4
Haloooo...
Sebelum digulir ke atas, aku mau info kalo versi cerita EQUIVOCAL di Karyakarsa dan KBM bakal sedikit beda urutannya.
Soal dicetak, aku belum bisa janjikan dalam waktu dekat atau masih lama. Pengalaman kemarin, aku harus hati-hati soal cetak ini. Kalau aku mau SP dan PO, aku masih butuh waktu untuk menyediakan editor, layout, cover, dll. Biaya cetak juga aku pikirkan banget. Kalau kangen dan kepo banget sama ending kisah Raidi, boleh mampir baca di Karyakarsa dan KBM ya.
Nanya dikit, kalian mau bonus kayak gimana? Berhubung cerita ini dibuat by request pembaca (Can you imagine I made one because of you? Hahaha) jadi aku mau mempersembahkan bonusnya mendekati harapan kalian. Please note it, AKU USAHAKAN BIKIN PART BONUS MENDEKATI HARAPAN KALIAN 😁 Jadi belum tentu bakal persis kayak keinginan kalian.
Jawab di sini soal BONUS CHAPTER impian kalian 👉
"Bahagia di sisimu!" Aku mendendangkan lagu Fenny Bauty dengan kencang. Belum lagi speaker hormone yang disambung ke ponselku, ruangan sungguh berpolusi suara.
Rai mengorek telinganya menggunakan kelinking. Wajahnya ketara bosan. Tapi jangan harap, seorang Rai akan melepaskan satu pekerja tanpa upah yang akan memeriksa semua laporan bagian keuangan dan marketing, di saat dirinya sendiri asyik main mobile legend. Selalu begini tiap aku kepergok datang ke daerah teritorialnya, aku akan dipekerjakan paksa. Ancamannya selalu kartu kredit. Sadis memang sulung Mami Yulia dan Pak Rakhmadi.
"Di, kamu tidak niat ambil les nyanyi?" Jangan harap kalimat ini bentuk perhatian, yang benar dia sedang menyindirku.
"Aku mau les jadi dukun," balasku santai. Kembali aku meneliti tabel dan diagram yang disajikan dalam laporan bagian marketing. Bulan ini perusahaan mengalami penurunan, tenant yang keluar dan masuk nggak seimbang. Belum tahap rugi, tapi bakal jadi homework perusahaan mencapai target keuntungan di akhir tahun. Sekarang masih bulan Mei, mestinya masih cukup panjang waktu mengejar target pendapatan. Bukan kali ini aku memeriksa laporan bagian marketing, lima tahun menikah dan begini cara Rai memanfaatkan ilmuku semasa kuliah, mau tak mau aku belajar sedikit soal prediksi money flow dalam bisnis properti.
"Dukun spesialisasi apa yang mau kamu ambil?" Rai sudah meletakan ponselnya di meja, aku melirik jam di pojok kanan monitor. Astaga, dua jam aku berkutat mengerjakan tugas Rai. Setan alas, harusnya aku senang-senang makan pancake bersama Arvel. Malah dia yang puas main mobil-mobilan.
"Dukun santet, buat kirim kamu teluh," kataku, sengaja pasang wajah sinis.
Respon Rai malah terbahak. Dia kira aku becanda soal kirim teluh, aku sudah mengantongi beberapa alamat dukun tokcer sekitaran Banten. Tinggal akumulasikan dendamku padanya agar aku bisa tegas memilih teluh jenis apa yang bakal aku pinta ke Mbah Dukun. Percayalah, mati dengan mudah nggak pantas buat sesebapak CEO kita bersama. Mati bernanah bahkan masih belum cukup membayar kekesalanku siang ini.
"Kamu mau jadi janda dengan mengirim aku teluh?"
"Janda dari CEO. Aku bakal jadi pewaris saham-saham kamu, dalam rapat direksi, aku bakal umbar gimana aku mem-back up pekerjaan kamu selama ini. Aku bakal cari dukungan lewat followers instagram aku. Shareholders nggak bakal berani menolak aku menjadi pemilik sah kursi panas ini. Citra baik sangat penting dan warganet selalu tahu gimana merusak citra yang kamu bayar milyaran itu." Aku melipat tangan di depan dada, mengangkat dagu dalam gaya culas, tambahkan sedikit senyum pongah, then you get Diara the Devil.
Rai bangkit dari sofa yang dua jam ini dia duduki, berjalan perlahan menuju tempatku. Kedua tangannya menyanggah pada meja, satu-satunya pembatas di antara kami. Badan Rai membungkuk, wajahnya mengintimidasi. Jangan gentar, Rai cuma nyamuk di musim panas, rapal kepalaku.
"Apa janda terdengar sangat baik? Atau harta warisan yang menggiurkan?" Tanya Rai dalam suara rendah dan senyum meremehkan di akhir.
Lagi-lagi...
"Keduanya," jawabku. Kakiku menggigil di kolong meja, berharap lenyap seketika. Nampaknya jalang lebih indah dibanding diriku dalam pikiran Rai.
Badan Rai kembali tegak, menatapku sejangka sebelum melepas dasinya. "Ayo kita makan siang," katanya bak perintah tentara, kaku.
Makan siang, aku bahkan belum makan pagi. Ingin mencari teman makan malah dimakan penjajah dalam rumah tangga. Andai Kolong Wewe suka menculik CEO, aku mau daftarkan Rai sebagai target penculikan dibawa ke alam astral.
Aku mengangkat pantatku malas-malasan dari kursi kerja Rai. Dia sudah memimpin jalan, membukakan pintu. Sebentar lagi drama keluarga bahagia ala Rai-Di akan tayang. Stay tune!
Seperti biasa, Rai akan menautkan jemari panjangnya pada jemariku. Kami berjalan menyosori koridor yang terbentuk dari apitan bilik-bilik kerja karyawan. Tatapan 'wah', 'oh', 'perfect', dan sejenisnya mengarah pada kami. Rai akan membalas semua sapaan, bahkan anggukan kecil karyawannya akan dia balas dengan senyum lebar. Dia akan menjadi bos ramah dan baik bagi semua karyawannya. Awal, aku kira itu akting belaka. Semakin ke mari, aku sadar, akting akan mempunyai kemerosotan. Tetapi Rai nggak pernah lelah membalas kesopanan karyawannya berkali lipat. Coba dia begitu kepadaku, rumah tangga ini ... akh, apa-apaan sih pikiran melantur.
Jedug!
"Aduh," desisku sambil mengusap kening yang terbentur sesuatu dari arah berlawanan.
"Maaf, bu, saya nggak sengaja." Seorang pria di usia lima puluhan menatapku ketakutan. Seragam yang dikenakan orang itu menunjukan dia OB. Di dekat Pak OB terdapat troli yang mengangkut tumpukan kardus hingga bisa menutupi pandangan orang tersebut.
"Tidak apa-apa. Tolong lebih hati-hati ya. Bawa barangnya parsial saja, tumpukan kardusnya bisa membahayakan kamu dan orang lain," kata Rai dalam tutur lembut dan sopan. Beberapa karyawati yang melintas, melirik dan berbisik. Menurut penangkapan indera pendengaranku, mereka memuja sikap baik hati Rai. Ck, belum tahu saja gimana perkutut setan satu ini bersikap pada istrinya.
"Iya, pak. Saya minta maaf. Saya bakal bawa kardusnya setengah, sisanya saya taruh di sini." Si OB menurunkan setengah tumpukan kardus ke tepi koridor. Rai menepuk bahu bapak OB sambil berkata, "kalo sudah selesai, istirahat makan siang dulu. Saya duluan ya."
Setelahnya kami menuju lift. Aku nggak ingin tahu nasib Bapak OB, dia pasti baik-baik saja. Rai nggak bakal pecat satu orang yang accidentally nabrak istrinya sampai merah keningnya. Yang ada Rai bakal bilang...
"Harusnya tadi aku minta Pak Ishak tabrak kardusnya lebih kencang ke kamu. Biar kening kamu tidak cuma merah, lebam kebiruan tampaknya bagus buat foto instagram kamu," katanya tatkala kami menikmati makan siang di kafe.
Benar-benar sesuai prediksiku. Pak Ishak? Itu nama OB tadi? Rai tahu? Aku kira dia tahunya take profit dan cut loss saja.
"Nggak sekalian kamu kasih Pak Ishak bonus sudah berhasil bikin keningku memerah?" Satu-dua kalimat sarkasku adalah penambah nafsu makan Rai.
"Inginnya sih begitu. Kalau semua karyawan berusaha bikin kamu memar terus aku kasih bonus, bisa bangkrut." Dia terbahak tanpa dosa. Orang-orang melirik kami, mengira aku adalah pasangan menyenangkan sampai bisa membuat orang yang duduk di hadapanku tertawa.
"Aku kasih tahu ya." Aku meletakan garpu dan sendok, berusaha pasang aksi serius. Rai mengikuti, dia menyatukan kedua tangannya di atas meja, memberiku pandangan menunggu. "Kamu kalau banyak uang, kenapa pelit banget sih? Cicilan apartemen Arvel dibayarin, timbang kasih aku ekstra jatah bulanan susahnya minta ampun. Aku pernah baca majalah Hidayah, orang pelit kuburannya sempit. Mau masuk headline Jakarta Post, almarhum CEO Laksana Dwipada susah masuk liang lahat, diperkirakan semasa hidup sangat medit," kataku.
Rai ketawa lagi. Kali ini, seluruh pengunjung kafe nggak malu menatap kami penasaran. Ya, ampun, jangan sampai ada yang mengenaliku. Asal tahu saja, aku ini lebih dikenal karyawan sini sebagai istri cantik CEO dibanding Rai yang menjabat CEO. Hebat banget kan yang namanya kekuatan mouth to mouth, karena satu resepsionis comel, tenarlah diriku.
"Aku percaya Jakarta Post punya banyak artikel penting daripada kabar kematian yang begitu," katanya usai puas tertawa.
"Tapi Emak Lambe bakal bahas kamu habis-habisan. Mereka punya banyak mata-mata yang siap posting video saat jenazah kamu dikubur," balasku masih belum puas.
Kepala Rai menunduk lalu menggeleng. Kekehannya masih terdengar meski samar. Nasihat kematian dariku malah jadi bahan guyonan, selera humor Rai bobrok level kerak neraka.
"Kamu suspect utama mata-mata Emak Lambe, Di."
Ou, bagaimana Rai tahu aku pernah jadi mata-mata Emak Lambe. Satu kali aku pernah kirim foto ciuman panas aktor muda dan pacarnya si janda pengusaha minyak yang sempat heboh dua bulan lalu. Rasanya aku pakai akun bodong dan kirim pakai komputer warnet deh, apa Rai menyadap seluruh kehidupanku?
"Di," panggil Rai. Mukanya menatapku waspada. Aku tergagap. Nggak sadar dari tadi bengong. "Kamu mata-mata Emak Lambe?"
Tuduhan Rai, ngena banget!
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top