahnya, sedang pisau runcing itu hanya terayun di tangan kanannya yang melemah.

"Aku bisa mendapatkan mobil itu kembali, aku... Aku tau siapa pemiliknya dan aku... Aku bisa meyakinkan polisi. Lepaskan aku Eric," Rico merasakan secercah harapan, harapan untuk sampai kerumah hidup-hidup meski harus mendekam di penjara setelahnya.

"Tempatmu bukan di penjara. Tempat mu di neraka, bangsat!" 

Dengan hitungan detik, benda tajam itu masuk, menembus mata kanan Rico, membuat cipratan darah yang luar biasa mengenai wajah dan baju Eric. Cairan merah bercampur putih kental mengalir perlahan dari ujung pisau yang masih menancap disana.

"Kau bahkan lebih tampan saat ini Rico," Eric menggila dan wajahnya terpana saat melihat darah di sana-sini, seakan ia merindukan, sangat merindukan cairan merah kental itu.

Rico berteriak lantang saat pisau itu diputar Eric searah jarum jam. Tak peduli Eric memutarnya pelan atau cepat, tetap saja itu penyiksaan luar biasa bagi Rico. Bahkan ia mengoceh tak karuan meminta Eric segera mencabut nyawanya.

"Biadab kau!" Mata kanan Eric disipitkan, mata itu menyaksikan rekannya mengalami penderitaan, "Langsung bunuh saja aku. Dari pada kau permainkan aku seperti yang lainnya." 

Eric tertegun sesaat, mengankat wajah itu tinggi-tinggi agar menghadapnya.

"Kau benar-benar sahabatku, Rico. Kau sudah mengetahuinya?" Eric mencabut tanaman pisau di mata Rico, membuat pancuran darah sesaat lalu menjadi aliran air merah yang menuruni pipi Rico.

"Kau..." Eric meringis, berharap malaikat  pencabut nyawa segera datang dan mengakhiri penderitaannya, "Kau, psyco gila. Kau membunuh orang, membunuh  karena tempramen bodoh mu." 

Rico terus memacu kemarahan Eric, berharap agar lelaki itu menghunuskan pisau ke jantungnya, mengakhiri hidup dan penderitaannya. Toh cepat atau lambat dia juga akan mati ditangan Eric. Sepengetahuan Rico tidak ada yang pernah selamat apabila telah di culik Eric. Bodohnya ia tak pernah melaporkan hal itu ke polisi. Kasih sayangnya pada Eric telah membuat lelaki itu menjadi seorang Monster.

"Kau hanya lelaki bodoh dituntun tempramenmu. Kau tidak punya otak, otakmu tak berguna." Ucap Rico.

"Diam kau!" Eric berlari ke sudut ruangan, mengambil pedang panjang yang membuat Rico kegirangan, mengira Rico akan segera membunuhya, namun teriakan Rico bukan karena ajalnya tiba, namun karena Eric menebas tangannya yang terikat menjadi dua bagian, satu bagian yang masih terikat, satunya lagi yang masih bersama tubuhnya. Darah merah segar kembali mengalir dan saling menyemburkan darahnya dari dua sisi tangan buntung itu. Tubuh Rico menggelepar merasakan sakit yang tak kalah dari siksaan sebelumnya, tubuh lelaki itu biru, perlahan  kehabisan darah.

Eric tertawa lepas, saat melihat Rico bertarung melawan sakitnya. Pemandangan yang sudah lama tak ia lihat, wajah menyedihkan para korbannya.

Eric adalah Psychopat gila, membunuh banyak korban sebagaimana yang dijelaskan Rico. Namun sebenarnya jauh dari lubuk hati Eric, lelaki itu ingin merubah diri. Hanya saja...

Flashback On

"Sayang..." Eric memeluk wanita yang duduk tenang disampingnya.

Perempuan itu menoleh dan menunjukkan senyuman manisnya, "kau sudah tiba? jahat sekali kau, membuatku menunggu lama," wanita itu memalingkan wajahnya, merajuk.

"Maafkan aku karena sudah terlambat," Eric mengencangkan pelukannya, "Bagaimana? Kau suka gaunnya?" 

"Aku suka, sangat cantik. Tapi kau tak melihatnya." 

"Eric," panggil wanita itu lirih, seketika ia ingat akan sesuatu, sesuatu yang mengganjal di hatinya.

"Berjanjilah kau tak akan menumpahkan darah lagi." Bisik wanita itu, "Aku akan selalu ada disampingmu. Kau tak perlu takut dengan tempramenmu. Aku akan menenangkan mu dengan caraku." Kecupan lembut mendarat di kening Eric, membuat lelaki itu tersenyum damai.

"Aku berjanji." Jawab Eric lirih dan meraih bibir Riza lalu menciumnya.

Pukul 22.00

Eric terburu-buru mendatangi rumah Riza karena perempuan itu menelfonnya dengan nada cemas, membuat Eric kebingungan dan panik pula.

"Nak Eric? Riza baru saja menuju butik." Ucap seorang wanita paruh baya pada lelaki yang baru memarkirkan mobilnya di depan rumah kayu itu.

"Pakai apa Ma? Jalan kaki?" Eric berdiri tak jauh dari mobilnya.

Wanita paruh baya itu mengangguk pelan membuat Eric segera menancapkan gasnya, memacu mobil dengan cepat.

"Tak perduli apapun masalahnya dengan gaun itu, tak seharusnya kau pergi sendirian ke butik itu, jalan kaki pula." Eric bergumam, wajahnya terlihat panik sembari menuju butik yang berjarak 700 meter dari rumah Riza, calon mempelainya.

Seketika mobil Eric terhenti di persimpangan, melihat sesuatu yang melayang. Tidak, itu seseorang. Seorang gadis sederhana yang ia kenal. Riza Fahlevi, calon mempelainya. 

Mata Eric membulat saat gadis itu bermandikan darah segar, dengan jarak 30 meter, membuat Eric melihat kejadian dengan jelas. Melihat dengan jelas siapa pelakunya, pelaku yang menabrak dan membiarkan gadis itu melintang meregang nyawa ditengah jalan.

Flashback off.

Eric menyeka darah yang hampir menutupi wajah Rico. Membuat kulit putih itu sedikit terlihat. 

"Aku sudah kehilangan hidupku, kau mengambil Riza-ku. Jadi biarkan aku membawamu bertemunya. Minta maaflah padanya." 

Eric meraih pisau tajam dilantai, pisau yang berhasil menembus bola mata Rico. Benda itu diletakkannya tepat didepan dada Rico, perlahan dimajukannya hingga tenggelam lenyap didalam tubuh ringkih itu.

"Andai kau tak membunuhnya, aku pasti dapat memperkenalkannya padamu, sahabatku." Ucap Eric sambil membelai rambut Rico, tubuh dihadapannya itu, tubuh yang ditutupi darah segar telah meregang nyawa. Rico tak bergerak lagi. 

***

Barisan polisi bersusun rapi mengelilingi kabin tua ditepi hutan.

"Semuanya! SIAP?" seorang lelaki bertubuh kekar memberi komando yang membuat semua barisan berdiri tegak dan mengangkat senjata. 

Teringat terakhir kali mereka mendatangi rumah kecil di desa tak jauh dari hutan ini, yang mereka dapati hanya sebuah kepala manusia, Mereka ditinggal lari oleh pelaku.

Setelah mendapat aba-aba selanjutnya, semua polisi dengan tameng dan senjatanya, memasuki kabin melalui dua pintu, pintu depan dan belakang, berharap dapat meringkuk pelaku pembunuhan yang selama ini mereka buru. Pelaku berbaju dan topi serba hitam.

"Jangan bergerak!" Beberapa polisi memasuki ruang utama, namun tak ada yang diperolehnya selain bau amis yang luar biasa, telapak sepatunya menginjak sumber bau, darah segar. 

"Aku mendapatkan potongan tangan kanan." Lelaki itu memberi informasi kepada atasannya yang berdiri tegak diluar bersama beberapa polisi lainnnya, ia berbicara melalui benda hitam mennyerupai telefon.

"SIALLL!" suara lantang terdengar dari dalam benda itu, semua yang memegang benda hitam itu mendengarkannya. Seperti biasa, itu pertanda bahwa kerja mereka sia-sia, mereka kehilangan pelaku itu lagi.

"Aku yakin, dia tak jauh dari sini. Ayo kita susuri hutan dan menangkapnya segera." Ucap lelaki itu dan didengarkan semua polisi lainnya.

Benar saja, Eric baru berjarak seratus meter dari Kabin. Potongan tubuh Rico cukup berat untuk dibopongnya. Ditambah tanah liat yang licin membuat ia beberapa kali hendak tergelincir. Plastik hitam besar itu bertengger di punggungnya.

"Sebentar lagi kita sampai Ric." Desah Eric dengan pelan. Meski cuaca tak berubah, dingin dini hari tak menghalangi keringat Eric yang bercucuran, "sudah ku peringatkan untuk jangan makan terlalu banyak, kau tak menghiraukannya. Lihatlah, tunuhmu sangat berat." Katanya lagi.

Eric meletakkan Plastik penuh itu diatas tanah, tak jauh dari batu Nissan kayu yang hampir ditutupi lumut. Dibersihkannya Nissan itu dengan tangan kanannya, "sayang, aku membawanya. Dia akan meminta maaf padamu disana. Apakah kau akan memaafkannya atau tidak itu terserah padamu. Aku tak akan memaksanya meski dia sahabatku."

Eric menggali tanah dengan pacul yang tersandar disalah satu akar pohon. Pacul itu menguras tanah semakin dalam tepat disebelah batu Nissan yang bertuliskan 'Kekasihku, Riza Fahlevi'.

Eric sudah berada di kedalaman dua meter dibawah dataran hutan. Dengan susah payah ia membuat pijakan dan menaiki tanah itu karena tubuhnya yang sudah lelah.

"Akhirnya." Eric menarik nafas lega saat tubuhnya sudah berada diatas. namun mata Eric terbelalak hebat saat kali ini ia berada ditengah kerumunan orang-orang berseragam.

"Jangan ambil sahabatku!" Teriak Eric saat salah seorang polisi mengambil plastik hitam kesayangannya, Rico.

"Apa yang kalian inginkan? Jangan ganggu hidupku." Teriak Eric lantang seakan tak memiliki kesalahan.

"Ikutlah dengan kami ke kantor, atau kami akan membawamu dengan paksa!" Ucap seorang lelaki tegap yang muncul dari tengah keramaian, Komandan pasukan.

"Aku tidak mau. Aku tidak pernah mengganggu kalian, maka jangan ganggu aku." Lelaki itu berteriak lagi, peluhnya makin banyak menghiasi tubuh yang tercampur tanah dan darah itu.

"Jangan melawan. Kami akan membawamu ke kantor polisi." Ucap komandan itu dan segera memerintahkan dua orang anggotanya mendekati Eric. 

"Jangan mendekat, jangan ganggu kami." Lagi-lagi Eric meminta agar aparat itu membiarkannya.

Tak ada yang memperdulikannya. Semua anggota mendekat, takut jika Psycho gila itu melakukan hal-hal yang aneh lainnya, apalagi saat ini ia tengah terdesak.

Eric mundur perlahan membelakangi liang lahat yang dibuatnya untuk Rico.

Brukkkk... 

Lelaki itu terjatuh, dipegangnya punggung yang amat sakit itu. Eric meringis sembari membuka matanya perlahan.

Terdengar sayup-sayup suara wanita yang tak asing baginya.

"Sayang, apa yang kau lakukan dibawah sana?" Kepala wanita itu muncul dari balik kasur, tertawa kecil melihat Eric yang telentang di lantai samping kasur.

"Sayang, Kau masih hidup?" Eric berteriak sekuat-kuatnya.

"Apa yang kau bicarakan? Kau mendoakan ku mati agar dapat menikah lagi?" Perempuan itu menjitak kepala Eric dengan keras.

"Astaga ini nyata!" Eric merasakan bahagia yang luar biasa saat tangan itu memukul keningnya, "cium aku kalau kau benar-benar nyata." Pintanya lagi.

"Hei, beraninya kau! setelah kau memintaku untuk mati." Perempuan itu kembali merajuk.

"Aku..." Eric menyeka keringatnya, "aku bermimpi, mimpi buruk." Ucapnya.

"Benarkah? Seburuk apa?" Tanya wanita itu seketika tertarik dengan ucapan suaminya.

"Sangat buruk, membuatku tak ingin terpejam lagi." Eric bangkit, ikut tiduran dikasur, disebelah Riza Fahlevi.

"Katanya kau ada janji hari ini dengan Rico? Kenapa kau santai sekali." Riza memandang lelaki itu dengan heran.

"Aku mau disini saja, didekatmu." Eric menenggelamkan wajahnya dipelukan Riza, tak ingin mengingat mimpi tadi malam. Mimpi yang seakan-akan membuat lelaki lugu seperti dirinya menjadi seorang monster. Mimpi yang tak masuk akal. 

"Rico, aku bermimpi hal yang sangat lucu. Bagaimana bisa aku melakukan hal sekeji itu padamu, sahabat terbaik-ku." batin Eric sambil tertawa kecil dan kemudian hanyut dalam pelukan Riza Fahlevi.

***



Hy semuanya!! Terimakasih sudah membaca karya teman-teman member Watty_ID

Cerita ini digarap oleh dua orang author cantik lhoo ini diaa

MinHyeSin
Dan
Chan73

Sekali lagi terimakasih sudah membaca
Jangan lupa voment untuk membanhun semangat para author
Dannn sampai jumpa di tugas kami selanjutnya.

We Are The Noble

C : 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top