ES [9]
Dan akhirnya teriakan Dion juga gedorannya di pintu berhenti, begitu mendengar suara motor kawasaki yang berhenti di depan rumah. Aku yakin motor itu milik Fathir. Semoga dia bisa mengusir Dion dari sini. Meskipun jauh, tapi telingaku masih dapat menangkap suara perdebatan dan keributan mereka berdua.
Lalu mendadak suasana di luar menjadi sunyi senyap. Hal itu membuatku menjadi sangat cemas. Dion itu sangat nekad, dia bisa melakukan apa saja. Aku takut terjadi sesuatu yang membahayakan hidup Fathir hanya karena diriku. Tapi rasa kekhawatiranku sirna saat mendengar suaranya dari luar.
"Kala!" Seru Fathir mengetuk pintu. "Ini aku."
Mungkin ini terlalu berlebihan tapi jujur, aku sangat bahagia mendengar suara pria itu. Sekarang aku tahu bagaimana perasaan seorang wanita yang diselamatkan oleh super hero dalam film ataupun cerita novel.
Tanpa membuang waktu, aku dan Kasih segera keluar dari kamar. Begitu kunci pintu terbuka, aku pun menariknya sehingga tampak sosok Fathir berdiri di hadapanku.
"Om," Panggil Kasih yang terdengar lirih di telingaku.
Fathir menunduk dan memeluk Kasih yang sudah menangis terisak. Dia menggendong Kasih dalam pelukannya. Pria itu tak mengucapkan sepatah kata, hanya saja satu tangannya menghusap pelan punggung Kasih untuk menenangkan putriku.
Sementara itu aku bersandar ke sisi tembok dalam rumah dan berjongkok. Detik berikutnya aku menangis menundukkan kepala seraya memeluk tubuhku sendiri. Aku merasa lelah. Lelah akan semuanya. Kapan Dion akan berhenti mengganggu? Aku dan Kasih juga ingin hidup tenang. Tidak bisakah keinginan itu terwujud, meski hanya sebentar?
"Kala... apa kamu baik-baik saja?"
Aku mendongak dan menghapus air mata di pipi. "Aku nggak apa-apa. Hanya tadi aku merasa takut."
Fathir mengulurkan satu tangannya padaku. "Ayo... ikutlah denganku. Kita keluar sebentar untuk menenangkan pikiranmu."
Aku menatap uluran tangannya itu. Lalu aku kembali menatap wajah Fathir dan dia tersenyum kecil untuk meyakinkanku. Senyuman itu menghinoptisku untuk menyambut tangannya. Sehingga kini aku sudah bangkit berdiri dengan menggenggam tangannya.
Menyadari Fathir sedang menggendong Kasih dengan satu tangan, membuatku berniat menarik tanganku darinya. Karena aku yakin bobot tubuh Kasih cukup berat. Namun aku terkejut saat Fathir tidak mau melepaskan tanganku, justru dia semakin menggenggamnya dengan erat. Lalu menarikku untuk berjalan keluar dari dalam rumah. Setelah itu, dia mengunci pintu .
Aku mengikutinya berjalan sambil menatap kedua tangan kami yang menyatu. Hanya sebatas genggagaman saja, tapi terasa begitu intim bagiku. Kehangatan dari telapak tangannya mampu menjulurkan kehangatan keseluruh tubuh seolah dia sedang memelukku saat ini.
Baru beberapa langkah, aku langsung berhenti saat mendapati tubuh Dion yang tergeletak di halaman rumah.
"Apa dia meninggal?" Tanyaku cemas.
Fathir bergeleng. "Aku hanya memukulnya sekali. Dia terlalu mabuk dan akhirnya tidak sadarkan diri."
Aku kembali menatap Dion. Pria itu pernah menjadi orang penting dalam hidupku. Pria yang dulu sangat aku cintai tapi begitu tega mengkhianatiku.
"Apa kamu mencemaskan keadaannya?" Tanya Fathir memperhatikan raut wajahku.
"Tidak."
"Lalu kenapa kamu...."
Aku langsung menyela cepat ucapannya sebelum Fathir memikir hal lain. "Tadinya aku pikir dia meninggal. Aku takut kamu dipenjara. Makanya aku berhenti dan menanyakan padamu apa dia masih hidup atau tidak."
Dia tersenyum. "Ayo, jalan lagi."
Aku mengangguk. Lalu kami berjalan sampai di depan motornya.
"Kita mau kemana Om?" Tanya Kasih saat Fathir mendudukkannya di atas motor.
"Kamu lapar nggak? Kita mau cari makan yang enak-enak."
"Tengah malam gini? Gonceng tiga?" Tanyaku heran.
"Yepp," Sahutnya kalem. "Ayo naik."
"Tapi...."
"Tenang saja. Aku bawa motornya hati-hati. Aku nggak akan membahayakan nyawa kalian berdua."
Bukan itu maksudku Fathir. Tapi jika kita bertiga berada di atas motor, aku merasa kita itu seperti pasangan suami-istri yang memiliki seorang putri.
"Mama, ayo naik!" Seru Kasih.
"Hmm... iya."
Aku duduk paling belakang karena Kasih berada di tengah antara aku dan Fathir. Begitu motor menyala, Kasih spontan memeluk pinggang Fathir. Sementara aku bingung tidak tahu harus berpengangan apa. Tidak mungkin aku ikut memeluk tubuh Fathir kan? Aku sih tidak masalah, hanya saja aku takut dia merasa risih atau tidak nyaman nantinya. Maka dari itu aku mencari pegangan di bagian ujung motor miliknya. Sungguh ini pertama kalinya aku mengalami momen yang sangat awkward sekali.
*****
"Makanannya enak banget Om!" Seru Kasih sambil mengunyah.
"Kalau mau tambah lagi bilang ya?"
"Ok." Kasih mengacungkan jempolnya. Lalu dia melirik ke arah makanan milik Fathir. "Om... Kasih mau cicip coklat yang itu boleh?"
"Yang ini?" Fathir menunjuk dengan sendok.
"Iya."
"Kasih... itu punya om Fathir. Punya kamu kan ada." Aku menegurnya agar tidak terlalu manja pada Fathir. Aku merasa tidak enak padanya.
"Kan Kasih cuma mau nyicip Ma. Coklat punya om Fathir kayaknya lebih enak."
"Nggak apa-apa Kala. Namanya juga anak kecil," Ujar Fathir membela sambil memindahkan coklat yang diminta putriku tadi ke atas piringnya.
"Yeay!" Kasih bersorak dan langsung menyendok coklatnya ke dalam mulut.
Fathir tersenyum. Lalu dia memandang ke arahku.
"Kamu mau coklat juga?" Tanyanya iseng sambil menyodorkan miliknya ke arahku.
Aku tertawa pelan dan bergeleng. "Enggak. Memangnya aku anak kecil?"
"Aku pikir seperti itu."
"Maksudnya?" Tanyaku bingung.
"Kamu meneleponku dan mengatakan salah tekan nomor. Padahal sebenarnya kamu berniat meminta tolong kan?"
"Oh itu." Aku menunduk karena merasa malu. "Maaf ya, kalau aku sudah merepotkanmu lagi. Aku hanya tidak tahu harus menghubungi siapa lagi. Aku janji. Lain kali aku tidak akan merepotkanmu."
"Jangan menghubungi orang lain. Tidak apa. Repotkan aku saja. Aku suka bila kamu dan Kasih yang merepotkanku. Membuatku seperti merasa dibutuhkan."
Aku mendongak dan menatapnya tanpa berkedip. Mencoba memahami apa dibalik perkataannya tadi.
"Kala, boleh aku tahu apa alasanmu tidak melaporkan perbuatan mantan suamimu pada polisi setelah semua tindakan kasarnya padamu?"
Aku menghela napas dan menyelipkan helaian rambutku ke belakang telinga. "Agak rumit. Dulu Dion selingkuh dengan wanita lain. Lalu dia menceraikanku saat Kasih masih berumur satu bulan. Pengadilan memberi hak asuh Kasih padanya. Karena waktu itu Dion memiliki pekerjaan sementara aku tidak. Jadi Hakim berpikir Dion yang sanggup memenuhi biaya hidup anak. Tapi selingkuhan Dion tidak mau merawat Kasih sehingga Dion memberikannya padaku. Dia menyuruhku untuk membesarkan putri kami sendiri."
Fathir mengambil sebuah tisu dan memberikannya padaku saat air mataku mulai jatuh menetes. "Meskipun sulit, tapi aku tidak putus asa dan terus bekerja keras untuk membiayai hidup kami berdua. Mulai dari seorang pembantu, buruh pabrik, pelayan warung dan restoran semua pernah aku jalani. Kadang alasanku berhenti karena mendapat majikan yang suka memukul. Atau atasan yang berniat melecehkanku. Selang beberapa bulan Dion mendatangiku dan mengatakan kalau dia sudah dipecat dari kerjaan. Sehingga kekasihnya pun meninggalkannya. Dia menyalahkanku untuk semua itu. Jadilah dia mabuk dan selalu meminta uang dariku, jika aku tidak memberikannya. Maka dia mengancam akan merebut Kasih. Penderitaanku tak cukup sampai di situ. Saat Kasih berusia enam tahun, aku dikejutkan ketika Dokter mengatakan Kasih menderita jantung bocor. Aku tidak tahu harus mencari uang darimana. Sampai akhirnya aku memilih untuk jadi wanita malam. Karena bayaranku cukup tinggi untuk sekali melayani pelanggan."
"Oke. Cukup sampai di situ saja Kala. Aku sudah mengerti," Ucap Fathir memberhentikanku.
Aku mengangguk dan menghapus cairan dihidungku.
"Aku akan bantu kamu untuk mengambil alih hak asuh Kasih dari Dion. Jadi dia tidak bisa mengancam kamu lagi. Aku sangat membenci orang seperti itu."
"Kamu serius akan membantuku?" Tanyaku antusias.
"Iya. Aku akan minta tolong pada Nabila untuk menangani kasusmu. Dia seorang pengacara sekaligus teman yang cukup dekat denganku. Dia juga sudah sering memenangkan kasus seperti yang kamu alami ini."
"Nabila? Dia seorang wanita?" Tanyaku hati-hati.
Dia mengangguk. "Iya. Dia wanita yang sangat baik. Aku yakin kamu suka melihatnya karena dia sangat ramah dan murah senyum. Seperti aku, hanya saja Nabila versi wanita."
Aku memutar kedua bola mataku karena mendengar Fathir memuji dirinya sendiri. Dan hal itu membuat Fathir tertawa lepas.
"Mama... om Fathir," Panggil Kasih sehingga kami memandang ke arahnya.
"Ya sayang?" Jawabku.
"Apa itu pelacur? Tadi Kasih dengar Papa memanggil Mama dengan sebutan pelacur."
Aku merasa tertohok mendengar pertanyaan Kasih. Aku masih terdiam dan memandang Fathir.
Matanya mengisyaratkanku untuk bersikap tenang.
Lalu Fathir mengangkat tubuh Kasih ke pangkuannya. "Itu Papa kamu lagi mabuk. Jadi nggak sadar kalau ucapannya tadi nggak pantas untuk disebutkan. Dan anak kecil seperti Kasih nggak boleh meniru omongan itu lagi. Kasih paham kan?"
"Tapi Om, Kasih kan cuma ingin tahu apa artinya."
"Enggak sekarang. Kamu masih terlalu kecil untuk memahami artinya. Mungkin kalau kamu sudah agak besar, nanti Om yang jelaskan."
Kasih hanya diam. Lalu dia memandang Fathir lagi. "Kasih ngantuk Om. Mau bobok."
Fathir melepas jaket miliknya dan memakaikannya ke Kasih. Jaket itu terlihat kebesaran ditubuhnya. "Yaudah kita balik sekarang."
"Tangan masih mana Om? Nggak kelihatan." Dia menunjukkan jaket Fathir yang kepanjangan sehingga menutupi kedua tangannya.
"Nggak apa-apa. Biar kamu nggak kedinginan sama angin malam," Sahutnya sambil menggendong Kasih dan berjalan ke depan untuk membayar makanan kami tadi.
Aku ikut berdiri dan berjalan di belakang menatap punggung miliknya. Berharap akan menemukan sepasang sayap di sana. Aku rasa dia salah satu malaikat Tuhan yang turun ke bumi dan menjelma menjadi manusia. Iya. Aku rasa seperti itu.
12-Februari-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top